(Hasil Muktamar Fikih Kontekstual PCINU Mesir)
Oleh: Fauzul Hanif
Zakat yang salah satu tujuannya adalah perataan kesejahteraan ternyata tidak begitu terlihat signifikan pada konteks Indonesia. Pasalnya, mayoritas warga Indonesia adalah penganut mazhab Syafi’i yang notabene berpendapat bahwa zakat pertanian hanya wajib pada makanan pokok saja. Padahal,kebanyakan dari para petani tanaman-tanaman pokok di Indonesia masuk dalam kategori menengah ke bawah.Bahkan, tidak jarang dari mereka yang masih berada pada garis kemiskinan. Kondisi ini tentunya terlihat timpang ketika dibandingkan dengan para pengusaha perkebunan besar yang termasuk dalam kelompok masyarakat menengah ke atas. Mereka tidak diwajibkan untuk mengeluarkan zakat hasil panennya padahal penghasilan mereka lebih besar ketimbang para petani tanaman pokok.
Permasalahan zakat di Indonesia ini tampaknya tidak luput dari perhatian ulama besar Timur Tengah, diantaranya adalah Yusuf Qaradawi. Dalam bukunya Fiqh az-Zakat, beliau menjadikan Indonesia sebagai sampel tentang tidak tercapainya fungsi zakat sebagaimana mestinya. Di Indonesia, kemiskinan masih saja membelenggu warganya. Bahkan, kesenjangan antara golongan miskin dan kaya di kalangan petani semakin terasa. Dalam buku tersebut beliau memandang bahwa problem utamanya adalah mayoritas orang Indonesia yang tetap ‘mempertahankan’ mazhab Syafi’i. Masyarakat Indonesia terus menjadikan pendapat mazhab ini sebagai acuan dalam masalah zakat, bahkan dengan konteks yang ada sekarang.
Yusuf Qaradawi sendiri sebenarnya kurang sepakat dengan sistem zakat Indonesia yang berpatokan mazhab Syafi’i pada konteks sekarang. Beliau memandang perlunya menggunakan pendapat lain yang lebih ‘longgar’ dan tidak menyempitkan zakat pada makanan pokok saja untuk menyikapi masalah sosial di Indonesia. Pendapat yang beliau tawarkan adalah untuk menggunakan mazhab Hanafi dikarenakan lebih relevan untuk konteks Indonesia demi mendapat maslahat bersama yang lebih besar.
Kaidah yang berlaku dalam mazhab Hanafi dalam pada perkara zakat pertanian benar-benar luas. Mazhab ini memandang bahwasanya zakat tidak hanya diwajibkan atas makanan-makanan pokok, melainkan seluruh hasil bumi yang secara sengaja ditanam untuk pembudidayaan tanah. Dengan begitu, segala jenis hasil bumi yang merupakan hasil pengolahan atau pembudidayaan wajib dizakati, termasuk di antaranya adalah kebun karet, kebun teh, kebun apel dan seluruh agrobisnis lainnya. Dengan begitu, para pengusaha perkebunan yang justru lebih kaya dari petani biasa terkena wajib zakat juga.
Cukup rumit untuk merumuskan apakah Indonesia perlu formulasi baru perihal zakat hasil bumi atau tidak. Perihal formulasi metode zakat adalah suatu masalah khilafiyah sehingga perbedaan pendapat merupakan suatu keniscayaan. Jika kita teliti, setidaknya akan ada dua golongan dengan pendapat masing-masing mengenai perspektif mereka tentang rumusan mana yang tepat untuk perihal zakat dalam konteks Indonesia.
Golongan pertama adalah yang masih tetap menggunakan mazhab Syafi’i. Mereka berpendapat bahwa mazhab Syafi’i selaras dan masih bisa digunakan dalam konteks Indonesia. Pendapat ini berdasarkan argumen bahwa para petani besar pun sejatinya tidak akan pernah luput dari kewajiban zakat. Bahkan, bisa jadi mereka masuk dalam dua kategori wajib zakat: zakat hasil niaga serta zakat emas dan perak (untuk konteks sekarang disamakan dengan uang kertas).
Golongan kedua adalah yang memandang perlunya formulasi ulang tentang sistem zakat di Indonesia. Mereka mengajukan perevisian sistem tersebut dengan menggunakan mazhab Hanafi. Mazhab ini dipandang lebih membawa maslahat untuk mengurangi kesenjangan antara petani besar dan petani kecil yang ada di Indonesia. Selain itu, dengan menerapkan sistem ini, konsep keadilan juga bisa terwujud. Zakat tidak hanya membebani segelintir orang tertentu yang justru berpenghasilan pas-pasan, namun juga dibebankan kepada pemilik perkebunan besar yang taraf hidupnya lebih dari rata-rata.
Jika melihat argumen dari masing-masing pendapat, nampaknya pendapat kedua lebih relevan untuk zaman sekarang, khusunya dalam konteks Indonesia. Mengenai argumen golongan pertama, memang tidak ada yang menyangkal. Benar bahwa para pengusaha agribisnis yang tergolong menengah ke atas masih terkena wajib zakat dari kategori lain, bahkan terkadang lebih banyak. Tetapi perlu diketahui, antara zakat hasil bumi, zakat niaga serta zakat emas dan perak mempunyai cakupannya sendiri-sendiri. Antara satu sama lain tidak bisa disamakan.
Hal itu terlihat jelas ketika ada dua atau lebih dari kategori wajib zakat yang harus ditunaikan dalam satu waktu.Jika memang terjadi, mayoritas ulama berpendapat bahwa yang diwajibkan hanya salah satu saja, adapun sisanya ditiadakan. Penafian tadi bukan berarti bahwa ada persamaan dalam zakat tersebut. Sebab dari penafian salah satu zakat adalah untuk menghindari berkumpulnya dua zakat dalam satu harta. Artinya, sebab penafian tersebut semakin menegaskan bahwa tiap kategori zakat mempunyai cakupannya masing-masing.
Intinya, zakat hasil bumi berbeda dengan kategori lainnya. Diantara perbedaan yang paling kentara adalah masalah haul. Zakat hasil bumi harus ditunaikan segera setelah masa panen tanpa menunggu haul, sedangkan zakat niaga masih dikenai syarat haul. Dari sini, terlihat bahwa penerapan mazhab Hanafi lebih pas dikarenakan titik permasalahannya adalah pada masa panen. Adapun setelah panen apakah petani tadi masih punya harta untuk dizakatkan atau tidak adalah permasalah lain.
Hanya saja, ketika memang sudah ditetapkan bahwa Indonesia memakai sistem zakat mazhab Hanafi, akan timbul permasalahan lain, yaitu tentang pengecualian tanaman yang tidak dizakati dalam mazhab ini. Hal itu berdasarkan bahwa setiap premis umum pasti ada pengecualiannya. Begitu juga dalam masalah zakat perspektif mazhab Hanafi ini.
Ketika merujuk ke buku-buku fikih zakat mereka, kita pasti akan menemukan tiga jenis hasil bumi yang dikecualikan untuk tidak dizakati. Ketiga jenis itu adalah hathab (kayu bakar), hasyisy (rumput) dan qashb fârisiy. Namun, ketika diteliti lagi illah dari penafian jenis hasil bumi ini dari zakat adalah tidak bergunanya tanaman ini pada konteks dirumuskannya sistem zakat tersebut. Dengan kata lain, tanaman-tanaman tersebut memang jarang ditanam untuk dimanfaatkan secara langsung. Ibarat yang paling mudah untuk membahasakan spesifikasi wajib zakat dari hasil bumi menurut perspektif mazhab Hanafi adalah "segala tanaman yang sengaja ditanam sebagai wujud pemanfaatan tanah dengan tujuan pembudidayaan”. Jadi, paramameternya adalah niat. Jika dari awal memang berniat untuk membudidayakan suatu tanaman, maka ketika tanaman tersebut mencapa nisab harus dizakati, baik dijual ataupun tidak karena hakikat tanaman tersebut memang mempunyai nilai jual.
Adapun nisab yang dirumuskan untuk zakat hasil bumi dalam mazhab Hanafi sama dengan nisab empat makanan pokok yang telah disepakati para ulama. Landasannya adalah hadis Rasul Saw. “Laisa fî mâ dûna khamsati awsuqin shadaqah.” Adapun jika diukur dengan satuan berat yang sering kita pakai setara dengan 653kg. Berarti semisal perkebunan teh yang kemudian panen, petaninya tidak wajib zakat kecuali jika berat (yang dimaksud adalah berat bersih) hasil panen mencapai 653kg. Adapun jenis-jenis tanaman yang tidak bisa ditimbang seperti perkebunan karet, maka yang dipakai adalah harga jual karet itu sebagai nisab. Maksudnya, zakat panen karet wajib ditunaikan jika harganya mencapai harga 653kg tanaman makanan pokok di daerah itu.
Dengan memakai mazhab Hanafi sebagai formulasi baru dalam sistem zakat, diharapkan fungsi zakat yang salah satunya adalah mengentas kemiskinan dapat terlaksana. Bahkan, jika kita merujuk pada masa kejayaan Islam, khususnya era Umar bin Abdul Aziz, optimalisasi zakat benar-benar tercapai. Dalam suatu riwayat bahkan diceritakan bahwa sang khalifah sampai tidak tahu harus ke mana lagi uang baitul mal itu disumbangkan. []
Oleh: Fauzul Hanif
Zakat yang salah satu tujuannya adalah perataan kesejahteraan ternyata tidak begitu terlihat signifikan pada konteks Indonesia. Pasalnya, mayoritas warga Indonesia adalah penganut mazhab Syafi’i yang notabene berpendapat bahwa zakat pertanian hanya wajib pada makanan pokok saja. Padahal,kebanyakan dari para petani tanaman-tanaman pokok di Indonesia masuk dalam kategori menengah ke bawah.Bahkan, tidak jarang dari mereka yang masih berada pada garis kemiskinan. Kondisi ini tentunya terlihat timpang ketika dibandingkan dengan para pengusaha perkebunan besar yang termasuk dalam kelompok masyarakat menengah ke atas. Mereka tidak diwajibkan untuk mengeluarkan zakat hasil panennya padahal penghasilan mereka lebih besar ketimbang para petani tanaman pokok.
Permasalahan zakat di Indonesia ini tampaknya tidak luput dari perhatian ulama besar Timur Tengah, diantaranya adalah Yusuf Qaradawi. Dalam bukunya Fiqh az-Zakat, beliau menjadikan Indonesia sebagai sampel tentang tidak tercapainya fungsi zakat sebagaimana mestinya. Di Indonesia, kemiskinan masih saja membelenggu warganya. Bahkan, kesenjangan antara golongan miskin dan kaya di kalangan petani semakin terasa. Dalam buku tersebut beliau memandang bahwa problem utamanya adalah mayoritas orang Indonesia yang tetap ‘mempertahankan’ mazhab Syafi’i. Masyarakat Indonesia terus menjadikan pendapat mazhab ini sebagai acuan dalam masalah zakat, bahkan dengan konteks yang ada sekarang.
Yusuf Qaradawi sendiri sebenarnya kurang sepakat dengan sistem zakat Indonesia yang berpatokan mazhab Syafi’i pada konteks sekarang. Beliau memandang perlunya menggunakan pendapat lain yang lebih ‘longgar’ dan tidak menyempitkan zakat pada makanan pokok saja untuk menyikapi masalah sosial di Indonesia. Pendapat yang beliau tawarkan adalah untuk menggunakan mazhab Hanafi dikarenakan lebih relevan untuk konteks Indonesia demi mendapat maslahat bersama yang lebih besar.
Kaidah yang berlaku dalam mazhab Hanafi dalam pada perkara zakat pertanian benar-benar luas. Mazhab ini memandang bahwasanya zakat tidak hanya diwajibkan atas makanan-makanan pokok, melainkan seluruh hasil bumi yang secara sengaja ditanam untuk pembudidayaan tanah. Dengan begitu, segala jenis hasil bumi yang merupakan hasil pengolahan atau pembudidayaan wajib dizakati, termasuk di antaranya adalah kebun karet, kebun teh, kebun apel dan seluruh agrobisnis lainnya. Dengan begitu, para pengusaha perkebunan yang justru lebih kaya dari petani biasa terkena wajib zakat juga.
Cukup rumit untuk merumuskan apakah Indonesia perlu formulasi baru perihal zakat hasil bumi atau tidak. Perihal formulasi metode zakat adalah suatu masalah khilafiyah sehingga perbedaan pendapat merupakan suatu keniscayaan. Jika kita teliti, setidaknya akan ada dua golongan dengan pendapat masing-masing mengenai perspektif mereka tentang rumusan mana yang tepat untuk perihal zakat dalam konteks Indonesia.
Golongan pertama adalah yang masih tetap menggunakan mazhab Syafi’i. Mereka berpendapat bahwa mazhab Syafi’i selaras dan masih bisa digunakan dalam konteks Indonesia. Pendapat ini berdasarkan argumen bahwa para petani besar pun sejatinya tidak akan pernah luput dari kewajiban zakat. Bahkan, bisa jadi mereka masuk dalam dua kategori wajib zakat: zakat hasil niaga serta zakat emas dan perak (untuk konteks sekarang disamakan dengan uang kertas).
Golongan kedua adalah yang memandang perlunya formulasi ulang tentang sistem zakat di Indonesia. Mereka mengajukan perevisian sistem tersebut dengan menggunakan mazhab Hanafi. Mazhab ini dipandang lebih membawa maslahat untuk mengurangi kesenjangan antara petani besar dan petani kecil yang ada di Indonesia. Selain itu, dengan menerapkan sistem ini, konsep keadilan juga bisa terwujud. Zakat tidak hanya membebani segelintir orang tertentu yang justru berpenghasilan pas-pasan, namun juga dibebankan kepada pemilik perkebunan besar yang taraf hidupnya lebih dari rata-rata.
Jika melihat argumen dari masing-masing pendapat, nampaknya pendapat kedua lebih relevan untuk zaman sekarang, khusunya dalam konteks Indonesia. Mengenai argumen golongan pertama, memang tidak ada yang menyangkal. Benar bahwa para pengusaha agribisnis yang tergolong menengah ke atas masih terkena wajib zakat dari kategori lain, bahkan terkadang lebih banyak. Tetapi perlu diketahui, antara zakat hasil bumi, zakat niaga serta zakat emas dan perak mempunyai cakupannya sendiri-sendiri. Antara satu sama lain tidak bisa disamakan.
Hal itu terlihat jelas ketika ada dua atau lebih dari kategori wajib zakat yang harus ditunaikan dalam satu waktu.Jika memang terjadi, mayoritas ulama berpendapat bahwa yang diwajibkan hanya salah satu saja, adapun sisanya ditiadakan. Penafian tadi bukan berarti bahwa ada persamaan dalam zakat tersebut. Sebab dari penafian salah satu zakat adalah untuk menghindari berkumpulnya dua zakat dalam satu harta. Artinya, sebab penafian tersebut semakin menegaskan bahwa tiap kategori zakat mempunyai cakupannya masing-masing.
Intinya, zakat hasil bumi berbeda dengan kategori lainnya. Diantara perbedaan yang paling kentara adalah masalah haul. Zakat hasil bumi harus ditunaikan segera setelah masa panen tanpa menunggu haul, sedangkan zakat niaga masih dikenai syarat haul. Dari sini, terlihat bahwa penerapan mazhab Hanafi lebih pas dikarenakan titik permasalahannya adalah pada masa panen. Adapun setelah panen apakah petani tadi masih punya harta untuk dizakatkan atau tidak adalah permasalah lain.
Hanya saja, ketika memang sudah ditetapkan bahwa Indonesia memakai sistem zakat mazhab Hanafi, akan timbul permasalahan lain, yaitu tentang pengecualian tanaman yang tidak dizakati dalam mazhab ini. Hal itu berdasarkan bahwa setiap premis umum pasti ada pengecualiannya. Begitu juga dalam masalah zakat perspektif mazhab Hanafi ini.
Ketika merujuk ke buku-buku fikih zakat mereka, kita pasti akan menemukan tiga jenis hasil bumi yang dikecualikan untuk tidak dizakati. Ketiga jenis itu adalah hathab (kayu bakar), hasyisy (rumput) dan qashb fârisiy. Namun, ketika diteliti lagi illah dari penafian jenis hasil bumi ini dari zakat adalah tidak bergunanya tanaman ini pada konteks dirumuskannya sistem zakat tersebut. Dengan kata lain, tanaman-tanaman tersebut memang jarang ditanam untuk dimanfaatkan secara langsung. Ibarat yang paling mudah untuk membahasakan spesifikasi wajib zakat dari hasil bumi menurut perspektif mazhab Hanafi adalah "segala tanaman yang sengaja ditanam sebagai wujud pemanfaatan tanah dengan tujuan pembudidayaan”. Jadi, paramameternya adalah niat. Jika dari awal memang berniat untuk membudidayakan suatu tanaman, maka ketika tanaman tersebut mencapa nisab harus dizakati, baik dijual ataupun tidak karena hakikat tanaman tersebut memang mempunyai nilai jual.
Adapun nisab yang dirumuskan untuk zakat hasil bumi dalam mazhab Hanafi sama dengan nisab empat makanan pokok yang telah disepakati para ulama. Landasannya adalah hadis Rasul Saw. “Laisa fî mâ dûna khamsati awsuqin shadaqah.” Adapun jika diukur dengan satuan berat yang sering kita pakai setara dengan 653kg. Berarti semisal perkebunan teh yang kemudian panen, petaninya tidak wajib zakat kecuali jika berat (yang dimaksud adalah berat bersih) hasil panen mencapai 653kg. Adapun jenis-jenis tanaman yang tidak bisa ditimbang seperti perkebunan karet, maka yang dipakai adalah harga jual karet itu sebagai nisab. Maksudnya, zakat panen karet wajib ditunaikan jika harganya mencapai harga 653kg tanaman makanan pokok di daerah itu.
Dengan memakai mazhab Hanafi sebagai formulasi baru dalam sistem zakat, diharapkan fungsi zakat yang salah satunya adalah mengentas kemiskinan dapat terlaksana. Bahkan, jika kita merujuk pada masa kejayaan Islam, khususnya era Umar bin Abdul Aziz, optimalisasi zakat benar-benar tercapai. Dalam suatu riwayat bahkan diceritakan bahwa sang khalifah sampai tidak tahu harus ke mana lagi uang baitul mal itu disumbangkan. []
0 comments:
Post a Comment