Pages

Monday, September 17, 2012

Rabi’ah al-‘Adawiyah dalam Mihrab Cinta Ilahi


Oleh: Arif Assofi

Masa Muda Rabi’ah
Sejarah tentang Rabi’ah pertama kali ditulis oleh al-Jahizh. Rabiah lahir pada tahun 95 H di Kota Bashroh, yang saat itu merupakan pusat pemerintahan dan juga dikenal sebagai Kota Ulama dan Para Sufi.

Rabi’ah merupakan anak keempat hasil dari pernikahan dua orang shaleh yang hidup dalam kemiskinan. Ayahnya bernama Isma’il dari Bani ‘Adwah salah satu keturunan keluarga ‘Atik yang merupakan golongan dari Kaum Qais. Ia juga sering disapa dengan nama Umm al-Khair. Dengan demikian ia bernama lengkapnya adalah Umm al-Khair Rabi’ah bint Isma’il al-‘Adawiyah al-‘Atikiyah al-Qoisiyah al-Bashriyah.

Rabi’ah tumbuh dalam keluarga yang taat beragama, ia telah menghafal al-Qur’an di umur yang sangat muda. Sayangnya, ia harus segera berpisah dengan kedua orangtuanya di masa ia masih membutuhkan belaian mereka, sedangkan pada saat itu Kota Bashrah sedang dilanda krisis ekonomi yang membuat Rabi’ah harus berpisah dengan saudara-saudaranya setiap pagi demi mengais sesuap nasi. Dan akhirnya, ia pun jatuh ke dalam kubang perbudakan. Ia dipungut oleh seorang saudagar yang kemudian menjualnya di pasar budak.

Di balik pendidikan agama yang kental dari orang tuanya, Rabi’ah memiliki suara yang indah dan juga pandai memainkan seruling. Tuannya sering menyuruhnya untuk tampil menghibur para tamu undangannya. Meskipun demikian, hatinya menolak melakukan hal itu. Hingga pada suatu malam tuannya terbangun dan melihat Rabi’ah sedang bersujud dan berdoa, “Ya Allah, hatiku sangat ingin mentaati-Mu dan ingin rasanya ku habiskan seluruh hidupku ini hanya untuk beribadah kepada-Mu, kalaulah aku dapat berbuat semauku, tak ingin rasanya aku meninggalkan ibadah ini, namun apa daya, aku harus memenuhi semua titah tuanku.” Dan saat itu tuannya melihat cahaya di atas kepalanya yang menyinari seluruh isi rumah. Menyadari hal ini, tuannya pun kaget dan segera kembali ke kamarnya dengan gelisah memikirkan tentang Rabi’ah. Hingga datang waktu pagi, tuannya pun memanggilnya dan membebaskannya.

Rabiah dan  Ulama-Ulama di Zamannya
Rabi’ah menikah dengan salah satu kerabatnya yang juga seorang sufi terkenal dizamannya yaitu Rabbah ibn Amru al-Qaisiy. Ia juga banyak mendapat ilmu darinya. Rabbah adalah salah satu murid Abdul Wahid ibn Zaid yang juga pernah melamar Rabi’ah.

Rabiah termasuk salah satu murid istimewa Hasan al-Bashriy, ia hampir tak pernah meninggalkan majlis Hasan al-Bashriy. Bahkan, jika Hasan al-Bashriy tidak melihat Rabi’ah di majlisnya, maka ia akan meninggalkannya.

Rabiah juga pernah bertemu dengan Dzunnun al-Mishriy di sebuah tempat di Bukit Sinai. Sufyan Tsauri juga termasuk ulama yang banyak berinteraksi dengan Rabi’ah, ia banyak menanyakan hikmah kepada Rabi’ah.
Sebagaimana para waliyullah yang lain Rabi’ah juga dikenal memiliki karomah, diantara karomah Rabi’ah yang terkenal adalah hilangnya pintu rumah Rabi’ah ketika seorang pencuri hendak keluar dari rumahnya setelah mengambil semua barang miliknya, dan ketika pencuri itu meletakkan barang-barangnya pintu itu muncul kembali, kemudian ketika ia mengambilnya lagi pintu itupun langsung menghilang seperti sebelumnya, sampai akhirnya ia mendengar suara yang menyuruhnya agar meletakkan barang-barang curian itu dan pergi karena rumah itu ada yang menjaganya.

Kisah Cinta Rabi’ah
Rabi’ah selalu melakukan shalat malam semalam suntuk dengan kain kafan yang selalu ia gantung didepan tempat shalatnya dan sajadah yang selalu basah kuyup seperti baru dikeluarkan dari redaman air karena banyaknya air mata yang ia teteskan dalam khusyuknya. Hingga ketika fajar hampir tiba, ia berbaring sebentar dan tiba-tiba ia tersentak bangun sambil berkata, “Wahai Rabi’ah, berapa lama kamu tidur? Hampir saja kamu tidur dan tidak bangun lagi kecuali ketika mendengarkan bunyi sangsakala.” demikialah keadaan Rabi’ah sepanjang hidupnya.

Suatu hari Rabbah suaminya mencium seorang anak kecil, lalu Rabi’ah bertanya kepadanya, “Wahai Rabbah, apakah kau mencintainnya?” lalu Rabbah mengiyakannya, dan Rabi’ah pun menegurnya, “Aku tidak mengira bahwa kau masih menyisakan ruang dihatimu untuk mencintai selain Allah.” Dan jika malam tiba, ia berhias untuk suaminya dan menanyakan jika suaminya membutuhkannya, dan jika tidak, maka ia langsung menuju tempat shalatnya bermunajat hingga fajar tiba.

Suatu hari Rabi’ah ditanya tentang cintanya kepada Rasulullah, lalu ia menjawab, “Demi Allah, aku sangat mencintainya, tapi cintaku kepada Sang Khaliq tak menyisakan ruang untuk mencintai makhluk.” Dan pada suatu hari ia bermimpi bertemu Rasulullah Saw dan beliau bertanya kepadanya, “Wahai Rabiah, apakah kau mencintaiku?” lalu ia menjawab, “Apakah ada orang yang tidak mencintaimu? Tapi cintaku kepada Sang Khaliq sangat menyibukkanku sehingga aku lupa untuk mencintai selain-Nya.” Lalu Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa yang mencintai Allah maka ia telah mencintaiku, dan barangsiapa yang mencintaiku maka ia telah mencintai Allah.”

Suatu hari Sufyan Tsauri bertanya kepadanya, “Wahai Rabi’ah, setiap iman seseorang mempunyai hakekat. Apakah hakekat imanmu?” Rabi’ah pun menjawab, “Aku menyembah Allah bukan karena aku tamak akan surga-Nya ataupun takut akan neraka-Nya sehingga seakan-akan aku seperti pembantu yang kurang ajar, yang jika diberi ganjaran baru akan bekerja ataupun tidak akan bekerja kecuali dipukul, tetapi aku menyembah Allah karena aku cinta dan rindu kepada-Nya.”

Sebagian kaum sufi berpendapat bahwa Rasulullah Saw hanyalah sebagai pemberi peringatan dan guru yang mengajarkan kita jalan menuju Allah, maka ketika mereka sudah mengetahui jalan itu, mereka berjalan sendiri berlomba-lomba menuju Allah sehingga mereka tidak ingin melihat siapapun melebihinya. Sedangkan sebagian lain beranggapan bahwa tidak ada jalan menuju Allah kecuali Rasulullah Saw sebagai penghalang dan selalu berada didepan mereka. Dan Rabi’ah, Syekh Abdul Qadir Jaelani, dan Abu Sa’id ibn Syibl termasuk golongan yang pertama, sedangkan golongan kedua adalah Bushairiy dan sufi-sufi yang lainnya.

Sepanjang hidupnya, Rabi’ah selalu diliputi kesedihan hingga jika mendengar kata neraka, ia pingsan. Rabi’ah wafat pada tahun 185 H di umurnya yang ke 80, dimakamkan di puncak Gunung Thur di Palestina.
Dengan demikian Rabi’ah dianggap sebagai pendiri Madrasah al-Hubb al-Ilahi yang setelahnya diikuti oleh para pegikutnya seperti, Ibn al-Faridh, Ibn ‘Arabiy, dan lain-lain. Rabiah juga dianggap sebagai orang yang pertama kali menciptakan syair-syair cinta ilahi.[]

0 comments:

Post a Comment