Oleh: Ahmad Sadzali
Ada hal yang sedikit menggelitik ketika mendengar istilah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dari namanya, tentu saja tujuan utama didirikan lembaga ini adalah untuk memberantas tindak korupsi di republik ini. Kata memberantas berarti membasmi atau memusnahkan. Membasmi dan memusnahkan mengandung arti menghilangkan sama sekali hingga tidak ada lagi wujudnya. Lalu mungkinkah tujuan lembaga yang berslogan “Mewujudkan Indonesia bebas dari korupsi” ini akan berhasil sampai tidak ada lagi tindak korupsi satu pun?
Bukan bermaksud menjadikan pesimis dengan upaya pemberantasan korupsi, namun dengan sedikit berat hati harus dikatakan bahwa tujuan KPK itu tidak akan berhasil sampai kapan pun. Perlu kita sadari bahwa sebenarnya korupsi itu merupakan hukum alam. Sesuatu yang sudah menjadi hukum alam tentu tidak akan hilang dan selalu melekat dalam kehidupan manusia. Jadi bisa dikatakan bahwa upaya pemberantasan korupsi yang menjadi pekerjaan utama KPK tidak akan pernah selesai dan tercapai selama manusia masih ada di dunia ini. Mungkin hanya minimalisasi yang memungkinkan.
Untuk dapat membuktikan bahwa korupsi itu hukum alam, dapat kita telusuri dari segi definisi bahasanya. Korupsi dalam Bahasa Indonesia adalah kata serapan yang diambil dari Bahasa Inggris, yaitu corruption. Dalam kamus Oxford, corruption berarti dishonest or fraudulent conduct by those in power , typically involving bribery. Substansi utama dari korupsi dalam terminologi Inggris adalah ketidakjujuran, dishonest.
Sedangkan dalam Bahasa Arab, salah satu terminologi yang biasanya ditujukkan untuk menyebut korupsi adalah fasaad. Kata fasaad berasal dari kata dasar fa-sa-da, artinya rusak atau merusak. Jadi bagi orang Arab, tindakan korupsi itu bukan hanya sekedar mencuri uang negara saja, namun merupakan tindakan pengrusakan.
Kedua terminologi dari dua bahasa tersebut dapat kita sinergikan. Tindakan yang tidak jujur akan selalu membawa kepada kerusakan. Kebohongan memang menjadi asas utama yang melandasi kerusakan. Seperti yang dikatakan pepatah Arab, akar dari segala perbuatan dosa adalah kebohongan. Pengrusakan merupakan salah satu bentuk perbuatan dosa. Konsep dosa dalam agama ternyata juga membuktikan bahwa manusia tidak akan lepas dari perbuatan merusak.
Dalam Al-Qur’an sendiri telah dijelaskan bahwa manusia itu memang pada dasarnya hanya akan berbuat kerusakan di bumi ini. “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan mensucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah: 30).
Namun ternyata istilah “korupsi” dalam Bahasa Indonesia telah mengalami penyempitan makna. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi diartikan sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Dengan demikian, tindakan mencuri ayam tidak bisa dikategorikan ke dalam tindak korupsi.
Di satu sisi, penyempitan makna korupsi ini memang memberikan harapan dan rasa optimis kepada kita bahwa tugas KPK tersebut bisa saja tercapai. Jika korupsi hanya dimaknai seperti yang terkandung dalam KBBI tadi, maka korupsi memiliki kemungkinan untuk diberantas. Seberapa besar kemungkinan itu, tentu tergantung pada tindak tanduk kinerja KPK itu sendiri.
Lain halnya lagi jika kita telusuri sekilas sejarah pemberantasan korupsi di republik ini. Dalam sejarahnya, lembaga pemberantasan korupsi ini sebenarnya sudah sejak lama dibentuk di Indonesia. Pada masa Orde Lama saja telah dua kali dibentuk lembaga pemberantasan korupsi, yaitu dengan nama Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) dan Operasi Budhi. Pada masa Orde Baru, sebagai kritik atas ketidakmampuan pemberantasan korupsi di Orde Baru, akhirnya dibetuklah lembaga pemberantasan korupsi yang baru dengan nama Tim Pemberantasan Korupsi (TPK). Begitu juga di era Reformasi, lembaga-lembaga pemberantasan korupsi juga berganti-ganti namanya. Namun, sedari dulu juga kasus korupsi di negeri kita tidak pernah selesai.
Sekarang kasus korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) muncul silih berganti, bak patah tumbuh hilang berganti. Sejak dibentuknya lembaga KPK dari tahun 2003, tidak lantas membuat pejabat jera atau takut melakukan korupsi. Ini mengindikasikan bahwa korupsi di republik kita sepertinya sudah membudaya. Dari sekedar membudaya, bisa saja akan benar-benar berubah menjadi budaya. Untuk menghilangkan budaya tentu saja bukan pekerjaan yang gampang. Budaya itu adalah sesuatu yang sudah mengakar kuat.
Melihat fenomena tersebut, sepertinya rasa optimis dengan tercapainya slogan KPK itu kembali menjadi surut. Akan tetapi kita tidak perlu khawatir dengan hasil yang akan dicapai KPK. Manusia memang tidak ada yang sempurna, namun setiap orang tetap berusaha untuk menjalani proses mendekati kesempurnaan. Jika berbuat kerusakan itu sudah menjadi fitrah manusia, maka berbuat baik pun juga menjadi fitrah manusia di sisi yang lainnya. Jadi walau bagaimanapun, KPK harus tetap kita dukung.
Kemudian di sisi lainnya, ternyata penyempitan makna korupsi menyimpan dampak cukup negatif. Dengan disempitkanya makna korupsi, maka sama saja dengan meringankan nilai-nilai substansi korupsi yang sebenarnya berat. Korupsi yang dimaknai mencuri uang negara atau perusahaan memang perlu diberantas, namun pemberantasan itu nantinya hanya akan bersifat temporal. Sebenarnya yang perlu diberantas bukan hanya tindak korupsi saja, namun sistem pengkaderisasiannya juga perlu dimusnahkan. Jika tidak bisa musnah secara total, paling tidak diminimalisir. Caranya adalah dengan menghancurkan nilai-nilai substantif dari korupsi itu sendiri, yaitu ketidakjujuran yang dapat menyebabkan kerusakan di segala bidang. Wallahu'alam. []
0 comments:
Post a Comment