Pages

Thursday, October 25, 2012

Membangun Peradaban Islam dengan Al-Quran

(Reportase hasil kajian perdana al-Qudwah IKPM Cabang Kairo)
Oleh: Maulidatul Hifdhiyah Malik

Pemandangan berbeda terlihat di sekretariat IKPM Cab. Kairo siang itu, Ahad (07/10). Beberapa warga IKPM tampak sibuk mempersiapkan makanan ringan dan minuman di ruang bagian depan sekretariat yang terletak di bilangan Gami’ ini. Hari itu untuk pertama kalinya Bagian Keilmuan IKPM Kairo menggelar kajian umum al-Qudwah yang sempat mandeg beberapa tahun ke belakang. Untuk menghidupkan kembali kajianini, Keilmuaan IKPM memutuskan untuk mengganti format kajian yang sebelumnya dibuka untuk umum dan tidak memiliki aggota terikat, menjadi kajian gabungan yang terdiri dari Nun Center dan Al-I’jaz. Anggota kedua kajian tersebut dijadikan sebagai anggota tetap, disamping warga IKPM lain yang bersedia untuk bergabung.

Kajian al-Qudwah kali ini menghadirkan dua intelek wanita Masisir, yatu Halimatuzzahro’ Marzuki dan Rusydiana Tsani untuk mengangkat tema “Membangun Peradaban dengan al-Quran”. Halimatuzzahro’ Marzuki mewakili Nun Center dengan mengangkat judul “Peradaban Islam dan Persinggungannya dengan Barat”; sedangkan Rusydiana Tsani mewakili Kajian Al-I’jaz dengan membawakan judul “Mengembalikan Kejayaan Peradaban Islam: Kajian Tematis berdasarkan Ayat-ayat al-Quran”.

Selama kurang lebih 45 menit Halimatuzzahro’  berhasil menyihir perhatian peserta saat memaparkan makalahnya. Dalam orasinya, Uyok (demikian dia biasa dipanggil) biasa dipanggil, menuturkan bahwa perbedaan mendasar antara perkembangan peradaban Barat dan peradaban Islam ada pada aspek teologis. Di Barat, akal sangat diagungkan melebihi apapun, termsuk agama. Sementara Islam menjadikan agama (dalam hal ini adalah al-Quran dan Hadis) sebagai landasan utama dalam membangun peradaban mereka. Oleh karena itu, Uyok menyebut  peradaban Barat adalah peradaban yang semu dan rapuh, sebab mereka meninggalkan ajaran agama mereka.

Persinggungan antara Islam dan Barat dalam kacamata Uyok dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu perkembangan peradaban Islam di Andalusia; perkembangan peradaban Islam di Sisilia; dan Perang Salib (Ccrusade). Kehadiran Islam di Andalusia menjadi tonggak utama lahirnya peradaban di bumi Eropa, karena  di sana Islam berhasil menghidupkan sebuah peradaban unggul dalam berbagai aspek kehidupan, seperti keilmuan, pemikiran, akhlak, sosial dan ekonomi. Melalui pembangunan di berbagai aspek tersebut, Islam berhasil menjadi peradaban yang paling mengagumkan saat itu hingga delapan abad berikutnya. Tidak hanya itu, pada masa ini juga dilakukan penerjemahan buku berbahasa Arab ke Bahasa Spanyol dan Bahasa Latin di Toledo. Penerjemahan juga dilakukan pada buku-buku karang para filosof Yunani, seperti Galenus, Plato, Aristoteles dan Iqlidis.

Selain Andalusia, tempat lain yang menjadi tonggak perkembangan peradaban dan kemajuan Islam adalah Sisilia. Seperti halnya di Andalusia, di tempat ini Islam memberikan kontribusi yang cukup berarti bari Eropa. Selama dua abad menduduki wilayah ini, Islam berhasil merombak tatanan politik, ekonomi, budaya dan keilmuan. Islam di Sisilia juga melahirkan ulama-ulama besar, seperti Ibnu Abi Khurasan dalam bidang Nahwu dan Qiraat, Ali bin Hamzah dalam ilmu bahasa dan syair, dan Barda’i dalam Fikih Malikiy.

Terakhir, peristiwa besar yang mewarnai persinggungan Islam dan Barat adalah Perang Salib yang berlangsung selama hampir dua abad. Dalam kondisi perang, kemajuan aktivitas keilmuan Islam yang cukup pesat pada masa itu, berhasil menarik perhatian Barat yang dalam kondisi sangat terbelakang. Sebab itu, di sela-sela peperangan yang dilakukan, Barat berusaha menggali ilmu dari kaum Muslimin.

Masuknya Islam di semua wilayah tersebut, menurut Uyok, adalah bukti bahwa Islam memberikan sumbangan dan peran yang cukup signifikan pada perkembangan peradaban di Barat. Dalam masalah keyakinan, Uyok mengatakan bahwa pada masa itu Islam berhasil mengajak Barat meninggalkan berhala dan memeluk Islam. Sedangkan dari sisi keilmuan, khususnya ilmu-ilmu eksakta, Islam mampu mengembangkan ilmu pengetahuan seperti Geografi, Biologi, Matematika, Kimia dan ilmu kedokteran yang kini menjadi kebanggaan mereka. Bahkan kitab tentang ilmu kedokteran karya Ibnu Sina (Aviciena) sempat menjadi diktat utama mahasiswa di berbagai perguruan tinggi di Persia dan Italia pada abad XII.

Dengan sumbangsih Islam yang sedemikian besar, Eropa kemudian sedikit demi sedikit mengalami kemajuan. Ketika Eropa beranjak maju, Islam justru sedikit demi sedikit mundur, hingga akhirnya kepemimpnan dunia beralih ke tangan mereka. Barat kemudian melahirkan sebuah peradaban baru yang menjadikan mereka penguasa dunia.

Meski demikian, keberhasilan yang dicapai Barat saat ini tak ubahnya sebuah fatamorgana. Hal ini, menurut Uyok, dikarenakan tidak adanya pondasi yang kuat menjadi pijakan peradaban meraka. Uyok menegaskan bahwa sikap ateisme yang menjadi tren kehidupan masyarakat Barat turut menghancurkan bangunan peradaban mereka sendiri. Bagaimana tidak, Tuhan yang merupakan pencipta segala sesuatu di muka bumi ini mencoba untuk mereka ‘bunuh’ secara perlahan. Inilah salah satu alasannya mengapa sekularisme berkembang pesat di Barat.

Di akhir pemaparan makalahnya, Uyok menyinggung masalah Islamophobia Barat yang tengah melanda dunia dewasa ini. Fenomena ini, menurut Uyok, selain disebabkan oleh dendam historis akibat kekalahan mereka dalam perang merebut Yerussalem, juga dikarenakan pemahaman mereka yang setengah-setengah terhadap Islam. Akibatnya, mereka melabeli Islam dengan berbagai stigma negatif demi meruntuhkan citra positif Islam di mata dunia. Tidak hanya itu, sikap paranoid Barat terhadap Islam yang berlebihan kerap kali menjadikan mereka merendahkan dan menghina Islam melalui film-film yang mereka produksi, seperti “The Satanic Verses” yang beredar pada tahun 1988, “Submission” di tahun 2004, dan yang terbaru adalah “Innocence of Moslems” yang rilis September lalu.

Setelah Uyok selesai memaparkan makalahnya, kesempatan selanjutnya diberikan kepada Rusydiana Tsani. Jika Uyok membahas peradaban Islam dan persinggungannya dengan Barat, Rusyi, demikian Rusydiana Tsani biasa disapa, membahas secara spesifik tentang upaya untk mengembalikan peradaban Islam dari sudut pandang al-Quran. Sebelum mengajukan upaya-upaya apa yang harus dilakukan oleh umat Islam untuk mengembalikan kejayaan peradaban meraka, Rusyi mencoba flash back ke belakang dengan sedikit membahas kejayaan peradaban Islam masa lampau. Rusyi membagi peradaban Islam ke dalam dua periode, yaitu periode keemasan yang berlangsung beberapa abad lalu, dan periode “tidur pulas” yang tengah berlangsung saat ini.

Peradaban Islam yang begitu gemilang beberapa abad silam, menurut Rusyi dibangun atas tiga komponen utama, yaitu keimanan, amal saleh dan ilmu pengetahuan (sains). Rusyi menyatakan bahwa keimananlah yang membuat seoran Muslim menyadari posisinya sebagai hamba dan Tuhan sebagai sembahannya. Kesadaran ini kemudian melahirkan sikap tawaduk pada pribadi mereka. Berangkat dari sikap ketawadukan tersebut, Islam berhasil menaklukkan berbagai wilayah di Eropa dan sekitarnya di masa lalu tanpa harus merendahkan martabat para pribumi. Islam, dalam pandanan Rusyi, hadir sebagai kekuatan besar yang tegas namun santun. Hal ini sangat berbeda bila dibandingkan dengan invasi Barat yang mengedepankan penindasan dan imperialisme, yang berujung pada kerugian dan kesengsaraan bagi para pribumi. Itulah mengapa kehadiran Islam diterima dengan baik oleh masyakarat setempat. Bahkan dengan suka-rela, mereka berbondong-bondong memeluk Islam secara kaffah.

Unsur yang kedua adalah amal saleh. Mengutip pendapat Abdul Hay al-Farmawi, salah satu dosen Tafsir di Universitas Al-Azhar, Rusyi menyebutkan setidaknya ada empat prinsip yang berkaitan dengan amal saleh. Pertama, amal saleh adalah buah dari iman (tsamrah al-îmân). Ini artinya, keberadaan iman tidak akan berfungsi tanpa amal salih; dan sebaliknya, sebuah perbuatan tidak bisa dikategorikan sebagai amal saeih bila tidak bersandar pada iman. Prinsip kedua, amal saleh adalah fitrah manusia. Ketiga, amal saleh sejatinya tidaklah bermanfaat bagi Allah SWT, melainkan kepada setiap individu yang melakukannya, baik di dunia ataupun di akhirat kelak. Sedangkan keempat, amal saleh mendorong terkabulnya doa. Prinsip keempat ini termaktub dalam al-Quran pada QS. Fathir: 10.

Sedangkan komponen terakhir yang menjadi fakator utama kejayaan peradaban Islam adalah ilmu pengetahuan. Al-Quran sebagai pedoman bagi umat Islam telah menjelaskan berbagai keutamaan dan urgensi ilmu pengetahuan bagi kehidupan umat manusia. Surat al-Mujadilah ayat 11 bahkan dengan jelas menerangkan bahwa Allah memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada mereka yang beriman dan berilmu. Semua komponen tersebut, dalam kacamata Rusyi, berhasil membangun peradaban Islam dengan karakteristik istimewa. Karakteristik tersebut antara lain universalitas; tauhid; seimbang dan moderat; serta santun.

Setelah berbicara panjang lebar mengenai kegemilangan peradaban Islam di masa lalu, Rusyi kemudian beralih pada pembahasan tentang keruntuhan peradaban Islam di masa kini. Rusyi menyebut bahwa peradaban Islam saat ini sedang berada pada posisi ‘sekarat’. “Umat Islam sedang dalam kondisi yang sangat memprihatinkan,” tuturnya. Kondisi ini disebabkan dua faktor, yaitu faktor eksternal yang berasal dari luar Islam; dan faktor internal yang bersumber dari pribadi umat Islam sendiri. Termasuk bagian faktor eksternal, Rusyi menyebutkan bahwa kondisi geografis Islam yang merupakan kawasan tandus dan gersang adalah salah satunya. Meski demikian, Rusyi memberikan catatan tambahan bahwa mayoritas, seperti Ibnu Khaldun justru menganggap bahwa kawasan temapat Islam berkembang adalah salah satu penunjang kemajuan peradaban Islam, karena di kawasan inilah peradaban-peradaban besar dunia pernah tumbuh dan berkembang.

Terlepas dari perdebatan tentang faktor ekstrenal tersebut. Menurut Rusyi kemunduran peradaban Islam lebih banyak disebabkan faktor internal, seperti materialisme dan sikap malas. Kedua sikap ini, dalam pandangan Rusyi, tidak hanya negatif, namun juga mendorong terjadinya dekadensi moral dan lahirnya berbagai tindak pidana, seperti korupsi. Berawal dari kedua sikap tersebut, Islam perlahan mengalami kemunduran, hingga sampai pada titik keruntuhan dalam waktu relatif singkat.

Beberapa saat sebelum adzan Maghrib berkumandang, Rusyi mengakhiri presentasinya dengan menjelaskn upaya-upaya yang harus dilakukan oleh umat Islam untuk membangungkan peradaban Islam yang sedang “tertidur” pulas. Untuk membangunkannya, Rusyi menyebutkan dua syarat utama yang telah dijelaskan dalam surat al-Nur ayat 55-57. Pertama, menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apapun. Syarat ini adalah syarat utama yang menjadi pondasi awal peradaban Islam. Kemudian diikuti dengan syarat kedua, yaitu ibadah dan ilmu pengetahuan. Yang terpenting, al-Quran adalah kitab suci yang diturunkan Allah sebagai petunjuk bagi umat manusia di muka bumi ini. “Oleh karena itu, tidak ada kunci lain membangun peradaban Islam kecuali dengan kembali kepada al-Quran,” pungkas Rusyi diiringi tepuk tangan membahana dari peserta.

Kajian sempat dihentikan selama 20 menit guna menunaikan shalat Maghrib. Setelah itu, acara dilanjutkan kembali dengan sesi dialog dan tanya jawab. Pada sesi ini tiga penanya melontarkan pertanyaan kepada Uyok. Ikhwan Hakim, mahasiswa baru Universitas al-Azhar menanyakan tentang hakikat kemajuan Barat saat ini. Ikhwan juga menanyakan sikap Uyok tentang para pemikir Islam masa kini yang mencoba membangun Islam dengan cara meniru Barat. Selain Ikhwan, salah seorang peserta lain dari kajian Al-I’jaz juga bertanya tentang tugas utama manusia sebagai khalifah yang disinggung dalam QS. al-Baqarah: 30.

Menanggapi pertanyaan Ikhwan, Uyok menyatakan bahwa pencapaian Barat di masa kini merupakan pencapaian yang cukup hebat dan mengagumkan secara kasat mata. Kendati demikian, seperti keterangan yang ia sampaikan di awal presentasi, kemajuan Barat adalah kemajuan semu, sebab tidak didasari pondasi yang kuat yaitu agama. Padahal, agama memiliki peran penting dalam pembangunan suatu bangsa. Oleh karena itu, Uyok menyatakan ketidaksetujuannya terhadap opini beberapa pemikir Islam masa kini yang mencoba untuk membangun Islam dengan seratus persen meniru Barat, sebab Islam berbeda dengan Barat. Islam memiliki pedoman yang sangat jelas dalam mengatur segala hal, yaitu al-Quran dan Hadis. “Islam memang tidak pernah menolak untuk berinteraksi dengan siapapun, namun kita tidak bisa mengadopsi secara mentah-mentah nilai-nilai kehidupan Barat ke dalam agama kita. Nilai-nilai mereka selalu berubah sesuai dengan keinginan hawa nafsu mereka, sedangkan nilai-nilai agama kita tidak pernah mengenal kata evolusi,” tuturnya.

Selanjutnya, Nisaul Mujahidah, anggota Kajian Nun Center bertanya kepada Rusyi mengenai peran kekuasaan dalam membangun peradaban. Nisaul melihat, peradaban Barat yang menguasai dunia saat ini didominasi oleh negara-negara Yahudi, seperti Israel dan Amerika Serikat. Selain Nisaul, Saeful Luthfy, koordinator Kajian Al-I’jaz, juga melontarkan beberapa pertanyaan kepada Rusyi. Pertama, melihat fenomena beberapa golongan Islam yang begitu mudah menghukumi sesuatu dengan label haram, bid’ah dan sebagainya, mengapa hal tersebut bisa terjadi? Apakah yang demikian ini termasuk bagian dari kemunduran Islam? Kedua, Saeful bertanya apakah konsep “khilafah” yang pernah diterapkan di masa Rasulullah dan beberapa masa setelahnya perlu diterapkan kembali di masa sekarang demi mencapai kemajuan yang pernah diraih Islam di masa lalu? Pertanyaan Saeful ini kemudian disambung oleh Kharisma, salah satu peserta lain. Kharisma bertanya  apakah negara-negara yang tidak menerapkan konsep tersebut bisa dikategorikan ke dalam golongan dhalimun, fasiqun, kafirun seeprti yang dijelaskan dalam QS al-Maidah?

Menjawab pertanyaan Nisaul, Rusyi mengatakan bahwa adanya kekuasaan dalam membangun peradaban memang diperlukan, namun keberadaannya tidak bersifat mutlak. Menurut Rusyi, pembangunan peradaban dimulai dari pembangunan individu. “Untuk membangun peradaban, kita harus membentuk pribadi terlebih dahulu. Kemudian, pribadi yang unggul inilah yang akan membangun bangsa dan peradabannya,” tutrnya.

Adapun pertanyaan Saeful mengenai konsep khilafah, Rusyi menyatakan bahwa konsep tersebut belum tentu tepat untuk diterapkan pada masa ini, sebab kondisi masyarakat sekarang berbeda dengan kondisi masyarakat saat itu. Namun, meski demikian, Rusyi menyatakan bahwa upaya untuk mendirikan khilafah boleh-boleh saja diupayakan, misalnya dengan mencoba untuk menerapkannya dalam sebuah komunitas kecil terlebih dahulu. “Bila lingkungan tersebut bisa menerima konsep khilafah, silakan diterapkan. Tapi bila ditolak, kita tidak bisa memaksakan konsep tersebut diaplikasikan,” tuturnya.

Sementara terkait pertanyaan Kharisma Ekhsan yang menanyakan maksud dari kata kafir, fasik dan dhalim bagi mereka yang tidak menegakkan hokum-hukum Allah dijawab oleh para anggota sKajian Al-I’jaz dan Nun Center yang hadir waktu itu. Ahamd Sadzali, salah satu anggota senior yang juga koordniator Nun Center menyatakan bahwa pemahaman yang mudah mengafikan orang lain ini diakibatkan oleh penafsiran yang tidak tepat dalam memahami ayat dan ajaran-ajaran Islam. Sadzali mengaskan bahwa ketiga ayat tersebut memiliki maksud dan makna yang berbeda-beda, sehingga penerapannya pun tidak bisa disamakan. Tafsir kata dhalimun dalam ayat ditujukan kepada mereka yang tidak menerapkan hokum Allah karena tidak mengetahuinya; kata fasiqun dimaksudkan untuk mereka yang mengetahui dan memahami hukum Allah, namun tidak bisa menerapkannya karena ada factor-faktor yeng menghalangi; dan kata kafirun ditujukan kepada mereka yang tidak melaksanakan hukum Allah karena mengingkarinya dengan sengaja, meskipun meraka tahu dan bisa menerapkannya. Lebih lanjut, Sadzali mengatakan bahwa fenomena untuk menerapkan sistem khilafah ini membuktikan bahwa umat Islam masih memiliki keinginan untuk bangkit dari keterpurukan yang mereka alami saat ini. Dia juga mengatakan bahwa fenomena-fenomena seperti itu bukanlah bagian dari kemunduran Islam, melainkan sebuah potret kegagalan dalam berdakwah.

Selain Sadzali, salah satu senior Nun Center lain yang juga menanggapi pertanyaan Saeful dan Kharisma adalah Angga Prilakusuma. Angga mendukung jawaban Rusyi yang menyatakan bahwa pembangunan peradaban berawal dari individu. Pembangunan sebuah bangsa, menurut Angga, diawali oleh sistem up bottom atau bottom up. Sistem up bottom merupakan sistem pembangunan dari atas ke bawah, atau dari penguasa ke rakyat. Namun, pembangunan yang menggunakan sistem up bottom cenderung rapuh dan mudah diruntuhkan. Hal ini, menurut Angga, sesuai dengan pernyataan Hugo Chavez, Presiden Venezuela, yang mengatakan: “Kamu bisa membangun singgasana dari bayonet, tapi kamu tidak akan bertahan lama mendudukinya.” Angga kemudian menambahkan bahwa sistem bottom up memang pernah diterapkan di zaman Rasulullah SAW dan terbukti berhasil. Kemudian pada masa-masa setelah Rasulullah SAW wafat, yang diterpakan adalah sistem up bottom. Sedangkan terkait masalah penerapan khilafah untuk saat ini, menurut Angga, memang tidak bisa. Dalam pandangannya, penolakan terhadap konsep khilafah bukanlah masalah besar yang harus dihukum dengan kekafiran, sebab menolak khilafah tidak berarti menolak syariat.

Sementara itu, Jauhar Ridloni Marzuq, salah satu senior Kajian Al-I’jaz melontarkan hal senada dengan Angga. Dalam kacamata Jauhar, khilafah hanyalah sebuah sistem yang lahir karena lingkungan pada masa itu membutuhkannya. Oleh karena itu, penerapan sistem ini tidak bersifat mutlak, karena al-Qurna tidak menjelaskan suatu sistem tertentu yang harus diterapkan untuk membangun suatu pemerintahan. Jauhar menekankan bahwa sistem pemerintahan Islam sebenarnya menitikberatkan pada dua hal utama, yaitu konsep syura dan keadilan. Syura bearti melibatkan seluruh elemen masyakrat untuk membangun tatatan pemerintahan, sedangkan keadilan berarti memberikan hak kepada mereka yang berhak, tanpa kedhaliman. Setelah dua hal itu terpenuhi, umat Islam dibebaskan untuk menerapkan sistem pemerintahan apa saja yang terbaik untuk mereka, termasuk konsep civil society yang sedang berkembang dewasa ini. Konsep civil society, bagi Jauhar tidak tidak masalah untuk diterpakan dalam Islam, selama dua unsur yang disebutkan sebelumnya terpenuhi, dan tidak melanggar hukum-hukum Allah yang telah Dia tetapkan.
 [Alid]

0 comments:

Post a Comment