Pages

Sunday, August 18, 2013

Merangkai Puzzle Figur Rasulullah via Sukarno (1)

Oleh: Fauzul Hanif

Tentu saja sangat tidak pantas menyandingkan sayyidul basyar Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam dengan sekedar tokoh revolusionis. Yang pertama adalah orang yang dipilih oleh-Nya dari seluruh makhluk ciptaan, manusia dengan akhlak sempurna, suri tauladan bagi semua yang ada di muka bumi. Adapun yang ke dua tidak lain hanya sebatas tokoh yang membawa bangsa dengan status terjajah selama tiga setengah abad bisa menghirup hawa kemerdekaan. Tidak perlu juga penulis menyitir ibarat yang mengatakan perbedaan antara keduanya bak langit dan bumi, karena jarak langit dan bumi masih tidak cukup untuk menggambarkan perbedaan mereka berdua.

Sosok Rasul yang sempurna ini sudah banyak digambarkan oleh para sarjana Muslim melalui berbagai buku karangan mereka dari bermacam disiplin ilmu. Sarjana ilmu Tafsir menggambarkannya lewat cara Rasul mengejawantahkan kalam Ilahi; sarjana ilmu Hadis mengumpulkan segala perbuatan Rasul semasa hidupnya untuk diteladani; sarjana ilmu fikih dan ushul fikih menggambarkannya lewat kepiawaian Beliau dalam cara meng-istinbath hukum untuk diikuti para penerusnya; sarjana ilmu Sastra menganalisa keindahan tutur kata beliau; sarjana ilmu Sejarah merekam jejak hidup Beiiau dalam tulisan yang sistematis; dan masih banyak lagi berbagai disiplin ilmu lainnya yang menggambarkan kehebatan Rasul.

Antara Rasulullah dan Sukarno memiliki titik temu. Iya, hanya titik, bukan garis panjang apalagi sepetak persamaan. Sukarno semasa perjuangannya mengantarkan bangsa Indonesia menuju gerbang kemerdekaan dilalui dengan proses yang panjang. Puncaknya, bangsa Indonesia mampu memproklamasikan kemerdekaan melalui lisan beliau dengan didampingi Muhammad Hatta tepat pada pagi hari tanggal 17 Agustus tahun 1945. Sebenarnya proklamasi pada tanggal 17 Agustus itu tidak lebih dari puncak seremonial yang didahului dengan rentetan program penting lainnya. Di antaranya adalah  pencarian jati diri bangsa Indonesia yang akan menjadi pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara.

Rapat panjang dilakukan oleh Badan Penyeledik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Berbagai tokoh besar ikut duduk di sana, tentunya termasuk Sukarno sendiri. Rapat BPUPKI ini merumuskan beberapa hal yang di antaranya adalah peneluran 5 butir Pancasila yang sering dibacakan dalam upacara-upacara pengibaran Sang Saka Merah Putih.

Kita tidak perlu berdebat tentang siapa yang sebenarnya mengusung 5 butir ini. Tidak perlu juga kita mempertanyakan panjang lebar apakah benar kelima sila ini sudah ada pada bangsa Indonesia sehingga para BPUPKI hanya perlu menggalinya dari kepribadian bangsa Indonesia untuk disarikan menjadi lima butir. Tidak perlu juga berdiskusi tentang urutan dari lima sila ini. Sama juga dengan penghapusan tujuh kata “dengan mewajibkan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” yang selalu menjadi pusat kontroversi, saat ini kita sedang tidak membahas tentangnya. Apalagi tentang substansi Pancasila yang multi-interpretasi, kita tidak usah menambah interpretasi lain dengan membahasnya di sini.

Yang perlu kita garis bawahi dari sederet pembahasan panjang tentang Pancasila bahwa Sukarnolah penyebar ideologi ini. Sukarno mengenalkannya ke seluruh muka bumi dengan kepala tegak seraya membusungkan dada. Beliau menyadari betul bahwa kelima butir yang telah ia gali –menurut subjektif Sukarno sendiri tentunya– merupakan hal luar biasa. Hal itu karena untuk memanifestasikan keinginan berjuta rakyat dalam hal yang disepakati tentunya tidak mudah. Bahkan, hingga kini masih ada beberapa negara seperti Perancis dan Mesir yang belum mempunyai cita hukum yang termanifestasikan layaknya Pancasila.

Dalam sebuah video dokumenter tentang Sukarno yang diunggah di youtube, anda bisa menemukan sebuah jejak rekam pendek saat kunjungan beliau dalam pertemuan Internasional.[1] Pada pertemuan itu, Sukarno memaparkan tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dilanjutkan dengan pengenalan sebuah konsepsi khas Indonesia dalam bentuk lima butir manifestasi, Pancasila. Hal menarik yang ingin penulis sorot adalah ketika Sukarno menerangkan bahwa Indonesia telah merdeka, tidak ada hadirin yang bertepuk tangan. Baru ketika Sukarno menyebutkan satu persatu butir Pancasila, riuh tepuk tangan membahana. Bahkan, ketika selesai membacakan butir ke lima dari Pancasila, para hadirin serentak berdiri bersamaan dengan semakin riuhnya tepuk tangan mereka.

Sebenarnya terkait tidak adanya applause ketika Sukarno menerangkan kemerdekaan Indonesia dalam video itu akan kita dapati dua kemungkinan. Pertama, bisa jadi kunjungan Sukarno itu dilakukan setelah sekian tahun Indonesia merdeka. Artinya, pidatonya yang mengatakan bahwa Indonesia telah merdeka pada Agustus 1945 lalu hanyalah sekedar mengingatkan saja. Jika memang penyebutan kemerdekaan hanya sekedar mengingatkan, maka sudah jelas bahwa titik tekan pidato Sukarno ada pada penyampaian ide manifestasi khas Indonseia itu. Kedua, jika waktu kunjungan Sukarno berdekatan dengan waktu proklamasi, ini lebih dahsyat lagi. Bagaimana mungkin para hadirin tidak bertepuk tangan ketika Sukarno menerangkan kemerdekaan Indonesia. Dari dua kemungkinan ini, semuanya hanya bermuara kepada satu konklusi. Bahwa Sukarno memang sengaja hadir ataupun diundang untuk menyampaikan lima butir Pancasila sebagai landasan konstitusi yang dicantumkan dalam preambule UUD, dan para hadirin juga tidak hanya ingin menyimak pidato beliau seputar Pancasila tersebut.

Masih ada lagi video lain yang bisa kita temukan di youtube, memuat betapa bangganya Sukarno terhadap konsepsi yang telah berhasil ia manifestasikan tersebut.[2] Pidato beliau waktu itu berkenaan dengan sindiran Malaysia terhadap Indonesia. Penduduk negeri Jiran tersebut mengatakan bahwa Indonesia dengan Sukarnonya sekarang sudah tidak didengar dunia, sudah tidak diperhatikan, sudah tidak masuk perhitungan. Sukarno dengan tegas menjawab bahwa Indonesia telah berhasil menelurkan sebuah manifestasi yang diperkenalkan ke alam raya. Kelima butir Pancasila itu didengar oleh seluruh dunia. Indonesia telah memberikan sumbangsihnya terhadap dunia lewat konsepsi-konsepsinya.

Kalimat-kalimat Sukarno memang bukan sekedar isapan jempol belaka. Hal itu bisa kita saksikan saat penyambutan kedatanga beliau pada pertemuan yang telah penulis sebutkan di atas. Dalam rekaman empat menit itu kita bisa saksikan bagaimana seorang Sukarno yang datang dari negara baru kemarin sore merdeka disambut dengan begitu meriah.

Padahal itu hanya sekedar Sukarno, seorang pahlawan revolusi. Pembawa kemerdekaan bagi bangsa dengan kawasan regional Indonesia saja. Kemudian hanya dengan ditambah lima butir Pancasila yang selalu ia kantongi ke mana-mana. Benar, tentunya ditambah dengan sifat visioner beliau, ketegasan dalam mengahadapi permasalahan, kesigapan dalam mengambil kebijakan dan berbagai sifat lainnya. Tapi, seperti yang telah penulis sampaikan di atas, jarak langit dan bumi tidak cukup untuk membandingkan Sukarno dengan Rasulullah. Lalu, bagaimana dengan seorang ummiy mampu membangun sebuah peradaban baru? Allahumma shalli wa sallim wa bârik ‘alâ sayyidinâ wa maulânâ Muhammad wa ‘alâ âlihi wa ashhabihi wa man tabi’ahu biihsânin ilâ yaum al-dîn.

referensi video dokumentasi:
 

 

Wednesday, August 14, 2013

“Jalan Buntu” Rekonsiliasi


Oleh: Angga Prilakusuma

Proyek rekonsiliasi untuk mendamaikan Sunni dan Syiah sudah digagas sejak satu abad yang lalu. Tentunya mengurai perbedaan dan mendekatkan persepsi antara keduanya bukan perkara mudah. Hingga saat ini, keberadaan rekonsiliasi masih menjadi tanda tanya, sebagian mendukung dan sebagian menolak. Dengan melihat rentang waktu yang sudah dilalui gagasan rekonsiliasi dibandingkan capaiannya, dapat dipastikan beberapa hal yang mengganjal upaya pendekatan tersebut.

Hal pertama yang harus dijawab adalah maksud dari rekonsiliasi. Yusuf Qaradawi, salah satu promotor rekonsiliasi di kalangan Sunni sebagai misal, menolak upaya untuk melebur Sunni-Syiah ke dalam satu aliran. Baginya, upaya tersebut hanyalah angan-angan belaka. Lagipula keduanya merupakan paham akidah yang telah eksis berabad-abad dalam sejarah Islam.

Rekonsiliasi yang dimaksud Qaradawi adalah langkah untuk meminimalisir faktor-faktor yang memperlebar jurang silaturrahim, mengurangi kecurigaan, dan dendam antara umat Islam sendiri. Dengan definisi ini, “al-taqrîb” lebih dekat pada makna “al-ta’âyusy”  atau koeksistensi (keadaan hidup berdampingan secara damai antara dua negara atau lebih yang berbeda atau bertentangan pandangan politiknya) atau rekonsiliasi (perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan semula atau perbuatan menyelesaikan perbedaan).

Namun sebagian kalangan memandang peluang rekonsiliasi dengan pesimis. Karena akidah merupakan salah satu pilar yang menopang kehidupan sosial umat Islam. Untuk itu, semanis apapun penyajian konsep rekonsiliasi antara Sunni-Syiah di dalam kehidupan sosial, ia mau tak mau harus menyinggung sisi akidah.

Dalam hemat penulis, perbedaan utama dalam akidah antara Sunni dan Syiah bukan hanya berada pada daerah ushul atau furu’, tapi juga pada kategorisasi ushul dan furu’ itu sendiri. Artinya jika rekonsiliasi hendak membidik pendekatan dalam tataran akidah, pembahasan mengenai dasar yang akan digunakan dalam kategorisasi furu’-ushul merupakan sebuah keniscayaan. Jika tidak, perdebatan akan selalu terbentur pada penolakan Sunni terhadap kewajiban Imamah yang merupakan konsep sentral dalam bangunan akidah Syiah.

Di sisi lain, capaian rekonsiliasi—yang digagas sejak pertengahan abad lalu—belum dapat dirasakan secara luas, seolah-olah ide ini belum mendapatkan bentuk praktis di lapangan selain wacana akademis. Langkah-langkah strategis yang diajukan oleh Ja’far Abdussalam, sekjen Liga Universitas Islam, seperti pengajaran lintas-madzhab yang obyektif, pemberdayaan media sebagai sarana sosialisasi, masih belum terlaksana dalam skala massif (disampaikan dalam Muktamar yang diselenggarakan oleh Dewan Rekonsiliasi antar Mazhab pada tahun 2011 di Teheran).

Lambatnya kemajuan rekonsiliasi mengundang sebuah pertanyaan, apakah Syiah benar-benar tulus dalam rekonsiliasi? Yusuf Qaradawi dan ulama Sunni lain mensyaratkan agar Syiah tidak lagi mencerca sahabat, namun fenomena tersebut masih berlangsung hingga saat ini. Syarat lain adalah agar Syiah tidak menyebarkan keyakinannya di kalangan Sunni. Tapi lagi-lagi poin ini dilanggar.

Amir Sa’id memetakan gerakan Syiah di dunia Sunni selama beberapa dekade terakhir. Di Suria misalnya, hingga tahun 1995 hanya ada dua perkumpulan Syiah yang berdiri dari revolusi Iran. Namun lima tahun berikutnya, lima perkumpulan lain didirikan. Dalam rentang satu dekade setelahnya, ratusan kelompok kecil didirikan saat pemerintahan Basyar al-Asad. Pesatnya perkembangan dan aktivitas Syiah di Suriah menimbulkan keresahan di kalangan ulama Sunni.

Di Irak, situasinya jauh lebih rumit. Keadaan politik yang labil pasca jatuhnya Saddam Husein dimanfaatkan oleh Syiah untuk menyebarkan keyakinannya. Menurut pemaparan Harits al-Dhari, ketua Asosiasi Ulama Islam-Irak, dalam Konferensi Dukungan terhadap Ahlussunnah Irak yang digelar di Istanbul, milisi Syiah telah membunuh lebih dari 200.000 Sunni. Prosentase warga Syiah di Irak juga bertambah hingga mencapai 40-45% dari jumlah total warga Irak. Sebagai perbandingan, prosentase penganut paham Sunni di Irak sekitar 53%.

Muhammad Imarah mempertanyakan kesiapan Syiah untuk rekonsiliasi. Jika benar Syiah menganggap Sunni sebagai saudara seiman, mengapa mereka begitu getol men-syiah-kan Sunni? Mengapa Syiah tidak memperlakukan Sunni sebagaimana Syeikh Mahmud Syaltut mengakui beberapa madzhab fikih Syiah? Atau dalam contoh yang lebih mutakhir, Piagam Amman yang memuat pengakuan lebih dari 500 ulama Islam dari seluruh penjuru dunia (termasuk Syeikh Sayyid Thantawi, Wahbah Zuhaily, Yusuf Qaradhawi, juga beberapa perwakilan dari Indonesia) terhadap mazhab fikih Zaidiyyah, Ja’fariyyah, Ibadhiyyah, dan Zhahiriyyah di samping empat mazhab sunnah.

Kondisi lain yang harus dipenuhi untuk rekonsiliasi adalah menjauhi perbuatan yang menyakiti pihak lain. Selama Syiah masih belum berhenti mencaci sahabat, harmoni antara kedua pihak tak akan tercapai. Bagi Qaradawi ataupun Muhammad Imarah, sikap Syiah tersebut mencerminkan bahwa mereka masih belum bisa melepaskan diri dari bayang-bayang masa lalu. Kalaupun Syiah menganggap Abu Bakar ra., Umar ra., dan Utsman ra., telah merampas hak Ali ra. atas imamah, tak selayaknya Syiah mencaci mereka, namun tetap menghormati sebagaimana Sunni menghormati Ahlu Bait. Toh, cacian—yang sudah berlangsung berabad-abad—tidak menyelesaikan masalah sama sekali, kecuali memelihara sentimen terhadap golongan Sunni.

Akumulasi fenomena-fenomena di atas mengakibatkan pendirian Syiah dalam program rekonsiliasi terlihat ambigu. Ajakan rekonsiliasi dari pihak Syiah menjadi tidak efektif dan dicurigai sebagai bagian dari taqiyyah. Prinsip taqiyyah dipahami secara umum sebagai prinsip yang membolehkan Syiah untuk menyembunyikan akidah ataupun pendapatnya demi maslahat yang lebih besar, atau dalam bahasa lugas, berbohong. Prinsip ini bahkan juga boleh diterapkan atas saudaranya sesama muslim, atau dalam konteks tulisan ini, Sunni.

Namun dengan langsung menisbatkan kejadian-kejadian tersebut kepada taqiyyah agaknya terlalu tergesa-gesa. Sedang taqiyyah bukan hal yang mudah diketahui. Qaradawi sendiri mewanti-wanti agar tidak berburuksangka dengan melabeli perbuatan baik yang dilakukan Syiah sebagai taqiyyah. Namun berbaiksangka juga tak lebih dari prasangka, alias penafsiran terhadap fakta. Untuk membuktikan wacana rekonsiliasi sebagai taqiyyah dibutuhkan fakta yang menunjukkan dukungan pihak Syiah pro-rekonsiliasi terhadap upaya ekspansi Syiah di masyarakat Sunni.

Jika dilihat dari sudut pandang yang lebih luas, kemungkinan terjadinya kerjasama antar negara-negara Sunni dan Syiah tidak hanya bergantung pada proyek rekonsiliasi saja. Hubungan bilateral antar umat Islam dengan umat lain saja mungkin dilaksanakan, apalagi dengan sesama umat Islam. Paling tidak, kerjasama yang berdiri atas asas pragmatisme. Toh, sebab kekerasan atas nama agama tak bisa direduksi dalam lingkaran perbedaan akidah saja. Lagipula generalisasi stigma buruk atas semua orang Syiah atau Sunni juga tidak valid.

Perbedaan pagar antara furu’ dan ushul dalam akidah, taqiyyah, bayang-bayang masa lalu, konflik berdarah, juga keengganan Syiah untuk melangkah dalam koridor rekonsiliasi, menghantarkan pendukung gagasan ini kepada “jalan buntu”. Tapi untuk memvonis proyek ini sebagai ‘gagal’ dan ‘utopis’ agaknya masih terlalu dini. Perbedaan yang cukup dalam dan berlangsung berabad-abad tak mungkin diselesaikan dalam waktu singkat. Kalaupun ada yang ingin mempererat antar ahlul qiblah dalam artian mengurangi saling curiga dan mengikis fanatisme, mengapa tidak? [\]