Pages

Wednesday, August 14, 2013

“Jalan Buntu” Rekonsiliasi


Oleh: Angga Prilakusuma

Proyek rekonsiliasi untuk mendamaikan Sunni dan Syiah sudah digagas sejak satu abad yang lalu. Tentunya mengurai perbedaan dan mendekatkan persepsi antara keduanya bukan perkara mudah. Hingga saat ini, keberadaan rekonsiliasi masih menjadi tanda tanya, sebagian mendukung dan sebagian menolak. Dengan melihat rentang waktu yang sudah dilalui gagasan rekonsiliasi dibandingkan capaiannya, dapat dipastikan beberapa hal yang mengganjal upaya pendekatan tersebut.

Hal pertama yang harus dijawab adalah maksud dari rekonsiliasi. Yusuf Qaradawi, salah satu promotor rekonsiliasi di kalangan Sunni sebagai misal, menolak upaya untuk melebur Sunni-Syiah ke dalam satu aliran. Baginya, upaya tersebut hanyalah angan-angan belaka. Lagipula keduanya merupakan paham akidah yang telah eksis berabad-abad dalam sejarah Islam.

Rekonsiliasi yang dimaksud Qaradawi adalah langkah untuk meminimalisir faktor-faktor yang memperlebar jurang silaturrahim, mengurangi kecurigaan, dan dendam antara umat Islam sendiri. Dengan definisi ini, “al-taqrîb” lebih dekat pada makna “al-ta’âyusy”  atau koeksistensi (keadaan hidup berdampingan secara damai antara dua negara atau lebih yang berbeda atau bertentangan pandangan politiknya) atau rekonsiliasi (perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan semula atau perbuatan menyelesaikan perbedaan).

Namun sebagian kalangan memandang peluang rekonsiliasi dengan pesimis. Karena akidah merupakan salah satu pilar yang menopang kehidupan sosial umat Islam. Untuk itu, semanis apapun penyajian konsep rekonsiliasi antara Sunni-Syiah di dalam kehidupan sosial, ia mau tak mau harus menyinggung sisi akidah.

Dalam hemat penulis, perbedaan utama dalam akidah antara Sunni dan Syiah bukan hanya berada pada daerah ushul atau furu’, tapi juga pada kategorisasi ushul dan furu’ itu sendiri. Artinya jika rekonsiliasi hendak membidik pendekatan dalam tataran akidah, pembahasan mengenai dasar yang akan digunakan dalam kategorisasi furu’-ushul merupakan sebuah keniscayaan. Jika tidak, perdebatan akan selalu terbentur pada penolakan Sunni terhadap kewajiban Imamah yang merupakan konsep sentral dalam bangunan akidah Syiah.

Di sisi lain, capaian rekonsiliasi—yang digagas sejak pertengahan abad lalu—belum dapat dirasakan secara luas, seolah-olah ide ini belum mendapatkan bentuk praktis di lapangan selain wacana akademis. Langkah-langkah strategis yang diajukan oleh Ja’far Abdussalam, sekjen Liga Universitas Islam, seperti pengajaran lintas-madzhab yang obyektif, pemberdayaan media sebagai sarana sosialisasi, masih belum terlaksana dalam skala massif (disampaikan dalam Muktamar yang diselenggarakan oleh Dewan Rekonsiliasi antar Mazhab pada tahun 2011 di Teheran).

Lambatnya kemajuan rekonsiliasi mengundang sebuah pertanyaan, apakah Syiah benar-benar tulus dalam rekonsiliasi? Yusuf Qaradawi dan ulama Sunni lain mensyaratkan agar Syiah tidak lagi mencerca sahabat, namun fenomena tersebut masih berlangsung hingga saat ini. Syarat lain adalah agar Syiah tidak menyebarkan keyakinannya di kalangan Sunni. Tapi lagi-lagi poin ini dilanggar.

Amir Sa’id memetakan gerakan Syiah di dunia Sunni selama beberapa dekade terakhir. Di Suria misalnya, hingga tahun 1995 hanya ada dua perkumpulan Syiah yang berdiri dari revolusi Iran. Namun lima tahun berikutnya, lima perkumpulan lain didirikan. Dalam rentang satu dekade setelahnya, ratusan kelompok kecil didirikan saat pemerintahan Basyar al-Asad. Pesatnya perkembangan dan aktivitas Syiah di Suriah menimbulkan keresahan di kalangan ulama Sunni.

Di Irak, situasinya jauh lebih rumit. Keadaan politik yang labil pasca jatuhnya Saddam Husein dimanfaatkan oleh Syiah untuk menyebarkan keyakinannya. Menurut pemaparan Harits al-Dhari, ketua Asosiasi Ulama Islam-Irak, dalam Konferensi Dukungan terhadap Ahlussunnah Irak yang digelar di Istanbul, milisi Syiah telah membunuh lebih dari 200.000 Sunni. Prosentase warga Syiah di Irak juga bertambah hingga mencapai 40-45% dari jumlah total warga Irak. Sebagai perbandingan, prosentase penganut paham Sunni di Irak sekitar 53%.

Muhammad Imarah mempertanyakan kesiapan Syiah untuk rekonsiliasi. Jika benar Syiah menganggap Sunni sebagai saudara seiman, mengapa mereka begitu getol men-syiah-kan Sunni? Mengapa Syiah tidak memperlakukan Sunni sebagaimana Syeikh Mahmud Syaltut mengakui beberapa madzhab fikih Syiah? Atau dalam contoh yang lebih mutakhir, Piagam Amman yang memuat pengakuan lebih dari 500 ulama Islam dari seluruh penjuru dunia (termasuk Syeikh Sayyid Thantawi, Wahbah Zuhaily, Yusuf Qaradhawi, juga beberapa perwakilan dari Indonesia) terhadap mazhab fikih Zaidiyyah, Ja’fariyyah, Ibadhiyyah, dan Zhahiriyyah di samping empat mazhab sunnah.

Kondisi lain yang harus dipenuhi untuk rekonsiliasi adalah menjauhi perbuatan yang menyakiti pihak lain. Selama Syiah masih belum berhenti mencaci sahabat, harmoni antara kedua pihak tak akan tercapai. Bagi Qaradawi ataupun Muhammad Imarah, sikap Syiah tersebut mencerminkan bahwa mereka masih belum bisa melepaskan diri dari bayang-bayang masa lalu. Kalaupun Syiah menganggap Abu Bakar ra., Umar ra., dan Utsman ra., telah merampas hak Ali ra. atas imamah, tak selayaknya Syiah mencaci mereka, namun tetap menghormati sebagaimana Sunni menghormati Ahlu Bait. Toh, cacian—yang sudah berlangsung berabad-abad—tidak menyelesaikan masalah sama sekali, kecuali memelihara sentimen terhadap golongan Sunni.

Akumulasi fenomena-fenomena di atas mengakibatkan pendirian Syiah dalam program rekonsiliasi terlihat ambigu. Ajakan rekonsiliasi dari pihak Syiah menjadi tidak efektif dan dicurigai sebagai bagian dari taqiyyah. Prinsip taqiyyah dipahami secara umum sebagai prinsip yang membolehkan Syiah untuk menyembunyikan akidah ataupun pendapatnya demi maslahat yang lebih besar, atau dalam bahasa lugas, berbohong. Prinsip ini bahkan juga boleh diterapkan atas saudaranya sesama muslim, atau dalam konteks tulisan ini, Sunni.

Namun dengan langsung menisbatkan kejadian-kejadian tersebut kepada taqiyyah agaknya terlalu tergesa-gesa. Sedang taqiyyah bukan hal yang mudah diketahui. Qaradawi sendiri mewanti-wanti agar tidak berburuksangka dengan melabeli perbuatan baik yang dilakukan Syiah sebagai taqiyyah. Namun berbaiksangka juga tak lebih dari prasangka, alias penafsiran terhadap fakta. Untuk membuktikan wacana rekonsiliasi sebagai taqiyyah dibutuhkan fakta yang menunjukkan dukungan pihak Syiah pro-rekonsiliasi terhadap upaya ekspansi Syiah di masyarakat Sunni.

Jika dilihat dari sudut pandang yang lebih luas, kemungkinan terjadinya kerjasama antar negara-negara Sunni dan Syiah tidak hanya bergantung pada proyek rekonsiliasi saja. Hubungan bilateral antar umat Islam dengan umat lain saja mungkin dilaksanakan, apalagi dengan sesama umat Islam. Paling tidak, kerjasama yang berdiri atas asas pragmatisme. Toh, sebab kekerasan atas nama agama tak bisa direduksi dalam lingkaran perbedaan akidah saja. Lagipula generalisasi stigma buruk atas semua orang Syiah atau Sunni juga tidak valid.

Perbedaan pagar antara furu’ dan ushul dalam akidah, taqiyyah, bayang-bayang masa lalu, konflik berdarah, juga keengganan Syiah untuk melangkah dalam koridor rekonsiliasi, menghantarkan pendukung gagasan ini kepada “jalan buntu”. Tapi untuk memvonis proyek ini sebagai ‘gagal’ dan ‘utopis’ agaknya masih terlalu dini. Perbedaan yang cukup dalam dan berlangsung berabad-abad tak mungkin diselesaikan dalam waktu singkat. Kalaupun ada yang ingin mempererat antar ahlul qiblah dalam artian mengurangi saling curiga dan mengikis fanatisme, mengapa tidak? [\]

0 comments:

Post a Comment