Pages

Sunday, September 30, 2012

Menyikapi “Innocence Of Moslems”


Oleh: Kurniawan Saputra

Kasus “Innocence Of Moslems”

Umat Islam kembali heboh, untuk ke sekian kalinya muncul sebuah film yang mendiskreditkan Islam. Pada tahun 2008, Geert Wilders, politisi Belanda, pernah menyulut emosi umat Muslim dengan membuat film pendek berjudul “Fitna”. Film itu berisi tentang perspektif kontroversial Wilders mengenai Islam dan al-Qur’an. Belum lama ini film anti Islam kembali muncul, kali ini berjudul “Innocence of Muslims”. Film  yang disutradarai oleh Nacoula Basseley itu menjelek-jelekkan Islam pada umumnya dan Nabi Muhammad SAW khususnya.

Film tersebut memancing reaksi beragam. Dari sekedar ungkapan unjuk rasa, protes, hingga tindakan ekstrem. Di Kairo dan beberapa negara Timur Tengah lainnya, kantor kedutaan AS disambangi pengunjuk rasa. Bahkan di negara yang baru saja terjadi perang saudara, Libya, duta besar AS beserta tiga warga AS lainnya tewas karena serangan bom. Protes juga terjadi kemudian menjalar ke negara-negara Islam lain. Bahkan di negara mayoritas non Muslim pun terjadi aksi demonstrasi berkenaan dengan film ini.

Lumrah jika emosi umat muslim tersulut menyaksikan penghinaan terang-terangan kepada Nabi Muhammad SAW ini. Nabi Muhammad SAW adalah teladan bagi Muslimin, terjaga dari segala macam kesalahan dan dosa. Bukan itu saja, Nabi Muhammad SAW menurut banyak versi – bahkan menurut versi Barat-, juga menjadi orang paling sukses/berpengaruh/besar yang pernah hidup di muka bumi ini. Allahumma shalli alaihi wa sallim!

Kebesaran pribadi Nabi Muhammad SAW telah diakui oleh dunia luas melalui fakta sejarah. Kalangan yang sudi melihat secara obyektif pasti menemukan kekaguman kepada khâtim al-rusuli itu. Nabi Muhammad SAW bukan saja sukses besar menyampaikan dakwah Islam, namun lebih dari itu, Nabi Muhammad menjadi contoh bagi sebuah kepribadian agung.

Keagungan Pribadi Rasulullah SAW

Dari tradisi Islam sendiri, banyak riwayat-riwayat yang menceritakan keagungan pribadi beliau SAW. Diantaranya adalah kisah Nabi Muhammad SAW dengan seorang pengemis Yahudi.

Alkisah, di jalan menuju Masjid di kota Madinah, hiduplah seorang pengemis Yahudi yang sangat membenci Nabi Muhammad SAW. Saking bencinya, si pengemis mencaci maki beliau SAW setiap hari, juga memperingati setiap orang agar tidak mendekati Muhammad SAW.

Pengemis itu buta sehingga kesulitan untuk menjalani hidup. Kehidupan pengemis yang sulit itu amat terbantu dengan kehadiran seseorang. Dia mengunjungi tempat pengemis itu berada setiap hari dan membantunya makan. Dan tentu orang misterius itu juga sudah sangat kenyang mendengar caci maki yang keluar dari mulut pengemis kepada Nabi Muhammad SAW. Dan orang itu adalah Nabi Muhammad SAW sendiri.

Suatu ketika, setelah Nabi Muhammad SAW meninggal, Abu Bakar RA menggantikan posisinya. Abu Bakar RA mendatangi pengemis itu dan memberikan makanan itu kepada nya. Ketika Abu Bakar RA mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil berteriak, "Siapakah kamu ?" Abu Bakar RA menjawab, "Aku orang yang biasa". "Bukan ! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku," jawab si pengemis buta itu. Apabila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut dengan mulutnya setelah itu ia berikan pada ku," pengemis itu melanjutkan perkataannya.

Ada lagi riwayat mengenai hijrah Nabi Muhammad SAW ke Thaif. Rasulullah SAW datang menghadap para pemuka Thaif dan mengajak mereka masuk Islam. Namun, ajakan damai itu ditolak mentah-mentah. Para pemuka Thaif malah mengerahkan para penjahat dan budak untuk mecaci-maki Rasulullah dan melempari dengan batu. Sehingga kaki Rasulullah mengalami cidera.

Kemudian kisah tanggalnya gigi Rasulullah SAW dalam perang Uhud. Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW mendapatkan luka pada perang Uhud, para sahabat lantas berkata: Sesungguhnya Nuh telah berdoa kepada Allah untuk menghukum kaumnya, mengapa Engkau tidak berdoa kepada Allah untuk hal itu. Rasulullah SAW menjawab, “Sesungguhnya aku tidak diutus untuk mencela, tetapi aku diutus untuk mengajak kepada kebaikan dan menyebarkan kasih sayang. Ya Allah, ampunilah kaumku, sesungguhnya mereka tidak mengerti.”

Dalam sebuah hadis Muttafaq ‘alaih, juga terdapat riwayat mengenai kebesaran jiwa Rasulullah SAW dalam menghadapi caci maki dan permusuhan para musuh. Hadis itu –kurang lebih- bermakna berikut:

Aisyah, ia berkata: “Wahai Rasulullah, pernahkah engkau mengalami peristiwa yang lebih berat dari peristiwa Uhud?“ Jawab Rasulullah, “Aku telah mengalami berbagai penganiayaan dari kaumku. Tetapi penganiayaan terberat yang pernah aku rasakan ialah pada hari ‘Aqabah di mana aku datang dan berdakwah kepada Ibnu Abdi Yalil bin Abdi Kilal, tetapi tersentak dan tersadar ketika sampai di Qarnu’ts-Tsa’alib. Lalu aku angkat kepalaku, dan aku pandang dan tiba-tiba muncul Jibril memanggilku seraya berkata, “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan dan jawaban kaummu terhadapmu, dan Allah telah mengutus Malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan sesukamu,“ Rasulullah melanjutkan, kemudian Malaikat penjaga gunung memanggilku dan mengucapkan salam kepadaku lalu berkata, “Wahai Muhammad! Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan kaummu terhadapmu. Aku adalah Malaikat penjaga gunung, dan Rabb-mu telah mengutusku kepadamu untuk engkau perintahkan sesukamu, jika engkau suka, aku bisa membalikkan gunung Akhsyabin ini ke atas mereka.“ Jawab Rasulullah, “Bahkan aku menginginkan semoga Allah berkenan mengeluarkan dari anak keturunan mereka generasi yang menyambah Allah semata, tidak menyekutukan-Nya, dengan sesuatu pun.“ (HR. Bukhari Muslim).

Dari riwayat-riwayat di atas kita menyaksikan bersama bagaimana Rasulullah SAW menghadapi caci maki, celaan, bahkan gangguan fisik dengan sabar. Bahkan para Sahabat yang notabenenya orang-orang terdekat dengan beliau pun tak kuasa lagi menahan diri dari cobaan tersebut. Beberapa dari mereka (Sahabat) bahkan sampai meminta Rasulullah SAW untuk berdoa kepada Allah SWT agar membalas kesemena-menaan kaum musyrikin. Seperti yang pernah dilakukan para nabi sebelumnya. Namun, Rasulullah SAW menolaknya dan menunjukkan teladan bagaimana seharusnya bersikap.

Sikap Kita Seharusnya

Rasulullah SAW telah memberikan teladan. Beliau yang menjadi obyek langsung dari caci maki menyikapinya dengan sabar dan maaf. Sudah seharusnya kita sebagai umatnya meneladaninya. Menyikapi celaan dengan lapang dada dan sikap positif, bukan malah bertindak onar dan berbuat kerusakan. Karena sikap anarkis dalam menyikapi film ini malah membuat pihak-pihak yang tak suka dengan Islam merasa memiliki legitimasi untuk mendiskreditkan Islam.

Apalagi film ini – Innocence of Muslims- hanyalah upaya amatir dari pihak yang punya rekam jejak sosial buruk. Pemrakarsa film sekaligus sutradaranya, Nakoula Basseley, tercatat beberapa kali melakukan tindak pidana. Bahkan skenario film ini ditulis dari balik jeruji besi. Dalam upayanya, Basseley mengidentifikasi dirinya kepada wartawan dan sebagai seorang warga Yahudi Israel bernama Sam Bacile, dan mengakui bahwa ia mengumpulkan dana sebesar $5 juta dari teman-teman Yahudi. Namun kemudian diketahui ketidakbenaran klaim tersebut. Basseley adalah seorang Kristen koptik dan mendapatkan dana pembuatan film dari keluarga istrinya di Mesir.

Dengan terbukanya kebohongan Basseley, tersingkap pula bahwa film tersebut juga merupakan upaya adu domba antara Islam dengan umat lainnya –terutama Yahudi dan Amerika Serikat-. Maka, tindakan merusak kedutaan AS atau menyerang warga negara AS denga dalih film tersebut tidak bisa dibenarkan.

Lagipula, kita semua dan dunia masih punya ingatan kuat tentang keagungan Rasulullah SAW. Semua itu tak akan terkikis dengan munculnya film yang melecehkan tersebut. Keagungan Rasulullah SAW tak akan lekang hingga akhir zaman karena keagungan Rasulullah adalah anugrah dari Allah SWT (isthafâ’). Wallahu a’lam.

Friday, September 28, 2012

Landasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan



Oleh: Ahmad Sadzali

Gaung Islamisasi ilmu pengetahuan memang sudah mulai nyaring. Di beberapa negara Islam sudah ada kelompok orang atau lembaga yang khusus berkonsentrasi mengkampanyekan proyek ini, bahkan menggarapnya. Di Mesir misalkan, ada lembaga yang bernama The International Institute of Islamic Tought (IIIT) yang didirikan dan berpusat di Amerika Serikat. Lembaga ini didirikan oleh Prof. Dr. Thaha Gaber al-Alwani pada tahun 1981.

Selain itu, banyak ulama-ulama dan para pemikir Islam juga yang sadar akan pentingnya melakukan Islamisasi ilmu pengetahuan ini. Terkhusus di tengah arus globalisasi yang kian hari semakin susah dibendung. Arus globalisasi ini berjalan cepat beriringan dengan cepatnya kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi ini adalah sebuah hasil dari kemajuan ilmu pengetahuan.

Sebagai contoh dampak negatif dari gencarnya arus globalisasi dan canggihnya teknologi informasi ini adalah mudahnya budaya asing yang tidak sesuai dengan budaya pribumi masuk ke rumah-rumah kita. Budaya asing yang masuk itu tidak hanya sekedar menjadi tontonan saja, melainkan juga memberikan efek berbekas dan berpeluang untuk dicontoh oleh yang menontonnya. Alhasil, model-model cara berpakaian pun berpindah kiblat kepada produk asing tanpa memikirkan aspek nilai, baik dalam budaya Indonesia maupun agama; musik yang seharusnya negeri kita memiliki karakter tersendiri, akhirnya terpengaruh dengan aliran luar; hingga cara berprilaku juga ikut-ikutan sang idola asing tanpa bisa memilah-milih mana yang pantas dan tidak.

Seandainya ilmu pengetahuan yang melahirkan kemajuan teknologi itu sejak awal sudah memiliki norma dan nilai-nilai moral, niscaya dampak negatif yang lahir darinya tidak separah ini, bahkan bisa jadi absen dari dampak negatif. Ini adalah hasil dari hegemoni Barat terhadap dunia Islam dan Timur. Celakanya, hegemoni Barat ini memaksakan kehendaknya, baik langsung atau tidak, untuk ditiru oleh bangsa-bangsa lainnya, termasuk umat Islam. Yang menjadi masalah, tidak semua yang dari Barat itu sesuai dengan bangsa lain, begitu juga dengan kita. Karena pada dasarnya antara Barat dan Timur, khususnya Islam, memiliki sudut pandang yang berbeda dalam melihat sebuah realita.

Untuk mengatasi masalah global ini, maka Islamisasi ilmu pengetahuan serta kaitannya dengan dunia pendidikan menjadi sangat urgen untuk dibahas. Islamisasi ilmu pengetahuan ini tentu saja tidak akan jauh dari dunia pendidikan atau akademis. Sekarang tulisan ini berusaha untuk mengajak pada maksimalisasi fungsi lembaga pendidikan untuk membangun landasan utama yang menjadi pijakan Islamisasi ilmu pengetahuan.

Untuk menjalankan proyek Islamisasi ilmu pengetahuan ini dibutuhkan sebuah landasan yang dijadikan pondasi. Ini sangat penting sekali, mengingat proses Islamisasi ilmu pengetahuan ini akan mengalami benturan-benturan dengan paradigma lainnya selain Islam atau dengan paradigma sekuler. Landasan tersebut berupa cara pandang kita atas segala sesuatu, yang biasanya disebut dengan pandangan hidup atau worldview.

Istilah pandangan hidup ini oleh Sayyid Quthub disebut dengan at-Tashawwur al-Islâmî. Dalam bukunya Khashâish at-Tashawwur al-Islâmî, Sayyid Quthub menjelaskan pentingnya pembahasa pandangan hidup (worldview) ini karena setiap Muslim pasti akan menilai lalu menafsirkan suatu wujud atau realitas. Realitas apapun itu, termasuk menilai suatu ilmu pengetahuan kaitannya dengan pembahasan kita sekarang.

Menurut Sayyid Quthub, karakteristik pertama dan utama dari pandangan hidup Islam ini adalah aspek ketuhanan (rabbâniyah). Maksudnya adalah, pandangan hidup ini berasal dan berdasarkan pada wahyu dari Allah. Ini yang membedakan pandangan hidup Islam dengan pandangan hidup lainnya yang berdasarkan pada filsafat buatan manusia.

Selanjutnya karena pandangan hidup ini memiliki aspek ketuhanan, yaitu bersumber dari Allah, maka pandangan hidup Islam juga bersifat tetap. Sifatnya tidak berubah-ubah meski dengan perubahan dan perkembangan zaman. Namun bukan berarti dengan demikian pandangan hidup Islam ini stagnan dalam pemikiran dan kehidupan. Justru pandangan hidup Islam sangat menganjurkan berkembangnya pemikiran dan kehidupan, akan tetapi Islam memberikan batasan cara pandangnya sehingga tetap berada dalam koridor syariat Islam.

Jadi, sebenarnya arus globalisasi bukanlah masalah bagi Islam karena perkembangan zaman dan kehidupan manusia itu wajar. Tapi dengan catatan, umat Islam harus sudah siap dengan pandangan hidupnya untuk menghadapi arus globalisasi ini. Dengan pandangan hidup atau cara pandang Islam inilah, kita dapat melakukan filterisasi atas globalisasi. Sehingga kita dapat bersikap proporsional dan adil dalam memandang globalisasi ini. Artinya kita tidak menerimanya mentah-mentah, dan tidak juga anti terhadap globalisasi secara prontal. Akan tetapi yang kita lakukan adalah mengambil apa yang sesuai dengan Islam, dan meninggalkan yang tidak sesuai.

Secara sederhana, pandangan hidup Islam ini pada akhirnya merujuk kepada wahyu yang tertuang dalam al-Quran dan Sunnah Rasul. Dan yang cukup penting dari karakteristik pandangan hidup Islam ini adalah universalitas dan pendekatannya yang tauhidi (tidak dikotomis). Artinya pandangan hidup Islam tidak pernah mengkotomi dalam memandang realitas. Tidak ada perbedaan antara subjek dengan objek, dunia dengan akhirat, agama dengan ilmu pengetahuan/politik/kehidupan publik dan sebagainya.

Dengan demikian, tentu kaitan antara pandangan hidup Islam dengan proyek Islamisasi ilmu pengatahuan sangat kental sekali. Pandangan hidup Islam adalah landasan pertama yang harus dimiliki oleh siapa pun yang ingin melakukan proyek Islamisasi ilmu pengetahuan. Pandangan hidup Islam inilah yang sebenarnya harus ditanamkan dalam dunia pendidikan kita, baik lembaga pendidikan umum maupun agama. Karena ternyata juga tidak semua lembaga pendidikan agama memiliki pandangan hidup Islam. Maka, lembaga-lembaga pendidikan di negera ini, terutama lembaga yang agama, harus dapat memaksimalkan fungsinya untuk membentuk karakter anak didik yang berpandangan hidup Islam.

Hasilnya, dalam kerangka berpikirnya akan terbentuk bahwa Allah-lah yang menjadi sumber segala ilmu pengetahuan. Sehingga ilmu pengetahuan pun akhirnya dapat disejalankan dengan nilai-nilai atau norma yang juga bersumber dari Allah. Jika ilmu pengetahuan ini sudah sejalan dengan norma dari Allah, pada akhirnya akan terciptalah kemaslahatan umat manusia, karena tujuan utama diturunkannya syariat Islam adalah untuk kemaslahatan seluruh manusia. Jadi, pada hakikatnya Islamisasi ilmu pengetahuan ini tidak hanya berguna bagi umat Islam saja, melainkan juga bagi umat beragama lainnya. Wallahu’alam.[]


Friday, September 21, 2012

Feminisme, Kebebasan yang Membelenggu

Oleh: Halimatuzzahro Marzuki

Kebebasan merupan salah satu hal yang paling berharga bagi manusia. Karena manusia yang bebas dapat terus maju dan berkarya. Namun dengan melihat realita yang ada, kebebasan seolah-olah menjadi tameng para oknum atau kelompok tertentu dalam meneriakkan keinginan-keinginan mereka yang bebas tanpa moral, nilai dan batas.

Konsep kebebasan yang kini berkembang dalam masyarakat telah menciptakan corak berfikir yang beranekaragam. Salah satunya adalah adanya pemikiran konsep pembebasan wanita atas kekangan-kekangan keadaan yang membelenggu mereka. Lahirnya ediologi ini didukung oleh berbagai macam sebab. Coba kita telisik kebelakang, salah satunya adalah pandangan masyarakat terdahulu terhadap wanita.

Socrates, salah seorang filosof terkenal berkata: ‘’wanita ibarat pohon yang beracun, dari luar tampak indah, naun ketika burung pipit memakannya, ia akan mati seketika”. Bangsa India bahkan lebih kejam lagi memandang wanita, seorang wanita akan dibakar bersama mayat suaminya ketika meninggal. Bangsa Yahudi menganggapa wanita adalah amakhluk terlaknat, karena ia telah mengeluarkan Adam dari syurga. Tidak hanya itu, bahkan masyarakat Nasrani memandang wanita sebagai setan.

Sedangkan masyarakat Arab pada masa Jahiliyah lebih bangga memiliki anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan. Penyebabnya adalah lingkungan yang ketika itu mengharuskan mereka mencari bahan makanan dan air ditempat-tempat terpisah dan jauh. Sedangkan laki-laki lebih kuat fisiknya dibandingkan dengan wanita. Hak warispun hanya diberikan kepada laki-laki saja dan wanita tidak mendapat sedikitpun.

Kedatangan Islam pada awal abad ke-6 membawa pengaruh yang sangat besar terhadap kaum wanita. Derajat dan martabat wanita diberi tempat yang sangat terhormat. Nabi Muhammah SAW dengan ajarannya yang lembut membawa risalah yang seketika itu pula membebaskan wanita dari perbudakan yang mengekang.

Pertanyaan besar muncul, ketika lahirnya pergerakan wanita yang menuntut emansipasi atau kesaman dan keadilan hak antara laki-laki dan wanita atau populer kita sebut feminisme. Kata feminisme dicetuskan pertama kalinya oleh seorang aktivis social utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Pertanyaannya adalah bagaimanakah mereka memandang keadilan tersebut yang notabene sudah diperjuangkan oleh Nabi Muhammad SAW jauh sebelum mereka meneriakkan aspirasi mereka? Mereka menganggap bahwa keadilan itu adalah menyamaratakan antara hak laki-laki dan wanita, yang pada hakikatnya penyamaan tersebut adalah hal yang tidak dapat terjadi. Karena perbedaan fungsi dan fitrah laki-laki dan wanita. Hak dan kewajiban menjadi rancu dan akhirnya membelakangi arti dari keadilan itu sendiri.

Setelah ditinjau lebih lanjut dampak yang timbul dari pergerakan tersebut, sisi negatif lebih dominan dibandingkan dari segi positifny. Tingginya angka perceraian dan banyaknya wanita yang memilih menjadi singel parent adalah salah satu dampak dari ketidakstabilan yang muncul akibat pergerakan ini.

Dewasa ini ibu-ibu rumahtangga yang bekerja dan mencari nafkah di luar rumah dianggap sangat lazim. Kira-kira 50% dari mereka membanjiri berbagaimacam lapangan pekerjaan yang lazimnya diisi oleh laki-laki. Menurut Jonh Naisbitt, setiap tahunnya wanita dapat menciptakan 200.000 lapangan pekerjaan baru. Jika ditinjau lebih lanjut, dalam hal ini telah terjadi tumapang tindih antara fungsi laki-laki dan wanita. Kaum feminis secara tidaklangsung telah kembali menyeret kaumnya sendiri kedalam pengekangan yang semu, dalam kata lain mereka telah menciptakan suatu kebebasan yang membelenggu kaumnya sendiri. Yang dalam hal ini mereka menjadikan wanita diharuskan kokoh berdiri dalam ketidaksesuaian fungsi yang justru membuatnya merasa terbebani.

Feminisme bukan hanya menciptakan belenggu bagai kaum wanita, tapi sudah mencapai rusaknya ekosistem masyarat. Keluarga sebagai kelompok pembentuk masyarakat memerlukan dua pilar yang kokoh penunjang keharmonisan, yaitu ada seorang ayah dan ibu. Ketika dua pilar ini berdiri pada fungsinya masing-masing, maka terciptalah keharmonisan keluaga yang diinginkan setiapa manusia.

Seorang ibu yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk bekerja di luar rumah memberikan dampak positif pada keharmonisan ini, meskipun dalam tanda kutip dapat membantu suami dalam meringankan beban materi. Namun satu hal yang harus digarisbawahi, bahwa keharmonisan keluarga tidak hanya dibatasi oleh materi.

Kenakalan remaja dewasa ini juga tidak luput dari dampak fenimisme yang menjadikan hubungan antara ibu dan anak semakin jauh, disebabkan karena para ibu lebih memilih berkarir tanpa batas di luar rumah daripada mengurusi anak-anaknya. Kenakalan remaja bukanlah masalah yang dapat disepelekan lagi. Remaja sebagai harapan penerus Agama dan Bangsa diharapkan mampu menggantikan generasi-generasi terdahulu dengan kinerja yang lebih unggul. Ibu sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya diharapkan mampu mendidik anak-anaknya menjadi manusia yang unggul dan bermanfaat.

Dari sini sudah jelas bahwa faham feminisme ini sebenarnya telah jauh merubah keseimbangan kehidupan umat manusia yang sudah diciptakan Allah SWT sesuai dengan fungsi masing-masing. Keseimbangan ekosistem dan keharmonisan di masyarakat dan rumahtangga belumlah cukup dengan tertatanya kembali fungsi sosial tersebut, namun satu hal harus diingat bahwa hal yang terpenting adalah kembali kepada ajaran yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW. Karena apa yang  telah ditetapkan Allah SWT dalam kitabNya tidak pernah ada cacatnya.

 “Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”. (an -Nisa 82)

Penghinaan Simbol dan Sakralitas Islam


Oleh: Ahmad Sadzali

Penghinaan terhadap umat Islam terulang kembali. Kali ini melalui film bertajuk “Innocence of Muslims” yang menghina Nabi Muhammad SAW. Menurut pengakuan penulis dan sutradara film, Sam Bacile, kepada kantor berita AP dari tempat yang rahasia, film tersebut menghabiskan kocak senilai lima juta dolar Amerika (sekitar 50 miliar rupiah). Biaya tersebut di antaranya ditanggung oleh lebih dari 100 donatur Yahudi.

Terang saja film yang diproduksi di Amerika Serikat itu menuai kecaman kerasa dari seluruh umat Islam di berbagai belahan dunia. Di Mesir dan Libya misalkan, para demonstran yang menentang keras penghinaan Nabi Muhammad SAW dalam film itu melakukan aksinya di depan kantor Kedutaan Besar Amerika Serikat. Bahkan, Duta Besar Amerika Serikat untuk Libya, Christopher Stevens harus menjadi korban akibat serangan demonstran Libya sebagai respon atas film tersebut. Dia tewas di kantor Konsulat Amerika Serikat, di Benghazi.

Penghinaan terhadap umat Islam ini tentu bukan kali ini saja terjadi. Mulai dari pembakaran mushaf al-Quran, penghancuran masjid-masjid, karikatur hingga penginaan secara terang-terangan kepada Nabi Muhammad SAW sudah berulang kali terjadi. 

Bahkan jika kita mau kembali kepada sejarah dakwah Islam, penghinaan terhadap Rasulullah SAW pun terjadi semasa hidup beliau oleh kaum kafir Quraish. Misalkan, tempat-tempat yang biasa disinggahi Rasul seringkali dilempari kotoran oleh orang-orang kafir. Ummu Jamil, istri Abu Lahab, melemparkan najis ke depan rumah beliau, dan Rasulullah hanya menanggapinya dengan membersihkan kotoran-kotoran itu. Begitu juga Abu Jahal melempari beliau dengan kotoran kambing yang telah disembelih untuk sesembahan berhala. Beliaupun hanya menghadapi kekejian itu dengan pergi ke rumah putrinya Fatimah, untuk membersihkan dan menyucinya.

Tidak hanya sampai di situ, kaum kafir juga melemparkan berbagai macam tuduhan, fitnah dan propaganda kepada Rasulullah SAW. Fitnah dan propaganda tersebut juga ditujukan untuk menyerang akidah Islam dan kaum Muslimin. Berbagai macam kebohongan dan fitnah disiapkan oleh kaum kafir untuk menyerang Rasulullah SAW. Sekelompok orang dari kaum kafir misalkan, berkumpul di rumah Walid bin al-Mughirah. 
Di rumah Walid itu mereka memusyawarakhkan propaganda apa yang akan dilemparkan kepada Rasulullah SAW ketika orang-orang Arab datang ke Makkah di musim haji. Ada yang mengusulkan agar Rasulullah SAW dicap sebagai dukun, namun ditolak oleh Walid sendiri. Ada lagi yang mengusulkan agara Rasulullah SAW dituduh sebagai orang gila, namun Walid juga menolak. Ada juga yang mengusulkan agar Rasulullah SAW dituduh sebagai tukang sihir, namun juga ditolak oleh Walid, karena Rasulullah SAW tidak pernah membacakan mantera-mantera sihir. Setelah melalui perdebatan, akhirnya mereka sepakat menuduh Rasulullah SAW sebagai seorang penyihir perantara ucapan. Tuduhan ini akhirnya disebarkan kepada rombongan haji yang datang ke Makkah.

Dari sini, garis besar yang dapat kita ambil adalah berbagai penghinaan yang dialami oleh Rasulullah SAW tersebut, ternyata tidak mengurangi semangat dan kesabaran beliau dalam mendakwahkan Islam. Begitu juga dengan kemuliaan dan keagungan Rasulullah SAW dan Islam tidak berkurang sedikit pun. Bahkan hingga saat ini Islam semakin berkembang, dan pengikutnya semakin bertambah.

Lantas jika demikian, apa yang sebenarnya mendasari kemarahan umat Islam atas film penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW tersebut? Hal ini perlu kita pahami agar tidak menimbulkan reaksi yang berlebihan dari umat Islam. Aksi pengeboman kantor Konsulat Amerika Serikat di Benghazi oleh demonstran Libya hingga menewaskan Dubes Amerika itu adalah salah satu contoh reaksi yang berlebihan.

Oleh karena itu jugalah, Itihad Ulama Internasional yang diketuai oleh Dr. Yusuf Qardhawi menghimbau kepada seluruh umat Islam agar tidak menggeneralisir kasus ini, sehingga menghukum dan menyalahkan orang-orang yang sebenarnya tidak bersalah. Begitu juga dengan Dewan Kibar Ulama Al-Azhar, menyerukan agar umat Islam menyikapi kasus penghinaan ini dengan bijak.

Jika reaksi yang timbul dari umat Islam justru bersifat negatif dan mendatangkan pengrusakan, maka sebenarnya perbuatan itu hanya akan semakin membuat citra umat Islam jelek di mata non-Islam. Padahal Islam sama sekali tidak mengajarkan nilai-nilai kekerasan seperti itu, justru Islam adalah agama yang menjunjung keadilan dan perdamaian. Apa yang dilakukan oleh Shalahuddin Al-Ayyubi ketika membuka Yerussalem, dan yang dilakukan oleh Mahmud Al-Fatih ketika membuka Konstantinopel adalah contoh ajaran Islam yang adil. Kedua panglima Islam ini sama sekali tidak menghukum dan menyakiti rakyat biasa di negara yang ditaklukkan itu, bahkan justru melindungi hak-hak mereka untuk menjalankan agama mereka.

Kemarahan umat Islam atas film yang menghina Nabi mereka itu memang wajar. Kita wajib menjunjung tinggi dan menjaga martabat, simbol dan sakralitas dalam agama kita. Penghinaan terhadap agama memang tidak bisa dibenarkan, karena merupakan pelanggaran atas hak-hak umat beragama. Ini merupakan pelanggaran hukum. Namun pelanggaran hukum seperti ini juga seharunya ditempuh lewat jalur hukum juga. Bukan malah tindakan radikal yang membabi buta.

Jelas, dari sudut pandang manapun, pembuatan film tersebut tidak dapat dibenarkan. Bukan hanya umat Islam yang mengecamnya, negara-negara Barat pun juga mengecamnya, termasuk Vatikan sebagai basis umat Kristen Katolik di dunia. Salah satu syarat utama untuk dapat hidup berdampingan antar umat beragama dengan rukun adalah saling menghormati nilai-nilai, simbol dan sakralitas agama masing-masing. Pembuat film ini tentu telah melanggar syarat ini.

Namun yang perlu kita jaga adalah cara kita menyikapi dan merespon film tersebut. Reaksi yang timbul dari kita yang sebenarnya ingin membela Nabi Muhammad SAW seharunya tidak dengan cara-cara yang justru menodai ajaran beliau. Jangan sampai sesuatu yang baik itu ditempuh dengan jalan yang salah. Wallahu’alam.[]


Thursday, September 20, 2012

Pemilu Langsung, Dilema Politik Negara Demokratis


Oleh: Kurniawan Saputra

Dewasa ini, demokrasi dianggap sebagai sistem ideal bagi pemerintahan suatu negara. Sistem yang diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles ini dipropagandakan secara intens oleh Amerika Serikat. Melalui usaha-usaha diplomatis, AS mengusahakan berjalannya sistem ini di seluruh penjuru dunia.

Salah satu negara yang menjalankan sistem ini dalam pemerintahan adalah negara kita, Indonesia. Bahkan, demokrasi di negara kita sudah boleh dibilang sukses. Negara berpenduduk mayoritas muslim ini dianggap telah berhasil menjalankan sistem demokrasi dengan baik, bahkan menjadi teladan bagi dunia internasional.
Buktinya konkret, Indonesia pada tahun 2008 mendapatkan Democracy Award (medali demokrasi) dari Asosiasi Internasional Konsultan Politik (IAPC), sebuah organisasi profesi yang memperjuangkan demokrasi di seluruh dunia.

Penghargaan tersebut diberikan atas keberhasilan pemilu legislatif 1999, 2004 serta pilpres yang berjalan secara jujur, adil dan aman. Demikian juga pemilihan langsung kepala daerah (pilkada) serta kebebasan pers menjadikan Indonesia menjadi penilaian positif dunia internasional.

Namun perlu diperhatikan, bahwa keberhasilan demokrasi yang berjalan di negri kita sekarang ini sejatinya belum mencapai demokrasi mapan (establish democracy). Bangsa kita baru mencapai tahap demokrasi prosedural. Sedangkan tujuan meraih demokrasi substansial, yaitu kebebasan, keadilan dan kesejahteraan masih harus terus diperjuangkan.

Komparasi Pilpres
Salah satu problematika demokrasi Indonesia adalah sistem pemilihan presiden. Dalam pemilihan presiden – termasuk juga pilkada- di Indonesia, ada sebuah komparasi unik. Jika di Indonesia pemilihan dilakukan secara langsung oleh rakyat – yang mana ini menjadi salah satu nilai lebih demokrasi Indonesia-, maka di Amerika Serikat, negara empunya demokrasi, tidak demikian.

Pemilihan presiden dan wakil presiden di Amerika Serikat diadakan secara tidak langsung. Pemilihan di negri Paman Sam itu dilakukan melalui sebuah lembaga pemilihan presiden dan wakil presiden atau disebut electoral college. Lembaga presiden dipilih oleh setiap negara bagian dengan cara diatur oleh hukum masing-masing negara bagian. Walaupun kertas suara berisi nama kandidat-kandidat presiden, pemilih sebenarnya mencoblos untuk elector dari negara bagian mereka. Lembaga ini lantas memilih presiden dan wakil presiden.

Electoral College dan Ahl Ikhtiyâr
Fakta tentang electoral college diatas tentu menggelitik. Sebagai negara yang secara intens dan konstan memperjuangkan diberlakukannya demokrasi di seluruh penjuru dunia, seharusnya Amerika Serikat juga menjadi teladan ideal bagi demokrasi itu sendiri. Faktanya, sistem electoral college justru lebih mirip konsep Mawardi tentang ahl al-ikhtiyâr daripada terapan demokrasi.

Dalam buku Ahkam Sulthaniyyah, Mawardi membagi masyarakat yang bertanggungjawab atas terpilihnya pemimpin menjadi dua kelas: ahl al-ikhtiar dan ahl al-imâmah. Ahl al-ikhtiar adalah mereka yang memiliki otoritas untuk memilih pemimpin negara sementara ahl al-imâmah adalah mereka yang memiliki kapabilitas untuk dipilih menjadi pemimpin tertinggi negara.

Masing-masing dari dua kriteria golongan masyarakat di atas memiliki syarat-syarat tertentu. Untuk ahl al-ikhtiyâr syarat-syarat yang berlaku adalah al-adâlah (konsistensi religius), al-‘ilm (ilmu pengetahuan) dan al-ra’yu wa al-hikmah (ide dan kebijakan).

Pemberlakukan kriteria khusus bagi mereka yang memiliki otoritas memilih tentunya sangat berseberangan dengan konsep demokrasi yang memberikan setiap orang hak untuk memilih. Syarat-syarat itu mengeliminasi suara dari masyarakat awam yang tak mencukupi kriteria di atas, sehingga tersisa segelintir orang saja yang berhak memilih.

Pemilihan dengan sistem electoral college sekilas terlihat merepresentasikan demokrasi. Namun, pada realitanya terdapat kerancuan yang membuat sistem ini mirip model beli kucing dalam karung. Karena, bisa saja sang elector tidak memilih suara yang diwakilinya. Anehnya, sistem itulah yang diberlakukan di AS alih-alih pemilihan secara langsung.

Meskipun pada praktiknya pemerintah Amerika Serikat tidak bersandar pada standar Mawardi untuk para elector, namun sistem diatas menurut penulis paling tidak mirip sekaligus lebih bijak daripada pemilihan secara langsung.

Pemilihan secara langsung mungkin terdengar lebih adil, tapi fakta yang terjadi di lapangan tidaklah senaif itu. Jamak diketahui, bahwa masyarakat kalangan bawah ternyata tidak terlalu mengerti dan peduli dengan visi-misi, program kerja, maupun rekam jejak personal dari para calon pemimpin. Masyarakat awam lebih pragmatis berpolitik sehingga menjadi lahan yang sangat subur untuk praktik money politic.Fakta di lapangan seakan melegitimasi tuduhan itu.

Berdasarkan realita di lapangan, berjalannya demokrasi idealis di Indonesia adalah sebuah keluguan politik negara ini, selain juga sebuah dilema. Di satu sisi, usaha sistematis terus digalakkan oleh AS untuk memberlakukan sistem demokrasi. Di lain pihak, AS sebagai negara sponsor demokrasi, justru masih gamang dengan demokrasi. Belum adanya bukti valid mengenai kesuksesan demokrasi menjadi alarm tanda bahaya lain untuk kelangsungan sistem ini.[]

Hermeneutika Tak Bisa Menggantikan Tafsir Al-Quran


Oleh: Ahmad Sadzali

Al-Quran adalah sumber dan rujukan utama dalam ajaran-ajaran agama Islam sehingga sudah merupakan kewajiban bagi kita untuk berpegang teguh kepada Al-Quran. Karena jelas, Al-Quran adalah wahyu yang diturukan oleh Allah melalui perantara Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Namun pada praktek penerapannya, kita sangat membutuhkan sebuah metodologi agar dapat menguraikan maksud dari ayat-ayat Al-Quran. Metodologi tersebut adalah tafsir Al-Quran.

Tafsir berasal dari kata fas-sa-ra. Secara etimologis dapat diartikan ‘keterangan atau penjelasan yang menerangkan maksud dari suatu lafazh’. Seperti yang telah disinggung dalam Al-Quran;

“Dan mereka (orang-orang kafir itu) tidak datang kepadamu (membawa) sesuatu yang aneh, melainkan Kami datangkan kepadamu yang benar dan penjelasan yang paling baik.” [al-Furqaan: 33]

Secara singkat, tafsir dapat didefinisikan sebagai ilmu yang membantu memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dengan menggunakan metode dan aturan-aturan tertentu.

Menurut Abdurrahman Al-Baghdadi, menafsikan Al-Quran haruslah dengan cara yang sesuai dengan Al-Quran itu sendiri. Yaitu dengan tekstual, dan bukan dengan kontekstual (sesuai dengan situasi dan konsisi). Kemudian kita juga harus mengetahui terlebih dahulu apa yang dikemukakan oleh Al-Quran, yaitu dengan mempelajarinya secara ijmal (garis besar) sehingga hakikat yang dikemukakan oleh Al-Quran itu tampak jelas. Selain itu juga kita harus mempelajari dari segi lafazh dan maknanya sesuai dengan ketentuan bahasa Arab dan keterangan Rasulullah SAW. Dan untuk memahami ayat-ayat kauniah, kita juga membutuhkan wawasan khusus tentang ilmu pengetahuan (sains) yang berkembang dari waktu ke waktu.

Karena Al-Quran adalah Risalah Ilahiah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, maka orang tidak akan mungkin dapat memahami semua isinya secara benar kecuali melalui apa yang telah dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW dalam As-Sunnah (Al-Hadits). Seperti yang telah dijelaskan oleh Allah bahwa Al-Quran diturunkan kepada Rasul-Nya untuk dijelaskan ayat-ayatnya kepada manusia, sebagaimana yang termaktub dalam firman-Nya;

“…Dan Kami turunkan az-zikr (Al-Quran) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan (isi kandungan Al-Quran).” [an-Nahl: 44]

Dengan kata lain orang yang ingin menafsirkan Al-Quran harus menguasai As-Sunnah, yang dalam hal ini adalah memahami sepenuhnya nash (teks) As-Sunnah, memahami setiap ide dan setiap hukum yang terkandung di dalamnya dan mengetahui tujuan yang dimaksud oleh kata-katanya, bukan hanya sekedar hafal susunan kalimatnya.

Tidak hanya sampai di situ. Masih banyak lagi ketentuan-ketentuan lain yang wajib kita ikuti untuk dapat menafsirkan Al-Quran. Seperti mengetahui dan memahami kisah-kisah sejarah di dalam Al-Quran atau berita tentang berbagai umat manusia pada zaman dulu yang bersumber dari Rasulullah. Kemudian kita juga harus mengetahui berbagai ilmu yang mendukung metode tafsir seperti ilmu Tauhid, ilmu Fiqih, ilmu I’rab (gramatika), ilmu Balaghah, ilmu sejarah dan lain sebagainya.

Standar ketentuan semacam itu akhirnya akan melahirkan tafsir Al-Quran yang benar-benar baik dan bisa dipertanggungjawabkan. Dan produk dari tafsir itu sendiri tidak akan keluar dari koridor-koridor ajaran Islam. Sehingga Al-Quran tetap dapat diterapkan di setiap tempat dan zaman (fi kulli makan wa zaman) tanpa harus mengubah hukum-hukum yang telah qoth’i dalam Al-Quran.

Hermeneutika sebuah tawaran?

Seiring dengan gencarnya arus gerakan orientalis dan musuh-musuh Islam dalam selimut untuk mengguncang tatanan ajaran Islam, maka metode tafsir Al-Quran ini mulai dikritisi dan dicitrakan buruk. Misalkan pencitraan terhadap orang yang tekstuil dalam memahami Al-Quran adalah kolot, tradisionalis, dan statis. Atau dengan mengatakan bahwa penafsiran Al-Quran yang ada ini masih relatif kebenaranya. Sehingga masih memungkin penafsiran-penafsiran yang lebih bebas dari itu.

Seperti yang dikatakan oleh Badarus Syamsi dalam artikelnya di situs islamlib.com. “Jangan berharap bahwa penafsiran dan upaya pemahaman atas Islam akan sempurna betul, karena kesempurnaan adalah suatu hal yang relatif,” tulisnya.

Dengan adanya anggapan semacam itu, pada akhirnya mereka seakan mengajukan suatu metode lain untuk menafsirkan Al-Quran. Metode yang mereka ajukan tersebut adalah metode hermeneutika, suatu metode yang biasanya digunakan untuk menafsirkan Bibel.

“Hermeneutika sebagai sebuah metode interpretasi sangat relevan kita pakai dalam memahami pesan Al-Quran agar subtilitas inttelegendi (ketepatan pemahaman) dan subtilitas ecsplicandi (ketepatan penjabaran) dari pesan Allah bisa ditelusuri secara komprehensif. Maksudnya, pesan Allah yang diturunkan pada teks Al-Quran melalui Nabi Muhammad itu tidak hanya kita pahami secara tekstual, juga bisa kita pahami secara kontekstual dan menyeluruh dengan tidak membatasi diri pada teks dan konteks ketika Al-Quran turun”, tulis Ahmad Fuad Fanani, aktifis Jaringan Islam Libaral [JIL], dalam sebuah artikelnya yang berjudul Metode Hermeneutika Untuk Al-Quran.

Bak gayung bersambut, beberapa Perguruan Tinggi Islam seperti Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, UIN Bandung, UIN Yogyakarta, dan sebagainya, kini telah menetapkan hermeneutika sebagai mata kuliah wajib di Jurusan Tafsir Hasits. Para mahasiswa diarahkan untuk menulis skripsi/tesis dengan menggunakan metode hermeneutika, dan bukan dengan ilmu tafsir klasik.

Sungguh sangat ironis memang, ketika produk ilmu dari khazanah kita sendiri diabaikan dan produk orang lain diagung-agungkan.

Sejatinya, istilah hermeneutika ini merujuk kepada seorang tokoh mitologis dalam mitologi Yunani yang terkenal dengan nama Hermes. Ia bertugas sebagai dewa yang menyampaikan pesan-pesan Dewa kepada manusia. Dari tradisi Yunani ini, akhirnya hermeneutika berkembang menjadi metodologi penafsiran Bibel, yang selanjutnya dikembangkan lagi oleh para teolog dan filosof di Barat sebagai metode penafsiran secara umum.

Bibel yang sifatnya sebagai “teks manusiawi” sangat memungkinkan menerima berbagai metode penafsiran hermeneutika, dan menempatkannya sebagai bagian dari dinamika sejarah. Ini tentunya sangat berbeda dengan sifat Al-Quran yang otentik dan final, sehingga Islam memang bukan bagian dari dinamika sejarah. Islam telah sempurna dari awal. Dan Islam tidak berubah sejalan dengan perkembangan sejarah.

Jika ketidakcocokan ini dipaksa untuk diterapkan, maka yang terjadi adalah penyelewengan terhadap ajaran Islam itu sendiri. Jika hermeneutika diterapkan dalam tafsir Al-Quran, maka yang secara otomatis Al-Quran akan ditempatkan sebagai produk budaya (muntaj tsaqafi), tidak lagi sebagai wahyu suci yang mempunyai kesakralan.

Produk yang dihasilkan dari hermeneutika adalah suatu paham relativisme yang menganggap tidak adanya tafsir yang tetap. Semua tafsir dianggap produk akal manusia yang felatif, kontekstual, temporal, dan personal. Dengan hermeneutika, hukum Islam memang menjadi tidak ada ada yang pasti. Contohnya, hukum tentang perkawinan antaragama. Dalam Islam, jelas muslimah diharamkan menikah dengan laki-laki non-Muslim. Tapi karena hukum ini dipandang bertentangan dengan hak asasi manusia dan tidak sesuai dengan zaman, maka harus diubah. Agama tidak boleh menjadi faktor penghalang bagi perkawinan. Sehingga pada akhirnya hukum perkawinan antaragama menjadi sesuatu yang halal.

Para hermeneutis (pengaplikasi hermeneutika) juga tidak segan-segan memberikan tuduhan yang negatif kepada para ulama Islam. Seperti yang terjadi pada kasus kritikan terhadap Imam Syafi’i. Dalam buku Fiqih Lintas Agama yang diterbitkan oleh Paramadina, Imam Syafi’i dituduh sebagai orang yang membelenggu pemikiran fiqih sehingga tidak berkembang.

Banyak lagi dampak negatif dari penerapan hermeneutika pada tafsir Al-Quran. Jika metodologi ini dibiarkan begitu saja menjamur di kalangan cendikiawan umat Islam khususnya pada Perguruan Tinggi Islam di Indonesia, maka yang terjadi adalah pendekonstruksian ajaran-ajaran Islam secara besar-besaran. Akhirnya lulusan Perguruan Tinggi Islam bukannya menjadi ulama di masyarakat, melainkan malah menjadi orang yang nomor satu mengkritisi khazanah keislaman.

Tentunya kita tidak menginginkan hal seperti itu terjadi. Kita harus berusaha melestarikan dan mengembangkan khazanah keislaman yang sudah dibangun kokoh oleh para pendahulu kita. Namun perlu diingat, melestarikan bukan berarti statis, dan mengembangkan bukan berarti liberal. Semuanya ada batasan dan koridornya. Dan Islam, sangat indah mengaturnya. Wallahu’alam.

Menelisik Akar Sejarah Liberalisme


Oleh: Ahmad Sadzali

Pembahasan mengenai liberalisme di Indonesia rupa-rupanya tidak pernah hilang ditelan bumi, terkhusus liberalisme agama. Bagi sebagian orang ada yang menolaknya. Terbukti beberapa waktu lalu, orang-orang yang menolak paham ini, yang tergabung  di dalam beberapa organisasi masyarakat, menggelar aksi demonstrasi anti liberalisme. Namun bagi sebagian lainnya ada yang mendukung dan bahkan sampai melembagakan paham ini, seperti Jaringan Islam Liberal (JIL).

Dalam menyikapi pro-kontra terhadap liberalisme, sebaiknya kita tidak bertindak gegabah. Kita tidak bisa serta merta menerima paham ini begitu saja. Ada langkah yang perlu kita lakukan untuk meneliti nilai-nilai paham ini, lalu membandingkannya dengan nilai-nilai Islam. Dan kita juga tidak bisa menyesatkan paham ini secara prontal begitu saja, tanpa ada bukti kesesatannya. Maka, salah satu dari langkah yang mungkin harus kita lakukan adalah meneliti akar sejarah pertumbuhan dan perkembangan paham ini.

Liberalisme mempunyai akar sejarah yang cukup panjang dalam tatanan sejarah peradaban dan ideologi Barat yang Kristen. Menurut Ahmad Al-Qashash dalam kitabnya Usus Al-Nahdhah Al-Rasyidah, akar ideologi Barat adalah ide pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme), yang pada gilirannya melahirkan pemisahan agama dari negara. Sekularisme inilah yang menjadi induk bagi lahirnya segala pemikiran dalam ideologi Barat. Berbagai bentuk pemikiran liberal, seperti liberalisme di bidang politik, ekonomi, ataupun agama, semuanya berakar pada ide dasar yang sama, yaitu sekularisme.

Menurut Adian Husaini, setidaknya ada tiga faktor penting yang menjadi latar belakang, mengapa Barat menganut paham sekular dan liberal, dan kemudian menyebarkan pandangan hidup ini ke seluruh dunia, termasuk di dunia Islam. Pertama, trauma sejarah, khususnya yang berhubungan dengan dominasi agama Kristen pada abad pertengahan. Kedua, problema teks Bible. Ketiga, problema teologis Kristen.

Dalam sejarahnya, peradaban Barat (Western Civilization) telah mengalami masa kelam yang pahit, yang biasanya disebut dengan “zaman kegelapan” (the dark ages), dan biasa juga disebut dengan ‘Zaman Pertengahan’ (the medieval ages). Zaman itu bermula ketika Imperium Romawi Barat runtuh pada tahun 476, dan mulai munculnya gereja sebagai sebuah institusi yang mendominasi masyarakat Kristen Barat.

Dominasi Gereja ini sebenarnya bermula dari dikeluarkannya Edict of Milan (maklumat Milan) yang ditandatangani oleh kaisar Constantine I dan Licinius pada tahun 313 M. Maklumat atau dektrit ini berfungsi untuk memberikan toleransi beragama di Kekaisaran Romawi. Selanjutnya setelah Edict of Milan, pada tahun 392, keluar juga Edict of Theodosius yang menyatakan secara resmi bahwa Kristen adalah agama negara dari Imperium Romawi. Theodosius (379-395) adalah kaisar terakhir dari kekuasaan Romawi, baik Timur maupun Barat.

Di akhir masa Kekaisaran Romawi, gereja meraih kekuasaannya. Selanjutnya gereja tumbuh menjadi kuat dengan keanggotaannya yang semakin meningkat. Ketika itu, gereja merupakan lembaga yang mempersatukan masyarakat Barat pasca runtuhnya Kekaisaran Romawi pada tahun 476. Gereja mampu menjelaskan tentang konsep kehidupan dan kematian, serta memberikan alternatif rekonstruksi kehidupan. Karena itulah pengaruh gereja begitu cepat meluas di seluruh daratan Eropa.

Namun ternyata kepercayaan masyarakat Barat kepada gereja yang begitu besar ketika itu, dirusak dengan adanya sebuah institusi gereja yang terkenal dengan “Inquisisi”. Institusi ini terkenal dengan kejahatan dan kekejamannya. Ini digunakan gereja Protestan untuk melakukan persekusi dan kontrol terhadap kaum Katolik di negar-negara mereka. Inquisisi ini mengambil dalih bahwa gereja adalah pemegang otoritas segalanya, dan menempatkan diri sebagai wakil Tuhan.

Adanya dominasi dan tindakan-tindakan gereja seperti itulah yang kemudian membuat masyarakat Barat berpikir untuk memisahkan agama dengan kehidupan sosial dan kenegaraan (sekularisasi). Kesewenang-wenangan gereja dalam kekuasaan tersebut mengakibatkan adanya trauma sejarah yang berkepanjangan, sampai saat ini.

Trauma sejarah tersebut dilengkapi dengan adanya problema teks Bible --baik Perjanjian Lama maupun Baru-- yang sangat diragukan keotentikan dan kandungan makna yang ada di dalamnya. Hal ini tentu saja mengakibatkan munculnya problematika baru, yaitu sulitnya para teolog Barat merumuskan konsep Tuhan.

Dari berbagai problema tersebut itulah, akhirnya merubah cara pandang masyarakat Barat terhadap agama, yang ketika itu didominasi oleh Kristen. Akhirnya mereka mencari konsep dan ideologi baru yang menurut mereka sesuai dengan keinginan mereka. Sehingga lahirlah masyarakat Barat yang sekuler dan liberal.

Liberalisme Agama

Liberalisme agama merupakan salah satu bagian dari objek liberalisasi. Ada banyak objek atau aspek dari kehidupan ini yang telah dipersandingkan dengan liberalisme. Misalkan, liberalisme politik, liberalisme budaya, maupun liberalisme ekonomi.

Liberalisasi agama ini mula-mula muncul di Barat, dengan objeknya adalah agama Kristen dan Yahudi, yang ketika itu sedang mendominasi masyarakat Barat. Tetapi seiring dengan adanya hegemoni peradaban Barat di era modern ini, maka liberalisasi agama itu juga telah merambah kepada agama-agama hampir di seluruh dunia.

Dalam agama Yahudi, liberalisasi sudah berkembang sejak abad ke-19. Ketika itu sudah muncul gerakan Liberal Judaism (Yahudi Liberal) yang merupakan bagian lain dari sekte Yahudi sendiri. Begitu juga dengan liberalisasi dalam tubuh Kristen. Sudah banyak teolog-teolog liberal yang bermunculan, bahkan sudah menyebar di Indonesia.

Makna dari liberalisasi agama sendiri, menurut Adian Husaini, adalah proses penempatan agama ke dalam bagian dari dinamika sejarah. Agama adalah bagian dari sejarah, dan harus mengikuti perkembangan sejarah. Sehingga semua ajaran-ajaran agama dapat berubah setiap saat dengan mengikuti perkembangan zaman sesuai dengan nilai-nilai modern. Jika yang demikian itu terjadi pada Islam, maka tidak ada lagi hal yang tetap atau tsawabit dalam Islam. Liberalisasi agama Islam artinya Islam adalah bagian dari sejarah dan harus mengikuti zaman.

Nilai-nilai modernitas adalah dijadikan tolak ukur dalam proses liberalisasi agama. Agama dipaksa untuk tunduk kepada nilai-nilai modern, bukan nilai modern yang mengikuti agama.

Sebenarnya perkembangan liberalisme keagamaan ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga fase. Fase pertama, dari abad ke-17 yang dimotori oleh filosof Prancis, Rene Descartes yang mempromosikan doktrin rasionalisme. Doktrin ini berakhir sampai abad ke-18. Fase kedua, bermula pada akhir abad ke-18 dengan doktrin Romantisisme yang menekankan pada individualisme. Artinya individu dapat memberi sumber nilai. Fase ketiga, bermula dari abad ke-19 hingga abad ke-20 yang ditandai dengan semangat modernisme dan postmodernisme yang menekankan pada ide tentang perkembangan.

Pasca munculnya pertama kali sekularisme dan liberalisme di Barat, perkembangannya terus menunjukkan angka sangat signifikan. Perkembangan gereja-gereja di Barat sekarang ini sudah sangat memprihatinkan. Hal ini digambarkan sendiri oleh seorang aktivis Kristen asal Bandung, Herlianto, dalam bukunya yang berjudul “Gereja Modern, Mau ke Mana?”.

Misalkan dari realita yang ada di Amsterdam, ratusan tahun lalu 99% penduduknya beragama Kristen. Kini tinggal 10% saja yang dibaptis dan mau ke gereja. Pada tahun 1987, di Jerman, menurut laporan Institute for Public Opinian Research, 46% penduduknya mengatakan bahwa agama sudah tidak diperlukan lagi. Di Norwegia, yang Kristen-nya 90%, hanya setengahnya saja yang percaya pada dasar-dasar kepercayaan Kristen. Dan hanya sekitar 3% yang rutin ke gereja tiap minggu.

Di sejumlah gereja di Eropa, sudah menerima praktek homoseksual. Ini diamini oleh Eric James, seorang pejabat gereja Inggris yang menulis dalam bukunya “Homosexuality and a Pastoral Church”. Ia menghimbau kepada gereja agar memiliki toleransi terhadap praktek homoseksual, dan mengizinkan perkawinan antara sesama laki-laki maupun sesama wanita.

Bagi masyarakat Barat, praktek perzinaan, minuman keras, maupun pornografi, tidak dianggap sebagai tindakan kriminal. Karena standar kriminal yang mereka gunakan adalah standar kesepakatan dan kepantasan secara umum. Jika hal tersebut tidak mengganggu dan merugikan orang lain, maka tindakan itu sah-sah saja.

Dari beberapa data di atas, maka tergambar begitu parahnya arus liberalisasi dalam masyarakat Barat sekarang ini. Bentuk liberalisme semacam ini, mungkin bagi sebagian orang merupakan sebuah kewajaran di era modern. Karena era modern sekarang memang mengusung jargon kebebasan.

Sedangkan dalam tubuh Islam, “pembaharuan” pemikiran di dunia Islam sebenarnya telah dimulai sejak awal keruntuhan Khilafah Utsmaniyah di Turki. Ketika Islam di Turki dipimpin oleh Mustafa al-Tatruk, terjadilah pendekonstruksian Islam dengan mencontoh Barat. Ketika itu al-Taturk merubah total tatanan prinsip-prinsip Islam.

Beberapa hal penting yang perlu dicatat dari perombakan yang telah dilakukan al-Taturk seperti, perubahan Hukum Syari’at Islam tentang perkawinan yang diganti dengan hukum Swiss. Dalam hukum ini, perempuan juga mempunyai hak untuk menceraikan suaminya. Kemudian lebih parah lagi adzan bahasa Arab diganti dengan bahasa Turki (bahasa lokal), penggunaan jilbab dilarang, bahasa Arab diganti dengan bahasa Barat. Intinya semua identitas dan simbol-simbol Islam digantikan dengan identitas serta simbol dari Barat. Sehingga Turki yang dulunya kekuatan Islam Khilafah Utsmaniyah itu, telah berubah menjadi sekuler.

Alhasil, dari sejarah pertumbuhan dan perkembangan liberalisme hingga liberalisasi agama Islam tadi, setidaknya dapat membuka pikiran kita tentang liberalisme itu sendiri. Terkadang bagi sebagian orang, liberalisme hanyalah sebuah istilah belaka yang tidak perlu dikaji substansi maknanya. Padahal sebenarnya istilah-istilah seperti itu memiliki landasan filosofi masing-masing. Dengan demikian, penggunaan istilah-istilah paham seperti itu tentu saja tidak sembarangan. Wallahu’alam. []

Wednesday, September 19, 2012

Integrasi Norma ke dalam Dunia Pendidikan


Oleh: Ahmad Sadzali

Sudah menjadi rahasia umum bahwa dunia pendidikan di Indonesia sedang mengalami krisis yang sangat serius. Di era globalisasi ini, lembaga pendidikan Indonesia dinilai telah gagal melahirkan generasi yang berkarekter. Anak didik kita ternyata masih belum mendapatkan bekal yang cukup untuk menghadapi dunia globalisasi yang gencar sekarang ini. Hasilnya, mereka harus meraba sendiri untuk menentukan karakter diri masing-masing, antara karakter asli budaya nusantara dan karakter hasil impor dari dunia lain.

Kegagalan dunia pendidikan ini tentu saja tidak tanpa sebab. Sebab eksternal adalah gencarnya arus globalisasi yang dengan cepat merambah hingga ke genggaman tangan anak didik kita. Sedangkan sebab internalnya ada pada dunia pendidikan kita sendiri. Lembaga pendidikan kita masih belum sepenuhnya menanamkan landasan karakter yang kuat kepada anak didik. Karakter yang dimaksud di sini adalah moral dan nilai-nilai yang dapat menjadi alat untuk memilah-milih antara yang baik dan buruk dari arus globalisasi.

Yang menjadi masalah utama adalah, selama ini dunia pendidikan kita mengkotomi antara ilmu pengetahuan dengan norma. Ilmu pengetahuan alam misalnya, hanya dipelajari sebatas ilmunya saja, tidak dilandasi dengan sebuah norma. Begitu juga dengan ilmu-ilmu sosial, masih surut akan nilai-nilai suatu norma.

Pola dikotomis seperti ini sebenarnya merupakan dampak dari sekularisasi ilmu pengetahuan. Pola ini dibangun di atas ssumsi-asumsi yang menganggap bahwa agama tidak sejalan dengan ilmu pengetahuan. Pendekatan agama adalah wahyu. Sedangkan pendekatan ilmu pengetahuan adalah akal. Digalinya jurang pemisah yang dalam antara wahyu dan akal inilah yang menjadi dasar mengapa ilmu pengetahuan kita sekarang sangat surut akan norma dan nilai-nilai moral.

Salah satu langkah penting untuk mengkonter sekularisasi ilmu pengetahuan ini adalah dengan Islamisasi ilmu pengetahuan. Menurut sebagian besar pemikir, proyek Islamisasi ilmu pengetahuan ini masih tergolong baru. Kalau tidak salah, ungkapan ini pada mulanya dicetuskan oleh Prof. Sayed Naquib Al-Attas pada tahun 1977. Meski tidak menutup kemungkinan proyek ini juga sudah ada sebelumnya.

Menurut pemikir Muslim abad ini, Dr. Muhammad Imarah, Islamisasi ilmu pengetahuan berarti proses penyesuaian dan pengkorelasian antara Islam dan ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, menyerasikan hubungan antara Islam dengan ilmu pengetahuan manusia dengan tidak menganggap alam nyata dan wujud ini sebagai satu-satunya sumber ilmu pengetahuan manusia. Akan tetapi, ilmu pengetahuan manusia ini berdasarkan dua pilar utama, yaitu wahyu dan alam.

Timbulnya proyek Islamisasi ilmu pengetahuan ini bukan berarti memperbaharui isi pemikiran dan bukan pula memperbaharui permasalahan yang ada di dalamnya. Namun proyek ini merupakan risalah pemikiran yang telah dikenal sejak awal bangkitnya Islam. Al-Quran bahkan merupakan landasar utama dan pertama yang memiliki gagasan seperti ini. Jadi, Islamisasi ilmu pengetahuan adalah sebuah bentuk jalinan korelatif antara Islam dan ilmu pengetahuan.

Dalam bentuk sederhana, Islamisasi ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah salah satu upaya untuk mendamaikan pertentangan antara akal dan wakyu yang selama ini digaungkan oleh kalangan sekuler. Wahyu tidak bertentangan dengan akal, begitu juga sebaliknya. Keduanya tidak bisa saling terpisah dan berdiri sendiri. Akal tidak bisa secara independen menjadi sumber ilmu pengetahuan. Sedangkan wahyu juga membutuhkan akal sebagai penghubung dengan alam. Jadi yang benar adalah tidak ada dikotomis antara akal dan wahyu.

Jika kita sepakat bahwa wahyu dan alam adalah sumber ilmu pengetahuan yang dikombinasikan dengan akal, berarti kita juga sepakat bahwa Islam tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Jadi, sebenarnya proyek Islamisasi ilmu pengetahuan ini lebih tepatnya adalah untuk menjawab tuduhan Barat yang menafikan adanya hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan. Hal ini karena di Abad Pertengahan, Barat telah mengalami sejarah kelam soal hubungan antara agama (red. Kristen) dan ilmu pengetahuan.

Jika ilmu pengetahuan dipisahkan dengan agama, artinya secara tidak langsung telah memisahkan ilmu pengetahuan dari nilai-nilai moral atau norma. Karena sumber utama nilai-nilai moral dan norma ini adalah agama. Jika nilai moral dan norma ini absen dari ilmu pengetahuan dan dunia pendidikan, maka yang terjadi adalah seperti yang dialami oleh anak didik kita sekarang ini. Mereka tidak memiliki pondasi moral yang cukup kuat untuk menghadapi arus globalisasi. Maka di sinilah letak pentingnya Islamisasi ilmu pengetahuan sebagai upaya memasukkan nilai-nilai moral dan norma ke dalam dunia pendidikan kita.

Sebenarnya upaya ini bukan berarti absen sama sekali dari dunia pendidikan Indonesia. Upaya penanaman karakter yang bermoral terhadap anak didik sudah dilakukan sejak lama oleh lembaga pendidikan pesantren dan lembaga pendidikan agama lainnya. Akan tetapi tentu saja dunia pesantren tidak selamanya dapat meng-handle seluruh masalah pendidikan di negara kita. Harus ada upaya bersama yang menyeluruh dan global untuk mengatasi krisis krusial dalam dunia pendidikan kita ini. Maka dalam hal ini, peranan dunia pendidikan konvensional juga sangat dibutuhkan.

Sebagai contoh atas proyek ini adalah, dalam ilmu politik misalkan. Persepsi Barat terhadap ilmu politik yang terlepas dari ikatan agama, dalam prakteknya akan menghalalkan segala cara untuk mencapai kekuasaan, hingga mengabaikan etika. Ini sangat berbeda sekali dengan politik Islam. Politik Islam bukanlah sebuah kekuatan untuk melawan atau menindas masyarakat yang tidak memiliki kekuatan. Tapi politik menurut Islam adalah suatu bentuk keseimbangan antara hak dan kewajiban antara golongan masyarakat dalam suatu negara yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan bersama. Dengan demikian dalam undang-undang yang dibentuk nanti harus mempertimbangkan aspek-aspek syariat yang telah ditetapkan oleh Allah. Banyak lagi contoh lainnya, baik dalam ilmu pengetahuan alam, sains ataupun humaniora.

Proyek besar ini tidak bisa digerakkan oleh sebagian kelompok saja. Semua lapisan setidaknya harus mendukung proyek penting ini jika ingin berhasil dan mendatangkan perbaikan. Dan menurut hemat penulis, memasukkan nilai-nilai moral ke dalam dunia pendidikan sekarang inilah salah satu solusi utama atas semua permasalahan negeri ini. Wallahu’alam.[]

Monday, September 17, 2012

Pengantar Awal Belajar Usul Fikih


Oleh: Ahmad Sadzali

Kebutuhan umat Islam terhadap Ilmu Usul Fikih sudah tidak diragukan lagi. Kebutuhan umat akan Ilmu Usul Fikih ini di antaranya adalah disebabkan oleh berkembangnya permasalahan umat, sementara wahyu sudah tidak turun lagi. Terhentinya wahyu ini membuat umat Islam membutuhkan suatu kaidah dan metode yang bisa dijadikan patokan untuk mengambil hukum Fikih. Metode inilah yang selanjutnya dinamakan dengan Usul Fikih.

Mayoritas ulama mencatat bahwa Ilmu Usul Fikih ini untuk pertama kalinya dibukukan oleh Imam Syafi’i. Dengan begitu, berarti ilmu ini sudah berkembang sudah cukup lama, yaitu sekitar abad ke-2 H. Seumur yang cukup tua ini, bahasa yang digunakan dalam Ilmu Usul Fikih cenderung susah. Oleh karena itulah sangat dibutuhkan sekali pembaharuan dalam cabang ilmu ini dari segi bahasanya. Tujuannya adalah agar lebih mudah dipahami dan dibaca oleh siapapun.

Upaya mempermudah bahasa atau ibarat-ibarat yang digunakan dalam Ilmu Usul Fikih telah banyak dilakukan oleh ulama-ulama dalam buku-buku kontemporer. Salah satunya adalah buku berjudul “Ilmu Usûl Fikih” karangan Abdul Wahab Khalaf. Pembahasan Usul Fikih dalam buku ini cukup mudah, karena bahasa yang digunakan tidak rumit dan mudah dipahami. Abdul Wahab Khalaf memang dikenal dengan peninggalan buku-buku karangannya yang diulas dengan bahasa dan ibarat yang mudah dan jelas.

Antara Usul Fikih dan Fikih
Ilmu Fikih adalah ilmu dengan hukum-hukum syariat atas suatu perbuatan yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Sedangkan ilmu Usul Fikih adalah ilmu dengan kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dapat menelurkan hukum-hukum syariat dari dalil-dalil yang terpernci.

Objek kajian dalam Ilmu Fikih adalah perbuatan Mukallaf yang dinilai dalam kaca mata syariat. Sementara objek kajian dalam Ilmu Usul Fikih adalah dalil-dalil syariat yang dapat dijadikan sebagai landasan atas suatu hukum perbuatan.

Pembahasan dalam Ilmu Fikih lebih terfokus pada dalil-dalil yang sifatnya khusus. Jadi, seorang Fakih tidak berkecimpung dalam dalil-dalil yang sifatnya umum tersebut. Sedangkan sebaliknya, pembahasan Ilmu Usul Fikih lebih terfokus pada dalil-dalil yang sifatnya umum, dan tidak pada dalil-dalil bersifat khusus.

Tujuan Ilmu Fikih adalah penerapan hukum-hukum syariat terhadap perbuatan Mukallaf itu sendiri. Sedangkan Ilmu Usul Fikih bertujuan untuk menerapkan kaidah-kaidah yang dikandung di dalamnya terhadap nash atau dalil-dalil syariat, agar dapat mengambil kesimpulan suatu hukum.

Hukum-hukum Fikih terlebih dahulu ada dibandingkan kaidah-kaidah dalam Ilmu Usul Fikih. Hukum-hukum Fikih telah ada sejak awal mulanya agama Islam ada. Pada masa Rasulullah SAW, hukum-hukum Fikih ini bersumber langsung dari nash al-Quran dan Sunnah. Sedangkan pada masa Sahabat (pasca wafatnya Rasulullah SAW), hukum-hukum Fikih bersumber dari nash al-Quran, Sunnah dan hasil ijtihad para Sahabat atas suatu perkara. Sumber ini terus berkembang dan berbeda lagi pada masa setelahnya, yaitu masa Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in. Pada masa ini sumber hukum-hukum Fikih berasal dari nash al-Quran, Sunnah, fatwa Sahabat dan ditambah lagi fatwa dari para mujtahid.

Pada masa setelah Sahabat inilah Ilmu Fikih baru mengalami kodifikasi dan menjadi cabang ilmu tersendiri. Kitab pertama yang dibukukan adalah “Muwatha” karya Imam Malik bin Anas. Kitab ini merupakan kitab Hadis dan Fikih yang berisi kumpulan Hadis-Hadis Rasulullah SAW, fatwa Sahabat dan Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in.

Sedangkan Ilmu Usul Fikih, belum dibukukan hingga pada abad ke-2 H. Sebab, pada abad ke-1 H, umat Islam ketika itu masih belum membutuhkan Ilmu Usul Fikih. Pada zaman Rasul, semua permasalahan dikembalikan kepada beliau. Sedangkan pada masa Sahabat, mereka berfatwa atas suatu permasalahan dengan berdasarkan pada nash al-Quran dan Sunnah yang dipahami mereka. Kedekatan para Sahabat dengan Rasulullah SAW juga menjadi faktor terpenting kenapa pada masa ini Ilmu Usul Fikih masih belum dibutuhkan.

Orang yang pertama kali merumuskan kaidah-kaidah Usul Fikih dan menjadikan pembahasannya menjadi ilmu yang independen adalah Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i (w. 204). Kitab beliau dalam Usul Fikih ini adalah “ar-Risalah”.

Dalam membentuk kaidah atau metode Usul Fikih, setidaknya ada tiga cara yang ditempuh para ulama. Pertama, mereka membuat kaidah berdasarkan kekuatan pemahaman mereka yang benar dan secara mantiq. Artinya, mereka tidak terlalu melihat hukum-hukum Fikih yang sebelumnya telah dikeluarkan oleh imam-imam mujtahid. Cara seperti ini kebanyakan digunakan oleh imam-imam di madzhab Syafi’i dan Maliki. Contohnya adalah kitab “al-Mustashfa” milik Imam Ghazali (w.505) dan kitab “al-Ahkam” milik Abu Hasan al-Amadi (w. 631).

Kedua, para ulama merumuskan kaidah Usul Fikih berdasarkan hukum-hukum Fikih yang telah dikeluarkan oleh para imam-imam mujtahid mereka. Maka tidak heran jika dengan cara ini, dalam buku-buku mereka banyak disebutkan contoh-contoh hukum permasalahan cabang, kemudian menyimpulkannya menjadi sebuah kaidah. Yang biasanya banyak menggunakan cara seperti ini adalah ulama-ulama dari madzhab Hanafi.

Dan yang ketiga adalah mereka yang merumuskan kaidah-kaidah Usul Fikih dengan cara menggabungkan kedua metode di atas.

Dalil-dalil Syariat
Dalil di sini berarti sesuatu yang dijadikan rujukan atau landasan atas hukum syariat dengan pemahaman yang benar, baik secara multak (qath’i) atau dzan. Beberapa ahli Usul berpendapat bahwa dalil inilah yang dijadikan sandaran atas suatu hukum syariat.

Secara umum, mayoritas ulama sependapat bahwa dalil-dalil utama yang digunakan dalam syariat adalah al-Quran, Sunnah, Ijma dan Kias. Dan begitu juga dengan urutan dalilnya. Untuk mencari hukum atas suatu perkara, kita terlebih dahulu mencarinya di dalam al-Quran. Jika tidak ada dijelaskan dalam al-Quran, maka kita mencarinya di Sunnah. Jika tidak ada juga, baru kita mencari apakah ulama pernah berijma atas hukum tersebut apa tidak. Jika tidak ada juga, baru kias yang digunakan. Urutan seperti ini telah disepakati oleh Rasulullah SAW dalam sebuah riwayat terkenal ketika Mu’adz bin Jabal ketika diutus oleh Rasulullah SAW ke Yaman.

Selain empat dalil di atas, masih ada dalil-dalil lainnya yang biasanya juga digunakan para ahli Fikih sebagai sandaran suatu hukum. Dalil-dalil tersebut di antaranya adalah seperti: al-Istihsan, al-Mashlahah al-Mursalah, al-‘Urf, al-Istishha, dan lainnya.[]



Al-Madkhal al-Wasîth: Pengantar Mudah Belajar Fikih


Nama buku: al-Madkhal al-Wasîth: li Dirâsah al-Syarî’ah al-Islâmiyyah wa al-Fiqh wa al-Tasyrî’
Penulis: Dr. Nasr Farid Muhammad Washil
Penerbit: Maktabah Taufiqiyah
Tebal buku: 269 halaman

Resensator: Ahmad Sadzali

Ilmu Fikih merupakan salah satu ilmu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan umat Islam. Dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari, umat Islam membutuhkan Ilmu Fikih sebagai tuntunan hukum. Dalam bermuamalat dengan sesama misalkan, kita membutukan suatu hukum yang dapat mengatur dan menjadi penengah. Untuk itulah kita membutuhkan Ilmu Fikih. Bahkan kita juga membutuhkan hukum-hukum dalam Fikih ketika berinteraksi dengan umat beragama lain. Oleh karenanya, mempelajari Ilmu Fikih merupakan kebutuhan tersendiri bagi umat Islam. Ilmu Fikih adalah salah satu ilmu prioritas yang harus diketahui oleh umat Islam.

Perkembangan Ilmu Fikih ini bisa dikatakan sudah sejak lama sekali, sedari zaman Rasulullah SAW. Sumber utama dalam hukum-hukum di Ilmu Fikih adalah wahyu yang tertuang dalam al-Quran dan Sunnah. Akan tetapi ketika Rasulullah SAW wafat, wahyu itu terputus. Sementara hukum-hukum Fikih terhadap perbuatan manusia terus berkembang. Dengan demikian perkembangan dan ranah pembahasan Ilmu Fikih bisa dikatakan semakin lama semakin luas. Maka wajar jika selanjutnya banyak polemik juga yang mewarnainya.

Banyak upaya yang telah dilakukan ulama-ulama terdahulu untuk mempermudah mempelajari Ilmu Fikih, ataupun dalam pengambilan hukum-hukum Fikih. Salah satunya adalah upaya pembukuan madzhab-madzhab Fikih oleh para imam Fikih, perumusan Ushul Fikih, perumusan Maqasid Syariah hingga berbagai pembaharuan-pembaharuan dalam Ilmu Fikih maupun Ushul Fikih.

Mengingat begitu luasnya pembahasan Ilmu Fikih ini, belum lagi kaitannya dengan Ilmu Ushul Fikih, Ilmu Hadis dan ilmu-ilmu lainnya, maka perlunya sebuah pengantar untuk mempelajari ilmu ini. Pengantar ini sangat dibutuhkan bagi pemula yang ingin memperdalam Ilmu Fikih. Fungsinya supaya mempermudah dalam pembelajaran Ilmu Fikih, dan memberikan gambaran global tentang apa saja yang dibahas dalam ilmu ini.

Cukup banyak buku-buku pengantar Ilmu Fikih yang sudah ditulis oleh ulama-ulama kontemporer. Di antara buku-buku pengantar tersebut adalah al-Madkhal al-Wasîth li Dirâsah al-Syarî’ah al-Islâmiyyah wa al-Fiqh wa al-Tasyrî’, karangan Dr. Nasr Farid Muhammad Washil.

Kurang begitu jelas kenapa Mufti Mesir yang diangkat pada tahun 1996 ini menakaman buku pengantar Ilmu Fikih ini dengan al-Madkhal al-Wasîth. Tapi yang jelas, dalam secuil kata pengantar di buku ini, dijelaskan bahwa—seperti yang tertera dijudul buku—buku ini mencakup pengantar Fikih, Syariah Islamiah dan Tasyri’. Buku ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman dan jalan kepada Fikih Islam. Dengan begitu, diharapkan juga pemahaman Fikih ini bisa menjadi perantara dalam praktek Syariah Islamiah dalam setiap segi kehidupan umat Islam khususnya, dan pada umat manusia pada umumnya.

Mengawali pembahasan dalam pengantar ini, Dr. Nasr Farid menjelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan “Pengantar Fikih Islam”. Kata “al-Madkhal”—yang selanjutnya kita artikan dengan “Pengantar”—secara bahasa Arab artinya adalah tempat masuk ke dalam suatu ruangan. Namun kata ini mengalami pergeseran makna menjadi sebuah majas ketika disandingkan dengan kata “al-Fiqh al-Islâmi”. Jadi yang dimaksud adalah sebuah pengantar atau jalan masuk untuk mempelajari Ilmu Fikih.

Selanjutnya, Dr. Nasr Farid memberikan penjelasan tentang definisi dan perbedaan dari masing-masing antara: Syariat, Fikih dan Tasyri. Antara Syariat dengan Fikih, perbedaannya adalah seperti umum dengan khusus. Dengan kata lain, Fikih lebih khusus dibandingkan dengan Syariat, salah satunya dari segi objek pembahasannya. Sementara antara Syariat dengan Tasyri’, juga bisa dikatakan seperti perumpamaan umum dengan khusus juga. Karena Tasyri’ merupakan sebuah proses yang nantinya mencapai pada suatu Syariat. Pemahahaman antara ketiga definisi ini sangat penting sekali dalam sebuah pengantar, supaya tidak terjadi tumpang-tindih atau tukar-menukar objek pembahasan.

Setelah mengetahui hakikat sebuah Syariat—dalam hal ini yang dimaksud adalah Syariat Islam—, serta  mengetahui perbedaannya dan kelebihannya dibanding dengan syariat atau hukum-hukum buatan manusia, Dr. Nasr Farid kemudian menjelaskan tentang hukum-hukum dalam Syariat Islam. Hukum Syariat dibagi menjadi dua: hukum pembebanan (al-hukm al-taklîfi) dan hukum perumusan (al-hukm al-wadh’i).

Secara global, pembahasan dalam Fikih dapat dibagi ke dalam dua ranah: ibadah dan muamalat. Ibadah adalah urusan seorang hamba dengan Tuhannya. Sedangkan muamalat adalah urusan sesama manusia. Dalam hukum muamalat, setidaknya dibagi oleh Dr. Nasr Farid membagi ke dalam tiga bagian: hukum yang mengatur hubungan antara individu dengan negara, hukum yang mengatur antar sesama individu, dan hukum yang mengatur hubungan antara negara Islam dengan negara lainnya.

Syariat Islam memiliki karakteristik dan keistimewaan tersendiri dari syariat-syariat lainnya. Hal ini karena Syariat Islam adalah syariat yang bersumber dari Allah SWT langsung. Syariat Islam adalah syariat yang berdiri sendiri, dan terlepas dari keterpengaruhannya dengan syariat atau hukum-hukum lainnya. Dalam buku ini dijelaskan dan dijawab secara jelas tentang tuduhan yang mengatakan bahwa Syariat Islam terpengaruh dengan undang-undang Romawi atau undang-undang lainnya.

Perkembangan Fikih dari masa ke masa merupakan pembahasan yang tidak bisa dilewatkan begitu saja dari sebuah pengantar Ilmu Fikih. Hal ini sangat penting, mengingat dalam perkembangan tersebutlah kita dapat memahami sebab-sebab perbedaan ulama dan madzhab-madzhab Fikih antara satu dengan lainnya.

Cara pengambilan hukum dari tiap fase perkembangan Fikih ini juga berbeda-beda. Sebagai contoh, pada masa Rasulullah SAW, semua pengambilan hukum dari suatu masalah akan dikembalikan kepada Rasul. Ini sudah berbeda di masa Sahabat, ketika Rasulullah SAW sudah tiada. Misalkan Abu Bakar, setiap ditanya tentang suatu permasalahan, beliau terlebih dahulu mencari jawabannya di nash Al-Qur’an. Jika beliau mendapatkan jawaban atau hukum atas permasalahan tersebut di dalam Al-Qur’an, maka beliau menghukuminya dengan Al-Qur’an. Jika tidak terdapat di dalam Al-Qur’an, maka beliau mencarinya di dalam Sunnah Rasulullah SAW, sepanjang apa yang beliau ketahui dan beliau hafal. Namun apabila tidak terdapat di dalam kedua nash tersebut, beliau menanyakannya kepada orang atau Sahabat lainnya, apakah Rasulullah SAW pernah menghukumi permasalahan yang ditanyakan kepada beliau tersebut atau tidak. Jika ada, maka beliau mengambilnya untuk menghukumi permasalahan tersebut.

Jika dari nash Al-Qur’an dan Sunnah juga tidak terdapat hukum tersebut, maka Abu Bakar mengumpulkan ahli ilmu dan ra’yi dari Sahabat untuk memusyawarahkan permasalahan itu. Jika para ahli ilmu dan ra’yi tersebut sepakat atas suatu hukum, maka beliau mengambil kesepakatan tersebut untuk dijadikan hukum. Namun jika mereka berbeda pendapat satu sama lain, maka Abu Bakar akan mengambil pendapat yang menurutnya lebih kuat.

Perkembangan ini dibahas lebih lanjut hingga masa pembukuan Fikih yang ditandai dengan munculnya madzhab-madzhab Fikih. Di sini juga dijelaskan secara singkat beberapa madzhab-madzhab Fikih yang besar, riwayat pendiri madzhabnya serta perbedaan metode pengambilan hukum antar madzhab. Di antara madzhab yang dijelaskan di sini adalah madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, Zaidi, Ja’fari, dan madzhab Dzahiri.

Setelah madzhab-madzhab ini, Fikih memasuki masa kejumudan atau masa taklid. Di masa ini sudah tidak ada lagi mujtahid mutlak seperti yang ada pada masa terbentuknya madzhab-madzhab Fikih. Di masa ini, umat Islam hanya mengikuti madzhab-madzhab yang sudah ada, hingga sampai pada derajat fanatik madzhab.

Situasi jumud dan taklid ini terus berlangsung hingga pada akhir abad ke-13 dan awal abad ke-14 H. Pada masa ini, umat Islam sudah mulai terbuka soal Fikih, mengingat kebutuhan umat akan pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang semakin berkembang di era modern. Pada masa ini, fanatisme madzhab sudah mulai memudar. Pembahasan Fikih lebih digalakkan dari sisi perbandingan madzhab.

Pembahasan tentang sumber hukum atau sumber Syariat Islam juga merupakan pembahasan yang sangat penting dalam sebuah pengantar Fikih. Di sini secara singkat dibahas sumber-sumber hukum Islam, baik yang telah disetujui oleh seluruh umat Islam maupun yang belum. Sumber utama Syariat Islam adalah al-Quran dan Sunnah, yang di dalamnya mencakup pembahasan Sunnah Mutawatir, Masyhur dan Khabar Ahad.

Sumber hukum selanjutnya adalah sumber-sumber penunjang. Sumber penunjang ini secara garis besar dapat diklasifikasikan ke dalam: sumber yang berdasarkan naql atau nash dan sumber yang berdasarkan akal. Di antara sumber-sumber penunjang ini adalah: Ijmak, Kias, al-Istihsân, al-Istishlâh, al-dzarâi’, al-istishhâb, syariat pendahulu kita, madzhab Sahabat, dan al-‘urf (adat).

Sebagai pengantar untuk Ushul Fikih, Dr. Nasr Farid juga menjelaskan secara singkat beberapa kaidah-kaidah dalam Fikih yang sudah dirumuskan oleh ulama-ulama terdahulu. Kaidah Fikih adalah kaidah umum yang dipakai untuk menghukumi masalah-masalah khusus yang objek pembahasannya adalah hukum-hukum Fikih—bukan hukum Ushul—dari perbuatan manusia yang mukallaf.

Sebagai tambahan, terakhir Dr. Nasr Farid menjelaskan tentang pengantar ibadah muamalat. Sebagai pengantar muamalat, dijelaskan permasalahan yang menyangkut akad-akad dan beberapa tentang hak-hak dalam Syariat Islam.

Begitulah sekilas tentang buku pengantar Fikih yang diterbitkan oleh Maktabah Taufiqiyah. Buku yang memiliki 269 halaman ini tentu saja memiliki kelebihan maupun kekurangan. Di antara kelebihannya adalah, buku ini sudah cukup mencakup pengantar seluruh ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Fikih. Buku ini juga diulas dengan bahasa Arab yang sangat ringan sehingga mudah dipahami. Sedangkan di antara kekurangnya, buku ini tidak begitu banyak memuat referensi dari buku-buku lain. Dr. Nasr Farid sepertinya menuliskan buku ini benar-benar berdasarkan pemahaman beliau yang mendalam tentang Fikih, sehingga tidak begitu banyak mencantumkan referensi. Padahal referensi penulisan buku sangat penting bagi kita untuk menelusuri literatur yang membahas tentang Fikih lebih lanjut. Wallahu’alam.[]

Rabi’ah al-‘Adawiyah dalam Mihrab Cinta Ilahi


Oleh: Arif Assofi

Masa Muda Rabi’ah
Sejarah tentang Rabi’ah pertama kali ditulis oleh al-Jahizh. Rabiah lahir pada tahun 95 H di Kota Bashroh, yang saat itu merupakan pusat pemerintahan dan juga dikenal sebagai Kota Ulama dan Para Sufi.

Rabi’ah merupakan anak keempat hasil dari pernikahan dua orang shaleh yang hidup dalam kemiskinan. Ayahnya bernama Isma’il dari Bani ‘Adwah salah satu keturunan keluarga ‘Atik yang merupakan golongan dari Kaum Qais. Ia juga sering disapa dengan nama Umm al-Khair. Dengan demikian ia bernama lengkapnya adalah Umm al-Khair Rabi’ah bint Isma’il al-‘Adawiyah al-‘Atikiyah al-Qoisiyah al-Bashriyah.

Rabi’ah tumbuh dalam keluarga yang taat beragama, ia telah menghafal al-Qur’an di umur yang sangat muda. Sayangnya, ia harus segera berpisah dengan kedua orangtuanya di masa ia masih membutuhkan belaian mereka, sedangkan pada saat itu Kota Bashrah sedang dilanda krisis ekonomi yang membuat Rabi’ah harus berpisah dengan saudara-saudaranya setiap pagi demi mengais sesuap nasi. Dan akhirnya, ia pun jatuh ke dalam kubang perbudakan. Ia dipungut oleh seorang saudagar yang kemudian menjualnya di pasar budak.

Di balik pendidikan agama yang kental dari orang tuanya, Rabi’ah memiliki suara yang indah dan juga pandai memainkan seruling. Tuannya sering menyuruhnya untuk tampil menghibur para tamu undangannya. Meskipun demikian, hatinya menolak melakukan hal itu. Hingga pada suatu malam tuannya terbangun dan melihat Rabi’ah sedang bersujud dan berdoa, “Ya Allah, hatiku sangat ingin mentaati-Mu dan ingin rasanya ku habiskan seluruh hidupku ini hanya untuk beribadah kepada-Mu, kalaulah aku dapat berbuat semauku, tak ingin rasanya aku meninggalkan ibadah ini, namun apa daya, aku harus memenuhi semua titah tuanku.” Dan saat itu tuannya melihat cahaya di atas kepalanya yang menyinari seluruh isi rumah. Menyadari hal ini, tuannya pun kaget dan segera kembali ke kamarnya dengan gelisah memikirkan tentang Rabi’ah. Hingga datang waktu pagi, tuannya pun memanggilnya dan membebaskannya.

Rabiah dan  Ulama-Ulama di Zamannya
Rabi’ah menikah dengan salah satu kerabatnya yang juga seorang sufi terkenal dizamannya yaitu Rabbah ibn Amru al-Qaisiy. Ia juga banyak mendapat ilmu darinya. Rabbah adalah salah satu murid Abdul Wahid ibn Zaid yang juga pernah melamar Rabi’ah.

Rabiah termasuk salah satu murid istimewa Hasan al-Bashriy, ia hampir tak pernah meninggalkan majlis Hasan al-Bashriy. Bahkan, jika Hasan al-Bashriy tidak melihat Rabi’ah di majlisnya, maka ia akan meninggalkannya.

Rabiah juga pernah bertemu dengan Dzunnun al-Mishriy di sebuah tempat di Bukit Sinai. Sufyan Tsauri juga termasuk ulama yang banyak berinteraksi dengan Rabi’ah, ia banyak menanyakan hikmah kepada Rabi’ah.
Sebagaimana para waliyullah yang lain Rabi’ah juga dikenal memiliki karomah, diantara karomah Rabi’ah yang terkenal adalah hilangnya pintu rumah Rabi’ah ketika seorang pencuri hendak keluar dari rumahnya setelah mengambil semua barang miliknya, dan ketika pencuri itu meletakkan barang-barangnya pintu itu muncul kembali, kemudian ketika ia mengambilnya lagi pintu itupun langsung menghilang seperti sebelumnya, sampai akhirnya ia mendengar suara yang menyuruhnya agar meletakkan barang-barang curian itu dan pergi karena rumah itu ada yang menjaganya.

Kisah Cinta Rabi’ah
Rabi’ah selalu melakukan shalat malam semalam suntuk dengan kain kafan yang selalu ia gantung didepan tempat shalatnya dan sajadah yang selalu basah kuyup seperti baru dikeluarkan dari redaman air karena banyaknya air mata yang ia teteskan dalam khusyuknya. Hingga ketika fajar hampir tiba, ia berbaring sebentar dan tiba-tiba ia tersentak bangun sambil berkata, “Wahai Rabi’ah, berapa lama kamu tidur? Hampir saja kamu tidur dan tidak bangun lagi kecuali ketika mendengarkan bunyi sangsakala.” demikialah keadaan Rabi’ah sepanjang hidupnya.

Suatu hari Rabbah suaminya mencium seorang anak kecil, lalu Rabi’ah bertanya kepadanya, “Wahai Rabbah, apakah kau mencintainnya?” lalu Rabbah mengiyakannya, dan Rabi’ah pun menegurnya, “Aku tidak mengira bahwa kau masih menyisakan ruang dihatimu untuk mencintai selain Allah.” Dan jika malam tiba, ia berhias untuk suaminya dan menanyakan jika suaminya membutuhkannya, dan jika tidak, maka ia langsung menuju tempat shalatnya bermunajat hingga fajar tiba.

Suatu hari Rabi’ah ditanya tentang cintanya kepada Rasulullah, lalu ia menjawab, “Demi Allah, aku sangat mencintainya, tapi cintaku kepada Sang Khaliq tak menyisakan ruang untuk mencintai makhluk.” Dan pada suatu hari ia bermimpi bertemu Rasulullah Saw dan beliau bertanya kepadanya, “Wahai Rabiah, apakah kau mencintaiku?” lalu ia menjawab, “Apakah ada orang yang tidak mencintaimu? Tapi cintaku kepada Sang Khaliq sangat menyibukkanku sehingga aku lupa untuk mencintai selain-Nya.” Lalu Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa yang mencintai Allah maka ia telah mencintaiku, dan barangsiapa yang mencintaiku maka ia telah mencintai Allah.”

Suatu hari Sufyan Tsauri bertanya kepadanya, “Wahai Rabi’ah, setiap iman seseorang mempunyai hakekat. Apakah hakekat imanmu?” Rabi’ah pun menjawab, “Aku menyembah Allah bukan karena aku tamak akan surga-Nya ataupun takut akan neraka-Nya sehingga seakan-akan aku seperti pembantu yang kurang ajar, yang jika diberi ganjaran baru akan bekerja ataupun tidak akan bekerja kecuali dipukul, tetapi aku menyembah Allah karena aku cinta dan rindu kepada-Nya.”

Sebagian kaum sufi berpendapat bahwa Rasulullah Saw hanyalah sebagai pemberi peringatan dan guru yang mengajarkan kita jalan menuju Allah, maka ketika mereka sudah mengetahui jalan itu, mereka berjalan sendiri berlomba-lomba menuju Allah sehingga mereka tidak ingin melihat siapapun melebihinya. Sedangkan sebagian lain beranggapan bahwa tidak ada jalan menuju Allah kecuali Rasulullah Saw sebagai penghalang dan selalu berada didepan mereka. Dan Rabi’ah, Syekh Abdul Qadir Jaelani, dan Abu Sa’id ibn Syibl termasuk golongan yang pertama, sedangkan golongan kedua adalah Bushairiy dan sufi-sufi yang lainnya.

Sepanjang hidupnya, Rabi’ah selalu diliputi kesedihan hingga jika mendengar kata neraka, ia pingsan. Rabi’ah wafat pada tahun 185 H di umurnya yang ke 80, dimakamkan di puncak Gunung Thur di Palestina.
Dengan demikian Rabi’ah dianggap sebagai pendiri Madrasah al-Hubb al-Ilahi yang setelahnya diikuti oleh para pegikutnya seperti, Ibn al-Faridh, Ibn ‘Arabiy, dan lain-lain. Rabiah juga dianggap sebagai orang yang pertama kali menciptakan syair-syair cinta ilahi.[]

Masih Perlukah Ujian Nasional?


Oleh: Ahmad Sadzali

Ujian Nasional bukan merupakan barang baru lagi bagi siswa dan siswi di Indonesia. Meski sempat beberapa kali berubah nama, namun substansinya tetap sama. Yaitu sebagai standarisasi kelulusan siswa se-Indonesia. Karena UN mungkin dianggap satu-satunya jalan terbaik untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Buktinya sampai detik ini UN masih eksis dilaksanakan.

Namun sekian tahun berjalan. Mulai dari saya SD sampai sekarang duduk di bangku kuliah, pendidikan Indonesia tetap gitu-gitu aja. Alih-alih mau memperbaiki pendidikan, malah kenakalan remaja yang mengatasnamakan dirinya pelajar semakin meraja lela. Sampai-sampai Indonesia disebut-sebut sebagai negara yang lagi dilanda krisis yang sangat memalukan dan mengkhawatirkan melebihi krisis ekonomi global, yaitu krisis akhlak dan moral.

Atas dasar ini, maka sudah sepatutnya kita tanyakan kepada diri kita sebagai pengenyam pendidikan ala Indonesia, benarkah sengan sistim pendidikan seperti ini, kita itu betul-betul dididik? Seberapa banyak pendidikan yang di dapat di lembaga “pendidikan” Indonesia? Dan kalaupun ada, seberapa membekaskah pendidikan itu, hingga kita akan selalu berperilaku baik? Atau jangan-jangan yang terjadi di lembaga “pendidikan” Indonesia itu hanya transformasi informasi saja?

Kembali kepada masalah UN. Akhir-akhir ini banyak kalangan yang menyuarakan sekaligus mempertanyakan kembali efesiensi dan manfaat UN. Karena mengingat hasil yang diperoleh dari UN itu sampai sekarang masih belum mencapai tujuan, yaitu standarisasi pendidikan. Malahan yang ada justru “dikotomi” pendidikan antara sekolah-sekolah di perkotaan dengan sekolah yang terletak di pelosok-pelosok daerah. Bagaimana tidak, dengan fasilitas dan kemampuan tenaga pengajar yang berbeda-beda di tiap sekolah dan daerah, standarisasi kelulusan siswa justru lebih dulu “dipaksakan”.

Pertanyaannya adalah, jelas-jelas hasil yang diperoleh dari UN sungguh sangat tidak memuaskan, lantas mengapa UN tetap dipertanyakan?

Meski hanya sebatas analisa, namun kecendrungan adanya permainan bisnis dan tander besar dari pengadaan UN ini sepertinya bisa menjadi sebab utama untuk menjawab pertanyaan di atas. Contoh kecilnya “bisnis” pensil 2B dan penggaris ujian, jika itu diwajibkan kepada seluruh siswa-siswi se-Indonesia, apakah itu bukan sumber duit? Belum banyaknya dana yang habis untuk kepanitiaan, sosialisasi, pengawasan, dan lain sebagainya.

Coba kita pikirkan dengan akal sehat kita yang sesehat-sehatnya, apakah mungkin dan pantas kelulusan siswa-siswi yang belajar 3 tahun bahkan lebih, hanya ditentukan dengan 5 mata pelajaran? Hanya ditentukan dalam waktu 3 hari ujian? Hanya ditentukan berdasarkan hitam di atas putihnya lembar jawab? Tidakkah penilaian moral lebih penting dari nilai ujian? Tidakkah pendidikan itu lebih diutamakan dari pengajaran?
Jika jawabannya tidak, maka sebaiknya lembaga “pendidikan” Indonesia dirubah namanya menjadi lembaga pengajaran dan transformasi informasi saja.

Pertanyaan terakhir, apakah sebenarnya memang sudah tidak ada lagi jalan lain yang lebih baik untuk memajukan pendidikan di Indonesia selain dengan cara UN?
Saya rasa jawabannya tentu saja ada. Dan pastinya orang-orang “pintar” di atas sana lebih mengetahuinya. Hanya saja mereka masih belum tergerak untuk melakukan reformasi pendidikan di negara kita tercinta ini. Wallahu'alam.[]

Bhinneka versus Kolonialisme-Liberalisme


Oleh: Ahmad Sadzali

Sudah menjadi maklumat umum bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki keberagaman yang sangat tinggi. Baik itu keberagaman suku bangsa, bahasa, adat istiadat, norma masyarakat, bahkan sampai watak dan karakteristik setiap penduduknya.

Indonesia memiliki 17.667 buah pulau, baik besar maupun kecil. Sebagian besarnya adalah perairan, sedangkan luas wilayah daratannya hanya 735.000 mil persegi (seluas Alaska). Di sekian banyak pulau yang ditempati penduduk Indonesia tersebut, terdapat lebih dari 300 kelompok etnis dan 50 bahasa yang sangat berbeda. Dan sistem sosialnya juga berbeda-beda, dari desa-desa kecil yang terpencil sampai kepada kota-kota metropolitan yang besar dan maju. Maka wajar saja kalau negara kita ini memiliki semboyan Bhinneka Tunggal Ika, beraneka ragam namun satu jua.

Semboyan ini sesungguhnya sudah sangat mewakili gambaran masyarakat Indonesia. Meski keberagaman itu banyak sekali, namun semuanya itu masih tetap berada di bawah satu atap, yaitu negara Republik Indonesia. Keragaman yang ada bukanlah suatu hambatan bagi masyarakat Indonesia untuk bersosial dan berinteraksi. Ketika semboyan ini diserukan, seketika itu juga jiwa persatuan itu tumbuh.

Akan tetapi permasalahannya tidak hanya sampai di situ saja. Ternyata di balik semboyan ini juga tersirat suatu peringatan yang penting bagi masyarakat Indonesia agar selalu menjaga integritas bangsa. Dengan kata lain, sebenarnya semboyan tersebut sangatlah sensitif terhadapat keutuhan tanah air. Jika keberagaman tersebut tidak dapat dijembatani dengan baik, maka dengan mudahnya masyarakat Indonesia akan pecah. Terbukti dengan kasus bercerainya Timor Timur dari NKRI, adanya Gerakan Aceh Merdeka (GAM), perang suku yang terjadi di Sambas antara suku Dayak dan Madura, kericuhan antara umat Islam dan Kristen di Poso, dan lain sebagainya.

Tentu saja ini menjadi catatan dan perhatian yang serius bagi kita semua. Keutuhan NKRI bagaimanapun juga harus tetap dijaga dan dipertahankan. Namun bukan berarti untuk mempertahankannya itu, kita harus mengorbankan keberagaman yang ada. Bukan berarti juga keberagaman itu yang menjadi sebab utama perpecahan yang ada. Karena keberagaman yang ada memang sudah menjadi sunnatullah. Bahkan dengan adanya perbedaan tersebut, bisa menjadikan rahmat bagi umat.

Sekarang keberagaman yang ada di Indoneisa, khususnya keberagaman budaya, tengah menghadapi ujian yang cukup besar. Ujian itu datang melalui arus yang diberi nama dengan liberalisasi. Arus ini seolah menawarkan solusi yang tepat untuk mengatasi keberagaman tersebut. Kebebasan menjadi alternatif persamaan atas perbedaan. Sebab inilah mengapa liberalisasi itu dikatakan sebagai ujian bagi keberagaman Indonesia.

Bahkan liberalisasi tidak hanya sebagai ujian saja bagi kebhinekaan nusatara, namun lebih dari itu ia juga menjadi penghianat bagi kultur budaya Indonesia. Liberalisasi telah menjadi musuh dalam selimut bangsa. Salah satu buktinya adalah ketika RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi dilayangkan, banyak para liberalis yang mengatasnamakan keberagaman budaya untuk menolaknya.

Gesekan budaya Indonesia dengan budaya Barat sudah sejak lama muncul. Yaitu ketika mulai masuknya kolonial bangsa Barat ke Indonesia. Bangsa Barat ketika menjajah Indonesia, tentu saja tidak hanya karena rempah-rempah atau kekayaan alam Indonesia belaka. Di samping itu juga terdapat visi lain, yaitu penyebaran ajaran kepercayaan dan kebudayaan Barat.

Orang Indonesia yang hidup di zaman kolonial ini tentu sangat merasakan bagaimana gesekan budaya pribumi dengan budaya Barat itu terjadi. Dengan kekuasaannya, Barat sangat mudah memaksakan budaya dan pemikirannya kepada masyarakat Indonesia. Hasilnya adalah modernisasi adat dan budaya itu sendiri.

Tapi yang seharusnya menjadi pertanyaan mendasar bagi kita adalah, apakah cocok budaya dan pemikiran Barat itu jika diterapkan pada masyarakat Indonesia?

Pada dasarnya kultur Barat dan Indonesia sangat berbeda. Kultur Barat dengan kapitalismenya memiliki sifat seperti berikut; adanya minat yang tinggi terhadap hal yang baru, adanya semangat berpetualang dalam mengusahakan hal-hal yang baru tersebut, tingginya individualisme dalam masyarakat Barat, dan pengagungan kepada materi. Sifat seperti ini tidak mudah untuk ditanamkan di tempat lain. Ibarat suatu bibit tanaman, maka sifat-sifat yang ada pada Barat ini membutuhkan lahan yang sesuai dengannya, agar ia bisa tumbuh subur.

Agar lahan itu cocok dengan bibitnya, maka setidaknya ada persyaratan yang harus dimiliki. Salah satu syarat untuk lahan tersebut adalah, adanya suatu suatu kelas yang kuat dari kaum urban yang terdiri dari orang-orang yang relatif bebas serta mandiri. Namun sayangnya Indonesia belum memiliki kelas seperti itu. Seperti realita sekarang, di Indonesia masih memiliki keragaman sosial. Konsep pemerintahan yang menjadi faktanya. Ada pemerintahan kota, ada juga pemerintahan desa. Dan keragaman seperti ini telah melekat dengan budaya Indonesia, serta masuk dalam konsep Bhinneka Tunggal Ika.

Salah satu bukti untuk menguatkan statement ini, kebijaksanaan kolonial Belanda di bidang perdagangan pada abad ke-17 dan ke-18, bahkan di abad ke-19, hanya mampu membawa sedikit perubahan di bidang kehidupan ekonomi.  Kebijakan ekonomi Belanda ternyata tidak mampu mengubah struktur sosial masyarakat Indonesia secara berarti.

Sekiranya ini sudah cukup untuk membuktikan kalau budaya pemikiran Barat itu tidak cocok jika diterapkan di Indonesia. Negara ini bukan lahan yang pantas bagi bibit-bibit Barat seperti liberalisme. Terdapat perbedaan yang signifikan antara kultur Barat dan Indonesia, yang menyebabkan ketidakcocokan itu.

Selanjutnya, ada catatan penting yang harus disampaikan di sini. Kolonialisme Barat ternyata masih belum berakhir. Sampai sekarang gaungnya masih dapat didengarkan, meskipun masih sayup-sayup. Jika dulu kolonialisme adalah dengan cara pendudukan pemerintahan dan mengambil segala kekayaan alam yang ada di Indonesia, namun sekarang gerakan kolonialisme itu berbentuk ekspansi pemikiran Barat ke dalam masyarakat kita. Akan tetapi tujuan utama dari kolonialisme kuno dan sekarang tetap sama, yaitu menguasai negara dan dunia. Jika itu di Indonesia, niscaya ia akan mengusai Indonesia.

Maka di sinilah letaknya peranan kebudayaan beragam Indonesia dalam membasmi bibit-bibit Barat yang kolonialis dan liberalis. Keragaman budaya ini jangan mau dirasuki begitu saja oleh paham-paham seperti ini. Konsep pemikiran Barat seperti liberalisme itu bukan malah menjadi perantara untuk menjembatani kebhinnekaan Indonesia, akan tetapi justru menjadi bumerang yang nantinya menimbulkan kekacauan Bhinneka Tunggal Ika itu sendiri. Wallahu’alam.[]

Menyikapi Perbedaan Dalam Perspektif Historis


Oleh: Ahmad Sadzali

Dewasa ini umat Islam menghadapi berbagai macam tantangan yang cukup berat. Selain tantangan eksternal seperti perang pemikiran dan peradaban, tantangan internal juga ikut menggerayangi tubuh umat Islam. Bahkan tantangan dari dalam inilah yang sebenarnya sangat berbahaya. Salah satunya adalah isu perbedaan yang sekarang ini -bagi sebagian besar kita- masih belum dapat menyikapinya dengan baik.

Tidak dapat dipungkiri lagi, banyaknya berbagai golongan dan bahkan aliran yang ada dalam tubuh Islam sekarang ini memicu kontroversi tersendiri di kalangan kita, khususnya umat Islam di Indonesia. Tengok saja perdebatan yang sering terjadi antara sesama Muslim. Satu golongan menyalahkan golongan yang lainnya. Satu kelompok merasa hanya kelomoknya sajalah yang paling benar.

Maka serasa sangat penting sekali jika kita mencoba membuka mata dan pikiran kita lagi dalam menyikapi perbedaan-perbedaan tersebut. Umat Islam sekarang  harus pandai dalam menanggapi kondisi umat seperti ini. Di tengah panasnya temperatur perang pemikiran dan musuh-musuh Islam yang berada dalam selimut. Untuk itulah tulisan ini mencobanya memberikan pencerahan berpikir dalam menanggapi itu semua dari perspektif sejarah.

Perbedaan sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Perbedaan itu merupakan hal yang lumrah adanya. Karena pada dasarnya setiap manusia itu diciptakan oleh Allah dengan berbagai macam kelebihan dan kekurangan antara satu dengan yang lainnya. Ada yang diberikan Allah kepandaian dan kecerdasan yang baik dalam memahami ajaran agama Islam, namun ada juga yang tidak. Dari kalangan sahabat Rasulullah dulu, ada yang diberikan Allah hafalan yang kuat sehingga dapat menghafal wahyu Al-Qur’an dan hadist Rasulullah, ada juga yang hafalannya kurang.

Pada masa Rasulullah SAW, perbedaan pun juga sudah terjadi. Namun setiap perbedaan pendapat dan permasalahan umat yang muncul dapat langsung diselesaikan melalui beliau. Pada masa Rasulullah ini sumber utama ajaran Islam hanyalah Al-Qur’an dan Sunnah Nabawiah. Oleh karena itulah tidak ada masalah internal berarti yang dapat mewarnai kehidupan umat Islam ketika itu. Tentu saja ini salah satu kelebihan bagi umat yang hidup di zaman tersebut. Sehingga tidak salah lagi apabila generasi Sahabat tersebut diberi julukan generasi terbaik.

Selanjutnya ketika Rasulullah telah tiada, maka beberapa perbedaan di kalangan umat Islam ketika itu telah bermunculan. Mulai dari masalah pemerintahan, sampai akhirnya berujung kepada aliran keagamaan sendiri dalam Islam. Pada masa Sahabat ini, rujukan umat Islam adalah Al-Qur’an, Sunnah Nabawiah, ijma’, dan ra’yu. Dua rujukan terakhir ini adalah salah satu bentuk untuk menyikapi berbagai perbedaan pendapat yang ada di kalangan Sahabat, selain adanya permasalahan yang baru muncul yang tidak dibahas dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabawiah. Namun meskipun demikian, tentu saja yang menjadi rujukan utama dan landasan dari dua rujukan terakhir tetap Al-Qur’an dan Sunnah Nabawiah.

Dakwah Islamiyah di masa Sahabat ini telah menunjukkan perkembangan yang signifikan. Perluasan wilayah Islamiyah ini adalah salah satu faktor adanya beberapa perbedaan di kalangan Sahabat. Perbedaan adat dan kultur masyarakat dari tempat yang berbeda-beda itulah sebab utamanya. Kultur Arab yang sangat kental pada masyarakat Madinah berbeda dengan kultur masyarakat Iraq yang ketika itu masih terpengaruh dengan budaya Persia, dan berbeda juga dengan kulturnya masyarakat Mesir dan Syam yang masih menyimpan nilai-nilai budaya Romawi.

Namun perbedaan yang terjadi di antara Sahabat akibat dari faktor tersebut masih dalam ruang lingkup untuk kemaslahatan umat Islam. Dan perbedaan yang terjadi ketika itu pun sangat sedikit sekali. Salah satu sebabnya  karena para Sahabat masih banyak yang berada di Madinah, khususnya di zaman Khalifah Abu Bakar ra dan Khalifah Umar ibn Khathab ra, sehingga setiap permasalahan dapat diselesaikan dengan musyawarah.

Pada masa Tabi’in, wilayah Islam semakin luas lagi. Tentu saja semakin beragam pula kultur umat Islam yang melatarbelakanginya. Maka wajar  ketika masa ini berkembang madrasah yang saling berbeda metode pengambilan hukumnya, khususnya dalam penggunaan ra’yu, yaitu Madrasah Ahlul Hadist di Madinah dan Madrasah Ahlul Ra’yi di Iraq. Salah satu faktor penyebab berkembangnya Madrasah Ahlul Hadist adalah pengaruh yang diterima Tabi’in dari para Sahabat seperti Zaid ibn Tsabit dan Abdullah ibn Umar. Sedangkan Madrasah Ahlul Ra’yi mendapat pengaruh dari Abdullah ibn Mas’ud yang telah lama bermukim di Kufah sejak zaman Khalifah Umar ibn Khathab ra.

Beranjak ke masa Tabi’ tabi’in, kajian ilmu Fikih dan berbagai cabang ilmu lainnya mencapai puncak kegemilangannya. Di mana pada masa inilah banyak ulama-ulama Mujtahid bermunculan. Sebagai contoh, munculnya berbagai macam mazhab Fikih. Tentu saja perbedaan dalam ijtihat lebih beraneka ragam lagi.

Perbedaan pendapat yang muncul dikalangan ulama terdahulu sebenarnya hanya berkisar pada masalah furu’iyah atau cabang-cabang fikih saja. Itu pun disebabkan metode yang mereka gunakan untuk mengambil hukum fikih tersebut berbeda-beda. Misalnya dalam menentukan suatu hukum yang belum ada dibahas dalam Al-Qur’an dan Hadist, Imam Malik mengedepankan perbuatan penduduk Madinah, karena menurut beliau segala sesuatu yang berkenaan dengan cara beribadah penduduk Madinah tidak mungkin kalau bukan hasil dari melihat perbuatan Rasulullah yang diturun-temurunkan generasi ke generasi. Berbeda dengan Imam Syafi’i yang lebih mengedepankan Ijma’ (kesepakatan para ulama) setelah Al-Qur’an dan Hadist.

Begitulah sekilas gambaran perjalanan perbedaan-perbedaan pendapat dalam Islam. Intinya agama Islam itu satu, dan tidak ada berbagai macam jenis Islam yang lainnya. Sedangkan perbedaan pendapat dan golongan itu adalah bentuk dari pengembangan pemikiran Islam. Namun perlu digaris bawahi, bahwa perbedaan-perbedaan tersebut hanya dalam ranah furu’iyah saja. Jika kemudia perbedaan yang berkembang justru menjurus kepada perbedaan akidah dan tauhid, maka tentu saja dalam hal ini kebenaran atau yang haq itu harus kita kedepandakan. Karena batasan dan rambu-rambu yang digambarkan Islam dalam wilayah tauhid dan akidah itu sudah sangat jelas.

Jika ada yang mencoba untuk merubah rukun Iman dan rukun Islam, maka ini harus kita perangi. Jika ada yang mengatakan Al-Qur’an hanyalah produk budaya, ini pun juga harus kita perangi. Jika ada yang memperbolehkan perkawinan homoseksual, pemikiran seperti ini jelas telah menyimpang dari koridor yang telah ditentukan Islam. Namun cara memeranginya pun juga harus baik. Jika kita diserang dengan pemikiran seperti itu, maka untuk membalasnya tentu saja juga dengan pemikiran juga, bukan malah dengan kekerasan.

Jika hal seperti ini yang terwujud di antara umat Islam di Indonesia sekarang ini, maka serasa indah Islam itu  dijalankan. Penilaian-penilaian negatif tentang Islam dan perpecahan, Islam dan kekerasan, hingga Islam dan terorisme, harus segera kita hentikan. Caranya yaitu dengan membangun kembali image Islam yang cinta damai, yang profesional dalam menanggapi segala perbedaan. Image itu akan tumbuh tergantung bagaimana kita menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan kita. Wallahu’alam.[]