Pages

Thursday, March 14, 2013

Hukum Menganut Satu Mazhab



Oleh: Arief Assofi

Hukum menganut satu mazhab merupakan salah satu dilema masyarakat yang sampai saat ini masih banyak masyarakat yang belum mengetahui akan hakekat hukumnya. Maka dari itu, dalam tulisan singkat ini penulis mencoba untuk memaparkan pendapat para ulama tentang hukum menganut satu mazhab sehingga dapat mengeluarkan pembacanya dari dilema yang selama ini menghantuinya.

Wahbah Zuhaili menyebutkan dalam Ushûl al-Fiqh al-Islâmiy, bahwa para fukaha berbeda pendapat dalam menghukumi masalah ini. Sebab perbedaan mereka kembali kepada pertanyaan: apakah seorang mukalid sudah bertaklid kepada salah satu mazhab atau belum? Jika sudah, maka seluruh ulama sepakat bahwa mukalid dibolehkan untuk menganut mazhab apa saja. Nah, ketika seorang mukallid sudah bertaklid kepada salah satu mazhab, apakah dia boleh berpindah ke mazhab lain atau tidak?[1]

al-Amidi dan Ibnu Hajib mengklaim bahwa para ulama sepakat untuk mengharamkan berpindah mazhab bagi orang awam. Namun realitanya tidak, hal ini masih diperselisihkan di kalangan ulama.[2]

Mayoritas ulama berpendapat bahwa mukalid tidak wajib menganut satu mazhab tertentu. Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Burhan, Nawawi,[3] dan mayoritas ulama mazhab Syafi’iyah.[4] Pendapat ini juga dinisbatkan kepada Imam Ahmad, dan diamini oleh Yusuf Qaradhawi.[5] Bahkan, Ibnul Qoyyim dalam I’âmu al-Muwaqi’in menegaskan bahwa kebenaran pendapat ini mutlak.[6]

Para pengusung pendapat ini berdalih, bahwa para Sahabat RA tidak melarang orang awam pada zamannya untuk meminta fatwa kepada Sahabat lain.[7] Selain itu, mereka juga berdalih bahwa tidak ada kewajiban kecuali apa yang diwajibkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.[8] Dan juga, pendapat yang mengatakan bahwa orang awam wajib menganut satu mazhab tertentu, akan menyulitkan.[9] Karena mau tidak mau, mereka harus mencari mufti yang semazhab.

Di sisi lain, sebagian ulama berpendapat bahwa orang awam wajib bermazhab satu. Pendapat inilah yang digulirkan oleh Imam al-Juwaini,[10] Ilkia al-Harrasi[11] dan Taj al-Subki[12] dari Syafi’iyah. bahkan kajian Ibnu Munir menunjukkan bahwa dalil yang ia temukan  menunjukkan kewajiban menganut satu mazhab setelah zaman imam madzhab yang empat.[13]

Di sini Ibnu Munir tampak membedakan antara zaman sebelum imam mazhab dan setelahnya. Pandangan yang ia sampaikan ini bukan tanpa alasan. Ibnu Munir berpendapat demikian karena sebelum zaman imam madzhab yang empat, para mujtahid tidak menuliskan mazhab mereka. Sementara permasalahan yang ada pun masih sedikit, sehingga orang awam tidak mengetahui pendapat lain selain pendapat muftinya. Sedangkan setelah zaman imam mazhab yang empat, mazhab telah ditulis, dipelajari, dan disebarkan. Orang-orang awam pun mengetahui pendapat yang ringan untuk dijalankan dan pendapat yang berat, sehingga berpindah-pindah dari mazhab ke mazhab tidak lain hanyalah mencari kemudahan  (tatabbu’ al-rukhash) atas dasar hawa nafsu.[14] Demikian pula alasan yang dipaparkan Taj al-Subki.[15]
Selain itu pengusung pendapat ini juga beralasan, bahwa seorang mukalid yang sudah bertaklid kepada suatu mazhab tidak diperkenankan untuk bertaklid pada mazhab lain karena seorang mukalid tersebut telah meyakini kebenaran mazhab pertamanya, maka wajib baginya mengamalkan apa yang telah ia yakini.[16] Al-Juwaini menambahkan, “Bagaimana mungkin seseorang dapat memilih antara pendapat yang menghalalkan dan mengharamkan jika ia tidak memiliki alat ijtihad?”[17]

Di kubu ketiga, tampil al-Amidi dan Kamal bin Himam sebagai penengah. Mereka berpendapat bahwa orang awam yang telah bertaklid kepada satu mazhab dalam sebagian perkara, tidak dibolehkan untuk pindah mazhab dalam perkara yang sama. Sedangkan jika ia belum bertaklid pada suatu mazhab dalam perkara lain, maka tidak ada salahnya untuk memilih mazhab lain.[18] Karena dalam sebagian perkara ia meyakini kebenarannya pada mazhab pertama, dan dalam perkara lain ia meyakini bahwa kebenaran kali ini berpihak pada mazhab lain. Namun, penulis belum menemukan dalil yang lebih terperinci berkaitan dengan mazhab terakhir ini. Hanya saja, Wahbah Zuhaili menyebutkan alasan yang sama dengan pendapat pertama.[19]

Penulis menangkap bahwa landasan mereka adalah menggabungkan dalil kedua pendapat sebelumnya. Seorang awam yang telah bertaklid kepada satu mazhab tertentu dalam sebagian perkara, tidak diperbolehkan untuk pindah ke mazhab lain dalam perkara yang sama, karena mereka telah meyakini kebenaran mazhab tersebut dalam perkara itu sebelumnya, maka mereka wajib mengamalkan apa yang mereka yakini. Sedangkan dalam perkara yang belum dilakukannya dengan bertaklid pada mazhab apapun, taklid kepada mazhab apa saja yang mereka yakini kebenarannya dibolehkan. Karena berpindah-pindah mazhab  tanpa meyakini kebenarannya, nampak seperti mempermainkan agama dan bertindak atas kehendak hawa nafsu.

Imam Nawawi memandang, sebenarnya ulama-ulama yang mewajibkan bermazhab satu hanya tidak yakin bahwa orang awam akan selamat hawa nafsu dalam mencari kemudahan.[20]

Dalam hal ini, lebih tenang untuk mengatakan: “mazhab orang awam adalah mazhab muftinya”. Hal ini senada dengan pernyataan Ibnul Qayyim: “tidak layak bagi orang awam untuk bermazhab. Sesungguhnya mazhab hanyalah diperuntukkan bagi para akademisi.”[21] Tetapi juga tidak ada salahnya bagi orang awam jika ingin menganut satu mazhab tertentu, sebagaimana yang ditegaskan al-Qaradhawi.[22] Wallâhu A’lam.

--------------------------------------------------------------

[1] Wahbah Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, jilid II, (Damaskus: Darul Fikr, 2009), hal. 417.

[2] Ibid., hal. 417.

[3] Dinukil dari kitab al-Bahru al-Muhîth karya al-Zarkasyi oleh Yusuf al-Qaradhawi. Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa nata’âmal ma’a al-Turats, (Kairo: Wahbah, 2004), hal. 81.

[4] Diriwayatkan oleh al-Rafi’i dari Abul Fath al-Harawi. Lihat, Ibid., hal. 82.

[5] Ibid., hal. 81.

[6] Ibid., hal. 81.

[7] Ibid., hal. 81.

[8] Wahbah Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, jil. II, hal. 417.

[9] Ibid., hal. 418.

[10] Abdul Malik bin Abdullah al-Juwaini, al-Ghiyatsi; Ghiyâtsu al-Umam fî al-Tiyâtsi al-Zhulam, (Jeddah: Dar al-Minhaj, 2011), cetakan III, hal. 404.

[11] Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa nata’âmal ma’a al-Turats, hal. 81.

[12] Dinukil dari Jam’ al-Jawâmi’ oleh al-Samhudi. Ali bin Abdullah al-Samhudi, al-‘Aqd al-Farîd fî Ahkâm al-Taqlîd, (Saudi: Darul Minhaj, 2011), hal. 101.

[13] Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa nata’âmal ma’a al-Turats, hal. 81.

[14] Ibid., hal. 82.

[15] Ali bin Abdullah al-Samhudi, al-‘Aqd al-Farîd fî Ahkâm al-Taqlîd, hal. 101.

[16] Wahbah Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, jil. II, hal. 417.

[17] Abdul Malik bin Abdullah al-Juwaini, al-Ghiyatsi; Ghiyâtsu al-Umam fî al-Tiyâtsi al-Zhulam, hal. 404.

[18] Wahbah Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, jil. II, hal. 418.

[19] Ibid., hal. 418.

[20] Dinukil dari Raudhah al-Thâlibîn karya Imam Nawawi. Ali bin Abdullah al-Samhudi, al-‘Aqd al-Farîd fî Ahkâm al-Taqlîd, hal. 103.

[21] Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa nata’âmal ma’a al-Turats, hal. 83.

[22] Ibid.

0 comments:

Post a Comment