Pages

Friday, December 7, 2012

Islam dan Maslahat Publik

Oleh: Fauzul Hanif

Al Insânu madaniyyun bit-thob’i (manusia adalah makhluk sosial) merupakan kata yang sudah tidak asing lagi didengar oleh telinga. Bahkan jauh ketika seseorang baru duduk di bangku SD, guru-guru mereka terus menekankan hal ini yang tujuannya tidak lain untuk menanamkan sifat simpati antar sesama dan membuang jauh-jauh rasa egois. Membenamkan di alam bawah sadar mereka bahwa hidup ini bersifat heterogen, yaitu kumpulan dari sekian banyak manusia dengan sifat yang berbeda.

Islam selaku agama yang rahmatan lil ‘âlamîn menaruh pokok-pokok serta asas tentang kehidupan manusia yang heterogen. Bukan hanya dari aspek sosiologi, tapi juga dari sudut pandang ekonomi. Islam masuk dalam tatanan ekonomi agar nantinya memperbaiki kondisi sosial antar manusia, sehingga tidak terjadi ketimpangan dan jurang pemisah yang terlalu lebar antara si miskin dan si kaya. Islam juga mengupayakan keselarasan tatanan sosial dari lingkup mikro hingga makro sekalipun.

Sebut saja sedikit contoh di Al-Qur’an tentang hukum mawârîts. Ketika masyarakat jahiliah menetapkan hukum ini dengan seenak mereka, Islam datang dengan membawa peraturan yang jelas. Pewarisan pada masa jahiliah menetapkan bahwa yang akan mendapat warisan adalah anak laki-laki dewasa yang mampu bekerja atau ikut berperang. Selain itu, pengadopsian anak serta sumpah setia juga menjadikan seseorang bisa mendapat warisan. Ini artinya menafikan anak-anak kecil dari keturunan darah sendiri dan para perempuan. Hukum waris yang tidak adil seperti ini tentunya membuat kondisi sosial masyarakat dan keluarga sendiri semakin timpang.

Masih menyikapi jurang antara si miskin dan si kaya serta ketimpangan sosial yang ada, Islam menetapkan zakat yang diambil dari tangan orang-orang berkecukupan untuk diberikan kepada mereka yang membutuhkan. Walau yang diambil hanya 2,5% dari harta orang yang berzakat tetapi tetap saja membawa dampak yang besar. Tentunya dengan syarat semua golongan yang terkena wajib zakat menunaikan kewajibannya, ditambah pendistribusian yang optimal terhadap harta zakat tersebut.

Zakat hanya salah satu bentuk dari keuangan publik Islam yang manfaatnya bisa dirasakan masyarakat. Masih ada lagi kharrâj, jizyah, ‘usyur, ghonîmah serta beberapa lainnya. Bentuk-bentuk yang disebutkan tadi membawa manfaat bagi masyarakat dan negara karena kesemuanya merupakan pos pendapatan baitul maal. Dari baitul maal inilah kekayaan negara didistribusikan serta digunakan untuk maslahat bersama.

Efek dari zakat dan berbagai keuangan publik Islam yang optimal bisa kita rujuk ketika masa Abbasiyah di bawah pemerintahan Harun Arrasyid dan beberapa khalifah sesudahnya. Pemasukan negara melimpah ruah, bahkan setelah Khalifah al-Makmun menurunkan persentase pajak yang wajb dikeluarkan. Ibnu Jarir at-Thabari mencatat bahwa pada tahun 210 H saja, dana kharrâj yang terkumpul mencapai 7.000.000 dirham. Pada masa kekhilafahan al-Mu’tashim, peningkatan dana kharrâj lebih signifikan lagi. Dana kharrâj yang terkumpul mencapai jumlah 30 miliar dirham. Itu bukanlah jumlah yang sedikit, padahal jumlah tersebut dihitung dari pos pemasukan kharrâj saja, belum lagi ditambah dengan pos pemasukan lainnya.

Pendapatan dari pos kharrâj memang tergolong besar, hal itu sehubungan dengan tanah sawwad Irak, hasil futuhat umat Islam yang sangat luas. Tanah sawwad yang berhasil diambil alih oleh umat Islam semasa Umar bin Khatab merupakan lahan pertanian yang sangat produktif. Tidak heran jika para Sahabat kemudian berselisih pendapat mengenai siapakah yang berhak untuk mengelola tanah tersebut, apakah para pejuang perang, atau dibiarkan saja untuk dikembalikan kepada pribumi?

Di sini, lagi-lagi Islam menunjukkan semangat sosial yang tinggi, diwakili oleh keputusan ijtihad Umar yang diamini para Sahabat. Seharusnya, sebagian dari harta rampasan perang diberikan kepada para mujahid yang ikut berperang, tapi Umar RA justru membiarkannya untuk diolah oleh penduduk pribumi dan negara. Menurut Dr. Musthafa Dasuqi, keputusan Umar sangatlah tepat. Alasannya, jumlah pasukan yang ikut berperang untuk menaklukkan daerah Irak hanyalah sedikit, sedangkan penduduk pribumi jauh lebih banyak jumlahnya. Jika tanah sawwad Irak yang begitu luas serta produktif hanya dimiliki oleh para mujahid yang notabene hanya segelintir orang, maka jurang antara si miskin dan si kaya semakin lebar. Wilayah yang sudah dimiliki oleh beberapa orang ini pastinya akan diwariskan kepada keturunan sesudahnya, kemudian kepada keturunan selanjutnya, dan selanjutnya. Harta itu tidak akan berpindah tangan atau keluar dari nasabnya kecuali hanya sedikit dari yang mereka miliki. Ini artinya konsep kai lâ yakûna dûlatan baina al-aghniyâ`i minkum tidak terwujudkan.

Selain kharrâj, Islam juga mengenal istilah jizyah. Meskipun praktek jizyah pada era kontemporer sudah tidak dikenal lagi, bukan berarti bahwa kita meninggalkan esensi utama yang terkandung di dalam jizyah. Jizyah yang merupakan wajib pajak bagi kaum non-Muslim yang berdomisili di negara Islam pada hakekatnya mempunyai nilai sosial yang tinggi. Fungsi jizyah bukan hanya sebagai uang jaminan atas keselamatan mereka selama tinggal di negara Islam, tetapi juga menyimpan tujuan lain. Tujuan tersebut adalah perataan distribusi pendapatan yang ada bagi seluruh warga, baik Muslim maupun non-Muslim.

Sebagaimana kita ketahui, Islam telah mengenal zakat sebagai sarana perataan distrbusi pendapatan. Wajib zakat –atau hal lain yang berbentuk perpajakan– dalam suatu negara sangat penting untuk menambah cadangan devisa, terlebih jika seluruh warga menunaikan kewajiban tersebut. Namun, ketika wajib zakat digugurkan bagi sebagian orang, artinya pendapatan negara kurang maksimal. Hal inilah yang kemudian menjadi pertimbangan jizyah bagi kaum non-Muslim, yaitu sebagai pengganti pajak. Dengan adanya jizyah, harta –yang bisa jadi melimpah ruah– di tangan orang-orang non-Muslim masih bisa dirasakan oleh warga negara secara umum. Dengan begitu, konsep kai lâ yakûna dûlatan baina al-aghniyâ`i minkum telah terlaksana. Hal itu tentunya sangat jauh dengan tuduhan yang dilontarkan oleh para orientalis bahwa wajib jizyah adalah bentuk lain sebagai biaya sewa yang harus dikeluarkan bagi kaum non-Muslim untuk tinggal di wilayah Islam.

Semangat sosial Islam yang begitu tinggi pada zaman klasik seharusnya terus dibawa hingga era sekarang. Bukan hanya dibawa, tapi disimpan secara rapi pada jiwa dan karakter setiap individu untuk kemudian diamalkan. Hal itu karena nilai tersebut merupakan salah satu syiar Islam yang ada semenjak munculnya agama ini.

Ini bukan berarti Islam mengekang umatnya yang telah bekerja siang dan malam untuk kemudian memberikan sebagian yang telah mereka usahakan tersebut kepada fakir miskin. Islam tidak pernah mematikan semangat bekerja dari diri seorang muslim, namun juga tidak menelantarkan para fakir miskin. Di situlah fungsi zakat dan berbagai sistem keuangan publik lainnya, mempersempit jurang antara kedua golongan. Dengan begitu, tidak salah bahwa model wirausaha Islam itu tetap profit oriented, hanya saja harus dilengkapi dengan distribusi yang proporsional serta optimal. []

Saturday, November 17, 2012

Mewaspadai Infiltrasi Asing dalam Menafsirkan al-Quran

Oleh: Dede Permana*


Layaknya udara segar yang membuat tubuh kita sehat, pemahaman yang tepat terhadap al-Quran adalah panduan utama yang akan membawa kita kepada keyakinan yang benar. Jika kesegaran udara harus selalu dijaga agar kita tidak terserang penyakit, maka upaya untuk memahami al-Quran dengan benar juga harus kita perhatikan agar tidak terasuki pemikiran-pemikiran asing yang membuat kita menjauh dari kebenaran. Infiltrasi asing ini, dalam kajian studi al-Quran disebut sebagai “al-Dakhîl”.

Secara etimologis, kata “al-dakhîl” diartikan oleh Ibnu Manzhur sebagai sesuatu yang masuk ke dalam sistem organ manusia, sehingga menyebabkan pada timbulnya suatu kerusakan. Kerusakan itu bisa mengenai otak (akal) ataupun tubuh. Sementara secara terminologis, Ibrahim Khalifah, seorang pakar Tafsir di Universitas al-Azhar mengartikannya sebagai segala riwayat yang tidak benar dan bertentangan dengan pokok-pokok utama ajaran Islam (syariat); atau hasil pemahaman seseorang yang bersumber dari pemikiran yang rusak. Dari pengertian ini, al-dakhîl kemudian dibagi menjadi dua, yaitu al-dakhîl dalam tataran riwayat (al-dakhîl fi al-manqûl) dan al-dakhîl dalam tataran hasil pemikiran (al-dakhîl fi al-ma’qûl).

Sejarah perkembangan al-dakhîl dalam Tafsir

Dalam sejarahnya, masyarakat Arab Quraisy sebelum lahirnya Islam adalah masyarakat yang memiliki hubungan cukup erat dengan bangsa Yahudi dan Nasrani lewat kebiasaan berdagang yang dilakukan bangsa Quraisy dua kali dalam setiap tahunnya, yaitu perjalanan pada musim dingin ke Yaman dan pada musim panas ke Syam. Pada masa-masa dagang seperti ini kaum Yahudi dan Nasrani memanfaatkan kesempatan itu untuk mentransfer pengetahuan yang mereka miliki dari kitab suci mereka kepada masyarakat Quraisy yang belum banyak mengerti baca dan tulis.

Selanjutnya, tatkala Rasulullah SAW mendeklarasikan hadirnya suatu agama baru yang bersumber dari Allah SWT, masyarakat Arab menemukan ada beberapa persamaan antara apa yang dibawa oleh al-Quran dengan apa yang mereka dapatkan dari kitab suci Yahudi dan Nasrani. Tentang kisah-kisah para Nabi, misalnya, banyak kisah-kisah yang serupa atau bahkan sama dengan apa yang tertulis di Taurat dan Injil. Bedanya, metode yang digunakan oleh al-Quran dalam mencertikan kisah-kisah tersebut hanya secara global, langsung kepada poin mauizhah dan i’tibar yang diinginkan dari kisah itu. Sedangkan dua kitab suci sebelumnya banyak menjelaskan hal-hal yang kecil dan remeh secara terperinci dan detail, seperti ukuran perahu Nabi Nuh dan jenis kayunya, warna anjing yang menemani Ashabul Kahfi di gua, bagian dari sapi betina mana yang dipakai untuk menghidupkan orang yang telah terbunuh pada zaman Nabi Musa AS, dan lain sebagainya. Dengan metode pengisahan al-Quran yang bersifat global tersebut, mereka yang memiliki rasa ingin tahu lebih, bertanya kepada para Ahli Kitab tentang penjelasan detail dari apa yang diceritakan oleh al-Quran secara global.

Kemudian seiring dengan masuknya para Ahli Kitab ke dalam Islam, ajaran agama Yahudi dan Nasrani yang mereka bawa dapat dengan mudah diceritakan kepada kaum Muslimin. Puncaknya terjadi pada masa pembunuhan Ustman bin Affan tahun 41 H,  kaum Ahli Kitab yang masuk Islam secara munafik mulai berani memasukkan ajaran-ajaran baru yang merusak kemurnian ajaran Islam dengan terang-terangan. Pada masa itu dan setelahnya, riwayat-riwayat israiliyyat dan hadis-hadis palsu mulai tersebar dengan mudah. Masyarakat semakin dibuat bingung untuk membedakan antara Hadis yang benar-benar bersumber dari Rasulullah dan riwayat-riwayat palsu yang diselundupkan oleh golongan munafikin dan para pembenci Islam. Inilah yang menjadi faktor utama lahirnya dakhil dalam tataran riwayat (al-dakhîl fi al-manqûl).

Sementara faktor yang menjadi penggerak utama lahirnya al-dakhîl dalam tataran pemikiran (al-dakhîl fi al-ma’qûl) dimulai ketika kaum Muslimin terpecah menjadi banyak sekte dan golongan, akibat kekacauan politik yang saat itu terjadi. Untuk menguatkan paham yang mereka usung, masing-masing dari mereka menafsirkan al-Quran sesuai dengan doktrin masing-masing golongan. Dalam praktiknya, mereka pun memaksakan doktrin yang mereka pahami untuk membaca al-Quran, sehingga lahirlah pemahaman-pemahaman menyimpang yang jauh dari makna yang dikandung oleh al-Quran yang sebenarnya.

Pada zaman Tabiin, kaum Yahudi, Nasrani, dan orang-orang non-Arab semakin banyak yang memeluk Islam. Kisah-kisah tentang israiliyyât dan ajaran-ajaran agama lama mereka pun semakin mudah membaur dengan ajaran Islam. Dengan fenomena seperti ini, disadari ataupun tidak, riwayat-riwayat bohong dan paham-paham yang menyimpang mulai merasuk dalam halakah-halakah penafsiran al-Quran. Pada masa Tabi Tabi’in, riwayat-riwayat ini dengan mudah masuk ke buku-buku tafsir, karena sebagian mereka tidak peduli (sengaja) memasukkan cerita-cerita tersebut untuk menafsirkan ayat-ayat al-Quran yang menceritakan sebuah kisah secara terperinci. Di antara para mufasir yang banyak memasukkan ad-Dakhîl  dalam mereka adalah Muhammad bin as Saib al Kalbi, Abdul Malik bin Abdul ‘Aziz bin Juraih, dan juga Muqatil bin Sulaiman.

Dampak yang ditimbulkan dari infiltrasi asing inipun sangat fatal. Dengan adanya sumber-sumber penafsiran dari israiliyyât, Islam digambarkan sebagai agama yang sangat tidak rasional dan penuh dengan takhayul serta khurafat. Belum lagi cerita tentang Allah yang pernah lelah ketika menciptakan alam juga akan mengakibatkan keyakinan kita terhadap ke-Mahakuasaan Allah luntur. Ditambah pula riwayat-riwayat tentang Nabi Daud yang berzina dengan istri panglimanya, atau Nabi Luth yang tidur dengan putrinya, juga akan meruntuhkan doktrin fundmental tentang kesucian ('ishmah) para nabi dan rasul. Sementara itu, infiltrasi dalam tataran pemikiran juga tak kalah besar dampaknya, terutama ketika ayat-ayat al-Quran dijadikan sebagai tunggangan kepentingan sektarian kelompok tertentu. Muktazilah yang dalam salah satu ajaranya menolak sifat kalam, misalnya, menakwilkan ayat yang menceritakan bahwa Allah berbicara kepada Musa AS menjadi Musa yang berbicara kepada Allah.

Faktor-faktor terjadinya infiltrasi pemikiran

Seperti disinggung pada pembahasan sebelumnya, faktor utama yang mempengaruhi lairnya infiltrasi ‘asing’ dalam tataran pemikiran adalah lahirnya beragam sekte yang memaksakan paham mereka untuk dijadikan landasan memahami al-Quran. Selain dari faktor utama itu, menurut Ibrahim Khalifah, setidaknya ada tujuh faktor lain yang melatarbelakangi lahirnya infiltrasi pemikiran dalam tafsir: Pertama, pemahaman salah yang lahir dari seseorang yang belum memenuhi syarat-syarat berijtihad. Kedua, menggunakan penalaran akal bukan pada tempatnya, dengan menafikan makna zahir suatu ayat menuju makna lain yang dipaksakan. Ketiga, berpikiran tekstualis dengan menghilangkan peran akal dalam memahami suatu ayat. Keempat, terlalu ekstrim dalam menggunakan akal (tafalsuf) saat memahami al-Quran, sehingga menjauhkan maknanya dari apa yang dikandung secara zahir. Kelima, terlalu menggebu-gebu dalam memahami susunan kalimat dalam suatu ayat, sehingga melahirkan pemikiran-pemikiran ‘baru’ yang terasa dipaksakan terhadap al-Quran. Keenam, terlalu semangat dalam memahami nilai-nilai kemukjizatan al-Quran, seperti yang banyak terjadi dalam penafsiran-penafsiran saintifik yang sekarang banyak berkembang. Dan ketujuh, niat busuk untuk menghancurkan Islam dan berpaling dari ayat-ayat al-Quran.

Sumber-sumber otoritatif dalam menafsirkan al-Quran

Sebagai antonim dari kata “al-dakhîl”, dalam ranah keilmuan tafsir ada istilah “al-ashîl”, yaitu sumber-sumber otoritatif yang disepakati oleh para ulama dalam menafsirkan al-Quran. Karena al-dakhîl terdiri dari manqul  (riwayat) dan ma'qul (pemikiran), maka ashil pun terbagi menjadi dua, yaitu al-ashil fi al-manqul dan al-ashil fi al-ma'qul.

Dalam ranah riwayat, setidaknya ada empat sumber yang dianggap otoritatif dalam menafsirkan al-Quran: Pertama, menafsirkan al-Quran dengan al-Quran; kedua, menafsirkan al-Quran dengan Sunnah; ketiga, penafsiran al-Quran dengan perkataan Sahabat; dan keempat, menafsirkan al-Quran dengan perkataan Tabiin. Meski sebagian ulama mempermasalahkan sumber terakhir ini, namun menurut penulis, perkataan para Tabiin dapat dijadikan sumber penafsiran al-Quran karena Tabiin hidup sezaman dengan para Sahabat, sehingga mereka banyak mewarisi keilmuan mereka (Sahabat). Selain itu, masa Tabi’in merupakan salah satu generasi unggul yang ditahbiskan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya, “Sebaik-baik masa adalah masaku, kemudian masa yang datang setelahnya (masa Sahabat), kemudian masa yang datang setelahnya lagi (masa Tabi’in).”

Tidak terbatas pada ranah riwayat, Islam juga mengakui otoritas akal dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran. Al-Qur’an membuka peluang bagi akal untuk dapat berijtihad dalam memahami kandungan ayat-ayatnya. Namun, untuk dapat menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan ijtihad, seseorang diwajibkan untuk memenuhi beberapa syarat, seperti harus berakidah  benar, mengetahui kaidah-kaidah ilmu bahasa Arab, memahami teori-teori pengambilan hukum (Usul Fikih), dan menguasai ilmu-ilmu Ulumul Quran.  Jika penggunaan akal dalam menafsirkan al-Quran dilakukan tanpa syarat-syarat di atas, maka hasil penafsiran tersebut akan digolongkan sebagai infiltrasi penafsiran (al-dakhîl fi al-tafsîr).

Waspadalah!

Keistimewaan al-Quran sebagai kitab yang bersumber dari Allah -baik dari sisi redaksi maupun maknanya- mengharuskan umat Islam untuk menempuh metodologi khusus yang sejalan dengan konsep wahyu dalam Islam. Menurut Henri Shalahuddin, seorang peneliti INSITS yang konsen di bidang studi al-Quran, konsep wahyu dalam Islam secara selektif menolak segala metode penafsiran liar yang bertentangan dengan sifat dasar wahyu. Dengan demikian, maka sangat diperlukan kehati-hatian dalam memahami ayat-ayat al-Quran agar seusai dengan maksud yang benar-benar diinginkan oleh Allah SWT.

Jika infiltrasi penafsiran klasik lebih banyak berupa riwayat-riwayat israiliyyat yang bersumber dari riwâyat, untuk saat ini, infiltrasi penafsiran lebih banyak membidik tataran pemikiran. Metode-metode penafsiran liar sedemikian getol dijejalkan di perguruan-perguruan tinggi Islam, sehingga menjadi kurikulum wajib setiap mahasiswanya. Lebih parah dari itu, metode-metode penafsiran klasik yang otoritatif sebagai hasil karya ulama kita, mereka singkirkan dengan alasan sudah basi dan ketinggalan zaman.

Memang, kita tidak sepatutunya menolak mentah-mentah apa yang datang dari luar Islam. Namun sebagai seorang cendekiawan Muslim sejati (real Muslim scholar), kita harus waspada dan kritis dengan pemikiran-pemikiran baru yang banyak dijadikan sebagai senjata untuk menyerang Islam dari dalam. Apalagi, selama ini telah terbukti bahwa infiltrasi asing dalam menafsirkan al-Quran lebih banyak menimbulkan keburukan daripada kebaikan. Toh, tanpa metode-metode impor tersebut, kita sebenarnya sudah sangat cukup dengan metode-metode “hasil karya sendiri” yang lebih otoritatif dan terbukti telah melahirkan kebaikan yang sangat besar. Wallahu a’lam.[]

*Penulis adalah pegiat kajian Studi al-Quran I'JAZ  IKPM Cab. Kairo.

Tuesday, November 13, 2012

Membangun Peradaban Ilmu Berbasis al-Quran


oleh: Jauhar Ridloni Marzuq, Lc.

Mayoritas ulama sepakat bahwa ayat al-Quran yang pertama kali turun adalah surat al-Alaq 1-5. Turunnya ayat yang diawali dengan perintah membaca ini, menurut Raghib al-Sirjani dalam “al-Ilmu wa Binâ’ al-Umam” sangat aneh. Setidaknya, ada tiga alasan yang mendasari pandangan ini: Pertama, dari sekian ribu tema yang bisa diangkat, al-Quran ternyata memilih tema tentang baca-tulis. Padahal, Nabi Muhammad sebagai orang pertama yang menerima ayat itu adalah seorang buta huruf. Kedua, al-Quran mengajak bangsa Arab -yang mayoritas masyarakatnya buta huruf- untuk memperhatikan suatu masalah yang sama sekali jarang mereka perhatikan. Seperti tertulis dalam banyak buku sejarah, bangsa Arab ketika al-Quran diturunkan adalah masyarakat primitif yang hidupnya dipenuhi oleh urusan takhayul, khurafat dan kebodohan. Karena itu, turunnya al-Quran dengan perintah membaca adalah suatu keanehan. Sedangkan ketiga, untuk menjadi media transformasi ilmu, al-Quran memilih media yang sangat berat bagi masyarakat Arab saat itu, yaitu membaca.

Dengan tiga alasan tersebut, maka Raghib al-Sirjani kemudian berkesimpulan bahwa fenomena ini tentu memiliki rahasia yang perlu diungkap dan diketahui. Sebagai kitab petunjuk, Allah tidak mungkin memilih tema sembarangan untuk menjadi permulaan penurunan kalam-Nya. Salah satu alasannya, menurut al-Sirjani, adalah sebagai bukti paling jelas bahwa Islam adalah sebuah agama yang bersandar kepada ilmu pengetahuan dan menolak kebodohan. Permulaan ayat ini juga menjelaskan bahwa membaca adalah kunci untuk memahami agama baru ini, sekaligus menjadi syarat utama yang harus dimiliki oleh manusia untuk mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat.

Ilmu sebagai sifat utama kenabian


Sebagai seorang pemimpin, nabi adalah aktor utama pembangun peradaban dalam Islam. Jika Islam secara substansif telah ada sejak Nabi Adam, maka nabi yang harus diyakini oleh umat Islam adalah Nabi Adam hingga Nabi Muhammad SAW. Keseluruhan jumlah nabi memang tidak dijelaskan oleh al-Quran. Namun, dalam beberapa cerita yang disebutkan al-Quran, Allah selalu mengaitkan mereka dengan ilmu. Dalam surat al-Baqarah, Nabi Adam digambarkan sebagai orang diajarkan (diberi ilmu) oleh Allah nama-nama segala sesuatu (QS al-Baqarah 21); Nabi Luth diberi hikmah (kenabian) dan ilmu (QS al-Anbiya: 74); Nabi Musa, Nabi Yusuf dan Nabi Sulaiman juga diberi hikmah dan ilmu (QS Qashash: 14, QS Yusuf: 22 dan QS al-Anbiya: 79); Nabi Ya’qub diajari banyak ilmu (QS Yusuf 68); Nabi Isa diajari al-Kitab, hikmah, Taurat dan Injil (QS al-Maidah: 110); dan Nabi Muhammad diajari oleh Allah apa-apa yang tidak beliau ketahui (al-Nisa 113).

Di sini dapat disimpulkan bahwa salah satu sifat utama kenabian adalah berilmu, karena tanpa ilmu seorang nabi tidak akan pernah bisa mengajarkan sesuatu. Sebuah pepatah mengatakan, “Orang yang tidak memiliki tidak akan bisa memberi.”

Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, al-Quran kemudian memuat banyak sekali ayat yang mengajak manusia untuk mencari ilmu pengetahuan. Al-Quran juga dalam banyak kesempatan mencela kebohodohan dan kejumudan. Meski tidak bisa baca tulis, dalam banyak riwayat Hadis, Rasulullah memerintahkan beberapa Sahabat untuk belajar membaca dan menulis. Usai Perang Badar, Rasulullah bahkan menjadikan pembelajaran baca-tulis sebagai media tebusan para tawanan perang.

Di sinilah, Islam kemudian hadir sebagai kekuatan baru untuk mengubah tatanan hidup masyarakat Arab Jahiliyah menuju tatatan hidup baru yang berperadaban, dengan berlandaskan pada nilai-nilai ilmu pengetahuan yang bersumber dari al-Quran.

Tradisi ini kemudian terwariskan dari generasi ke generasi sehingga membentuk sebuah pandangan hidup. Pandangan hidup seperti inilah yang kemudian menjadikan Islam mampu mengambil alih kepemimpinan peradaban dari tangan Romawi Persia hingga lebih dari 1000 tahun lamanya.

Ilmu sebagai syarat utama menguasai dunia


Salah satu tujuan utama diciptakannya manusia adalah untuk menjadi khalifah di bumi. Namun, posisi dan kedudukan khalifah yang diberikan Allah kepada mereka bukanlah tanpa syarat. Dalam surat al-Baqarah Allah menjelaskan bahwa ditunjuknya Adam (bapak seluruh manusia) sebagai khalifah adalah karena kelebihan ilmu yang dimilikinya. Malaikat yang pada awalnya ‘keberatan’ dengan penunjukan Adam akhirnya menerima, karena mengakui bahwa Adam memiliki ilmu yang yang tidak mereka miliki.
Fenomena seperti ini berlaku juga pada kisah penunjukan Thalut sebagai raja (QS al-Baqarah: 247), seorang hamba shalih sebagai pemenang sayembara pengalihan singgasana Bilqis (QS al-Naml: 39), Sulaiman sebagai penguasa (QS al-Naml: 42), dan Khidhir sebagai guru Nabi Musa (QS al-Kahfi: 65).
Dengan demikian, terlihat jelas bagaimana al-Quran sangat menjunjung tinggi kedudukan ilmu. 

Menurut Hamid Fahmy Zarkasyi, peradaban Islam sebenarnya dimulai dari komunitas kecil yang bergiat mempelajari al-Quran dan Sunnah. Komunitas yang dipengaruhi oleh pandangan hidup al-Quran itu kemudian bertambah besar dengan membentuk kekuatan militer yang akhirnya menjadi institusi negara. Karena universalitas ajaran Islam, maka negara bangsa yang berdasarkan ras dilebur bersama bangsa-bangsa lain di bawah naungan Islam. Kekuatan pemersatu bangsa-bangsa itu adalah pandangan hidup Islam yang teratur dan rasional, serta bahasa Arab. 

Dengan demikian, maka dapat diambil benang merah bahwa untuk membangun kembali peradaban Islam harus diawali dengan membangun peradaban ilmu. Karena asas peradaban Islam adalah ilmu pengetahuan yang bersumber pada al-Quran dan Sunnah, maka peranan ilmu pengetahuan yang sangat sentral dalam keseluruhan struktur konsep peradaban Islam, seperti pendapat Hamid Fahmy, perlu dikembalikan sebagaimana aslinya. Dalam hal ini, al-Quran adalah landasan utama yang kita jadikan sebagai acuan, bukan filsafat-filsafat asing yang lebih banyak merusak daripada membangun. Wallahu a’lam. 

Friday, November 9, 2012

Problematika Zakat Hasil Bumi dalam Konteks Indonesia

(Hasil Muktamar Fikih Kontekstual PCINU Mesir)

Oleh: Fauzul Hanif

Zakat yang salah satu tujuannya adalah perataan kesejahteraan ternyata tidak begitu terlihat signifikan pada konteks Indonesia. Pasalnya, mayoritas warga Indonesia adalah penganut mazhab Syafi’i yang notabene berpendapat bahwa zakat pertanian hanya wajib pada makanan pokok saja. Padahal,kebanyakan dari para petani tanaman-tanaman pokok di Indonesia masuk dalam kategori menengah ke bawah.Bahkan, tidak jarang dari mereka yang masih berada pada garis kemiskinan. Kondisi ini tentunya terlihat timpang ketika dibandingkan dengan para pengusaha perkebunan besar yang termasuk dalam kelompok masyarakat menengah ke atas. Mereka tidak diwajibkan untuk mengeluarkan zakat hasil panennya padahal penghasilan mereka lebih besar ketimbang para petani tanaman pokok.

Permasalahan zakat di Indonesia ini tampaknya tidak luput dari perhatian ulama besar Timur Tengah, diantaranya adalah Yusuf Qaradawi. Dalam bukunya Fiqh az-Zakat, beliau menjadikan Indonesia sebagai sampel tentang tidak tercapainya fungsi zakat sebagaimana mestinya. Di Indonesia, kemiskinan masih saja membelenggu warganya. Bahkan, kesenjangan antara golongan miskin dan kaya di kalangan petani semakin terasa. Dalam buku tersebut beliau memandang bahwa problem utamanya adalah mayoritas orang Indonesia yang tetap ‘mempertahankan’ mazhab Syafi’i. Masyarakat Indonesia terus menjadikan pendapat mazhab ini sebagai acuan dalam masalah zakat, bahkan dengan konteks yang ada sekarang.

Yusuf Qaradawi sendiri sebenarnya kurang sepakat dengan sistem zakat Indonesia yang berpatokan mazhab Syafi’i pada konteks sekarang. Beliau memandang perlunya menggunakan pendapat lain yang lebih ‘longgar’ dan tidak menyempitkan zakat pada makanan pokok saja untuk menyikapi masalah sosial di Indonesia. Pendapat yang beliau tawarkan adalah untuk menggunakan mazhab Hanafi dikarenakan lebih relevan untuk konteks Indonesia demi mendapat maslahat bersama yang lebih besar.

Kaidah yang berlaku dalam mazhab Hanafi dalam pada perkara zakat pertanian benar-benar luas. Mazhab ini memandang bahwasanya zakat tidak hanya diwajibkan atas makanan-makanan pokok, melainkan seluruh hasil bumi yang secara sengaja ditanam untuk pembudidayaan tanah. Dengan begitu, segala jenis hasil bumi yang merupakan hasil pengolahan atau pembudidayaan wajib dizakati, termasuk di antaranya adalah kebun karet, kebun teh, kebun apel dan seluruh agrobisnis lainnya. Dengan begitu, para pengusaha perkebunan yang justru lebih kaya dari petani biasa terkena wajib zakat juga.

Cukup rumit untuk merumuskan apakah Indonesia perlu formulasi baru perihal zakat hasil bumi atau tidak. Perihal formulasi metode zakat adalah suatu masalah khilafiyah sehingga perbedaan pendapat  merupakan suatu keniscayaan. Jika kita teliti, setidaknya akan ada dua golongan dengan pendapat masing-masing  mengenai perspektif mereka tentang rumusan mana yang tepat untuk perihal zakat dalam konteks Indonesia.

Golongan pertama adalah yang masih tetap menggunakan mazhab Syafi’i. Mereka berpendapat bahwa mazhab Syafi’i selaras dan masih bisa digunakan dalam konteks Indonesia. Pendapat ini berdasarkan argumen bahwa para petani besar pun sejatinya tidak akan pernah luput dari kewajiban zakat. Bahkan, bisa jadi mereka masuk dalam dua kategori wajib zakat: zakat hasil niaga serta zakat emas dan perak (untuk konteks sekarang disamakan dengan uang kertas).

Golongan kedua adalah yang memandang perlunya formulasi ulang tentang sistem zakat di Indonesia. Mereka mengajukan perevisian sistem tersebut dengan menggunakan mazhab Hanafi. Mazhab ini dipandang lebih membawa maslahat untuk mengurangi kesenjangan antara petani besar dan petani kecil yang ada di Indonesia. Selain itu, dengan menerapkan sistem ini, konsep keadilan juga bisa terwujud. Zakat tidak hanya membebani segelintir orang tertentu yang justru berpenghasilan pas-pasan, namun juga dibebankan kepada pemilik perkebunan besar yang taraf hidupnya lebih dari rata-rata.

Jika melihat argumen dari masing-masing pendapat, nampaknya pendapat kedua lebih relevan untuk zaman sekarang, khusunya dalam konteks Indonesia. Mengenai argumen golongan pertama, memang tidak ada yang menyangkal. Benar bahwa para pengusaha agribisnis yang tergolong menengah ke atas masih terkena wajib zakat dari kategori lain, bahkan terkadang lebih banyak. Tetapi perlu diketahui, antara zakat hasil bumi, zakat niaga serta zakat emas dan perak mempunyai cakupannya sendiri-sendiri. Antara satu sama lain tidak bisa disamakan.

Hal itu terlihat jelas ketika ada dua atau lebih dari kategori wajib zakat yang harus ditunaikan dalam satu waktu.Jika memang terjadi, mayoritas ulama berpendapat bahwa yang diwajibkan hanya salah satu saja, adapun sisanya ditiadakan. Penafian tadi bukan berarti bahwa ada persamaan dalam zakat tersebut. Sebab dari penafian salah satu zakat adalah untuk menghindari berkumpulnya dua zakat dalam satu harta. Artinya, sebab penafian tersebut semakin menegaskan bahwa tiap kategori zakat mempunyai cakupannya masing-masing.

Intinya, zakat hasil bumi berbeda dengan kategori lainnya. Diantara perbedaan yang paling kentara adalah masalah haul. Zakat hasil bumi harus ditunaikan segera setelah masa panen tanpa menunggu haul, sedangkan zakat niaga masih dikenai syarat haul. Dari sini, terlihat bahwa penerapan mazhab Hanafi lebih pas dikarenakan titik permasalahannya adalah pada masa panen. Adapun setelah panen apakah petani tadi masih punya harta untuk dizakatkan atau tidak adalah permasalah lain.

Hanya saja, ketika memang sudah ditetapkan bahwa Indonesia memakai sistem zakat mazhab Hanafi, akan timbul permasalahan lain, yaitu tentang pengecualian tanaman yang tidak dizakati dalam mazhab ini. Hal itu berdasarkan bahwa setiap premis umum pasti ada pengecualiannya. Begitu juga dalam masalah zakat perspektif mazhab Hanafi ini.

Ketika merujuk ke buku-buku fikih zakat mereka, kita pasti akan menemukan tiga jenis hasil bumi yang dikecualikan untuk tidak dizakati. Ketiga jenis itu adalah hathab (kayu bakar), hasyisy (rumput) dan qashb fârisiy. Namun, ketika diteliti lagi illah dari penafian jenis hasil bumi ini dari zakat adalah tidak bergunanya tanaman ini pada konteks dirumuskannya sistem zakat tersebut. Dengan kata lain, tanaman-tanaman tersebut memang jarang ditanam untuk dimanfaatkan secara langsung. Ibarat yang paling mudah untuk membahasakan spesifikasi wajib zakat dari hasil bumi menurut perspektif mazhab Hanafi adalah "segala tanaman yang sengaja ditanam sebagai wujud pemanfaatan tanah dengan tujuan pembudidayaan”. Jadi, paramameternya adalah niat. Jika dari awal memang berniat untuk membudidayakan suatu tanaman, maka ketika tanaman tersebut mencapa nisab harus dizakati, baik dijual ataupun tidak karena hakikat tanaman tersebut memang mempunyai nilai jual.

Adapun nisab yang dirumuskan untuk zakat hasil bumi dalam mazhab Hanafi sama dengan nisab empat makanan pokok yang telah disepakati para ulama. Landasannya adalah hadis Rasul Saw. “Laisa fî mâ dûna khamsati awsuqin shadaqah.” Adapun jika diukur dengan satuan berat yang sering kita pakai setara dengan 653kg. Berarti semisal perkebunan teh yang kemudian panen, petaninya tidak wajib zakat kecuali jika berat (yang dimaksud adalah berat bersih) hasil panen mencapai 653kg. Adapun jenis-jenis tanaman yang tidak bisa ditimbang seperti perkebunan karet, maka yang dipakai adalah harga jual karet itu sebagai nisab. Maksudnya, zakat panen karet wajib ditunaikan jika harganya mencapai harga 653kg tanaman makanan pokok di daerah itu.

Dengan memakai mazhab Hanafi sebagai formulasi baru dalam sistem zakat, diharapkan fungsi zakat yang salah satunya adalah mengentas kemiskinan dapat terlaksana. Bahkan, jika kita merujuk pada masa kejayaan Islam, khususnya era Umar bin Abdul Aziz, optimalisasi zakat benar-benar tercapai. Dalam suatu riwayat bahkan diceritakan bahwa sang khalifah sampai tidak tahu harus ke mana lagi uang baitul mal itu disumbangkan. []

Wednesday, October 31, 2012

Epistemologi Islam II

Oleh: Rifqi Qowiyul Iman

Peradaban Barat membedakan pengetahuan ke dalam dua istilah teknis, yaitu science dan knowledge. Istilah yang pertama diperuntukkan bagi bidang-bidang ilmu fisik atau empiris, sedangkan istilah kedua diperuntukkan bagi bidang-bidang ilmu nonfisik seperti konsep mental dan metafisika. Istilah yang pertama diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan ilmu pengetahuan, sementara istilah kedua diterjemahkan dengan pengetahuan saja. Dengan kata lain, hanya ilmu yang sifatnya fisik dan empiris saja yang bisa dikategorikan ilmu, sementara sisanya, seperti ilmu agama, tidak bisa dikategorikan ilmu (ilmiah).

Terjadinya dikotomi ilmu di atas semakin menunjukkan bahwa paham sekuler adalah dalang di balik terjadinya pergeseran makna ilmu pengetahuan. Karena wahyu seakan tidak lagi mengambil peranan sakral dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan.

Adapun di dalam Islam, tidak pernah dibedakan antara ilmu fisika dan metafisika. Dengan kata lain, tidak akan ditemukan dalam khazanah pemikiran Islam pergeseran definisi ilmu seperti yang terjadi di dunia Barat. Dari sejak awal dan sampai sekarang, ilmu dalam Islam mencakup bidang-bidang fisik juga bidang-bidang nonfisik.

Istilah yang digunakannya pun dari sejak awal tidak berubah, yakni ‘ilm. Menurut Wan Mohd Nor Wan Daud, penggunaan istilah ‘ilm itu sendiri, sangat terpengaruh oleh pandangan dunia Islam (Islamic worldview).

Dalam al-Quran, Allah SWT mengistilahkan ilmu dengan kata ‘ilm, ma’rifah, bashirat, ra’y, dzhon, yaqin, tadkhirot, lubb, syu’ur, naba’, burhan, diroyat, haq, dan tashowur. Namun kali ini penulis hanya akan menguraikan dua kata, yaitu ‘ilm dan ma’rifah demi mengkerucut pokok pembahasan. Selain itu juga mengingat dua kata inilah yang kerap digunakan oleh para ulama dalam mendeskripsikan ilmu dan pengetahuan.

Secara bahasa, Zamakhsyari mengartikan kata al-‘ilm dengan asy-syu’ur (kesadaran). Sedangkan kata al-ma’rifah diartikan sebagai  al-mujazah (upah). Akan tetapi, berkaitan dengan pertanyaan apa itu pengetahuan, menurut Wan Daud, sekarang ini umat Islam menyadari bahwa mendefinisikan ilmu (pengetahuan) secara hadd (secara pasti dengan batasan-batasannya) adalah mustahil. Dan sepertinya, memang sulit untuk bagi umat Islam untuk mendefinisikan ilmu secara hadd.

Seperti yang diungkapkan oleh Prof. Naquib Al-Attas yang dalam hal ini menjelaskan,  bahwa ilmu merupakan sesuatu yang tidak terbatas (limitless) dan karenanya tidak memiliki ciri-ciri spesifik dan perbedaan khusus yang bisa didefinisikan. Lagi pula, Al-Attas menjelaskan, pemahaman mengenai istilah ‘ilm selalu diukur oleh pengetahuan seseorang mengenai ilmu dan oleh sesuatu yang jelas baginya. Ketika medan ilmu pada faktanya sangat luas, maka pengetahuan seseorang terhadapnya sangat terbatas. Oleh karena itu pasti pemahaman ilmu dari masing-masing orang akan terbatas.

Ketika menyadari bahwa mendefinisikan ilmu secara hadd adalah mustahil, maka Al-Attas hanya mengajukan definisi deskriptif (rasm). Dengan premis bahwa ilmu itu datang dari Allah SWT dan diperoleh oleh jiwa yang kreatif, ia membagi pencapaian dan pendefinisian ilmu ke dalam dua bagian. Pertama, sebagai sesuatu yang berasal dari Allah SWT, bisa dikatakan bahwa ilmu itu adalah datangnya (hushûl) makna sesuatu atau objek ilmu ke dalam jiwa pencari ilmu. Kedua, sebagai sesuatu yang diterima oleh jiwa yang aktif dan kreatif, ilmu bisa diartikan sebagai datangnya jiwa (wushûl) pada makna sesuatu atau objek ilmu.

Dr. Rajih ‘Abd al-Hamid al-Kurdi, adalah tokoh lainnya yang menyatakan hal serupa. Ia menguraikan definisi ilmu menurut para pemikir Mu’tazilah, filosof Muslim, dan para ulama Ahlu Sunah. Hasilnya, ia menyimpulkan bahwa ilmu cukup jelas untuk tidak didefinisikan. Karena semua definisi yang diajukan oleh masing-masing pakar berbeda-beda dan hanya terfokus pada beberapa aspek yang menjadi titik perhatiannya saja. Sehingga bisa dipastikan tidak ada definisi ilmu yang hadd.

Walaupun sulit untuk didefinisikan, namun pada intinya, ilmu dalam Islam mencakup dua aspek. Pertama, sampainya ilmu dari Allah ke dalam jiwa manusia. Dan kedua, sampainya jiwa manusia terhadap objek ilmu melalui penelitian dan kajian. Hal ini sesuai dengan pernyataan Allah SWT dalam surat al-‘Alaq ayat: 1-5, atau wahyu yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Klasifikasi pengetahuan

Konsekuensi prinsip Islam dalam hal sumber pengetahuan adalah, dikotomi ilmu menjadi suatu hal yang mustahil terjadi dalam kajian epistemologi Islam. Yang logis-empiris dikategorikan ilmiah, sedangkan yang berdasarkan pada wahyu tidak dikategorikan ilmiah. Semua jenis pengetahuan, apakah itu yang logis-empiris, apalagi yang sifatnya wahyu (revelational), diakui sebagai sesuatu yang ilmiah. Dalam khazanah pemikiran Islam yang dikenal hanya klasifikasi (pembedaan) atau diferensiasi (perbedaan), bukan dikotomi seperti yang berlaku di Barat.

Al-Baghdadi membagi pengetahuan manusia menjadi dua, dhoruri dan muktasab. Ilmu dhoruri adalah pengetahuan tentang sesuatu yang tidak membutuhkan kepada pemikiran dan pandangan. Sedangkan muktasab adalah pengetahuan yang diperoleh melalui proses pembahasan dan pemikiran. Dapat disimpulkan bahwa perbedaan di antara keduanya terletak dari bagaimana proses yang dilalui untuk mendapatkannya.

Ilmu dhoruri menurut Al-Baghdadi terbagi menjadi dua, ilmu badihi dan hissi. Sedangkan ilmu muktasab (nazhori) juga terbagi menjadi dua, ilmu aqli dan syar’i yang mana keduanya diperoleh melalui sebuah proses pembahasan dan pemikiran.

Sementara itu al-Ghazali di dalam kitabnya Ihya Ulumudin mengklasifikasikan ilmu dalam dua kelompok yaitu: ilmu fardu a’in dan ilmu fardu kifayah. Kemudian beliau menyatakan pengertian ilmu-ilmu tersebut sebagai berikut:

“Ilmu fardu a’in adalah Ilmu tentang cara amal perbuatan yang wajib. Maka orang yang mengetahui ilmu yang wajib dan waktu wajibnya, berartilah dia sudah mengetahui ilmu fardu a’in. Ilmu fardu kifayah adalah tiap-tiap ilmu yang tidak dapat dikesampingkan dalam menegakan urusan duniawi.”   

Al-Attas mengklasifikaskan ilmu menjadi dua macam, yakni ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofis. Yang termasuk ilmu-ilmu agama misalnya: al-Quran (pembacaan dan penafsirannya); al-Sunnah (kehidupan Nabi, sejarah dan pesan para rasul sebelumnya, hadits dan riwayat-riwayat otoritasnya); al-Syari’ah (undang-undang dan hukum, prinsip-prinsip dan praktek-praktek Islam; Islam, iman dan ihsan); teologi (Tuhan, esensi-Nya, sifat-sifat dan nama-nama-Nya, serta tindakan-tindakan-Nya); tasawuf (Pikologi, kosmologi, dan antologi); dan ilmu bahasa atau linguistik (bahasa Arab, tata bahasa, leksikografi dan kesusatraan). Sedangkan yang termasuk ilmu rasional dan sejenisnya adalah ilmu-ilmu kemanusiaan, ilmu-ilmu alam, dan ilmu-ilmu terapan.

Berkaitan dengan pembagian ilmu dalam Islam seperti di atas, Oliver Leaman menjelaskan, umat Islam membagi ilmu ke dalam model seperti itu disebabkan al-Quran menjelaskan bahwa bidang pengetahuan itu ada dua; yang tampak dan yang gaib. Yang tampak dapat diketahui oleh manusia dan juga merupakan objek kajian sains, sedangkan alam gaib, meskipun dapat diketahui dengan cara yang berbeda, merupakan wilayah wahyu. Hal ini dapat dimengerti mengingat tidak adanya bukti fisik yang bisa diterima ihwal alam gaib.

Oliver Leaman menjelaskan lebih lanjut, berdasar pada acuan al-Quran inilah maka kemudian ilmu pengetahuan dalam Islam ada dua jenis: ‘ilm yang mengungkap ‘âlam syahâdah atau alam yang sudah diakrabi dan terpapar dalam sains alam; dan ma’rifah yang mendedahkan ‘âlam al-ghâ`ib atau alam yang tersembunyi dan karenanya lebih dari sekadar pengetahuan proposisional (propositional knowledge). Cara memperoleh pengetahuan jenis kedua ini adalah melalui wahyu.

Problematika dan Solusi

Di negari Muslim seperti Indonesia, walaupun tidak sampai meragukan Tuhan, umumnya ilmuwan Muslim kurang menguasai ilmu agama. Sekularisasi telah menyebabkan timbulnya kepribadian ganda (split personality) dalam diri ilmuwan tersebut. Hal itu karena visi sekular selalu memandang realitas secara dikotomis. Sains adalah sains, sedangkan agama adalah agama. Keduanya tidak berkaitan, sehingga wahyu tidak ada hubungannya dengan sains yang rasional dan empiris.

Karenanya mengkaji ulang epistemologi Islam (nazhariyatul ma’rifah) adalah salah satu solusi yang tepat guna merekonstruksi pandangan manusia, umat Islam khususnya. Terutama dalam rangka Islamisasi sains dan merekombinasikan fisika dengan metafisika. Karena ketika agama diukur oleh akal dan indera (induktif), maka yang lahir adalah sofisme modern. Sehingga adanya Ahmadiyah dan aliran-aliran sesat tidak dipahami sebagai sebuah “kesalahan”, melainkan sebuah pembenaran bahwa Islam itu warna-warni. Maka, sudah seyogyanya penyakit “kangker epistemologi” ini dibasmi, salah satunya dengan vaksinisasi paradigma manusia manusia itu sendiri dalam pandangannya terhadap ilmu, disusul dengan imunisasi pengetahuan dan melindunginya dari pengaruh westernisasi yang mengusung sekulerisme hingga tersisihnya wahyu yang merupakan asas utama sebuah epistemologi. Wallahu a’lam.[]


Thursday, October 25, 2012

Membangun Peradaban Islam dengan Al-Quran

(Reportase hasil kajian perdana al-Qudwah IKPM Cabang Kairo)
Oleh: Maulidatul Hifdhiyah Malik

Pemandangan berbeda terlihat di sekretariat IKPM Cab. Kairo siang itu, Ahad (07/10). Beberapa warga IKPM tampak sibuk mempersiapkan makanan ringan dan minuman di ruang bagian depan sekretariat yang terletak di bilangan Gami’ ini. Hari itu untuk pertama kalinya Bagian Keilmuan IKPM Kairo menggelar kajian umum al-Qudwah yang sempat mandeg beberapa tahun ke belakang. Untuk menghidupkan kembali kajianini, Keilmuaan IKPM memutuskan untuk mengganti format kajian yang sebelumnya dibuka untuk umum dan tidak memiliki aggota terikat, menjadi kajian gabungan yang terdiri dari Nun Center dan Al-I’jaz. Anggota kedua kajian tersebut dijadikan sebagai anggota tetap, disamping warga IKPM lain yang bersedia untuk bergabung.

Kajian al-Qudwah kali ini menghadirkan dua intelek wanita Masisir, yatu Halimatuzzahro’ Marzuki dan Rusydiana Tsani untuk mengangkat tema “Membangun Peradaban dengan al-Quran”. Halimatuzzahro’ Marzuki mewakili Nun Center dengan mengangkat judul “Peradaban Islam dan Persinggungannya dengan Barat”; sedangkan Rusydiana Tsani mewakili Kajian Al-I’jaz dengan membawakan judul “Mengembalikan Kejayaan Peradaban Islam: Kajian Tematis berdasarkan Ayat-ayat al-Quran”.

Selama kurang lebih 45 menit Halimatuzzahro’  berhasil menyihir perhatian peserta saat memaparkan makalahnya. Dalam orasinya, Uyok (demikian dia biasa dipanggil) biasa dipanggil, menuturkan bahwa perbedaan mendasar antara perkembangan peradaban Barat dan peradaban Islam ada pada aspek teologis. Di Barat, akal sangat diagungkan melebihi apapun, termsuk agama. Sementara Islam menjadikan agama (dalam hal ini adalah al-Quran dan Hadis) sebagai landasan utama dalam membangun peradaban mereka. Oleh karena itu, Uyok menyebut  peradaban Barat adalah peradaban yang semu dan rapuh, sebab mereka meninggalkan ajaran agama mereka.

Persinggungan antara Islam dan Barat dalam kacamata Uyok dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu perkembangan peradaban Islam di Andalusia; perkembangan peradaban Islam di Sisilia; dan Perang Salib (Ccrusade). Kehadiran Islam di Andalusia menjadi tonggak utama lahirnya peradaban di bumi Eropa, karena  di sana Islam berhasil menghidupkan sebuah peradaban unggul dalam berbagai aspek kehidupan, seperti keilmuan, pemikiran, akhlak, sosial dan ekonomi. Melalui pembangunan di berbagai aspek tersebut, Islam berhasil menjadi peradaban yang paling mengagumkan saat itu hingga delapan abad berikutnya. Tidak hanya itu, pada masa ini juga dilakukan penerjemahan buku berbahasa Arab ke Bahasa Spanyol dan Bahasa Latin di Toledo. Penerjemahan juga dilakukan pada buku-buku karang para filosof Yunani, seperti Galenus, Plato, Aristoteles dan Iqlidis.

Selain Andalusia, tempat lain yang menjadi tonggak perkembangan peradaban dan kemajuan Islam adalah Sisilia. Seperti halnya di Andalusia, di tempat ini Islam memberikan kontribusi yang cukup berarti bari Eropa. Selama dua abad menduduki wilayah ini, Islam berhasil merombak tatanan politik, ekonomi, budaya dan keilmuan. Islam di Sisilia juga melahirkan ulama-ulama besar, seperti Ibnu Abi Khurasan dalam bidang Nahwu dan Qiraat, Ali bin Hamzah dalam ilmu bahasa dan syair, dan Barda’i dalam Fikih Malikiy.

Terakhir, peristiwa besar yang mewarnai persinggungan Islam dan Barat adalah Perang Salib yang berlangsung selama hampir dua abad. Dalam kondisi perang, kemajuan aktivitas keilmuan Islam yang cukup pesat pada masa itu, berhasil menarik perhatian Barat yang dalam kondisi sangat terbelakang. Sebab itu, di sela-sela peperangan yang dilakukan, Barat berusaha menggali ilmu dari kaum Muslimin.

Masuknya Islam di semua wilayah tersebut, menurut Uyok, adalah bukti bahwa Islam memberikan sumbangan dan peran yang cukup signifikan pada perkembangan peradaban di Barat. Dalam masalah keyakinan, Uyok mengatakan bahwa pada masa itu Islam berhasil mengajak Barat meninggalkan berhala dan memeluk Islam. Sedangkan dari sisi keilmuan, khususnya ilmu-ilmu eksakta, Islam mampu mengembangkan ilmu pengetahuan seperti Geografi, Biologi, Matematika, Kimia dan ilmu kedokteran yang kini menjadi kebanggaan mereka. Bahkan kitab tentang ilmu kedokteran karya Ibnu Sina (Aviciena) sempat menjadi diktat utama mahasiswa di berbagai perguruan tinggi di Persia dan Italia pada abad XII.

Dengan sumbangsih Islam yang sedemikian besar, Eropa kemudian sedikit demi sedikit mengalami kemajuan. Ketika Eropa beranjak maju, Islam justru sedikit demi sedikit mundur, hingga akhirnya kepemimpnan dunia beralih ke tangan mereka. Barat kemudian melahirkan sebuah peradaban baru yang menjadikan mereka penguasa dunia.

Meski demikian, keberhasilan yang dicapai Barat saat ini tak ubahnya sebuah fatamorgana. Hal ini, menurut Uyok, dikarenakan tidak adanya pondasi yang kuat menjadi pijakan peradaban meraka. Uyok menegaskan bahwa sikap ateisme yang menjadi tren kehidupan masyarakat Barat turut menghancurkan bangunan peradaban mereka sendiri. Bagaimana tidak, Tuhan yang merupakan pencipta segala sesuatu di muka bumi ini mencoba untuk mereka ‘bunuh’ secara perlahan. Inilah salah satu alasannya mengapa sekularisme berkembang pesat di Barat.

Di akhir pemaparan makalahnya, Uyok menyinggung masalah Islamophobia Barat yang tengah melanda dunia dewasa ini. Fenomena ini, menurut Uyok, selain disebabkan oleh dendam historis akibat kekalahan mereka dalam perang merebut Yerussalem, juga dikarenakan pemahaman mereka yang setengah-setengah terhadap Islam. Akibatnya, mereka melabeli Islam dengan berbagai stigma negatif demi meruntuhkan citra positif Islam di mata dunia. Tidak hanya itu, sikap paranoid Barat terhadap Islam yang berlebihan kerap kali menjadikan mereka merendahkan dan menghina Islam melalui film-film yang mereka produksi, seperti “The Satanic Verses” yang beredar pada tahun 1988, “Submission” di tahun 2004, dan yang terbaru adalah “Innocence of Moslems” yang rilis September lalu.

Setelah Uyok selesai memaparkan makalahnya, kesempatan selanjutnya diberikan kepada Rusydiana Tsani. Jika Uyok membahas peradaban Islam dan persinggungannya dengan Barat, Rusyi, demikian Rusydiana Tsani biasa disapa, membahas secara spesifik tentang upaya untk mengembalikan peradaban Islam dari sudut pandang al-Quran. Sebelum mengajukan upaya-upaya apa yang harus dilakukan oleh umat Islam untuk mengembalikan kejayaan peradaban meraka, Rusyi mencoba flash back ke belakang dengan sedikit membahas kejayaan peradaban Islam masa lampau. Rusyi membagi peradaban Islam ke dalam dua periode, yaitu periode keemasan yang berlangsung beberapa abad lalu, dan periode “tidur pulas” yang tengah berlangsung saat ini.

Peradaban Islam yang begitu gemilang beberapa abad silam, menurut Rusyi dibangun atas tiga komponen utama, yaitu keimanan, amal saleh dan ilmu pengetahuan (sains). Rusyi menyatakan bahwa keimananlah yang membuat seoran Muslim menyadari posisinya sebagai hamba dan Tuhan sebagai sembahannya. Kesadaran ini kemudian melahirkan sikap tawaduk pada pribadi mereka. Berangkat dari sikap ketawadukan tersebut, Islam berhasil menaklukkan berbagai wilayah di Eropa dan sekitarnya di masa lalu tanpa harus merendahkan martabat para pribumi. Islam, dalam pandanan Rusyi, hadir sebagai kekuatan besar yang tegas namun santun. Hal ini sangat berbeda bila dibandingkan dengan invasi Barat yang mengedepankan penindasan dan imperialisme, yang berujung pada kerugian dan kesengsaraan bagi para pribumi. Itulah mengapa kehadiran Islam diterima dengan baik oleh masyakarat setempat. Bahkan dengan suka-rela, mereka berbondong-bondong memeluk Islam secara kaffah.

Unsur yang kedua adalah amal saleh. Mengutip pendapat Abdul Hay al-Farmawi, salah satu dosen Tafsir di Universitas Al-Azhar, Rusyi menyebutkan setidaknya ada empat prinsip yang berkaitan dengan amal saleh. Pertama, amal saleh adalah buah dari iman (tsamrah al-îmân). Ini artinya, keberadaan iman tidak akan berfungsi tanpa amal salih; dan sebaliknya, sebuah perbuatan tidak bisa dikategorikan sebagai amal saeih bila tidak bersandar pada iman. Prinsip kedua, amal saleh adalah fitrah manusia. Ketiga, amal saleh sejatinya tidaklah bermanfaat bagi Allah SWT, melainkan kepada setiap individu yang melakukannya, baik di dunia ataupun di akhirat kelak. Sedangkan keempat, amal saleh mendorong terkabulnya doa. Prinsip keempat ini termaktub dalam al-Quran pada QS. Fathir: 10.

Sedangkan komponen terakhir yang menjadi fakator utama kejayaan peradaban Islam adalah ilmu pengetahuan. Al-Quran sebagai pedoman bagi umat Islam telah menjelaskan berbagai keutamaan dan urgensi ilmu pengetahuan bagi kehidupan umat manusia. Surat al-Mujadilah ayat 11 bahkan dengan jelas menerangkan bahwa Allah memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada mereka yang beriman dan berilmu. Semua komponen tersebut, dalam kacamata Rusyi, berhasil membangun peradaban Islam dengan karakteristik istimewa. Karakteristik tersebut antara lain universalitas; tauhid; seimbang dan moderat; serta santun.

Setelah berbicara panjang lebar mengenai kegemilangan peradaban Islam di masa lalu, Rusyi kemudian beralih pada pembahasan tentang keruntuhan peradaban Islam di masa kini. Rusyi menyebut bahwa peradaban Islam saat ini sedang berada pada posisi ‘sekarat’. “Umat Islam sedang dalam kondisi yang sangat memprihatinkan,” tuturnya. Kondisi ini disebabkan dua faktor, yaitu faktor eksternal yang berasal dari luar Islam; dan faktor internal yang bersumber dari pribadi umat Islam sendiri. Termasuk bagian faktor eksternal, Rusyi menyebutkan bahwa kondisi geografis Islam yang merupakan kawasan tandus dan gersang adalah salah satunya. Meski demikian, Rusyi memberikan catatan tambahan bahwa mayoritas, seperti Ibnu Khaldun justru menganggap bahwa kawasan temapat Islam berkembang adalah salah satu penunjang kemajuan peradaban Islam, karena di kawasan inilah peradaban-peradaban besar dunia pernah tumbuh dan berkembang.

Terlepas dari perdebatan tentang faktor ekstrenal tersebut. Menurut Rusyi kemunduran peradaban Islam lebih banyak disebabkan faktor internal, seperti materialisme dan sikap malas. Kedua sikap ini, dalam pandangan Rusyi, tidak hanya negatif, namun juga mendorong terjadinya dekadensi moral dan lahirnya berbagai tindak pidana, seperti korupsi. Berawal dari kedua sikap tersebut, Islam perlahan mengalami kemunduran, hingga sampai pada titik keruntuhan dalam waktu relatif singkat.

Beberapa saat sebelum adzan Maghrib berkumandang, Rusyi mengakhiri presentasinya dengan menjelaskn upaya-upaya yang harus dilakukan oleh umat Islam untuk membangungkan peradaban Islam yang sedang “tertidur” pulas. Untuk membangunkannya, Rusyi menyebutkan dua syarat utama yang telah dijelaskan dalam surat al-Nur ayat 55-57. Pertama, menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apapun. Syarat ini adalah syarat utama yang menjadi pondasi awal peradaban Islam. Kemudian diikuti dengan syarat kedua, yaitu ibadah dan ilmu pengetahuan. Yang terpenting, al-Quran adalah kitab suci yang diturunkan Allah sebagai petunjuk bagi umat manusia di muka bumi ini. “Oleh karena itu, tidak ada kunci lain membangun peradaban Islam kecuali dengan kembali kepada al-Quran,” pungkas Rusyi diiringi tepuk tangan membahana dari peserta.

Kajian sempat dihentikan selama 20 menit guna menunaikan shalat Maghrib. Setelah itu, acara dilanjutkan kembali dengan sesi dialog dan tanya jawab. Pada sesi ini tiga penanya melontarkan pertanyaan kepada Uyok. Ikhwan Hakim, mahasiswa baru Universitas al-Azhar menanyakan tentang hakikat kemajuan Barat saat ini. Ikhwan juga menanyakan sikap Uyok tentang para pemikir Islam masa kini yang mencoba membangun Islam dengan cara meniru Barat. Selain Ikhwan, salah seorang peserta lain dari kajian Al-I’jaz juga bertanya tentang tugas utama manusia sebagai khalifah yang disinggung dalam QS. al-Baqarah: 30.

Menanggapi pertanyaan Ikhwan, Uyok menyatakan bahwa pencapaian Barat di masa kini merupakan pencapaian yang cukup hebat dan mengagumkan secara kasat mata. Kendati demikian, seperti keterangan yang ia sampaikan di awal presentasi, kemajuan Barat adalah kemajuan semu, sebab tidak didasari pondasi yang kuat yaitu agama. Padahal, agama memiliki peran penting dalam pembangunan suatu bangsa. Oleh karena itu, Uyok menyatakan ketidaksetujuannya terhadap opini beberapa pemikir Islam masa kini yang mencoba untuk membangun Islam dengan seratus persen meniru Barat, sebab Islam berbeda dengan Barat. Islam memiliki pedoman yang sangat jelas dalam mengatur segala hal, yaitu al-Quran dan Hadis. “Islam memang tidak pernah menolak untuk berinteraksi dengan siapapun, namun kita tidak bisa mengadopsi secara mentah-mentah nilai-nilai kehidupan Barat ke dalam agama kita. Nilai-nilai mereka selalu berubah sesuai dengan keinginan hawa nafsu mereka, sedangkan nilai-nilai agama kita tidak pernah mengenal kata evolusi,” tuturnya.

Selanjutnya, Nisaul Mujahidah, anggota Kajian Nun Center bertanya kepada Rusyi mengenai peran kekuasaan dalam membangun peradaban. Nisaul melihat, peradaban Barat yang menguasai dunia saat ini didominasi oleh negara-negara Yahudi, seperti Israel dan Amerika Serikat. Selain Nisaul, Saeful Luthfy, koordinator Kajian Al-I’jaz, juga melontarkan beberapa pertanyaan kepada Rusyi. Pertama, melihat fenomena beberapa golongan Islam yang begitu mudah menghukumi sesuatu dengan label haram, bid’ah dan sebagainya, mengapa hal tersebut bisa terjadi? Apakah yang demikian ini termasuk bagian dari kemunduran Islam? Kedua, Saeful bertanya apakah konsep “khilafah” yang pernah diterapkan di masa Rasulullah dan beberapa masa setelahnya perlu diterapkan kembali di masa sekarang demi mencapai kemajuan yang pernah diraih Islam di masa lalu? Pertanyaan Saeful ini kemudian disambung oleh Kharisma, salah satu peserta lain. Kharisma bertanya  apakah negara-negara yang tidak menerapkan konsep tersebut bisa dikategorikan ke dalam golongan dhalimun, fasiqun, kafirun seeprti yang dijelaskan dalam QS al-Maidah?

Menjawab pertanyaan Nisaul, Rusyi mengatakan bahwa adanya kekuasaan dalam membangun peradaban memang diperlukan, namun keberadaannya tidak bersifat mutlak. Menurut Rusyi, pembangunan peradaban dimulai dari pembangunan individu. “Untuk membangun peradaban, kita harus membentuk pribadi terlebih dahulu. Kemudian, pribadi yang unggul inilah yang akan membangun bangsa dan peradabannya,” tutrnya.

Adapun pertanyaan Saeful mengenai konsep khilafah, Rusyi menyatakan bahwa konsep tersebut belum tentu tepat untuk diterapkan pada masa ini, sebab kondisi masyarakat sekarang berbeda dengan kondisi masyarakat saat itu. Namun, meski demikian, Rusyi menyatakan bahwa upaya untuk mendirikan khilafah boleh-boleh saja diupayakan, misalnya dengan mencoba untuk menerapkannya dalam sebuah komunitas kecil terlebih dahulu. “Bila lingkungan tersebut bisa menerima konsep khilafah, silakan diterapkan. Tapi bila ditolak, kita tidak bisa memaksakan konsep tersebut diaplikasikan,” tuturnya.

Sementara terkait pertanyaan Kharisma Ekhsan yang menanyakan maksud dari kata kafir, fasik dan dhalim bagi mereka yang tidak menegakkan hokum-hukum Allah dijawab oleh para anggota sKajian Al-I’jaz dan Nun Center yang hadir waktu itu. Ahamd Sadzali, salah satu anggota senior yang juga koordniator Nun Center menyatakan bahwa pemahaman yang mudah mengafikan orang lain ini diakibatkan oleh penafsiran yang tidak tepat dalam memahami ayat dan ajaran-ajaran Islam. Sadzali mengaskan bahwa ketiga ayat tersebut memiliki maksud dan makna yang berbeda-beda, sehingga penerapannya pun tidak bisa disamakan. Tafsir kata dhalimun dalam ayat ditujukan kepada mereka yang tidak menerapkan hokum Allah karena tidak mengetahuinya; kata fasiqun dimaksudkan untuk mereka yang mengetahui dan memahami hukum Allah, namun tidak bisa menerapkannya karena ada factor-faktor yeng menghalangi; dan kata kafirun ditujukan kepada mereka yang tidak melaksanakan hukum Allah karena mengingkarinya dengan sengaja, meskipun meraka tahu dan bisa menerapkannya. Lebih lanjut, Sadzali mengatakan bahwa fenomena untuk menerapkan sistem khilafah ini membuktikan bahwa umat Islam masih memiliki keinginan untuk bangkit dari keterpurukan yang mereka alami saat ini. Dia juga mengatakan bahwa fenomena-fenomena seperti itu bukanlah bagian dari kemunduran Islam, melainkan sebuah potret kegagalan dalam berdakwah.

Selain Sadzali, salah satu senior Nun Center lain yang juga menanggapi pertanyaan Saeful dan Kharisma adalah Angga Prilakusuma. Angga mendukung jawaban Rusyi yang menyatakan bahwa pembangunan peradaban berawal dari individu. Pembangunan sebuah bangsa, menurut Angga, diawali oleh sistem up bottom atau bottom up. Sistem up bottom merupakan sistem pembangunan dari atas ke bawah, atau dari penguasa ke rakyat. Namun, pembangunan yang menggunakan sistem up bottom cenderung rapuh dan mudah diruntuhkan. Hal ini, menurut Angga, sesuai dengan pernyataan Hugo Chavez, Presiden Venezuela, yang mengatakan: “Kamu bisa membangun singgasana dari bayonet, tapi kamu tidak akan bertahan lama mendudukinya.” Angga kemudian menambahkan bahwa sistem bottom up memang pernah diterapkan di zaman Rasulullah SAW dan terbukti berhasil. Kemudian pada masa-masa setelah Rasulullah SAW wafat, yang diterpakan adalah sistem up bottom. Sedangkan terkait masalah penerapan khilafah untuk saat ini, menurut Angga, memang tidak bisa. Dalam pandangannya, penolakan terhadap konsep khilafah bukanlah masalah besar yang harus dihukum dengan kekafiran, sebab menolak khilafah tidak berarti menolak syariat.

Sementara itu, Jauhar Ridloni Marzuq, salah satu senior Kajian Al-I’jaz melontarkan hal senada dengan Angga. Dalam kacamata Jauhar, khilafah hanyalah sebuah sistem yang lahir karena lingkungan pada masa itu membutuhkannya. Oleh karena itu, penerapan sistem ini tidak bersifat mutlak, karena al-Qurna tidak menjelaskan suatu sistem tertentu yang harus diterapkan untuk membangun suatu pemerintahan. Jauhar menekankan bahwa sistem pemerintahan Islam sebenarnya menitikberatkan pada dua hal utama, yaitu konsep syura dan keadilan. Syura bearti melibatkan seluruh elemen masyakrat untuk membangun tatatan pemerintahan, sedangkan keadilan berarti memberikan hak kepada mereka yang berhak, tanpa kedhaliman. Setelah dua hal itu terpenuhi, umat Islam dibebaskan untuk menerapkan sistem pemerintahan apa saja yang terbaik untuk mereka, termasuk konsep civil society yang sedang berkembang dewasa ini. Konsep civil society, bagi Jauhar tidak tidak masalah untuk diterpakan dalam Islam, selama dua unsur yang disebutkan sebelumnya terpenuhi, dan tidak melanggar hukum-hukum Allah yang telah Dia tetapkan.
 [Alid]

Tuesday, October 23, 2012

Epistemologi Islam (Bag. I)

Oleh: Rifqi Qowiyul Iman

Kata epistemologi berasal dari bahasa Yunani, epitisme (pengatahuan) dan logos (kata/pembicaraan/ilmu). Epistemologi berarti cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, karakter dan jenis pengetahuan. Jika ontologi mengkaji tentang wujud, hakikat, dan metafisika, maka epistemologi membandingkan kajian sistematik terhadap sifat, sumber, dan validitas pengetahuan. Menurut Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara, ada dua pertanyaan yang tidak bisa dilepaskan dari epistemologi, yaitu: (1) apa yang dapat diketahui dan (2) bagaimana mengetahuinya. Yang pertama mengacu pada teori dan isi ilmu, sedangkan yang kedua pada metodologi.

Dalam bukunya,  Dr. Rajih Abdul Hamid al-Kurdy menggunakan istilah nadzariyatul ma’rifah yang didefinisikan sebagai sebuah kajian metodologis tentang ilmu dan masalah pengetahuan  dengan membahas esensi ilmu pengetahuan, kapabilitas, tabiat, metode pencapaian, kualitas dan batasan-batasannya. Lebih lanjut, beliau menerangkan bahwa yang dimaksud dengan nazhariyyatul ma’rifah di sini adalah sebuah pembahasan mengenai permasalahan yang timbul dari hubungan antara dzat yang mengetahui (ad-dzat al-‘arifah) dan objek yang diketahui (al-maudhu’ al-ma’ruf), serta tingkat persamaan antara visualisasi pikiran (at-tashowur ad-dzihny) dan realita, serta lingkup sumbangsih perkembangannya terhadap pandangan hidup dan pengetahuan tentang akidah.

Pembahasan tentang epistemologi Islam sendiri bukanlah barang baru. Para ulama terdahulupun turut menyumbangkan pemikirannya dalam karya-karyanya, walaupun belum memiliki istilah khusus dalam pembahasannya. Misalnya al-Qadhi Abdul Jabar al-Mu’tazily (415 H) dalam kitabnya “al-Mughny fi Abwabi at-Tauhid” menyebutnya dengan istilah “an-nadzr wal ma’rifah”. Atau al-Baqilani (304 H) dalam kitabnya “at-Tauhid”, al-Baghdady (429 H) dalam kitabnya “Ushuluddin”, dll.

“Mengetahui tidaklah mustahil”, setidaklah inilah titik awal pembahasan epistemologi Islam, karena pengetahuan adalah hal yang selalu menjadi hasrat manusia pada umumnya. Baik itu pengetahuan tentang alam, dirinya sendiri bahkan zat tertinggi yaitu tuhannya Allah SWT. Namun sejarah telah mencatat munculnya badai pertentangan pendapat tentang eksistensi ilmu dan pengetahuan tersebut. Sehingga muncullah keraguan-keraguan yang menyebabkan kebenaran yang mutlak tersebut seakan abu-abu, baik di masa lalu dan masa kini.

Dalam sejarah pemikiran Yunani Kuno, lahir sebuah aliran yang disebut sebagai sofisme (as-sufistho’iyyin). Menurut kaum sofis, semua kebenaran relatif. Ukuran kebenaran itu manusia (man is the measure of all things). Di antara slogan mereka yang sering digaungkan adalah “Manusia berbeda-beda, jadi kebenaran pun tergantung manusianya. Menurut anda mungkin benar, tetapi menurut saya tidak”.

Sebut saja Giorgias, seorang sofis yang menyatakan bahwa tidak ada yang ada (tidak ada realitas), jikapun ada maka hal tersebut mustahil untuk diketahui. Dan bahkan jika realitas itu dapat diketahui, maka pengetahuan tersebut tidak dapat ditransformasikan kepada yang lain. Hal tersebut merupakan wujud pengingkaran terhadap korelasi antara manusia yang mengetahui dan objek yang diketahuinya. Dan karena keraguannya tersebut, aliran ini mengingkari wujud Tuhan. Seperti yang dikemukakan oleh Protagoras, ia berkata “Sedangkan Tuhan, aku tak bisa menetapkan apakah mereka ada ataupun tidak, dan aku pun tak bisa menentukan bentuk-bentuknya,..” Hal tersebut merupakan buah dari kaum sofis yang meyakini bahwa segala sesuatu itu tidak dapat di ketahui jika tidak berwujud seperti yang diungkapkan oleh Giorgias.

Dalam bukunya, Dr. Rajih Abdul Hamid Al-Kurdi mengemukakan pembagian kaum sofis tersebut oleh para ulama Muslim menjadi tiga golongan, yaitu ‘Inadiyyah, Laadriyyah (agnostisisme), dan ‘Indiyyah (subjektifisme). Golongan pertama yaitu ‘Inadiyyah adalah mereka yang menafikkan realitas segala sesuatu dan menganggapnya sebagai fantasi dan khayalan. Golongan kedua yaitu Laadriyyah atau agnostisisme adalah mereka yang menyatakan ketidakmampuan diri untuk memperoleh pengetahuan. Adapun kelompok ketiga yaitu ‘Indiyyah atau subjektifisme adalah mereka yang merujuk kepada sebuah relativisme subjek atas penyerapan atau pemahaman terhadap sebuah objek. Kelompok-kelompok tersebut secara tidak sadar sebenarnya telah mengajak manusia kepada “penyakit” intelektual bahkan “bunuh diri” intelektual.

Adapun di era modern ini, kelompok sofis tersebut lahir kembali dengan nama skeptisisme. Seseorang yang skeptis akan senantiasa meragukan kebenaran dan membenarkan keraguan. Baginya, semua pendapat tentang semua perkara (termasuk yang qath’i dalam agama) harus selalu terbuka untuk diperdebatkan. Pada tahap ekstrem dia akan mengklaim bahwa kebenaran hanya bisa dicari dan didekati, tetapi mustahil ditemukan. Akibatnya, pengetahuan akan diragukan, akidah keagamaan dan kaidah agama dicurigai dan munculnya krisis kebenaran yang membuat manusia kehilangan pegangan.

Islam tentu saja menolak dengan tegas segala macam bentuk sofisme dan reinkarnasinya. Secara espilit Islam menyatakan bahwasanya ilmu dan pengetahuan adalah sesuatu yang mungkin diperoleh manusia. Mengingat ayat yang pertama kali di turunkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah :

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qolam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-Alaq: 1-5)

Jelas dalam ayat tersebut bahwa Dzat yang Maha Pencipta adalah Dia yang mengajarkan ilmu. Dan Dialah Allah SWT sumber segala ilmu pengetahuan. Sebagaimana Allah SWT menurunkan wahyu yang pertama kepada utusan-Nya dengan perintah membaca. Sesungguhnya Dia pun telah bersumpah dalam firmannya:

“Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis. Berkat nikmat Tuhanmu kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila. Dan Sesungguhnya bagi kamu benar-benar pahala yang besar yang tidak putus-putusnya.” (QS. Al-Qolam: 1-3)

Korelasinya sudah jelas, antara huruf “Nun” dengan sifatnya sebagai salah satu huruf abjad dan qolam serta tulisan. Dan Allah SWT tidak akan bersumpah kecuali dengan perkara-perkara yang mulia. Maka apabila Allah SWT bersumpah dengan qolam dan apa yang digoreskannya. Sesungguhnya hal tersebut merupakan wujud akan pentingnya qolam dan tulisan dalam menyebarkan ilmu dan pengetahuan yang akan menciptakan kemanfaatan dan kemajuan bagi umat manusia.

Bahkan secara lugas al-Quran menceritakan tentang awal mula penciptaan Nabi Adam AS serta peristiwa terjadinya transformasi ilmu dari Allah SWT sebagai sumber pengetahuan kepada Nabi Adam AS sebagai manusia pertama. Di dalam firman Allah SWT

“Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!" (QS. Al-Baqarah: 31)

Maka jelaslah bahwa manusia itu mampu mendapatkan ilmu pengetahuan dan Allah SWT sebagai sumber pengetahuan yang utama. Tentunya Allah SWT pun telah menganugerahkan kepada manusia akal dan panca indera yang ikut berperan penting dalam penyerapan ilmu dan pengetahuan yang diturunkan oleh Allah SWT kepadanya.

Hal ini sekaligus mematahkan argumentasi kaum sofis yang menolak akal dan panca indera sebagai alat untuk mendapatkan pengetahuan. Maka kedudukan Islam sudah jelas dalam mengamini kemungkinan manusia untuk memperoleh ilmu pengetahuan.[]


Saturday, October 20, 2012

Kontradiksi Laju Moneter dan Kemerosotan Kesejahteraan

Oleh: Fauzul Hanif

Pada dasarnya, tingkat kesejahteraan akan selalu berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi. Ketika ekonomi suatu daerah maju, maka kesejahteraan warga yang masuk dalam teritorial daerah tersebut niscaya akan maju juga. Sebaliknya, jika kemajuan ekonomi terhambat, nampaknya akan susah untuk membayangkan tingkat kesejahteraan daerah tersebut.

Hanya saja, rumusan di atas nampaknya sudah usang dan tidak bisa diterapkan lagi dalam konteks kehidupan saat ini. Hal tersebut sesuai dengan fakta yang ada, yaitu problem kemiskinan yang gagal diatasi di saat perkonomian mampu bertahan atau bahkan meningkat. Contoh yang ada di Indonesia adalah nasib yang menimpa daerah-daerah penghasil minyak atau sumber daya alam potensial lainnya.

Sebut saja Kaltim (Kalimantan Timur) sebagai daerah penghasil gas alam terbesar di Indonesia. Tiga puluh persen pasokan gas alam Indonesia yang berasal dari sana seharusnya mampu mengisi pundi-pundi ekonomi mereka. Kenyataannya, Kaltim tidak menjadi daerah dengan warga makmur sejahtera. Setali tiga uang, Papua dengan tambang emasnya juga tidak mendongkrak ekonomi warganya sehingga bisa keluar dari garis kemiskinan.

Permasalahan di atas adalah contoh dari ketiadaan konsep distribusi yang baik. Kekayaan hanya berputar di tangan orang-orang minoritas sebagai mana ciri dari kapitalisme. Kaum papa daerah tersebut justru tidak mencicipi kenikmatan sumber daya alam mereka yang melimpah ruah. Prinsip kai lâ yakûnâ daûlatan bainal aghniyâ`i minkum terabaikan sehingga berimbas pada terseoknya ekonomi rakyat mayoritas.

Terlepas dari hal itu, sebab kemerosotan kesejahteraan saat ini juga mempunyai faktor lain, yaitu pembengkakan ekonomi di sisi moneter tanpa dibarengi peningkatan produk dan jasa. Bank-bank yang ada sekarang menciptakan uang melalui penggandaan deposit atau setoran nasabah sehingga menyebabkan peningkatan di sisi moneter. Peningkatan ini tidak akan pernah menjadi masalah jika diimbangi dengan peningkatan produk barang dan jasa, tapi nampaknya fakta berkata lain. Pertumbuhan moneter melalui penggandaan uang dengan cara tadi terlalu cepat dan jauh meninggalkan ekonomi riil. Artinya, uang lebih banyak dari pada barang. Efek yang paling kentara adalah kenaikan harga barang atau lebih sering kita kenal dengan inflasi.

Jika merujuk pada pendapat mantan ketua umum Asbisindo (Asosiasi Bank Syariah Indonesia), salah satu penyebab pembengkakan moneter tadi adalah kartu kredit atau sistem utang. Keinginan manusia –yang tidak akan pernah ada batasnya– praktis tercapai dengan sistem seperti ini. Padahal, pada hakikatnya kartu kredit tidak lebih dari sekedar transaksi utang yang harus dibayar, sebuah tawaran menarik sedangkan hakikatnya mencekik.

Utang individual yang secara tidak langsung membantu percepatan penggelembungan moneter tersebut menghasilkan inflasi. Pada tahap selanjutnya, inflasi yang merupakan hasil ketidakseimbangan antara perkembangan moneter dan riil ini melahirkan kemiskinan.

Kasb sebagai Pemanfaatan SDA

Misi utama diturunkannya manusia ke bumi tidak lain untuk menjadi khalifah. Memang sulit untuk mendefinisikan maksud dari istilah khalifah karena maknanya yang sangat luas. Yang jelas, diantara maksud dari kalimat tersebut bahwa manusia bertugas untuk menjaga keseimbangan di muka bumi. Baik itu menjadi pempimpin yang adil, mengusahakan kemakmuran atau tidak membuat kerusakan di bumi.

Dalam konteks membangun ekonomi ideal, istilah khalifah lebih pas jika dimaknai dengan sebuah usaha untuk memakmurkan bumi. Dalam bahasa yang lebih mudah, artinya memanfaatkan sumber daya yang sudah disediakan sebaik mungkin. Ekonomi ideal adalah yang berdasarkan pembangunan pada tatanan yang nyata, bukan sekedar fatamorgana atau bahkan fiktif. Hal itu didapatkan dari optimalisasi sumber daya yang sudah disediakan, yaitu memproduksi barang atau penyediaan jasa. Artinya, tidak ada jalan selain bergerak, berbuat, berusaha dan bekerja.

Muhammad bin Hasan as-Syaibani, salah satu guru Imam Syafii menjelaskan konsep bekerja tersebut dalam sebuah buku yang ia karang  dengan judul al-Kasb. Dalam kitab tersebut, Syaibani mendifinisikan Kasb sebagai sebuah usaha untuk mendapatkan harta dengan berbagai macam cara yang halal. Pengertian kasb yang dipaparkan Syaibani itu lebih dikenal sebagai istilah produksi dalam lingkup ekonomi mikro. Inilah yang menjadikan karya Syaibani menjadi rujukan para ekonom sekarang. Bahkan, Adiwarman Azwar Karim sampai mengutip pernyataan Dr. Janidal bahwa Syaibani merupakan salah seorang perintis ilmu ekonomi dalam Islam. Aktivitas produksi inilah yang kemudian merupakan media bagi manusia sebagai khalifah untuk memanfaatkan sumber daya yang ada.

Mengenai pemanfaatan sumber daya, sebagian orang merasa pesimis karena pada suatu saat potensial bumi akan habis disebabkan aktivitas produksi tersebut. Kekhawatiran seperti ini memang beralasan, tapi tidak bisa dibenarkan. Sumber daya yang ada seharusnya bukan sekedar dieksploitasi atau digunakan semena-mena dengan tujuan mengeruk keuntungan dalam tempo yang paling singkat. Ketika membincang tentang sumber daya, seharusnya kita fokus pada optimalisasi, bukan sekedar efisiensi.

Sikap eksploitasi yang tidak dibarengi optimalisasi merupakan cerminan dari sikap materialis yang diboyong dari paham hedonis. Sikap materialis biasanya condong untuk mendorong orang bersikap konsumtif. Jika sikap itu sudah mendarah daging pada seseorang, maka dia akan sulit untuk membedakan antara kebutuhan (needs) dengan keinginan (wants). Watak seperti inilah yang pada akhirnya mengeksploitasi sumber daya bumi sehingga boros dan tidak optimal.

Di dalam al-Quran surah Ibrahim ayat 32-33, Allah telah menyebutkan bahwa bumi, langit dan segala yang ada di dalamnya diciptakan dan ditundukkan untuk kemakmuran manusia. Konsep penciptaan tersebutlah yang harus kita barengi dengan optimalisasi agar tercipta kemakmuran.

“Allah-lah yang Telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, Kemudian dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan dia Telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan dia Telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai.  Dan dia Telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan Telah menundukkan bagimu malam dan siang.” (QS. Ibrahim: 32-33)

Pada akhirnya, aktor utama sebagai penyelaras antara sumber daya yang ada dengan aktivitas produksi  serta distribusi tidak lain adalah individual masing-masing. Aktivitas produksi yang menjadi tonggak utama perputaran roda ekonomi harus benar-benar dijaga keseimbangannya. Distribusi yang baik juga harus dijaga agar tercipta kesejahteraan bersama. Jika saja perputaran ekonomi riil tidak bisa mengimbangi pergerakan moneter yang begitu deras, ditambah lagi dengan tidak adanya keadilan dalam distribusi, maka problem kesejahteraan manusia tidak akan pernah terselesaikan. Surplus uang yang ada justru menimbulkan inflasi sehingga berdampak –untuk kesekian kalinya– pada penambahan pengangguran yang merupakan akar masalah dari kemiskinan. Perputaran uang yang stagnan di tangan orang-orang minoritas juga tidak akan pernah mengentas rakyat miskin dari kondisinya. Wallahua'lam.[]

Monday, October 15, 2012

Ekonomi Fatamorgana

 Oleh: Fauzul Hanif

Secara kasat mata, kita memang melihat bahwa jumlah masyarakat yang masuk dalam golongan kelas menengah semakin bertambah. Sejatinya, finansial mereka hanya ditopang pada gelembung ekonomi (bubble economic) sebagai akibat dari arus kapitalisme yang tidak terbendung. Ideologi materialis yang mereka bawa dengan menghalalkan segala cara justru menimbulkan ketimpangan pada kestabilan ekonomi. Sebanyak 80% uang yang ada di dunia hanya berputar pada ‘dunia maya’ dan tidak pernah ada wujudnya pada kehidupan nyata. Hal inilah yang terus dipermainkan oleh para eksekutif ekonomi. Mereka menyuguhkan gambaran bahwa dunia makin mapan, padahal hakikatnya hanya fiktif belaka.

Ekonomi fiktif ini berdampak bahaya bagi berlangsungnya sektor riil. Hal itu karena para pelaku ekonomi hanya memainkan uangnya dengan menaruhnya di sektor non-riil. Masalahnya, kegiatan di sektor tersebut lebih bersifat spekulatif atau sejenis perjudian. Dalam suatu perjudian, harus ada pecundang serta pemenang. Para pemenang ini –dengan untung yang ia raup- berambisi untuk mengikuti kompetisi ‘judi’ dengan resiko yang lebih tinggi. Sayangnya, para pecundang yang sudah kalah tidak begitu saja meninggalkan ‘meja judi’ tadi. Mereka kembali dengan harapan akan memenangkan perjudian setelah banyak belajar dari kekalahan mereka.

Orang-orang yang terlanjur terbuai dengan iming-iming hasil perjudian akan terus berada pada siklus itu. Ini artinya jumlah mereka relatif konstan, padahal banyak juga selain mereka yang ingin merasakan kompetisi ‘liar’ tersebut.

Dengan semakin besarnya peminat sektor non-riil, artinya sektor riil semakin ditinggalkan. Padahal pilar utama pembangun ekonomi berada pada sektor riil, jika ditinggalkan maka yang terjadi adalah ketimpangan ekonomi. Efek yang paling mudah digambarkan adalah sedikitnya lapangan kerja yang tercipta. Tidak bisa dibayangkan ketika mayoritas manusia lebih memilih untuk berspekulasi untuk meraup profit ketimbang menekuni pekerjaan riil.

Mari kita membuat sebuah permisalan tentang judi pada level mikro serta hubungannya dengan peningkatan pengangguran. Judi bagi orang awam adalah seperti kegiatan bermain kartu dengan memasang taruhan tertentu. Anggap saja ada tiga orang yang ikut dalam permainan ini, masing-masing membawa 1 juta untuk menjadi taruhannya. Semalam suntuk mereka habiskan hanya dengan memegang kartu, kalah, kemudian menang, kalah lagi, atau menang lagi, hingga pada akhirnya salah satu orang pulang membawa 3 juta, suatu kegiatan yang sangat tidak produktif. Keesokannya, tiga orang tadi bertemu kembali, si pemenang membawa 2 atau 3 juta, dan pecundang kembali membawa satu juta sebagai modal awal. Menang atau kalah memang terus bersiklus, namun tetap saja keuntungan yang diraup kembali ke meja judi.

Dalam cakupan makro, perputaran uang yang ada pada sektor non-riil bukan lagi jutaan. Jamal Harwood, anggota Eksekutif HIzbut Tahrir Inggris mencatat dalam kurun waktu 10 tahun terakhir bahwa nilai pasar derivatif mencapai USD 500 hingga USD 1000 triliun per tahun. Sangat jauh dibanding tingkat perkonomian di sektor riil yang hanya berkisar USD 50 triliun per tahun.

Terlepas dari kegiatan spekulasi, ekonomi fiktif juga terus menggelembung seiring dengan instrumen bunga yang dipakai dalam berbagai transaksi. Kita tidak akan pernah menjumpai lembaga keuangan konvensional apapun kecuali terdapat sistem bunga di dalamnya. Memang instrumen bunga ini sedikit berbeda dengan jenis judi atau spekulasi. Jika spekulasi sangat terlihat dampaknya pada kevakuman sektor non-riil, bunga yang banyak diterapkan pada transaksi simpan-pinjam masih membuat sektor riil berjalan, bahkan tidak sedikit yang menjadikan usaha-usaha kecil berkembang.

Hanya saja, jika kita merinci mekanisme simpan-pinjam berbunga, maka terlihat suatu kejanggalan di sana. Bagaimana mungkin kedua belah pihak (debitur dan kreditur) meraup keuntungan pada satu waktu yang sama?

Mari kita mengambil contoh dalam konteks kecil. Seorang kreditur datang pada debitur meminjam satu juta, dia mengolahnya sehingga menjadi dua juta. Kreditur tadi kemudian mengembalikan kepada debitur –dalam transaksi berbunga– dengan nominal satu juta seratus ribu. Memang secara eksplisit kreditur mampu mengembalikan tambahan seratus ribu yang disyaratkan oleh kreditur, padahal pada hakikatnya kreditur hanya dijadikan alat oleh pemilik modal tersebut. Dengan begitu, pemilik modal tidak perlu bersusah payah bekerja, mereka cukup memanfaatkan modal untuk menghasilkan profit.

Masalah simpan-pinjam menjadi semakin kompleks ketika kita menambah satu pihak lagi, yaitu instansi perantara yang saat ini peranannya difungsikan oleh bank. Misalkan A menabung ke bank dengan nominal 1 juta, kemudian B meminjam satu juta dari bank yang sama. A merasa bahwa uangnya telah aman di bank dan ia bisa mengambil kapan saja, pada saat yang sama, B juga merasa memiliki uang tersebut. Artinya dalam satu waktu terdapat uang bernilai satu juta yang bersifat fiktif dan satu juta yang memiliki wujud.

Dalam mekanisme transaksi modern, uang fiktif masih tetap bisa dipakai melalui sistem kartu kredit. Dari situlah tercipta angka-angka data yang memberi kesan seakan uang tersebut berwujud. Inilah yang dimaksud Kurtzman dalam bukunya The Death of Money bahwa uang saat ini hanya berbentuk byte, layaknya bayangan. Secara simultan, ia dapat ditampilkan pada jutaan layar komputer di atas jutaan meja di seluruh dunia. Tapi pada kenyataannya, ia tidak ada di mana-mana dan tidak diperlukan lemari besi untuk menyimpannya.

Instrumen bunga yang menggelembungkan perekonomian, sistem simpan-pinjam dengan lembaga mediasi yang menampilkan nilai uang hanya sebatas pada angka di layar komputer, kemudian kegiatan derivatif dan spekulasi yang membuat uang tadi hanya berputar pada ‘meja judi’. Beberapa faktor yang cukup untuk menunjukkan bahwa keberhasilan ekonomi hanyalah fiktif belaka.

Yang menjadi problem utama dalam kasus fatamorgana ini bukan ketiadaan uang-uang tadi dalam dunia nyata, tapi berkurangnya minat untuk bekerja. Memang prinsip untuk mendapatkan kepuasaan maksimal dengan pengorbanan yang minimal (low risk, high profit) itu penting untuk dijadikan acuan dalam berbisnis, hanya saja caranya harus tepat. Jika malah mematikan produksi, itu artinya malah terjadi kontradiksi. Sangat irasional jika perkonomian tumbuh di saat produksi macet.

Jika dirunut kembali, sumber masalah yang mengacu pada gelembung ekonomi sekarang ini setidaknya ada dua hal: judi, (maysir) dan bunga (riba). Islam yang muncul pada saat kegiatan ekonomi masih bersifat lokal sudah mengerti dampak dari dua hal tersebut sehingga membuat larangan keras akan dua hal tadi. Sangat banyak firman Allah yang dituangkan dalam kitab suci mengenai pelarangan judi dan riba. Di antaranya adalah “Wa ahalla Allahu al-bai’a wa harrama ar-ribâ” dan juga “innama al-khamru wa al-maisiru wa al-anshâbu rijsun min ‘amali as-syaithân.”

Islam juga mendidik umatnya dengan semangat bekerja “i’malû, fa sayara Allahu a’mâlakum.” As-Syaibani bahkan mengarang satu kitab khusus yang membahas seputar bekerja dan produktifitas manusia dengan judul al-Kasb. Produktivitas manusia dituntut untuk terus mengolah sumber daya yang tidak akan pernah habis. Di situlah fungsi manusia sebagai khalifah di muka bumi, untuk memakmurkan, bukan malah merusak dengan menghambat laju perkonomian.

Dengan begitu, teori  yang menyatakan bahwa siitap pertumbuhan ekonomi akan menyebabkan meningkatnya kesempatan kerja tidak seratus persen benar, bahkan menjadi teori usang dalam konteks sekarang. Itu karena laju pertumbuhan ekonomi sekarang tidak lain hanyalah fiktif belaka. Sedangkan pertumbuhan ekonomi yang disebabkan gelembung-gelembung keuangan tidak lebih dari sebuah fatamorgana yang menipu. Wallahua’lam.

Friday, October 12, 2012

Renaisans Islam dan Tradisi Ilmu

Oleh: Ahmad Sadzali

Bagi sebagian orang, ketika membaca judul buku “Renaisans Islam” karangannya Joel L. Kraemer, mungkin akan tergelitik dan merasa aneh. Pasalnya, kita tentu akan bertanya-tanya, apakah istilah renaisans itu pantas dipadankan dengan Islam? Karena dalam sejarahnya, Islam tidak pernah mengenal masa kegelapan atau the dark ages seperti yang terjadi di Barat dimulai sejak runtuhnya Imperium Romawi Barat tahun 476.

Penulis buku itu pun sebenarnya menyadari kalau penggunaan istilah Renaisans Islam tersebut masih patut untuk diperdebatkan. Namun akhirnya Joel memperluas istilah renaisans menjadi pengertian yang mencakup pelbagai kebangkitan dan periode budaya restorasi klasik. Walaupun demikian, pembahasan ini tidak dapat dikatakan final begitu saja.

Dalam tulisan ini, kita tidak ingin memperdebatkan pengistilahan Renaisans Islam tersebut. Yang ingin kita ambil pelajaran dari sini adalah, membuka ingatan kita kembali bahwa dulunya Islam pernah jaya dan mencapai puncak kegemilangannya. Ketika itu, dunia Islam benar-benar menjadi kiblat  peradaban dunia. Dan peradaban Islam sekarang ini butuh bangkit kembali.

Tentunya banyak yang sependapat, salah satu unsur terpenting dalam membangun peradaban adalah ilmu pengetahuan. Dalam khazanah keislaman, al-Qur’an dan Sunnah telah memberikan kekuatan dan semangat untuk mempelajari ilmu pengetahuan. Dua sumber ini sangat kaya sekali dengan masalah-masalah yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan, seperti perintah menuntut ilmu, perintah berpikir, mengamati, dan lain sebagainya. 

Terbukti, tradisi ilmu pengetahuan dalam Islam memang sangat kental dan mengakar kuat. Ilmu pengetahuan tersebut benar-benar berlandaskan ajaran ketuhanan, bukan sekuler seperti yang terbangun dalam peradaban Barat. Dan cikal bakal inilah yang kelak akan membentuk peradaban Islam. Dengan demikian, terbangunlah peradaban yang berakhlak dan memiliki moralitas yang tinggi, karena dibangun di atas pondasi wahyu.

Untuk dapat menumbuhkan tradisi ilmu pengetahuan, memang tidak mudah. Ilmu pengetahuan tidak akan hidup jika tidak ada komunitas yang aktif mengembangkannya. Karena itulah, suatu peradaban pasti akan bermula dari sebuah komunitas. Dan suatu komunitas tidak dapat berkembang dengan baik, jika individu-individunya tidak baik. Oleh karena itulah, Dr. Ahmad Fuad Pasha, dalam tulisannya di Mausu’ah Hadharah Islamiyah, memasukkan kedua unsur ini ke dalam asas bangunan peradaban Islam.

Sayangnya, kejayaan Islam di zaman dulu itu tidak dapat kita rasakan sekarang. Meskipun masih bisa, itu pun hanya serpihan-serpihannya saja. Selebihnya, peradaban lain yang banyak memanfaatkannya. Proses Islamisasi ilmu pengetahuan dan penerjemahan besar-besaran yang terjadi di masa Daulah Umaiyah, seakan sirna begitu saja. Komunitas-komunitas pecinta ilmu pengetahuan, sepertinya sudah mulai tererosi oleh zaman. 

Banyak orang yang menilai kalau Islam saat ini tengah mengalami kemunduran. Apapun landasan pendapat seperti itu, memang pada realitanya umat Islam sekarang sedang dihadapkan dengan masalah yang kompleks.

Namun tentunya kita semua pasti ingin mengangkat kembali martabat Islam sebagai peradaban yang maju dan pantas untuk disegani. Rasa-rasanya ingin sekali mengulang kegemilangan zaman Harun ar-Rasyid dulu. Tapi apakah hal itu mustahil? Tentu saja jawabannya tidak.

Meski tidak mudah, akan tetapi kemajuan ilmu pengetahuan sepertinya memasng sudah menjadi syarat mutlak untuk memajukan peradaban apapun, termasuk peradaban Islam. Dan jika kita ingin mengulang kembali kenangan manis dulu yang belum sempat kita rasakan, maka sekarang lah saatnya kita memulainya, yaitu dengan mengembangkan ilmu pengetahuan.

Semoga kita sudah bangkit dulu mencapai puncak kejayaan lagi, sebelum merasakan masa kegelapan. Oleh karena itulah, tugas terpenting bagi kita sekarang adalah membangun kembali tradisi ilmu dan membentuk komunitas kita ini, sebagai komunitas yang mengembangkan ilmu pengetahuan. Wallahu’alam.[]

Thursday, October 11, 2012

Meneropong Islamofobia dengan Bijak III


Oleh: Arief Assofi


Sikap yang Seharusnya dikedepankan oleh Umat Islam


Ketika ditanya tentang perasaannya saat muncul film ini, Habib Ali mengatakan, “Yang ada  saya ketika film ini muncul adalah, jika Rasulullah SAW, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali RA masih hidup sekarang, apa yang akan mereka lakukan?”

Habib Ali mengingatkan seluruh umat Islam agar mengingat kembali apakah hakikat pengutusan Rasulullah SAW? Hakikat pengutusan Rasulullah SAW adalah sebagai rahmat bagi semesta alam, bukan hanya rahmat bagi orang Muslim, dan juga bukan hanya rahmat bagi orang-orang baik. Tetapi Islam adalah rahmat bagi semesta alam, termasuk mukmin dan kafir; orang baik dan jahat; makhluk hidup dan mati, karena alam selalu didefinisikan oleh para ulama sebagai segala sesuatu yang wujud selain Allah. Oleh sebab itu, sikap kita harus mencerminkan sifat rahmat tersebut.

Sebagaimana telah jamak diketahui, Rasulullah SAW semasa hidupnya mengalami berbagai macam serangan kebencian. Namun perlu diperhatikan bahwa sikap beliau SAW tidak sama pada setiap peristiwa. Meskipun demikian, keseluruhannya merupakan manifestasi dari rahmatan lil ‘alamin. Bagaimanakah sikap kita seharusnya?

Al-Quran dan Hadis merupakan sumber hukum dalam Islam. Keduanya merupakan pedoman hidup setiap Muslim. Ketika ingin bertindak, seorang Muslim seharusnya melihat dahulu apa yang al-Quran dan Sunah ajarkan. Dalam menghadapi serangan kebencian, al-Quran dan Sunah pun sudah memberikan manhaj yang sahih dalam bersikap.

Mufti Bosnia, Musthafa Ceric, mengingatkan bahwa Allah SWT telah mengajarkan kita untuk membalas dengan cara terbaik:

و لا تستوى الحسنة و لا السيئة، ادفع بالتى هى أحسن، فإذا الذي بينك و بينه  عداوة كأنه ولى حميم (فصلت: 
34) 

34. dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara Dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.

Dr. Usamah, seorang dosen fakultas hadis di Universitas al-Azhar, mengajak umat Islam untuk mentadabburi surat al-Anfal. Jika kita mentadabburinya, seakan-akan al-Quran sedang membicarakan peristiwa yang saat ini sedang terjadi. Allah SWT berfirman dalam surat al-Anfal:

و إذ يمكر بك الذين كفروا ليثبتوك أو يقتلوك أو يخرجوك و يمكرون و يمكر الله و الله خير الماكرين. و إذا تتلى عليهم ءاياتنا قالوا قد سمعنا لو نشاء لقلنا مثل هذا إن هذا إلا أساطير الأولين. و إذ قالوا اللهم إن كان هذا هو الحق من عندك فأمطر علينا حجارة من السماء أو ائتنا بعذاب أليم (الأنفال: 30-32)

30. Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.

31. Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami, mereka berkata: "Sesungguhnya Kami telah mendengar (ayat-ayat yang seperti ini), kalau Kami menghendaki niscaya Kami dapat membacakan yang seperti ini, (Al Quran) ini tidak lain hanyalah dongeng-dongengan orang-orang purbakala".

32. Dan (ingatlah), ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata: "Ya Allah, jika betul (Al Quran) ini, adalah benar dari sisi Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada Kami azab yang pedih".

Ayat pertama dari ketiga ayat di atas, mengisyaratkan serangan kebencian terhadap Rasulullah SAW. Ayat kedua, menggambarkan sikap orang-orang kafir yang melecehkan wahyu. Sedangkan pada ayat ketiga, mereka melecehkan Allah SWT, dengan menantang-Nya untuk menurunkan adzab. Dari sini dapat kita lihat bahwa pelecehan, penghinaan, atau serangan kebencian terhadap simbol-simbol sakral sudah terjadi sejak awal munculnya Islam dan al-Quran pun merekamnya.

Setelah tiga ayat di atas, ayat selanjutnya memaparkan hakekat keadaan orang-orang kafir tersebut. Kemudian diikuti dengan perintah untuk memerangi mereka, ketika tindakan mereka itu menimbulkan fitnah, lalu dilanjutkan dengan menjelaskan sistem pembagian harta rampasan perang, jika terjadi peperangan.

Hingga QS. Al-Anfal: 45, al-Quran mulai menjelaskan bagaimana sikap umat Islam seharusnya dalam menghadapi serangan kebencian ini. Allah SWT berfirman:

يا أيها الذين ءامنوا إذا لقيتم فئة فاثبتوا و اذكروا الله كثيرا لعلكم تفلحون. و أطيعوا الله و رسوله ولا تنازعوا فتفشلوا و تذهب ريحكم، و اصبروا، إن الله مع الصابرين. و لا تكونوا كالذين خرجوا من ديارهم بطرا و رئاء الناس و يصدون عن سبيل الله، و الله بما يعملون محيط (الأنفال:45-47) 

45. Hai orang-orang yang beriman. apabila kamu memerangi pasukan (musuh), Maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya[620] agar kamu beruntung.

46. dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.

47. dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya' kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan.

[620] Maksudnya ialah: memperbanyak zikir dan doa.

Dr. Usamah lebih lanjut menjelaskan bahwa tiga ayat di atas mengisyaratkan 6 langkah yang harus umat Islam lakukan ketika terjadi serangan kebencian. Allah SWT berfirman: “Wa Idzâ laqîtum fi`atan” yaitu apabila kalian, umat Islam, bertemu dengan sekelompok orang yang melakukan serangan kebencian, maka yang pertama kali harus dilakukan adalah “Fatsbutû!”  berteguh hatilah, dengan menahan amarah, yang akan membuat sikap kita tidak terkontrol, atau  tahanlah diri kalian untuk melakukan tindakan dalam keadaan tidak dapat berpikir jernih, sehingga salah dalam bertindak.
Langkah yang kedua, “wa-dzkurû Allah katsîran la’allakum tuflihûn”. Sebarkanlah sifat rabbaniyah dalam masyarakat, dengan mendekatkan diri kepada Allah SWT, sembari mencari ilham di balik maqâshid syari’ah dalam merespon serangan ini.

Langkah ketiga, “wa athî’u Allah wa al-rasûl”. Menghentikan semua tindakan yang bertentangan dengan syariat. Keempat, “wa lâ tanâza’u fa tafsyalû wa tadzhaba rihukum”. Jangan berpecah belah dan saling menyalahkan. Kelima, “wa-shbirû! Inna Allah ma’a al-shâbirîn”. Bersabarlah! Semua ini membutuhkan kesabaran. 

Dan yang keenam, “wa lâ takûnû kal-ladzîna kharajû min diyârihim batharan wa ri`â`a al-nâs”. Janganlah terpengaruh dengan cara mereka membenci kita, Dengan menyerang orang-orang yang tidak berdosa dengan niat sombong, atau ingin menunjukkan kekuatan. Karena hal itu bukanlah akhlaq seorang muslim.

Selain al-Quran, dalam Sunah Rasulullah SAW telah memberikan berbagai contoh dalam merespon serangan kebencian. Rasulullah SAW adalah orang yang paling banyak mendapat serangan kebencian dari Ahli Kitab maupun kafir Quraisy. Dengan berbagai macam serangan kebencian tersebut, Rasulullah SAW mempunyai sikap yang berbeda pada setiap peristiwa.

Diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam dalam kitabnya Sirah, para kafir Quraisy seringkali menghina dan melaknat Rasulullah SAW dengan menjulukinya sebagai mudzammam (yang dicela-cela). Geram dengan perbuatan mereka, para Sahabat pun protes atas sikap Nabi SAW yang acuh, dan para Sahabat sangat ingin membalas. Namun beliau menjawab, “Apakah kalian tidak kagum bagaimana Allah menghindarkanku dari celaan dan laknat mereka? Sesungguhnya mereka mencela dan melaknat mudzammam, sedangkan aku adalah Muhammad (yang dipuji-puji).” Pada peristiwa ini, Rasulullah SAW mengacuhkan hinaan mereka.

Di kesempatan lain, Beliau SAW menjawab seperlunya hinaan tersebut. Diriwayatkan dalam Musnad al-Humaidy dari Aisyah RA, suatu hari datang beberapa orang Yahudi kepada Rasulullah SAW sambil mengucapkan, “al-Sâmu ‘alaika ya Aba al-Qâsim! (Semoga kematian menimpamu, wahai Abu Qasim!).” beliau pun dengan tenang menjawab “wa ‘alaikum" (dan semoga bagimu juga demikian).” Aisyah RA yang ketika itu berada di samping beliau SAW, tidak terima dengan hal itu, ia pun menjawab “wa ‘alaika al-sâm wa al-la’nah" (dan semoga kau teracuni dan terlaknat).” Tidak setuju dengan respon Aisyah RA, Rasulullah SAW menegurnya, “Wahai Aisyah, sesungguhnya Allah mencintai kelembutan dalam segala hal.” Heran dengan sikap Rasulullah SAW, Aisyah RA pun berkata, “Apakah engkau tak mendengar apa yang mereka katakan, wahai Rasulullah? Mereka mengatakan ‘semoga kau teracuni’” Rasulullah SAW menjawab, “Dan aku sudah menjawab ‘dan semoga bagimu juga demikian’” . mengomentari hadis ini, Dr. Usamah mengatakan, di sini Rasulullah SAW ingin menunjukkan, bahwa Beliau SAW menyadari apa yang mereka katakan, dan mampu untuk menjawabnya.

Dalam Mu’jam Kabir karya Thabrani, diriwayatkan kisah masuk Islamnya Zaid bin Su’nah, yang diriwayatkan oleh Zaid sendiri. Zaid bin Su’ah adalah salah satu ulama Yahudi saat itu. Suatu hari ia melihat seorang badui mengendarai keledai datang kepada Rasulullah SAW melaporkan keadaan kaumnya, ia mengajak kaumnya untuk masuk Islam dengan menjanjikan kepada mereka, bahwa mereka terselamatkan dari kafakiran. Ternyata yang terjadi adalah sebaliknya, kaumnya terkena kafakiran. Akhirnya, orang badui itu takut jika Nabi SAW tidak segera menolong mereka, mereka akan keluar dari Islam karena tamak, sebagaimana mereka masuk islam karena tamak. Mendengar ini, Zaid pun mendatangi Rasulullah SAW, menawarkan untuk meminjamkan uang kepada Rasulullah SAW, untuk membantu kaum badui tersebut. Dengan jaminan beberapa karung kurma dan dalam batas waktu tertentu. Karena terpaksa, Nabi SAW pun menerimanya.

Dua hari sebelum waktu pembayaran, Zaid mendatangi Nabi SAW dihadapan para sahabatnya. Ia datang, dan tiba-tiba menarik kerah baju Rasulullah SAW sembari berkata, “Kembalikan hak ku, hai Muhammad!” lalu menghina Nabi SAW dan kabilahnya. Zaid kemudian melirik ke arah Umar RA, ia melihat di wajah Umar RA kemarahan yang tak tertahankan. Umar berakata, “Wahai musuh Allah, bagaimana kau melakukan hal ini kepada Rasulullah SAW? Demi Allah, Jika bukan karena segan dengan orang yang dihadapanmu, maka aku telah memenggal kepalamu.” Lalu Nabi SAW melihat kepada Umar dengan tenang dan tersenyum berkata, “Wahai Umar, aku dan dia lebih membutuhkan dari selain itu. Tidakkah kau menyuruhku untuk membayar hutangnya dengan baik dan menyuruhnya untuk meminta haknya dengan baik pula? Pergilah wahai Umar dengannya! Bayarlah hutangnya dan tambahkan baginya 2 sha’ kurma.” Pada peristiwa ini beliau SAW merespon kebencian dengan kebaikan.

Dalam Shahih Bukhari, Rasulullah SAW memerintahkan untuk menghukum orang yang mencelanya dengan membunuhnya, Ka’b bin Asyraf. Mengomentari hadis ini, Habib Ali mengatakan, bahwa yang memperhatikan sejarah akan mengetahui, sesungguhnya Ka’b telah menghina Nabi SAW sejak lama, dan nabi membiarkannya. Hanya saja saat itu ia menghina Nabi SAW dan mulai bergerak mengumpulkan pasukan untuk mengadakan penyerangan. Komentar ini sesuai dengan yang diisyaratkan Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayah. Sikap Nabi SAW di sini masih tetap menunjukkan ke-rahamatan lil ‘alamin-annya. Karena jika Rasulullah SAW membiarkannya dan terjadi peperangan, maka akan memakan banyak korban. Ini sesuai dengan kaedah irtikâb akhaffu al-dhararain (melakukan bahaya terkecil).

Imam Muslim dan Nasa`i meriwayatkan, bahwa beliau memnyuruh Ibnu Rawahah dan Hassan bin Tsabit untuk membalasnya. Sebagaimana yang terjadi, ketika orang-orang kafir Quraisy bersyair menghina Rasulullah SAW. Habib Ali mengatakan, bahwa syi’ir pada zaman itu bagaikan stasiun  televisi pada zaman sekarang. Penghinaan yang ditujukan kepada Rasulullah SAW disini, dapat merusak reputasi dakwahnya. Maka diperlukan adanya counter untuk mencegah hal itu.

Dengan demikian, Rasulullah SAW tidak pernah menggenalisir sikapnya dalam menghadapi serangan kebencian. Semuanya beliau SAW hadapi sesuai dengan maslahat dan kebutuhan. Perbedaan sikap ini mengajak kita untuk jeli melihat sebab di balik setiap sikap. Rasulullah SAW acuh, ketika hinaan itu tidak ada pengaruh bagi dirinya dan dakwahnya. Rasulullah SAW menjawab secukupnya, ketika ingin menunjukkan bahwa beliau SAW menyadari apa yang mereka katakan dan mampu untuk menjawabnya. Rasulullah SAW membalas serangan kebencian itu dengan sentuhan cinta, ketika hal itu dapat menggerakkan hati mereka. Rasulullah SAW menghukum, ketika hinaan ini menyebabkan kepada banyaknya korban yang akan berjatuhan. Rasulullah SAW me-counter untuk menghindari pencemaran nama baik.

Mufti Bosnia, Musthafa Ceric,  juga menghimbau, agar umat Islam tidak melupakan asal dari kata iman, Islam, dan ihsan dalam hadis Jibril. Islam adalah agama penebar “al-amn” atau rasa aman, yaitu manifestasi dari kata “iman”. Islam mencintai “al-salâm” atau perdamaian, sebagai manifestasi dari kata “Islam”. Islam senantiasa menyebarkan “al-hasan” atau kebaikan, sebagai manifestasi dari kata “ihsan”. Jika makna dari 3 kata ini tidak termanifestasikan dalam sikap umat Islam, maka secara tidak langsung, umat Islam telah mendustakan ajaran agamanya sendiri.

Dari peristiwa ini, hikmah yang dapat kita ambil adalah, bahwa konsistensi serangan kebencian ini menambah keyakinan kita akan kebenaran agama ini. al-Quran sejak 14 abad yang lalu telah mengabarkan akan adanya konsistensi ini.

Semakin sering Islam dihina, maka akan semakin banyak orang yang ingin tahu hakekat Islam. Inilah yang banyak membawa orang-orang Barat berbondong-bondong masuk Islam.

Peristiwa ini juga mengingatkan kita, agar lebih mengenal Rasulullah SAW, serta lebih gencar dalam mengenalkannya kepada seluruh manusia. Sehingga hinaan-hinaan yang muncul setelahnya, dapat dijawab oleh orang Barat sendiri. Wallahu a’lam.[]