Pages

Saturday, November 17, 2012

Mewaspadai Infiltrasi Asing dalam Menafsirkan al-Quran

Oleh: Dede Permana*


Layaknya udara segar yang membuat tubuh kita sehat, pemahaman yang tepat terhadap al-Quran adalah panduan utama yang akan membawa kita kepada keyakinan yang benar. Jika kesegaran udara harus selalu dijaga agar kita tidak terserang penyakit, maka upaya untuk memahami al-Quran dengan benar juga harus kita perhatikan agar tidak terasuki pemikiran-pemikiran asing yang membuat kita menjauh dari kebenaran. Infiltrasi asing ini, dalam kajian studi al-Quran disebut sebagai “al-Dakhîl”.

Secara etimologis, kata “al-dakhîl” diartikan oleh Ibnu Manzhur sebagai sesuatu yang masuk ke dalam sistem organ manusia, sehingga menyebabkan pada timbulnya suatu kerusakan. Kerusakan itu bisa mengenai otak (akal) ataupun tubuh. Sementara secara terminologis, Ibrahim Khalifah, seorang pakar Tafsir di Universitas al-Azhar mengartikannya sebagai segala riwayat yang tidak benar dan bertentangan dengan pokok-pokok utama ajaran Islam (syariat); atau hasil pemahaman seseorang yang bersumber dari pemikiran yang rusak. Dari pengertian ini, al-dakhîl kemudian dibagi menjadi dua, yaitu al-dakhîl dalam tataran riwayat (al-dakhîl fi al-manqûl) dan al-dakhîl dalam tataran hasil pemikiran (al-dakhîl fi al-ma’qûl).

Sejarah perkembangan al-dakhîl dalam Tafsir

Dalam sejarahnya, masyarakat Arab Quraisy sebelum lahirnya Islam adalah masyarakat yang memiliki hubungan cukup erat dengan bangsa Yahudi dan Nasrani lewat kebiasaan berdagang yang dilakukan bangsa Quraisy dua kali dalam setiap tahunnya, yaitu perjalanan pada musim dingin ke Yaman dan pada musim panas ke Syam. Pada masa-masa dagang seperti ini kaum Yahudi dan Nasrani memanfaatkan kesempatan itu untuk mentransfer pengetahuan yang mereka miliki dari kitab suci mereka kepada masyarakat Quraisy yang belum banyak mengerti baca dan tulis.

Selanjutnya, tatkala Rasulullah SAW mendeklarasikan hadirnya suatu agama baru yang bersumber dari Allah SWT, masyarakat Arab menemukan ada beberapa persamaan antara apa yang dibawa oleh al-Quran dengan apa yang mereka dapatkan dari kitab suci Yahudi dan Nasrani. Tentang kisah-kisah para Nabi, misalnya, banyak kisah-kisah yang serupa atau bahkan sama dengan apa yang tertulis di Taurat dan Injil. Bedanya, metode yang digunakan oleh al-Quran dalam mencertikan kisah-kisah tersebut hanya secara global, langsung kepada poin mauizhah dan i’tibar yang diinginkan dari kisah itu. Sedangkan dua kitab suci sebelumnya banyak menjelaskan hal-hal yang kecil dan remeh secara terperinci dan detail, seperti ukuran perahu Nabi Nuh dan jenis kayunya, warna anjing yang menemani Ashabul Kahfi di gua, bagian dari sapi betina mana yang dipakai untuk menghidupkan orang yang telah terbunuh pada zaman Nabi Musa AS, dan lain sebagainya. Dengan metode pengisahan al-Quran yang bersifat global tersebut, mereka yang memiliki rasa ingin tahu lebih, bertanya kepada para Ahli Kitab tentang penjelasan detail dari apa yang diceritakan oleh al-Quran secara global.

Kemudian seiring dengan masuknya para Ahli Kitab ke dalam Islam, ajaran agama Yahudi dan Nasrani yang mereka bawa dapat dengan mudah diceritakan kepada kaum Muslimin. Puncaknya terjadi pada masa pembunuhan Ustman bin Affan tahun 41 H,  kaum Ahli Kitab yang masuk Islam secara munafik mulai berani memasukkan ajaran-ajaran baru yang merusak kemurnian ajaran Islam dengan terang-terangan. Pada masa itu dan setelahnya, riwayat-riwayat israiliyyat dan hadis-hadis palsu mulai tersebar dengan mudah. Masyarakat semakin dibuat bingung untuk membedakan antara Hadis yang benar-benar bersumber dari Rasulullah dan riwayat-riwayat palsu yang diselundupkan oleh golongan munafikin dan para pembenci Islam. Inilah yang menjadi faktor utama lahirnya dakhil dalam tataran riwayat (al-dakhîl fi al-manqûl).

Sementara faktor yang menjadi penggerak utama lahirnya al-dakhîl dalam tataran pemikiran (al-dakhîl fi al-ma’qûl) dimulai ketika kaum Muslimin terpecah menjadi banyak sekte dan golongan, akibat kekacauan politik yang saat itu terjadi. Untuk menguatkan paham yang mereka usung, masing-masing dari mereka menafsirkan al-Quran sesuai dengan doktrin masing-masing golongan. Dalam praktiknya, mereka pun memaksakan doktrin yang mereka pahami untuk membaca al-Quran, sehingga lahirlah pemahaman-pemahaman menyimpang yang jauh dari makna yang dikandung oleh al-Quran yang sebenarnya.

Pada zaman Tabiin, kaum Yahudi, Nasrani, dan orang-orang non-Arab semakin banyak yang memeluk Islam. Kisah-kisah tentang israiliyyât dan ajaran-ajaran agama lama mereka pun semakin mudah membaur dengan ajaran Islam. Dengan fenomena seperti ini, disadari ataupun tidak, riwayat-riwayat bohong dan paham-paham yang menyimpang mulai merasuk dalam halakah-halakah penafsiran al-Quran. Pada masa Tabi Tabi’in, riwayat-riwayat ini dengan mudah masuk ke buku-buku tafsir, karena sebagian mereka tidak peduli (sengaja) memasukkan cerita-cerita tersebut untuk menafsirkan ayat-ayat al-Quran yang menceritakan sebuah kisah secara terperinci. Di antara para mufasir yang banyak memasukkan ad-Dakhîl  dalam mereka adalah Muhammad bin as Saib al Kalbi, Abdul Malik bin Abdul ‘Aziz bin Juraih, dan juga Muqatil bin Sulaiman.

Dampak yang ditimbulkan dari infiltrasi asing inipun sangat fatal. Dengan adanya sumber-sumber penafsiran dari israiliyyât, Islam digambarkan sebagai agama yang sangat tidak rasional dan penuh dengan takhayul serta khurafat. Belum lagi cerita tentang Allah yang pernah lelah ketika menciptakan alam juga akan mengakibatkan keyakinan kita terhadap ke-Mahakuasaan Allah luntur. Ditambah pula riwayat-riwayat tentang Nabi Daud yang berzina dengan istri panglimanya, atau Nabi Luth yang tidur dengan putrinya, juga akan meruntuhkan doktrin fundmental tentang kesucian ('ishmah) para nabi dan rasul. Sementara itu, infiltrasi dalam tataran pemikiran juga tak kalah besar dampaknya, terutama ketika ayat-ayat al-Quran dijadikan sebagai tunggangan kepentingan sektarian kelompok tertentu. Muktazilah yang dalam salah satu ajaranya menolak sifat kalam, misalnya, menakwilkan ayat yang menceritakan bahwa Allah berbicara kepada Musa AS menjadi Musa yang berbicara kepada Allah.

Faktor-faktor terjadinya infiltrasi pemikiran

Seperti disinggung pada pembahasan sebelumnya, faktor utama yang mempengaruhi lairnya infiltrasi ‘asing’ dalam tataran pemikiran adalah lahirnya beragam sekte yang memaksakan paham mereka untuk dijadikan landasan memahami al-Quran. Selain dari faktor utama itu, menurut Ibrahim Khalifah, setidaknya ada tujuh faktor lain yang melatarbelakangi lahirnya infiltrasi pemikiran dalam tafsir: Pertama, pemahaman salah yang lahir dari seseorang yang belum memenuhi syarat-syarat berijtihad. Kedua, menggunakan penalaran akal bukan pada tempatnya, dengan menafikan makna zahir suatu ayat menuju makna lain yang dipaksakan. Ketiga, berpikiran tekstualis dengan menghilangkan peran akal dalam memahami suatu ayat. Keempat, terlalu ekstrim dalam menggunakan akal (tafalsuf) saat memahami al-Quran, sehingga menjauhkan maknanya dari apa yang dikandung secara zahir. Kelima, terlalu menggebu-gebu dalam memahami susunan kalimat dalam suatu ayat, sehingga melahirkan pemikiran-pemikiran ‘baru’ yang terasa dipaksakan terhadap al-Quran. Keenam, terlalu semangat dalam memahami nilai-nilai kemukjizatan al-Quran, seperti yang banyak terjadi dalam penafsiran-penafsiran saintifik yang sekarang banyak berkembang. Dan ketujuh, niat busuk untuk menghancurkan Islam dan berpaling dari ayat-ayat al-Quran.

Sumber-sumber otoritatif dalam menafsirkan al-Quran

Sebagai antonim dari kata “al-dakhîl”, dalam ranah keilmuan tafsir ada istilah “al-ashîl”, yaitu sumber-sumber otoritatif yang disepakati oleh para ulama dalam menafsirkan al-Quran. Karena al-dakhîl terdiri dari manqul  (riwayat) dan ma'qul (pemikiran), maka ashil pun terbagi menjadi dua, yaitu al-ashil fi al-manqul dan al-ashil fi al-ma'qul.

Dalam ranah riwayat, setidaknya ada empat sumber yang dianggap otoritatif dalam menafsirkan al-Quran: Pertama, menafsirkan al-Quran dengan al-Quran; kedua, menafsirkan al-Quran dengan Sunnah; ketiga, penafsiran al-Quran dengan perkataan Sahabat; dan keempat, menafsirkan al-Quran dengan perkataan Tabiin. Meski sebagian ulama mempermasalahkan sumber terakhir ini, namun menurut penulis, perkataan para Tabiin dapat dijadikan sumber penafsiran al-Quran karena Tabiin hidup sezaman dengan para Sahabat, sehingga mereka banyak mewarisi keilmuan mereka (Sahabat). Selain itu, masa Tabi’in merupakan salah satu generasi unggul yang ditahbiskan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya, “Sebaik-baik masa adalah masaku, kemudian masa yang datang setelahnya (masa Sahabat), kemudian masa yang datang setelahnya lagi (masa Tabi’in).”

Tidak terbatas pada ranah riwayat, Islam juga mengakui otoritas akal dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran. Al-Qur’an membuka peluang bagi akal untuk dapat berijtihad dalam memahami kandungan ayat-ayatnya. Namun, untuk dapat menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan ijtihad, seseorang diwajibkan untuk memenuhi beberapa syarat, seperti harus berakidah  benar, mengetahui kaidah-kaidah ilmu bahasa Arab, memahami teori-teori pengambilan hukum (Usul Fikih), dan menguasai ilmu-ilmu Ulumul Quran.  Jika penggunaan akal dalam menafsirkan al-Quran dilakukan tanpa syarat-syarat di atas, maka hasil penafsiran tersebut akan digolongkan sebagai infiltrasi penafsiran (al-dakhîl fi al-tafsîr).

Waspadalah!

Keistimewaan al-Quran sebagai kitab yang bersumber dari Allah -baik dari sisi redaksi maupun maknanya- mengharuskan umat Islam untuk menempuh metodologi khusus yang sejalan dengan konsep wahyu dalam Islam. Menurut Henri Shalahuddin, seorang peneliti INSITS yang konsen di bidang studi al-Quran, konsep wahyu dalam Islam secara selektif menolak segala metode penafsiran liar yang bertentangan dengan sifat dasar wahyu. Dengan demikian, maka sangat diperlukan kehati-hatian dalam memahami ayat-ayat al-Quran agar seusai dengan maksud yang benar-benar diinginkan oleh Allah SWT.

Jika infiltrasi penafsiran klasik lebih banyak berupa riwayat-riwayat israiliyyat yang bersumber dari riwâyat, untuk saat ini, infiltrasi penafsiran lebih banyak membidik tataran pemikiran. Metode-metode penafsiran liar sedemikian getol dijejalkan di perguruan-perguruan tinggi Islam, sehingga menjadi kurikulum wajib setiap mahasiswanya. Lebih parah dari itu, metode-metode penafsiran klasik yang otoritatif sebagai hasil karya ulama kita, mereka singkirkan dengan alasan sudah basi dan ketinggalan zaman.

Memang, kita tidak sepatutunya menolak mentah-mentah apa yang datang dari luar Islam. Namun sebagai seorang cendekiawan Muslim sejati (real Muslim scholar), kita harus waspada dan kritis dengan pemikiran-pemikiran baru yang banyak dijadikan sebagai senjata untuk menyerang Islam dari dalam. Apalagi, selama ini telah terbukti bahwa infiltrasi asing dalam menafsirkan al-Quran lebih banyak menimbulkan keburukan daripada kebaikan. Toh, tanpa metode-metode impor tersebut, kita sebenarnya sudah sangat cukup dengan metode-metode “hasil karya sendiri” yang lebih otoritatif dan terbukti telah melahirkan kebaikan yang sangat besar. Wallahu a’lam.[]

*Penulis adalah pegiat kajian Studi al-Quran I'JAZ  IKPM Cab. Kairo.

Tuesday, November 13, 2012

Membangun Peradaban Ilmu Berbasis al-Quran


oleh: Jauhar Ridloni Marzuq, Lc.

Mayoritas ulama sepakat bahwa ayat al-Quran yang pertama kali turun adalah surat al-Alaq 1-5. Turunnya ayat yang diawali dengan perintah membaca ini, menurut Raghib al-Sirjani dalam “al-Ilmu wa Binâ’ al-Umam” sangat aneh. Setidaknya, ada tiga alasan yang mendasari pandangan ini: Pertama, dari sekian ribu tema yang bisa diangkat, al-Quran ternyata memilih tema tentang baca-tulis. Padahal, Nabi Muhammad sebagai orang pertama yang menerima ayat itu adalah seorang buta huruf. Kedua, al-Quran mengajak bangsa Arab -yang mayoritas masyarakatnya buta huruf- untuk memperhatikan suatu masalah yang sama sekali jarang mereka perhatikan. Seperti tertulis dalam banyak buku sejarah, bangsa Arab ketika al-Quran diturunkan adalah masyarakat primitif yang hidupnya dipenuhi oleh urusan takhayul, khurafat dan kebodohan. Karena itu, turunnya al-Quran dengan perintah membaca adalah suatu keanehan. Sedangkan ketiga, untuk menjadi media transformasi ilmu, al-Quran memilih media yang sangat berat bagi masyarakat Arab saat itu, yaitu membaca.

Dengan tiga alasan tersebut, maka Raghib al-Sirjani kemudian berkesimpulan bahwa fenomena ini tentu memiliki rahasia yang perlu diungkap dan diketahui. Sebagai kitab petunjuk, Allah tidak mungkin memilih tema sembarangan untuk menjadi permulaan penurunan kalam-Nya. Salah satu alasannya, menurut al-Sirjani, adalah sebagai bukti paling jelas bahwa Islam adalah sebuah agama yang bersandar kepada ilmu pengetahuan dan menolak kebodohan. Permulaan ayat ini juga menjelaskan bahwa membaca adalah kunci untuk memahami agama baru ini, sekaligus menjadi syarat utama yang harus dimiliki oleh manusia untuk mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat.

Ilmu sebagai sifat utama kenabian


Sebagai seorang pemimpin, nabi adalah aktor utama pembangun peradaban dalam Islam. Jika Islam secara substansif telah ada sejak Nabi Adam, maka nabi yang harus diyakini oleh umat Islam adalah Nabi Adam hingga Nabi Muhammad SAW. Keseluruhan jumlah nabi memang tidak dijelaskan oleh al-Quran. Namun, dalam beberapa cerita yang disebutkan al-Quran, Allah selalu mengaitkan mereka dengan ilmu. Dalam surat al-Baqarah, Nabi Adam digambarkan sebagai orang diajarkan (diberi ilmu) oleh Allah nama-nama segala sesuatu (QS al-Baqarah 21); Nabi Luth diberi hikmah (kenabian) dan ilmu (QS al-Anbiya: 74); Nabi Musa, Nabi Yusuf dan Nabi Sulaiman juga diberi hikmah dan ilmu (QS Qashash: 14, QS Yusuf: 22 dan QS al-Anbiya: 79); Nabi Ya’qub diajari banyak ilmu (QS Yusuf 68); Nabi Isa diajari al-Kitab, hikmah, Taurat dan Injil (QS al-Maidah: 110); dan Nabi Muhammad diajari oleh Allah apa-apa yang tidak beliau ketahui (al-Nisa 113).

Di sini dapat disimpulkan bahwa salah satu sifat utama kenabian adalah berilmu, karena tanpa ilmu seorang nabi tidak akan pernah bisa mengajarkan sesuatu. Sebuah pepatah mengatakan, “Orang yang tidak memiliki tidak akan bisa memberi.”

Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, al-Quran kemudian memuat banyak sekali ayat yang mengajak manusia untuk mencari ilmu pengetahuan. Al-Quran juga dalam banyak kesempatan mencela kebohodohan dan kejumudan. Meski tidak bisa baca tulis, dalam banyak riwayat Hadis, Rasulullah memerintahkan beberapa Sahabat untuk belajar membaca dan menulis. Usai Perang Badar, Rasulullah bahkan menjadikan pembelajaran baca-tulis sebagai media tebusan para tawanan perang.

Di sinilah, Islam kemudian hadir sebagai kekuatan baru untuk mengubah tatanan hidup masyarakat Arab Jahiliyah menuju tatatan hidup baru yang berperadaban, dengan berlandaskan pada nilai-nilai ilmu pengetahuan yang bersumber dari al-Quran.

Tradisi ini kemudian terwariskan dari generasi ke generasi sehingga membentuk sebuah pandangan hidup. Pandangan hidup seperti inilah yang kemudian menjadikan Islam mampu mengambil alih kepemimpinan peradaban dari tangan Romawi Persia hingga lebih dari 1000 tahun lamanya.

Ilmu sebagai syarat utama menguasai dunia


Salah satu tujuan utama diciptakannya manusia adalah untuk menjadi khalifah di bumi. Namun, posisi dan kedudukan khalifah yang diberikan Allah kepada mereka bukanlah tanpa syarat. Dalam surat al-Baqarah Allah menjelaskan bahwa ditunjuknya Adam (bapak seluruh manusia) sebagai khalifah adalah karena kelebihan ilmu yang dimilikinya. Malaikat yang pada awalnya ‘keberatan’ dengan penunjukan Adam akhirnya menerima, karena mengakui bahwa Adam memiliki ilmu yang yang tidak mereka miliki.
Fenomena seperti ini berlaku juga pada kisah penunjukan Thalut sebagai raja (QS al-Baqarah: 247), seorang hamba shalih sebagai pemenang sayembara pengalihan singgasana Bilqis (QS al-Naml: 39), Sulaiman sebagai penguasa (QS al-Naml: 42), dan Khidhir sebagai guru Nabi Musa (QS al-Kahfi: 65).
Dengan demikian, terlihat jelas bagaimana al-Quran sangat menjunjung tinggi kedudukan ilmu. 

Menurut Hamid Fahmy Zarkasyi, peradaban Islam sebenarnya dimulai dari komunitas kecil yang bergiat mempelajari al-Quran dan Sunnah. Komunitas yang dipengaruhi oleh pandangan hidup al-Quran itu kemudian bertambah besar dengan membentuk kekuatan militer yang akhirnya menjadi institusi negara. Karena universalitas ajaran Islam, maka negara bangsa yang berdasarkan ras dilebur bersama bangsa-bangsa lain di bawah naungan Islam. Kekuatan pemersatu bangsa-bangsa itu adalah pandangan hidup Islam yang teratur dan rasional, serta bahasa Arab. 

Dengan demikian, maka dapat diambil benang merah bahwa untuk membangun kembali peradaban Islam harus diawali dengan membangun peradaban ilmu. Karena asas peradaban Islam adalah ilmu pengetahuan yang bersumber pada al-Quran dan Sunnah, maka peranan ilmu pengetahuan yang sangat sentral dalam keseluruhan struktur konsep peradaban Islam, seperti pendapat Hamid Fahmy, perlu dikembalikan sebagaimana aslinya. Dalam hal ini, al-Quran adalah landasan utama yang kita jadikan sebagai acuan, bukan filsafat-filsafat asing yang lebih banyak merusak daripada membangun. Wallahu a’lam. 

Friday, November 9, 2012

Problematika Zakat Hasil Bumi dalam Konteks Indonesia

(Hasil Muktamar Fikih Kontekstual PCINU Mesir)

Oleh: Fauzul Hanif

Zakat yang salah satu tujuannya adalah perataan kesejahteraan ternyata tidak begitu terlihat signifikan pada konteks Indonesia. Pasalnya, mayoritas warga Indonesia adalah penganut mazhab Syafi’i yang notabene berpendapat bahwa zakat pertanian hanya wajib pada makanan pokok saja. Padahal,kebanyakan dari para petani tanaman-tanaman pokok di Indonesia masuk dalam kategori menengah ke bawah.Bahkan, tidak jarang dari mereka yang masih berada pada garis kemiskinan. Kondisi ini tentunya terlihat timpang ketika dibandingkan dengan para pengusaha perkebunan besar yang termasuk dalam kelompok masyarakat menengah ke atas. Mereka tidak diwajibkan untuk mengeluarkan zakat hasil panennya padahal penghasilan mereka lebih besar ketimbang para petani tanaman pokok.

Permasalahan zakat di Indonesia ini tampaknya tidak luput dari perhatian ulama besar Timur Tengah, diantaranya adalah Yusuf Qaradawi. Dalam bukunya Fiqh az-Zakat, beliau menjadikan Indonesia sebagai sampel tentang tidak tercapainya fungsi zakat sebagaimana mestinya. Di Indonesia, kemiskinan masih saja membelenggu warganya. Bahkan, kesenjangan antara golongan miskin dan kaya di kalangan petani semakin terasa. Dalam buku tersebut beliau memandang bahwa problem utamanya adalah mayoritas orang Indonesia yang tetap ‘mempertahankan’ mazhab Syafi’i. Masyarakat Indonesia terus menjadikan pendapat mazhab ini sebagai acuan dalam masalah zakat, bahkan dengan konteks yang ada sekarang.

Yusuf Qaradawi sendiri sebenarnya kurang sepakat dengan sistem zakat Indonesia yang berpatokan mazhab Syafi’i pada konteks sekarang. Beliau memandang perlunya menggunakan pendapat lain yang lebih ‘longgar’ dan tidak menyempitkan zakat pada makanan pokok saja untuk menyikapi masalah sosial di Indonesia. Pendapat yang beliau tawarkan adalah untuk menggunakan mazhab Hanafi dikarenakan lebih relevan untuk konteks Indonesia demi mendapat maslahat bersama yang lebih besar.

Kaidah yang berlaku dalam mazhab Hanafi dalam pada perkara zakat pertanian benar-benar luas. Mazhab ini memandang bahwasanya zakat tidak hanya diwajibkan atas makanan-makanan pokok, melainkan seluruh hasil bumi yang secara sengaja ditanam untuk pembudidayaan tanah. Dengan begitu, segala jenis hasil bumi yang merupakan hasil pengolahan atau pembudidayaan wajib dizakati, termasuk di antaranya adalah kebun karet, kebun teh, kebun apel dan seluruh agrobisnis lainnya. Dengan begitu, para pengusaha perkebunan yang justru lebih kaya dari petani biasa terkena wajib zakat juga.

Cukup rumit untuk merumuskan apakah Indonesia perlu formulasi baru perihal zakat hasil bumi atau tidak. Perihal formulasi metode zakat adalah suatu masalah khilafiyah sehingga perbedaan pendapat  merupakan suatu keniscayaan. Jika kita teliti, setidaknya akan ada dua golongan dengan pendapat masing-masing  mengenai perspektif mereka tentang rumusan mana yang tepat untuk perihal zakat dalam konteks Indonesia.

Golongan pertama adalah yang masih tetap menggunakan mazhab Syafi’i. Mereka berpendapat bahwa mazhab Syafi’i selaras dan masih bisa digunakan dalam konteks Indonesia. Pendapat ini berdasarkan argumen bahwa para petani besar pun sejatinya tidak akan pernah luput dari kewajiban zakat. Bahkan, bisa jadi mereka masuk dalam dua kategori wajib zakat: zakat hasil niaga serta zakat emas dan perak (untuk konteks sekarang disamakan dengan uang kertas).

Golongan kedua adalah yang memandang perlunya formulasi ulang tentang sistem zakat di Indonesia. Mereka mengajukan perevisian sistem tersebut dengan menggunakan mazhab Hanafi. Mazhab ini dipandang lebih membawa maslahat untuk mengurangi kesenjangan antara petani besar dan petani kecil yang ada di Indonesia. Selain itu, dengan menerapkan sistem ini, konsep keadilan juga bisa terwujud. Zakat tidak hanya membebani segelintir orang tertentu yang justru berpenghasilan pas-pasan, namun juga dibebankan kepada pemilik perkebunan besar yang taraf hidupnya lebih dari rata-rata.

Jika melihat argumen dari masing-masing pendapat, nampaknya pendapat kedua lebih relevan untuk zaman sekarang, khusunya dalam konteks Indonesia. Mengenai argumen golongan pertama, memang tidak ada yang menyangkal. Benar bahwa para pengusaha agribisnis yang tergolong menengah ke atas masih terkena wajib zakat dari kategori lain, bahkan terkadang lebih banyak. Tetapi perlu diketahui, antara zakat hasil bumi, zakat niaga serta zakat emas dan perak mempunyai cakupannya sendiri-sendiri. Antara satu sama lain tidak bisa disamakan.

Hal itu terlihat jelas ketika ada dua atau lebih dari kategori wajib zakat yang harus ditunaikan dalam satu waktu.Jika memang terjadi, mayoritas ulama berpendapat bahwa yang diwajibkan hanya salah satu saja, adapun sisanya ditiadakan. Penafian tadi bukan berarti bahwa ada persamaan dalam zakat tersebut. Sebab dari penafian salah satu zakat adalah untuk menghindari berkumpulnya dua zakat dalam satu harta. Artinya, sebab penafian tersebut semakin menegaskan bahwa tiap kategori zakat mempunyai cakupannya masing-masing.

Intinya, zakat hasil bumi berbeda dengan kategori lainnya. Diantara perbedaan yang paling kentara adalah masalah haul. Zakat hasil bumi harus ditunaikan segera setelah masa panen tanpa menunggu haul, sedangkan zakat niaga masih dikenai syarat haul. Dari sini, terlihat bahwa penerapan mazhab Hanafi lebih pas dikarenakan titik permasalahannya adalah pada masa panen. Adapun setelah panen apakah petani tadi masih punya harta untuk dizakatkan atau tidak adalah permasalah lain.

Hanya saja, ketika memang sudah ditetapkan bahwa Indonesia memakai sistem zakat mazhab Hanafi, akan timbul permasalahan lain, yaitu tentang pengecualian tanaman yang tidak dizakati dalam mazhab ini. Hal itu berdasarkan bahwa setiap premis umum pasti ada pengecualiannya. Begitu juga dalam masalah zakat perspektif mazhab Hanafi ini.

Ketika merujuk ke buku-buku fikih zakat mereka, kita pasti akan menemukan tiga jenis hasil bumi yang dikecualikan untuk tidak dizakati. Ketiga jenis itu adalah hathab (kayu bakar), hasyisy (rumput) dan qashb fârisiy. Namun, ketika diteliti lagi illah dari penafian jenis hasil bumi ini dari zakat adalah tidak bergunanya tanaman ini pada konteks dirumuskannya sistem zakat tersebut. Dengan kata lain, tanaman-tanaman tersebut memang jarang ditanam untuk dimanfaatkan secara langsung. Ibarat yang paling mudah untuk membahasakan spesifikasi wajib zakat dari hasil bumi menurut perspektif mazhab Hanafi adalah "segala tanaman yang sengaja ditanam sebagai wujud pemanfaatan tanah dengan tujuan pembudidayaan”. Jadi, paramameternya adalah niat. Jika dari awal memang berniat untuk membudidayakan suatu tanaman, maka ketika tanaman tersebut mencapa nisab harus dizakati, baik dijual ataupun tidak karena hakikat tanaman tersebut memang mempunyai nilai jual.

Adapun nisab yang dirumuskan untuk zakat hasil bumi dalam mazhab Hanafi sama dengan nisab empat makanan pokok yang telah disepakati para ulama. Landasannya adalah hadis Rasul Saw. “Laisa fî mâ dûna khamsati awsuqin shadaqah.” Adapun jika diukur dengan satuan berat yang sering kita pakai setara dengan 653kg. Berarti semisal perkebunan teh yang kemudian panen, petaninya tidak wajib zakat kecuali jika berat (yang dimaksud adalah berat bersih) hasil panen mencapai 653kg. Adapun jenis-jenis tanaman yang tidak bisa ditimbang seperti perkebunan karet, maka yang dipakai adalah harga jual karet itu sebagai nisab. Maksudnya, zakat panen karet wajib ditunaikan jika harganya mencapai harga 653kg tanaman makanan pokok di daerah itu.

Dengan memakai mazhab Hanafi sebagai formulasi baru dalam sistem zakat, diharapkan fungsi zakat yang salah satunya adalah mengentas kemiskinan dapat terlaksana. Bahkan, jika kita merujuk pada masa kejayaan Islam, khususnya era Umar bin Abdul Aziz, optimalisasi zakat benar-benar tercapai. Dalam suatu riwayat bahkan diceritakan bahwa sang khalifah sampai tidak tahu harus ke mana lagi uang baitul mal itu disumbangkan. []