Pages

Tuesday, December 3, 2013

Perniagaan yang Tidak Akan Rugi


Pada tahun 1997 kemarin kondisi ekonomi beberapa negara Asia sangat terpuruk, tak terkecuali Indonesia. Meskipun diperkirakan mampu bertahan dari krisis yang bermula dari terkoreksinya perkonomian Thailand, akhirnya Indonesia harus bertekuk lutut dan menengadahkan tangan kepada IMF. Paket bantuan sebesar 23 miliar pun datang dari IMF, tapi tentunya bukan semata-mata paket bantuan, melainkan juga dengan beberapa saran yang direkomendasikan untuk memulihkan perkonomian Indonesia.

Di antara rekomendasi yang dituangkan dalam Letter of Intent (LoI) pada tanggal 31 Oktober 1997 adalah melikuidasi bank-bank yang sudah tidak sehat lagi. Tercatat pada awal November 1997 terdapat 16 bank yang resmi dilikuidasi. Selain itu, tercatat juga belasan bank lainnya yang diindikasi sudah tidak sehat lagi. Namun sangat menakjubkan, ketika bank konvensional harus jatuh bangun untuk bertahan, Bank Muamalat Indonesia sebagai pelopor bank syariah di Indonesia justru berhasil membukukan laba. Para pengusaha yang berinteraksi dengan bank ini pada masa-masa kritis tersebut juga mengaku mampu untuk terus mengembangkan usaha mereka. Hal ini dicatat detail dalam buku Mengapa Saya Memilih Bank Syariah yang diterbitkan dalam memperingati ulang tahun bank ini yang ke-11.

Mengenai faktornya, beberapa pakar ekonom baik itu berlatar belakang konvensional maupun Islam mengakui bahwa prinsip bagi hasil merupakan salah satu pelampung utama dari perbankan syariah dari musibah krisis. Selain itu, keharusan adanya underlying asset dalam setiap transaksi menjadikan perekonomian yang digerakkan oleh bank syariah selaku mediator selalu bersentuhan langsung dengan sektor riil. Dalam skala makro, kegiatan perekonomian yang bersentuhan langsung dengan sektor riil akan menyehatkan perekonomian negara. Ketika sektor riil terdongkrak yang artinya jumlah produksi juga bertambah, maka akan menambah daya beli suatu mata uang. Hal ini berkebalikan dengan sistem konvensional yang berpacu pada hal derivatif yang justru nantinya menimbulkan gelembung ekonomi.

Perbankan syariah hanya secuil dari penerapan ekonomi Islam. Hal ini mengingat bahwa transaksi-transaksi yang dijalankan pada perbankan syariah sejatinya hanya penerapan fikih muamalah mâliyah. Islam adalah suatu kesatuan utuh yang bersumber dari wahyu Tuhan. Artinya, falsafah yang ada dalam Islam pada ranah hubungan vertikal juga diterapkan pada hubungan horizontal. Termasuk dalam ranah horizontal ini adalah perihal interaksi perekonomian. Dari sini kita dapati bahwa untuk memahami sistem ekonomi Islam harus mengerti tentang falsafah Islam itu sendiri.

Jadi bermula dari falsafah, menjadi pandangan hidup, kemudian membentuk metodologi ataupun sistem. Kelebihan ekonomi Islam dibanding yang lain adalah, sebagaimana pendapat Umer Chapra, sinkron antara fondasi falsafah dan sistemnya.

Semua aliran ekonomi pastinya bertujuan untuk mencapai keharmonisan, baik itu antara kebutuhan individu, harga pasaran, laju barang dan berbagai aspek perekonomian lainnya. Ini adalah falsafah umum berbagai aliran ekonomi. Sayangnya, sering kali ada perbedaan antara fondasi falsafah dan sistemnya. Maka dari itu, bangunan yang diinginkan selalu saja roboh. Contohnya saja Adam Smith yang menginginkan keharmonisan harga di pasar malah membuatnya kacau balau dengan pemahaman mengedepankan kepentingan pribadi yang dengannya dianggap kepentingan sosial akan berjalan selaras. Kemudian juga paham Marxisme yang ingin mencapai kesejahteraan sosial bersama serta penghapusan alienasi malah menghasilkan inefisiensi produksi dan konsumsi. Hal ini terlihat jelas ketika paham Marxisme menjadikan harga kaku terhadap perubahan sebagai konsekuensi subsidi dalam berbagai sektor.

Jadi memang seharusnya falsafah, tujuan dan sistem disinkronkan sebagaimana yang ditawarkan ekonomi Islam. Falsafah ekonomi Islam bisa dikatakan berpusat pada, khilafah, ibadah dan takaful (kesejahteraan sosial) dengan tauhid sebagai porosnya sebagaiama dirangkum oleh Aslam Haneef.

Unsur-unsur tadi terejewantahkan dengan jelas dalam kehidupan nyata. Misalkan saja masalah kelangkaan sumber daya dibandingkan dengan kebutuhan personal. Jika dikembalikan pada unsur yang telah disebutkan, maka kita dapati bahwa pada hakekatnya setiap individu harus bisa membedakan antara kebuhutan dan keinginan. Hal ini diatur secara moral. Tuntunan moral yang bersumber dari falsafah khilafah menuntun tiap individu agar tidak mengeksploitasi sumber daya alam yang ada. Optimalisasi sumber daya menjadi tuntutan lazim bagi seorang yang sadar bahwa problematika sumber daya alam saat ini kembali pada ketamakan dan sikap hedonis.

Kemudian jika dikatakan bahwa permasalahan ekonomi saat ini adalah penyebarannya yang kurang merata, maka sistem Islam sudah membentenginya. Lapisan utamanya adalah zakat yang bertujuan memperbaiki konstruk sosial. Pos-pos distribusi yang telah ditetapkan dalam zakat benar-benar menyentuh pokok permasalahan konstruk sosial. Sejarah juga telah membuktikan bahwa jika zakat dioptimalkan, kemiskinan benar-benar bisa dientaskan. Bahkan, dikatakan bahwa Umar bin Abdul Aziz sampai tidak mendapati golongan yang berhak mendapati zakat  semasa dia menjabat sebagai kepala negara.

Dalam mengatasi gelembung ekonomi, sistem ekonomi Islam juga sudah memberikan batasannya, yaitu pelarangan menjual barang yang tidak dimiliki. Penerapannya dalam transaksi dewasa ini akan mengurangi pembengkakan uang fiktif yang hanya berbentuk byte dalam komputer. Masih dalam masalah gelembung ekonomi, penghapusan riba yang identik dengan bunga dalam transaksi juga menjadi sorotan utama. Bunga dalam transaksi merupakan momok ekonomi sebagaimana juga diakui para ekonom konvensional. Kebanyakan ekonom selalu menyudutkan sistem bunga ketika ekonomi sedang goyah. Pelarangan menjual barang yang tidak dimiliki dan riba telah mendapatkan perhatian yang besar bersamaan sejak tumbuhnya falsafah Islam. Penekanan dua perkara tadi semakin kuat dengan adanya tuntutan dari dimensi ketaatan atas perintah Sang Pencipta. Tentunya, selain kedua hal tadi masih banyak ketentuan-ketentuan yang menopang falsafah ekonomi Islam.

Keselarasan falsafah dan sistem yang dibangun adalah keharusan jika tidak ingin menghasilkan bangunan yang mudah roboh ketika ditiup angin. Ketika bangunan itu kokoh, maka kita tidak was-was dengan berbagai jenis transaksi dan segala macam perniagaan yang bersandarkan darinya. Perekonomian dalam lingkup mikro dan makro juga lebih siap menghadapi fluktuasi pasar serta kejutan-kejutan tak terduga mengingat tidak ada kegiatan ekonomi bebas resiko. Bank atau lembaga keuangan lainnya yang bersifat mediator benar-benar menjadi penggerak roda ekonomi, bukan malah menyekik orang-orang yang membutuhkan demi meraup keuntungan untuk segelintir orang berkecukupan.

0 comments:

Post a Comment