Pages

Tuesday, December 3, 2013

Perniagaan yang Tidak Akan Rugi


Pada tahun 1997 kemarin kondisi ekonomi beberapa negara Asia sangat terpuruk, tak terkecuali Indonesia. Meskipun diperkirakan mampu bertahan dari krisis yang bermula dari terkoreksinya perkonomian Thailand, akhirnya Indonesia harus bertekuk lutut dan menengadahkan tangan kepada IMF. Paket bantuan sebesar 23 miliar pun datang dari IMF, tapi tentunya bukan semata-mata paket bantuan, melainkan juga dengan beberapa saran yang direkomendasikan untuk memulihkan perkonomian Indonesia.

Di antara rekomendasi yang dituangkan dalam Letter of Intent (LoI) pada tanggal 31 Oktober 1997 adalah melikuidasi bank-bank yang sudah tidak sehat lagi. Tercatat pada awal November 1997 terdapat 16 bank yang resmi dilikuidasi. Selain itu, tercatat juga belasan bank lainnya yang diindikasi sudah tidak sehat lagi. Namun sangat menakjubkan, ketika bank konvensional harus jatuh bangun untuk bertahan, Bank Muamalat Indonesia sebagai pelopor bank syariah di Indonesia justru berhasil membukukan laba. Para pengusaha yang berinteraksi dengan bank ini pada masa-masa kritis tersebut juga mengaku mampu untuk terus mengembangkan usaha mereka. Hal ini dicatat detail dalam buku Mengapa Saya Memilih Bank Syariah yang diterbitkan dalam memperingati ulang tahun bank ini yang ke-11.

Mengenai faktornya, beberapa pakar ekonom baik itu berlatar belakang konvensional maupun Islam mengakui bahwa prinsip bagi hasil merupakan salah satu pelampung utama dari perbankan syariah dari musibah krisis. Selain itu, keharusan adanya underlying asset dalam setiap transaksi menjadikan perekonomian yang digerakkan oleh bank syariah selaku mediator selalu bersentuhan langsung dengan sektor riil. Dalam skala makro, kegiatan perekonomian yang bersentuhan langsung dengan sektor riil akan menyehatkan perekonomian negara. Ketika sektor riil terdongkrak yang artinya jumlah produksi juga bertambah, maka akan menambah daya beli suatu mata uang. Hal ini berkebalikan dengan sistem konvensional yang berpacu pada hal derivatif yang justru nantinya menimbulkan gelembung ekonomi.

Perbankan syariah hanya secuil dari penerapan ekonomi Islam. Hal ini mengingat bahwa transaksi-transaksi yang dijalankan pada perbankan syariah sejatinya hanya penerapan fikih muamalah mâliyah. Islam adalah suatu kesatuan utuh yang bersumber dari wahyu Tuhan. Artinya, falsafah yang ada dalam Islam pada ranah hubungan vertikal juga diterapkan pada hubungan horizontal. Termasuk dalam ranah horizontal ini adalah perihal interaksi perekonomian. Dari sini kita dapati bahwa untuk memahami sistem ekonomi Islam harus mengerti tentang falsafah Islam itu sendiri.

Jadi bermula dari falsafah, menjadi pandangan hidup, kemudian membentuk metodologi ataupun sistem. Kelebihan ekonomi Islam dibanding yang lain adalah, sebagaimana pendapat Umer Chapra, sinkron antara fondasi falsafah dan sistemnya.

Semua aliran ekonomi pastinya bertujuan untuk mencapai keharmonisan, baik itu antara kebutuhan individu, harga pasaran, laju barang dan berbagai aspek perekonomian lainnya. Ini adalah falsafah umum berbagai aliran ekonomi. Sayangnya, sering kali ada perbedaan antara fondasi falsafah dan sistemnya. Maka dari itu, bangunan yang diinginkan selalu saja roboh. Contohnya saja Adam Smith yang menginginkan keharmonisan harga di pasar malah membuatnya kacau balau dengan pemahaman mengedepankan kepentingan pribadi yang dengannya dianggap kepentingan sosial akan berjalan selaras. Kemudian juga paham Marxisme yang ingin mencapai kesejahteraan sosial bersama serta penghapusan alienasi malah menghasilkan inefisiensi produksi dan konsumsi. Hal ini terlihat jelas ketika paham Marxisme menjadikan harga kaku terhadap perubahan sebagai konsekuensi subsidi dalam berbagai sektor.

Jadi memang seharusnya falsafah, tujuan dan sistem disinkronkan sebagaimana yang ditawarkan ekonomi Islam. Falsafah ekonomi Islam bisa dikatakan berpusat pada, khilafah, ibadah dan takaful (kesejahteraan sosial) dengan tauhid sebagai porosnya sebagaiama dirangkum oleh Aslam Haneef.

Unsur-unsur tadi terejewantahkan dengan jelas dalam kehidupan nyata. Misalkan saja masalah kelangkaan sumber daya dibandingkan dengan kebutuhan personal. Jika dikembalikan pada unsur yang telah disebutkan, maka kita dapati bahwa pada hakekatnya setiap individu harus bisa membedakan antara kebuhutan dan keinginan. Hal ini diatur secara moral. Tuntunan moral yang bersumber dari falsafah khilafah menuntun tiap individu agar tidak mengeksploitasi sumber daya alam yang ada. Optimalisasi sumber daya menjadi tuntutan lazim bagi seorang yang sadar bahwa problematika sumber daya alam saat ini kembali pada ketamakan dan sikap hedonis.

Kemudian jika dikatakan bahwa permasalahan ekonomi saat ini adalah penyebarannya yang kurang merata, maka sistem Islam sudah membentenginya. Lapisan utamanya adalah zakat yang bertujuan memperbaiki konstruk sosial. Pos-pos distribusi yang telah ditetapkan dalam zakat benar-benar menyentuh pokok permasalahan konstruk sosial. Sejarah juga telah membuktikan bahwa jika zakat dioptimalkan, kemiskinan benar-benar bisa dientaskan. Bahkan, dikatakan bahwa Umar bin Abdul Aziz sampai tidak mendapati golongan yang berhak mendapati zakat  semasa dia menjabat sebagai kepala negara.

Dalam mengatasi gelembung ekonomi, sistem ekonomi Islam juga sudah memberikan batasannya, yaitu pelarangan menjual barang yang tidak dimiliki. Penerapannya dalam transaksi dewasa ini akan mengurangi pembengkakan uang fiktif yang hanya berbentuk byte dalam komputer. Masih dalam masalah gelembung ekonomi, penghapusan riba yang identik dengan bunga dalam transaksi juga menjadi sorotan utama. Bunga dalam transaksi merupakan momok ekonomi sebagaimana juga diakui para ekonom konvensional. Kebanyakan ekonom selalu menyudutkan sistem bunga ketika ekonomi sedang goyah. Pelarangan menjual barang yang tidak dimiliki dan riba telah mendapatkan perhatian yang besar bersamaan sejak tumbuhnya falsafah Islam. Penekanan dua perkara tadi semakin kuat dengan adanya tuntutan dari dimensi ketaatan atas perintah Sang Pencipta. Tentunya, selain kedua hal tadi masih banyak ketentuan-ketentuan yang menopang falsafah ekonomi Islam.

Keselarasan falsafah dan sistem yang dibangun adalah keharusan jika tidak ingin menghasilkan bangunan yang mudah roboh ketika ditiup angin. Ketika bangunan itu kokoh, maka kita tidak was-was dengan berbagai jenis transaksi dan segala macam perniagaan yang bersandarkan darinya. Perekonomian dalam lingkup mikro dan makro juga lebih siap menghadapi fluktuasi pasar serta kejutan-kejutan tak terduga mengingat tidak ada kegiatan ekonomi bebas resiko. Bank atau lembaga keuangan lainnya yang bersifat mediator benar-benar menjadi penggerak roda ekonomi, bukan malah menyekik orang-orang yang membutuhkan demi meraup keuntungan untuk segelintir orang berkecukupan.

Sunday, August 18, 2013

Merangkai Puzzle Figur Rasulullah via Sukarno (1)

Oleh: Fauzul Hanif

Tentu saja sangat tidak pantas menyandingkan sayyidul basyar Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam dengan sekedar tokoh revolusionis. Yang pertama adalah orang yang dipilih oleh-Nya dari seluruh makhluk ciptaan, manusia dengan akhlak sempurna, suri tauladan bagi semua yang ada di muka bumi. Adapun yang ke dua tidak lain hanya sebatas tokoh yang membawa bangsa dengan status terjajah selama tiga setengah abad bisa menghirup hawa kemerdekaan. Tidak perlu juga penulis menyitir ibarat yang mengatakan perbedaan antara keduanya bak langit dan bumi, karena jarak langit dan bumi masih tidak cukup untuk menggambarkan perbedaan mereka berdua.

Sosok Rasul yang sempurna ini sudah banyak digambarkan oleh para sarjana Muslim melalui berbagai buku karangan mereka dari bermacam disiplin ilmu. Sarjana ilmu Tafsir menggambarkannya lewat cara Rasul mengejawantahkan kalam Ilahi; sarjana ilmu Hadis mengumpulkan segala perbuatan Rasul semasa hidupnya untuk diteladani; sarjana ilmu fikih dan ushul fikih menggambarkannya lewat kepiawaian Beliau dalam cara meng-istinbath hukum untuk diikuti para penerusnya; sarjana ilmu Sastra menganalisa keindahan tutur kata beliau; sarjana ilmu Sejarah merekam jejak hidup Beiiau dalam tulisan yang sistematis; dan masih banyak lagi berbagai disiplin ilmu lainnya yang menggambarkan kehebatan Rasul.

Antara Rasulullah dan Sukarno memiliki titik temu. Iya, hanya titik, bukan garis panjang apalagi sepetak persamaan. Sukarno semasa perjuangannya mengantarkan bangsa Indonesia menuju gerbang kemerdekaan dilalui dengan proses yang panjang. Puncaknya, bangsa Indonesia mampu memproklamasikan kemerdekaan melalui lisan beliau dengan didampingi Muhammad Hatta tepat pada pagi hari tanggal 17 Agustus tahun 1945. Sebenarnya proklamasi pada tanggal 17 Agustus itu tidak lebih dari puncak seremonial yang didahului dengan rentetan program penting lainnya. Di antaranya adalah  pencarian jati diri bangsa Indonesia yang akan menjadi pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara.

Rapat panjang dilakukan oleh Badan Penyeledik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Berbagai tokoh besar ikut duduk di sana, tentunya termasuk Sukarno sendiri. Rapat BPUPKI ini merumuskan beberapa hal yang di antaranya adalah peneluran 5 butir Pancasila yang sering dibacakan dalam upacara-upacara pengibaran Sang Saka Merah Putih.

Kita tidak perlu berdebat tentang siapa yang sebenarnya mengusung 5 butir ini. Tidak perlu juga kita mempertanyakan panjang lebar apakah benar kelima sila ini sudah ada pada bangsa Indonesia sehingga para BPUPKI hanya perlu menggalinya dari kepribadian bangsa Indonesia untuk disarikan menjadi lima butir. Tidak perlu juga berdiskusi tentang urutan dari lima sila ini. Sama juga dengan penghapusan tujuh kata “dengan mewajibkan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” yang selalu menjadi pusat kontroversi, saat ini kita sedang tidak membahas tentangnya. Apalagi tentang substansi Pancasila yang multi-interpretasi, kita tidak usah menambah interpretasi lain dengan membahasnya di sini.

Yang perlu kita garis bawahi dari sederet pembahasan panjang tentang Pancasila bahwa Sukarnolah penyebar ideologi ini. Sukarno mengenalkannya ke seluruh muka bumi dengan kepala tegak seraya membusungkan dada. Beliau menyadari betul bahwa kelima butir yang telah ia gali –menurut subjektif Sukarno sendiri tentunya– merupakan hal luar biasa. Hal itu karena untuk memanifestasikan keinginan berjuta rakyat dalam hal yang disepakati tentunya tidak mudah. Bahkan, hingga kini masih ada beberapa negara seperti Perancis dan Mesir yang belum mempunyai cita hukum yang termanifestasikan layaknya Pancasila.

Dalam sebuah video dokumenter tentang Sukarno yang diunggah di youtube, anda bisa menemukan sebuah jejak rekam pendek saat kunjungan beliau dalam pertemuan Internasional.[1] Pada pertemuan itu, Sukarno memaparkan tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dilanjutkan dengan pengenalan sebuah konsepsi khas Indonesia dalam bentuk lima butir manifestasi, Pancasila. Hal menarik yang ingin penulis sorot adalah ketika Sukarno menerangkan bahwa Indonesia telah merdeka, tidak ada hadirin yang bertepuk tangan. Baru ketika Sukarno menyebutkan satu persatu butir Pancasila, riuh tepuk tangan membahana. Bahkan, ketika selesai membacakan butir ke lima dari Pancasila, para hadirin serentak berdiri bersamaan dengan semakin riuhnya tepuk tangan mereka.

Sebenarnya terkait tidak adanya applause ketika Sukarno menerangkan kemerdekaan Indonesia dalam video itu akan kita dapati dua kemungkinan. Pertama, bisa jadi kunjungan Sukarno itu dilakukan setelah sekian tahun Indonesia merdeka. Artinya, pidatonya yang mengatakan bahwa Indonesia telah merdeka pada Agustus 1945 lalu hanyalah sekedar mengingatkan saja. Jika memang penyebutan kemerdekaan hanya sekedar mengingatkan, maka sudah jelas bahwa titik tekan pidato Sukarno ada pada penyampaian ide manifestasi khas Indonseia itu. Kedua, jika waktu kunjungan Sukarno berdekatan dengan waktu proklamasi, ini lebih dahsyat lagi. Bagaimana mungkin para hadirin tidak bertepuk tangan ketika Sukarno menerangkan kemerdekaan Indonesia. Dari dua kemungkinan ini, semuanya hanya bermuara kepada satu konklusi. Bahwa Sukarno memang sengaja hadir ataupun diundang untuk menyampaikan lima butir Pancasila sebagai landasan konstitusi yang dicantumkan dalam preambule UUD, dan para hadirin juga tidak hanya ingin menyimak pidato beliau seputar Pancasila tersebut.

Masih ada lagi video lain yang bisa kita temukan di youtube, memuat betapa bangganya Sukarno terhadap konsepsi yang telah berhasil ia manifestasikan tersebut.[2] Pidato beliau waktu itu berkenaan dengan sindiran Malaysia terhadap Indonesia. Penduduk negeri Jiran tersebut mengatakan bahwa Indonesia dengan Sukarnonya sekarang sudah tidak didengar dunia, sudah tidak diperhatikan, sudah tidak masuk perhitungan. Sukarno dengan tegas menjawab bahwa Indonesia telah berhasil menelurkan sebuah manifestasi yang diperkenalkan ke alam raya. Kelima butir Pancasila itu didengar oleh seluruh dunia. Indonesia telah memberikan sumbangsihnya terhadap dunia lewat konsepsi-konsepsinya.

Kalimat-kalimat Sukarno memang bukan sekedar isapan jempol belaka. Hal itu bisa kita saksikan saat penyambutan kedatanga beliau pada pertemuan yang telah penulis sebutkan di atas. Dalam rekaman empat menit itu kita bisa saksikan bagaimana seorang Sukarno yang datang dari negara baru kemarin sore merdeka disambut dengan begitu meriah.

Padahal itu hanya sekedar Sukarno, seorang pahlawan revolusi. Pembawa kemerdekaan bagi bangsa dengan kawasan regional Indonesia saja. Kemudian hanya dengan ditambah lima butir Pancasila yang selalu ia kantongi ke mana-mana. Benar, tentunya ditambah dengan sifat visioner beliau, ketegasan dalam mengahadapi permasalahan, kesigapan dalam mengambil kebijakan dan berbagai sifat lainnya. Tapi, seperti yang telah penulis sampaikan di atas, jarak langit dan bumi tidak cukup untuk membandingkan Sukarno dengan Rasulullah. Lalu, bagaimana dengan seorang ummiy mampu membangun sebuah peradaban baru? Allahumma shalli wa sallim wa bârik ‘alâ sayyidinâ wa maulânâ Muhammad wa ‘alâ âlihi wa ashhabihi wa man tabi’ahu biihsânin ilâ yaum al-dîn.

referensi video dokumentasi:
 

 

Wednesday, August 14, 2013

“Jalan Buntu” Rekonsiliasi


Oleh: Angga Prilakusuma

Proyek rekonsiliasi untuk mendamaikan Sunni dan Syiah sudah digagas sejak satu abad yang lalu. Tentunya mengurai perbedaan dan mendekatkan persepsi antara keduanya bukan perkara mudah. Hingga saat ini, keberadaan rekonsiliasi masih menjadi tanda tanya, sebagian mendukung dan sebagian menolak. Dengan melihat rentang waktu yang sudah dilalui gagasan rekonsiliasi dibandingkan capaiannya, dapat dipastikan beberapa hal yang mengganjal upaya pendekatan tersebut.

Hal pertama yang harus dijawab adalah maksud dari rekonsiliasi. Yusuf Qaradawi, salah satu promotor rekonsiliasi di kalangan Sunni sebagai misal, menolak upaya untuk melebur Sunni-Syiah ke dalam satu aliran. Baginya, upaya tersebut hanyalah angan-angan belaka. Lagipula keduanya merupakan paham akidah yang telah eksis berabad-abad dalam sejarah Islam.

Rekonsiliasi yang dimaksud Qaradawi adalah langkah untuk meminimalisir faktor-faktor yang memperlebar jurang silaturrahim, mengurangi kecurigaan, dan dendam antara umat Islam sendiri. Dengan definisi ini, “al-taqrîb” lebih dekat pada makna “al-ta’âyusy”  atau koeksistensi (keadaan hidup berdampingan secara damai antara dua negara atau lebih yang berbeda atau bertentangan pandangan politiknya) atau rekonsiliasi (perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan semula atau perbuatan menyelesaikan perbedaan).

Namun sebagian kalangan memandang peluang rekonsiliasi dengan pesimis. Karena akidah merupakan salah satu pilar yang menopang kehidupan sosial umat Islam. Untuk itu, semanis apapun penyajian konsep rekonsiliasi antara Sunni-Syiah di dalam kehidupan sosial, ia mau tak mau harus menyinggung sisi akidah.

Dalam hemat penulis, perbedaan utama dalam akidah antara Sunni dan Syiah bukan hanya berada pada daerah ushul atau furu’, tapi juga pada kategorisasi ushul dan furu’ itu sendiri. Artinya jika rekonsiliasi hendak membidik pendekatan dalam tataran akidah, pembahasan mengenai dasar yang akan digunakan dalam kategorisasi furu’-ushul merupakan sebuah keniscayaan. Jika tidak, perdebatan akan selalu terbentur pada penolakan Sunni terhadap kewajiban Imamah yang merupakan konsep sentral dalam bangunan akidah Syiah.

Di sisi lain, capaian rekonsiliasi—yang digagas sejak pertengahan abad lalu—belum dapat dirasakan secara luas, seolah-olah ide ini belum mendapatkan bentuk praktis di lapangan selain wacana akademis. Langkah-langkah strategis yang diajukan oleh Ja’far Abdussalam, sekjen Liga Universitas Islam, seperti pengajaran lintas-madzhab yang obyektif, pemberdayaan media sebagai sarana sosialisasi, masih belum terlaksana dalam skala massif (disampaikan dalam Muktamar yang diselenggarakan oleh Dewan Rekonsiliasi antar Mazhab pada tahun 2011 di Teheran).

Lambatnya kemajuan rekonsiliasi mengundang sebuah pertanyaan, apakah Syiah benar-benar tulus dalam rekonsiliasi? Yusuf Qaradawi dan ulama Sunni lain mensyaratkan agar Syiah tidak lagi mencerca sahabat, namun fenomena tersebut masih berlangsung hingga saat ini. Syarat lain adalah agar Syiah tidak menyebarkan keyakinannya di kalangan Sunni. Tapi lagi-lagi poin ini dilanggar.

Amir Sa’id memetakan gerakan Syiah di dunia Sunni selama beberapa dekade terakhir. Di Suria misalnya, hingga tahun 1995 hanya ada dua perkumpulan Syiah yang berdiri dari revolusi Iran. Namun lima tahun berikutnya, lima perkumpulan lain didirikan. Dalam rentang satu dekade setelahnya, ratusan kelompok kecil didirikan saat pemerintahan Basyar al-Asad. Pesatnya perkembangan dan aktivitas Syiah di Suriah menimbulkan keresahan di kalangan ulama Sunni.

Di Irak, situasinya jauh lebih rumit. Keadaan politik yang labil pasca jatuhnya Saddam Husein dimanfaatkan oleh Syiah untuk menyebarkan keyakinannya. Menurut pemaparan Harits al-Dhari, ketua Asosiasi Ulama Islam-Irak, dalam Konferensi Dukungan terhadap Ahlussunnah Irak yang digelar di Istanbul, milisi Syiah telah membunuh lebih dari 200.000 Sunni. Prosentase warga Syiah di Irak juga bertambah hingga mencapai 40-45% dari jumlah total warga Irak. Sebagai perbandingan, prosentase penganut paham Sunni di Irak sekitar 53%.

Muhammad Imarah mempertanyakan kesiapan Syiah untuk rekonsiliasi. Jika benar Syiah menganggap Sunni sebagai saudara seiman, mengapa mereka begitu getol men-syiah-kan Sunni? Mengapa Syiah tidak memperlakukan Sunni sebagaimana Syeikh Mahmud Syaltut mengakui beberapa madzhab fikih Syiah? Atau dalam contoh yang lebih mutakhir, Piagam Amman yang memuat pengakuan lebih dari 500 ulama Islam dari seluruh penjuru dunia (termasuk Syeikh Sayyid Thantawi, Wahbah Zuhaily, Yusuf Qaradhawi, juga beberapa perwakilan dari Indonesia) terhadap mazhab fikih Zaidiyyah, Ja’fariyyah, Ibadhiyyah, dan Zhahiriyyah di samping empat mazhab sunnah.

Kondisi lain yang harus dipenuhi untuk rekonsiliasi adalah menjauhi perbuatan yang menyakiti pihak lain. Selama Syiah masih belum berhenti mencaci sahabat, harmoni antara kedua pihak tak akan tercapai. Bagi Qaradawi ataupun Muhammad Imarah, sikap Syiah tersebut mencerminkan bahwa mereka masih belum bisa melepaskan diri dari bayang-bayang masa lalu. Kalaupun Syiah menganggap Abu Bakar ra., Umar ra., dan Utsman ra., telah merampas hak Ali ra. atas imamah, tak selayaknya Syiah mencaci mereka, namun tetap menghormati sebagaimana Sunni menghormati Ahlu Bait. Toh, cacian—yang sudah berlangsung berabad-abad—tidak menyelesaikan masalah sama sekali, kecuali memelihara sentimen terhadap golongan Sunni.

Akumulasi fenomena-fenomena di atas mengakibatkan pendirian Syiah dalam program rekonsiliasi terlihat ambigu. Ajakan rekonsiliasi dari pihak Syiah menjadi tidak efektif dan dicurigai sebagai bagian dari taqiyyah. Prinsip taqiyyah dipahami secara umum sebagai prinsip yang membolehkan Syiah untuk menyembunyikan akidah ataupun pendapatnya demi maslahat yang lebih besar, atau dalam bahasa lugas, berbohong. Prinsip ini bahkan juga boleh diterapkan atas saudaranya sesama muslim, atau dalam konteks tulisan ini, Sunni.

Namun dengan langsung menisbatkan kejadian-kejadian tersebut kepada taqiyyah agaknya terlalu tergesa-gesa. Sedang taqiyyah bukan hal yang mudah diketahui. Qaradawi sendiri mewanti-wanti agar tidak berburuksangka dengan melabeli perbuatan baik yang dilakukan Syiah sebagai taqiyyah. Namun berbaiksangka juga tak lebih dari prasangka, alias penafsiran terhadap fakta. Untuk membuktikan wacana rekonsiliasi sebagai taqiyyah dibutuhkan fakta yang menunjukkan dukungan pihak Syiah pro-rekonsiliasi terhadap upaya ekspansi Syiah di masyarakat Sunni.

Jika dilihat dari sudut pandang yang lebih luas, kemungkinan terjadinya kerjasama antar negara-negara Sunni dan Syiah tidak hanya bergantung pada proyek rekonsiliasi saja. Hubungan bilateral antar umat Islam dengan umat lain saja mungkin dilaksanakan, apalagi dengan sesama umat Islam. Paling tidak, kerjasama yang berdiri atas asas pragmatisme. Toh, sebab kekerasan atas nama agama tak bisa direduksi dalam lingkaran perbedaan akidah saja. Lagipula generalisasi stigma buruk atas semua orang Syiah atau Sunni juga tidak valid.

Perbedaan pagar antara furu’ dan ushul dalam akidah, taqiyyah, bayang-bayang masa lalu, konflik berdarah, juga keengganan Syiah untuk melangkah dalam koridor rekonsiliasi, menghantarkan pendukung gagasan ini kepada “jalan buntu”. Tapi untuk memvonis proyek ini sebagai ‘gagal’ dan ‘utopis’ agaknya masih terlalu dini. Perbedaan yang cukup dalam dan berlangsung berabad-abad tak mungkin diselesaikan dalam waktu singkat. Kalaupun ada yang ingin mempererat antar ahlul qiblah dalam artian mengurangi saling curiga dan mengikis fanatisme, mengapa tidak? [\]

Saturday, April 6, 2013

Makna dan Substansi Korupsi


Oleh: Ahmad Sadzali    

Ada hal yang sedikit menggelitik ketika mendengar istilah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dari namanya, tentu saja tujuan utama didirikan lembaga ini adalah untuk memberantas tindak korupsi di republik ini. Kata memberantas berarti membasmi atau memusnahkan. Membasmi dan memusnahkan mengandung arti menghilangkan sama sekali hingga tidak ada lagi wujudnya. Lalu mungkinkah tujuan lembaga yang berslogan “Mewujudkan Indonesia bebas dari korupsi” ini akan berhasil sampai tidak ada lagi tindak korupsi satu pun?

Bukan bermaksud menjadikan pesimis dengan upaya pemberantasan korupsi, namun dengan sedikit berat hati harus dikatakan bahwa tujuan KPK itu tidak akan berhasil sampai kapan pun. Perlu kita sadari bahwa sebenarnya korupsi itu merupakan hukum alam. Sesuatu yang sudah menjadi hukum alam tentu tidak akan hilang dan selalu melekat dalam kehidupan manusia. Jadi bisa dikatakan bahwa upaya pemberantasan korupsi yang menjadi pekerjaan utama KPK tidak akan pernah selesai dan tercapai selama manusia masih ada di dunia ini. Mungkin hanya minimalisasi yang memungkinkan.

Untuk dapat membuktikan bahwa korupsi itu hukum alam, dapat kita telusuri dari segi definisi bahasanya. Korupsi dalam Bahasa Indonesia adalah kata serapan yang diambil dari Bahasa Inggris, yaitu corruption. Dalam kamus Oxford, corruption berarti dishonest or fraudulent conduct by those in power , typically involving bribery. Substansi utama dari korupsi dalam terminologi Inggris adalah ketidakjujuran, dishonest.

Sedangkan dalam Bahasa Arab, salah satu terminologi yang biasanya ditujukkan untuk menyebut korupsi adalah fasaad. Kata fasaad berasal dari kata dasar fa-sa-da, artinya rusak atau merusak. Jadi bagi orang Arab, tindakan korupsi itu bukan hanya sekedar mencuri uang negara saja, namun merupakan tindakan pengrusakan.

Kedua terminologi dari dua bahasa tersebut dapat kita sinergikan. Tindakan yang tidak jujur akan selalu membawa kepada kerusakan. Kebohongan memang menjadi asas utama yang melandasi kerusakan. Seperti yang dikatakan pepatah Arab, akar dari segala perbuatan dosa adalah kebohongan. Pengrusakan merupakan salah satu bentuk perbuatan dosa. Konsep dosa dalam agama ternyata juga membuktikan bahwa manusia tidak akan lepas dari perbuatan merusak.

Dalam Al-Qur’an sendiri telah dijelaskan bahwa manusia itu memang pada dasarnya hanya akan berbuat kerusakan di bumi ini. “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan mensucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah: 30).

Namun ternyata istilah “korupsi” dalam Bahasa Indonesia telah mengalami penyempitan makna. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi diartikan sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Dengan demikian, tindakan mencuri ayam tidak bisa dikategorikan ke dalam tindak korupsi.

Di satu sisi, penyempitan makna korupsi ini memang memberikan harapan dan rasa optimis kepada kita bahwa tugas KPK tersebut bisa saja tercapai. Jika korupsi hanya dimaknai seperti yang terkandung dalam KBBI tadi, maka korupsi memiliki kemungkinan untuk diberantas. Seberapa besar kemungkinan itu, tentu tergantung pada tindak tanduk kinerja KPK itu sendiri.

Lain halnya lagi jika kita telusuri sekilas sejarah pemberantasan korupsi di republik ini. Dalam sejarahnya, lembaga pemberantasan korupsi ini sebenarnya sudah sejak lama dibentuk di Indonesia. Pada masa Orde Lama saja telah dua kali dibentuk lembaga pemberantasan korupsi, yaitu dengan nama Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) dan Operasi Budhi. Pada masa Orde Baru, sebagai kritik atas ketidakmampuan pemberantasan korupsi di Orde Baru, akhirnya dibetuklah lembaga pemberantasan korupsi yang baru dengan nama Tim Pemberantasan Korupsi (TPK). Begitu juga di era Reformasi, lembaga-lembaga pemberantasan korupsi juga berganti-ganti namanya. Namun, sedari dulu juga kasus korupsi di negeri kita tidak pernah selesai.

Sekarang kasus korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) muncul silih berganti, bak patah tumbuh hilang berganti. Sejak dibentuknya lembaga KPK dari tahun 2003, tidak lantas membuat pejabat jera atau takut melakukan korupsi. Ini mengindikasikan bahwa korupsi di republik kita sepertinya sudah membudaya. Dari sekedar membudaya, bisa saja akan benar-benar berubah menjadi budaya. Untuk menghilangkan budaya tentu saja bukan pekerjaan yang gampang. Budaya itu adalah sesuatu yang sudah mengakar kuat.

Melihat fenomena tersebut, sepertinya rasa optimis dengan tercapainya slogan KPK itu kembali menjadi surut. Akan tetapi kita tidak perlu khawatir dengan hasil yang akan dicapai KPK. Manusia memang tidak ada yang sempurna, namun setiap orang tetap berusaha untuk menjalani proses mendekati kesempurnaan. Jika berbuat kerusakan itu sudah menjadi fitrah manusia, maka berbuat baik pun juga menjadi fitrah manusia di sisi yang lainnya. Jadi walau bagaimanapun, KPK harus tetap kita dukung.

Kemudian di sisi lainnya, ternyata penyempitan makna korupsi menyimpan dampak cukup negatif. Dengan disempitkanya makna korupsi, maka sama saja dengan meringankan nilai-nilai substansi korupsi yang sebenarnya berat. Korupsi yang dimaknai mencuri uang negara atau perusahaan memang perlu diberantas, namun pemberantasan itu nantinya hanya akan bersifat temporal. Sebenarnya yang perlu diberantas bukan hanya tindak korupsi saja, namun sistem pengkaderisasiannya juga perlu dimusnahkan. Jika tidak bisa musnah secara total, paling tidak diminimalisir. Caranya adalah dengan menghancurkan nilai-nilai substantif dari korupsi itu sendiri, yaitu ketidakjujuran yang dapat menyebabkan kerusakan di segala bidang. Wallahu'alam. []

Wednesday, March 27, 2013

Merasionalkan Hikmah Zakat Ditinjau dari Konsep Public dan Private Goods


Oleh: Fauzul Hanif    

Pembicaraan seputar efek zakat dalam perkonomian memang begitu panjang. Hal itu karena sifat dasar dari zakat yang berbeda ketimbang jenis transaksi tabarru’ (donasi) lainnya. Baik itu wakaf, hibah, hadiah, sedekah maupun yang lain, tidak mempunyai sifat khusus yang ada pada zakat, yaitu ilzam (mengikat).

Sebenarnya, dalam konteks konvensional, kita mengenal pajak sebagai jenis kewajiban atas harta pada kepemilikan pribadi. Tapi, bentuk pajak ini sebagaimana kita ketahui hanya bersifat mengikat secara hukum undang-undang. Kalau toh kita tidak membayar, kemudian tidak ada tagihan atas nama kita secara tertulis, artinya kita tidak terkena sanksi atasnya. Lain halnya dengan zakat, ia bersifat mengikat secara agama (diyanatan). Artinya, tanggung jawab kita tidak berhenti pada dimensi yang fana ini, namun mencakup lebih luas lagi, yaitu sebuah pertanggungjawaban kepadaNya di akhirat nanti.

Dalam konteks ekonomi makro, sifat mengikat yang ada pada zakat memberi pengaruh positif pada tatanan konsep public goods serta private goods. Di sini, yang penulis maksud dengan public atau private goods adalah uang, bukan barang-barang lain

Permasalahan bermula dari sudut pandang manusia terhadap uang. Apakah uang merupakan private goods, ataukah public goods? Beberapa aliran ekonomi konvensional memandang uang adalah private goods sehingga berimbas pada penumpukan harta kekayaan pribadi. Adapun dalam Islam, uang tidak dipandang sebagai private goods, melainkan public goods.

Memang dari konsep yang ditawarkan Islam bahwa uang adalah public goods akan menimbulkan tanda tanya. Bagaimana mungkin uang dianggap sebagai public goods? Jika uang dianggap sebagai public goods, maka uang tak ubahnya dengan udara yang kita hirup sehari-hari yang dimiliki bersama tanpa usaha apapun. Hal itu sangat berbeda dengan fakta yang ada di hadapan kita bahwa setiap orang mempunyai hak penuh atas kekayaan yang ia miliki.

Pada pemahaman di atas, ada sedikit poin yang mungkin harus dijelaskan lebih mendalam lagi. Islam memang mengakui hak penuh atas setiap kepemilikan pribadi. Hak tersebut biasanya kita kenal dengan istilah al-milikyah  at-tâmmah. Namun, yang dimaksud dengan uang sebagai public goods adalah hak masyarakat umum untuk sama-sama merasakan manfaatnya tanpa harus memiliki benda tersebut. Adapun kepemilikan pribadi uang tersebut tetap diakui oleh Islam karena merekalah yang berhak atas harta benda masing-masing. Maka dari itu, untuk mengimbangi konsep money is public goods tadi, di dalam Islam dikenal juga konsep capital (modal) is private goods.

Pemahaman lebih lanjut dari capital is private goods dan money is public goods adalah seperti ini. Ketika uang (public goods) itu mengalir, maka manfaat dari uang itu bisa diserap dan dimiliki oleh orang banyak. Kemudian, ketika uang yang mengalir itu mengendap pada individu, maka uang itu menjadi miliknya (private goods). Kepemilikan ini kemudian bisa disimpan begitu saja atau diinvestasikan.

Lalu, sebagaimana prinsip Islam yang selalu mengedepankan kepentingan publik ketimbang individu, maka Islam menghimbau umatnya agar public goods –berupa manfaat dari uang– selalu tersedia dalam jumlah maksimal. Pelaksanaan himbauan tersebut tidak bisa dicapai kecuali dengan mengoptimalkan modal yang merupakan private goods agar diolah menjadi faktor-faktor produksi sehingga terasa manfaatnya. Di titik ini nampaknya terlihat salah satu hikmah dari pelarangan praktek penimbunan (ihtikar), yaitu agar keberadaan private goods selalu dioptimalkan. JIka kita sepakat bahwa air yang terlalu lama mengendap akan menjadi keruh, maka private goods ketika diibaratkan seperti air juga sama. Modal yang terlalu lama disimpan pada kantong pribadi itu membuatnya menjadi keruh.

Kembali ke permasalahan zakat. Zakat berperan penting untuk menstabilkan uang yang sudah mengendap menjadi kepemilikan pribadi. Dengan adanya zakat, maka prinsip Islam yang tidak melarang kepemilikan pribadi tercapai. Begitu pula dengan prinsip Islam yang menginginkan agar pengoptimalan sumber daya potensial –yang termasuk di dalamnya modal sebagai private goods– juga terpenuhi.

Fungsi zakat sebaga stabilisator ini terwujud karena pendistribusiannya yang ditekankan pada poin-poin paling esensial dalam unsur bermasyarakat. Islam telah mengatur pendistribusian zakat agar ditujukan kepada 8 golongan khusus yang telah dirangkum di dalam al-Quran surah at-Taubah ayat  60. Golongan tersebut adalah: fakir, miskin, amil zakat, muallaf, hamba sahaya, orang yang memiliki hutang, pejuang di jalan Allah dan para musafir (pelajar perantauan).

Dari delapan golongan tersebut, kita bisa menarik benang merah bahwa dengan adanya zakat, maka akan mampu menstabilkan private goods agar manfaatnya tetap bisa diserap oleh masyarakat luas. Hanya saja, manfaat yang diperoleh masyarakat luas dari zakat ini berbeda dengan public goods yang hanya dirasakan manfaatnya saja. Manfaat zakat dirasakan bersamaan dengan wujud benda itu sendiri. Ini sama sekali bukan berarti Islam mengambil hak pribadi –yang diakui oleh Islam– secara paksa. Islam hanya menyalurkan kelebihan uang tersebut agar terus mengalir hingga  tidak menjadi seperti air keruh yang terlalu lama mengendap.

Hal itu bisa dilihat dari asas awal pernyataan bahwa private goods adalah uang –sebagai public goods– yang telah mengendap pada kepemilikan pribadi. Artinya, jika uang itu diinvestasikan atau disalurkan sebagai bantuan, maka dia masih menjadi public goods. Untuk itu, Islam tidak mewajibkan zakat atasnya. Zakat adalah optimalisasi dari capital yang mengendap dan tidak –atau belum– digunakan. Ini adalah poin pertama bahwa zakat tidak bertentangan dengan asas Islam yang mengakui kepemilikan pribadi.

Kemudian yang ke dua adalah optimalisasi private goods yang juga termasuk dalam sumber daya potensial. Hal ini tentunya akan bersinggungan ketat dengan teori kasb milik asy-Syaibani. Teori kasb pada hakikatnya mempunyai esensi sebagai dorongan kepada seluruh manusia bahwa rizki hanya bisa didapat dengan bekerja. Bahwasanya sebagaimana seseorang tidak memikul dosa orang lain, maka ia juga tidak mendapat rizki orang lain, seseorang hanya mendapatkan rizki dengan pekerjaan riil. Selain hal tersebut, kasb juga mempunyai esensi lain, yaitu optimalisasi sumber daya alam.

Optimalisasi private goods ini nampak jelas pada beberapa golongan yang mendapatkan alokasi dana dari zakat. Di sini penulis hanya menyebutkan satu di antaranya, yaitu golongan orang yang berhutang. Sudah maklum bahwa sekian banyak pengembangan usaha selalu berbanding lurus dengan modal yang ia punya. Memang, di era modern ini modal pengembangan usaha juga bisa didapatkan dari jasa peminjaman (hutang) yang disediakan oleh berbagai lembaga keuangan. Namun, peminjaman tersebut tentu ada batasnya. Lembaga keuangan manapun pasti mempunyai regulasi khusus dalam mengatur jumlah pinjaman yang akan ia keluarkan. Artinya, jika modal sudah tidak ada, kemudian peminjaman juga sudah mecapai batasnya, maka kegiatan produksi orang itu akan stagnan dan tidak bisa berkembang. Untung-untung hanya stagnan, beberapa malah pailit dan gulung tikar.

Di sinilah zakat mengambil posisi yang urgen. Zakat mengobati kelesuan produksi dari usaha seorang wiraswasta agar terus maju. Kelesuan produksi dari satu atau dua orang tidak menjadi masalah, namun jika mencapai ratusan maka efeknya akan dirasakan secara masif juga. Tentunya bukan sekedar masalah bertambahnya jumlah rakyat miskin, namun karena satu-satunya cara pemanfaatan sumber daya alam yang luas ini adalah dengan aktivitas produksi. Jika produksi macet, maka pemanfaatan sumber daya alam akan macet juga. Muara akhirnya adalah tidak tercipta i’mâr al-ardh di muka bumi.[]

Saturday, March 16, 2013

Ajari Aku Mengajar!


Oleh: Umar Abdulloh  

Meskipun saya bukanlah seorang pengajar, tatkala seorang kawan berceloteh bahwa gaya mengajar dosen-dosen di univeritas Indonesia itu cukup sembrono, telinga saya sedikit menjengit. Dia bilang, para dosen cukup menghadiri perkuliahan, terlepas datang awal waktu maupun telat, memberitahu halaman mana saja yang perlu dibaca oleh para mahasiswanya, kemudian ia tinggal menyibukkan diri dengan aktifitas pribadi. Atau bahkan melangkah keluar pintu dan meninggalkan para mahasiswanya sibuk berkutat dengan diktat. Mulanya saya bertanya kepada kawan saya ini, “Apakah ini yang terjadi di kampus yang pernah anda singgahi?”

“Oh, tidak. Ini berlaku ke semua kampus.”

Dengan tegas saya menolak terus-terang bahwa pernyataannya tersebut sangat tidak bisa digeneralisir. Dia melanjutkan, informasi tersebut dia terima dari salah seorang dosen Indonesia yang sedang berdomisili di Mesir. Seketika saya bantah, “Tidak mungkin borok di wajah, sengaja mereka biarkan terlihat.”

Meskipun pernyataan kawan saya di atas ada benarnya, tentunya tidak sedikit pula yang berlaku sebaliknya. Mari kita akui, moralitas remaja ataupun pemuda yang semakin merosot belakangan ini bermula dari ulah pendidik yang setengah-setengah dalam mengajar. Tetapi jangan sampai kita melupakan faktor lain.

Begini, perlu kita ketahui bahwa problematika moral yang muncul di kalangan remaja seakan tidak pernah surut, malah bertambah. Padahal remaja adalah kunci masa depan, generasi yang diprediksi menjadi golongan unggul untuk generasi mendatang. Tapi entah pikiran para pemuda yang terpengaruh media atau kondisi sosial yang memang memaksa untuk selalu mengikut arus. Budaya mengekor, pemuja hedon, mengejar kepuasan jasmani, ingin menang sendiri dan mindset kapitalis sudah menjadi variabel pasti yang tidak bisa dipungkiri dari moralitas generasi muda sekarang. Banyaknya kasus perkosaan di angkot-angkot, rating akses ke situs pornografi yang sangat tinggi, serta kegemaran akan kekerasan yang tertuang dalam permainan digital, merupakan beberapa dari sekian banyak katalisator bertambahnya penyakit hati.

Tapi apakah kita harus menyalahkan mereka saja? Tentu tidak bisa senaif itu. Di sini, pengaruh dari masyarakat sekitar, lembaga pendidikan, juga orang tua sangatlah vital. Dari lembaga pendidikan, Alfons Dani, salah seorang peneliti di Yayasan Dinamika Edukasi Dasar Yogyakarta, mengatakan bahwa penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran. Lebih lanjut, dengan apik ia telah memetakan beberapa permasalahan khusus, yaitu: rendahnya sarana fisik, rendahnya kualitas guru, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, dan mahalnya biaya pendidikan.  

Dari beberapa alasan di atas, RM Mangunwijaya di bukunya Pendidikan Pemerdekaan menyatakan, bahwa visi pendidikan adalah ‘Belajar Sejati’. Artiny, seorang pengajar haruslah mengantarkan dan menolong anak didik mereka untuk mengenal dan mengembangkan potensi diri agar menjadi manusia yang mandiri, dewasa, dan utuh; bukan cuma menjadi kepingan serba pasrah belaka kepada mesin besar yang tak dia ketahui susunannya dan arahnya. Bagi para pembelajar, mereka akan mulai menata cita untuk menjadi manusia merdeka, sekaligus peduli dan solider dengan sesamanya dalam ikhtiar meraih kemanusiaan yang terjadi, dengan jati diri serta citra diri yang semakin utuh harmonis dan integer.

Romo Mangun juga mengulas bahwa menurutnya seorang pendidik haruslah bersikpa demokratis, dialogis, intelektual dan harus menghayati tugas guru sebagai panggilan hidup. Dia juga menambahkan, kualitas guru yang sangat rendan dan kesejahteraan yang kurang layak, sepatutnya perlu diberikan perhatian lebih oleh pemerintah. Dengan begini, pendidik pun tidak setengah-setengah dalam menjalankan tugasnya. Atau dalam kata lain, menggantikan peran ‘orang tua’ dalam sekolah ataupun universitas.

Sayangnya, harapan di atas hanyalah utopia jika tidak ada pengaruh arus balik dari orang tua para pembelajar. Acapkali dengan acuh mereka menyerahkan anak mereka kepada pihak sekolah, kemudian berlepas tangan dan berharap kelulusan anaknya nanti adalah tanda kematangan pribadi. Karenanya, jika anak berulah, tidak sedikit orang tua yang protes kepada pihak sekolah. Hal inilah kerap yang menjadi pemicu kasus anak-anak broken home dan pelarian mereka ke hal-hal maksiat seprti miras dan narkoba. Padahal telah disebutkan oleh banyak pakar Psikologi Pendidikan, seperti tertulis dalam buku ‘Ilmu al-Nafs al-Tarbawi, milik Abdul Aziz al-Qushi, bahwa peran pendidik baik dalam rumah maupun sekolah, masing-masing sama vitalnya. Peran ta’dib alias pendidikan karakter,meminjam konsep dari Naguib al-Attas, tidak lain diampu oleh para tokoh pendidik: guru dan orang tua. Mau tidak mau, ortu pun memiliki tanggung jawab lebih besar, karena mereka-lah yang sehari-harinya berinteraksi dan mampu bersosialisasi langsung dengan intimasi lebih karena telah mengenal mereka sejak lahir. Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya pernah mewanti-wanti, anak yang tidak terdidik oleh orang tua, mereka akan terdidik zaman. Jangan sampai ortu lalai dengan kewajiban int, malah melakukan hal-hal parsial seperti memberi sangu kepada anak saja, tanpa ada rasa.

Kembali ke proses ajar-mengajar, jika peran pendidik telah terlaksanakan dengan baik, maka alangkah ironis jika sang anak malah bermain apatis. Pada dasarnya ego manusia adalah tamak, tidak mengenal puas, Islam mengajarkan untuk bersifat qana’ah. Sifat ini tidak mungkin bisa langung dipraktikkan oleh sang anak, karena sifat genetik tidaklah terwariskan seratus persen. Sifat ini dibutuhkan ketika anak selalu menuntut hal-hal materialis yang belum tentu bermanfaat. Maka tugas orang tua dan guru, jika menasehati tidak berhasil, siasat pertama yang harus dilakukan adalah memberi contoh.

Dalam kasus di atas, memberi contoh tersebut bisa diibaratkan dengan ‘memberi punggung’. Sang anak membutuhkan punggung untuk ditatap. Punggung seseorang yang secara wujud bisa ia tangkap untuk kemudian bisa ia tiru dan ia kembangkan dalam menyikapi hidup.

Permasalahannya, tanpa pengawasan dan pembinaan yang cukup dan kebutuhan untuk saling memahami antara pendidik dan anak didik, ‘punggung’ tersebut bisa menjadi punggung siapa saja. Saat remaja, manusia cenderung membutuhkan sebuah sosok nyata yang mampu ia idolakan. Sosok tersebut jelas harus sangat impresif dan mempunya idealisme yang tercitrakan langsung, baik dari lisan maupun gerak-gerik. Jadi, sosok ini bisa berasal dari siapa saja, dari keluarga, aktor film, pengemis jalanan hingga seorang kriminal sekalipun. Tugas pendidik lah sebagai pengatur agar sang anak mampu menatap ke punggung yang benar, dan anak, dalam keegoisan masa muda mereka, harus belajar bahwa hari ini bukan hanya untuk dinikmati. Hari ini dan esok, ada untuk masa depan yang lebih berarti.

Walhasil, ketika peran masing-masing telah terintegritaskan dalam sikap dan aksi, maka pembelajar akan belajar untuk saling mempengaruhi dan bersaing dalam hal kebaikan. Akan tercipta budaya saling mengajar antar sesama pembelajar, sehingga yang lain bisa meniru kebaikan karakter kawan. Tentunya, jika hal ini terwujud, akan tercipta pembenahan moralitas generasi muda menjadi lebih sublim dan mulia. Wallahu'alam.[]

Thursday, March 14, 2013

Hukum Menganut Satu Mazhab



Oleh: Arief Assofi

Hukum menganut satu mazhab merupakan salah satu dilema masyarakat yang sampai saat ini masih banyak masyarakat yang belum mengetahui akan hakekat hukumnya. Maka dari itu, dalam tulisan singkat ini penulis mencoba untuk memaparkan pendapat para ulama tentang hukum menganut satu mazhab sehingga dapat mengeluarkan pembacanya dari dilema yang selama ini menghantuinya.

Wahbah Zuhaili menyebutkan dalam Ushûl al-Fiqh al-Islâmiy, bahwa para fukaha berbeda pendapat dalam menghukumi masalah ini. Sebab perbedaan mereka kembali kepada pertanyaan: apakah seorang mukalid sudah bertaklid kepada salah satu mazhab atau belum? Jika sudah, maka seluruh ulama sepakat bahwa mukalid dibolehkan untuk menganut mazhab apa saja. Nah, ketika seorang mukallid sudah bertaklid kepada salah satu mazhab, apakah dia boleh berpindah ke mazhab lain atau tidak?[1]

al-Amidi dan Ibnu Hajib mengklaim bahwa para ulama sepakat untuk mengharamkan berpindah mazhab bagi orang awam. Namun realitanya tidak, hal ini masih diperselisihkan di kalangan ulama.[2]

Mayoritas ulama berpendapat bahwa mukalid tidak wajib menganut satu mazhab tertentu. Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Burhan, Nawawi,[3] dan mayoritas ulama mazhab Syafi’iyah.[4] Pendapat ini juga dinisbatkan kepada Imam Ahmad, dan diamini oleh Yusuf Qaradhawi.[5] Bahkan, Ibnul Qoyyim dalam I’âmu al-Muwaqi’in menegaskan bahwa kebenaran pendapat ini mutlak.[6]

Para pengusung pendapat ini berdalih, bahwa para Sahabat RA tidak melarang orang awam pada zamannya untuk meminta fatwa kepada Sahabat lain.[7] Selain itu, mereka juga berdalih bahwa tidak ada kewajiban kecuali apa yang diwajibkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.[8] Dan juga, pendapat yang mengatakan bahwa orang awam wajib menganut satu mazhab tertentu, akan menyulitkan.[9] Karena mau tidak mau, mereka harus mencari mufti yang semazhab.

Di sisi lain, sebagian ulama berpendapat bahwa orang awam wajib bermazhab satu. Pendapat inilah yang digulirkan oleh Imam al-Juwaini,[10] Ilkia al-Harrasi[11] dan Taj al-Subki[12] dari Syafi’iyah. bahkan kajian Ibnu Munir menunjukkan bahwa dalil yang ia temukan  menunjukkan kewajiban menganut satu mazhab setelah zaman imam madzhab yang empat.[13]

Di sini Ibnu Munir tampak membedakan antara zaman sebelum imam mazhab dan setelahnya. Pandangan yang ia sampaikan ini bukan tanpa alasan. Ibnu Munir berpendapat demikian karena sebelum zaman imam madzhab yang empat, para mujtahid tidak menuliskan mazhab mereka. Sementara permasalahan yang ada pun masih sedikit, sehingga orang awam tidak mengetahui pendapat lain selain pendapat muftinya. Sedangkan setelah zaman imam mazhab yang empat, mazhab telah ditulis, dipelajari, dan disebarkan. Orang-orang awam pun mengetahui pendapat yang ringan untuk dijalankan dan pendapat yang berat, sehingga berpindah-pindah dari mazhab ke mazhab tidak lain hanyalah mencari kemudahan  (tatabbu’ al-rukhash) atas dasar hawa nafsu.[14] Demikian pula alasan yang dipaparkan Taj al-Subki.[15]
Selain itu pengusung pendapat ini juga beralasan, bahwa seorang mukalid yang sudah bertaklid kepada suatu mazhab tidak diperkenankan untuk bertaklid pada mazhab lain karena seorang mukalid tersebut telah meyakini kebenaran mazhab pertamanya, maka wajib baginya mengamalkan apa yang telah ia yakini.[16] Al-Juwaini menambahkan, “Bagaimana mungkin seseorang dapat memilih antara pendapat yang menghalalkan dan mengharamkan jika ia tidak memiliki alat ijtihad?”[17]

Di kubu ketiga, tampil al-Amidi dan Kamal bin Himam sebagai penengah. Mereka berpendapat bahwa orang awam yang telah bertaklid kepada satu mazhab dalam sebagian perkara, tidak dibolehkan untuk pindah mazhab dalam perkara yang sama. Sedangkan jika ia belum bertaklid pada suatu mazhab dalam perkara lain, maka tidak ada salahnya untuk memilih mazhab lain.[18] Karena dalam sebagian perkara ia meyakini kebenarannya pada mazhab pertama, dan dalam perkara lain ia meyakini bahwa kebenaran kali ini berpihak pada mazhab lain. Namun, penulis belum menemukan dalil yang lebih terperinci berkaitan dengan mazhab terakhir ini. Hanya saja, Wahbah Zuhaili menyebutkan alasan yang sama dengan pendapat pertama.[19]

Penulis menangkap bahwa landasan mereka adalah menggabungkan dalil kedua pendapat sebelumnya. Seorang awam yang telah bertaklid kepada satu mazhab tertentu dalam sebagian perkara, tidak diperbolehkan untuk pindah ke mazhab lain dalam perkara yang sama, karena mereka telah meyakini kebenaran mazhab tersebut dalam perkara itu sebelumnya, maka mereka wajib mengamalkan apa yang mereka yakini. Sedangkan dalam perkara yang belum dilakukannya dengan bertaklid pada mazhab apapun, taklid kepada mazhab apa saja yang mereka yakini kebenarannya dibolehkan. Karena berpindah-pindah mazhab  tanpa meyakini kebenarannya, nampak seperti mempermainkan agama dan bertindak atas kehendak hawa nafsu.

Imam Nawawi memandang, sebenarnya ulama-ulama yang mewajibkan bermazhab satu hanya tidak yakin bahwa orang awam akan selamat hawa nafsu dalam mencari kemudahan.[20]

Dalam hal ini, lebih tenang untuk mengatakan: “mazhab orang awam adalah mazhab muftinya”. Hal ini senada dengan pernyataan Ibnul Qayyim: “tidak layak bagi orang awam untuk bermazhab. Sesungguhnya mazhab hanyalah diperuntukkan bagi para akademisi.”[21] Tetapi juga tidak ada salahnya bagi orang awam jika ingin menganut satu mazhab tertentu, sebagaimana yang ditegaskan al-Qaradhawi.[22] Wallâhu A’lam.

--------------------------------------------------------------

[1] Wahbah Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, jilid II, (Damaskus: Darul Fikr, 2009), hal. 417.

[2] Ibid., hal. 417.

[3] Dinukil dari kitab al-Bahru al-Muhîth karya al-Zarkasyi oleh Yusuf al-Qaradhawi. Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa nata’âmal ma’a al-Turats, (Kairo: Wahbah, 2004), hal. 81.

[4] Diriwayatkan oleh al-Rafi’i dari Abul Fath al-Harawi. Lihat, Ibid., hal. 82.

[5] Ibid., hal. 81.

[6] Ibid., hal. 81.

[7] Ibid., hal. 81.

[8] Wahbah Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, jil. II, hal. 417.

[9] Ibid., hal. 418.

[10] Abdul Malik bin Abdullah al-Juwaini, al-Ghiyatsi; Ghiyâtsu al-Umam fî al-Tiyâtsi al-Zhulam, (Jeddah: Dar al-Minhaj, 2011), cetakan III, hal. 404.

[11] Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa nata’âmal ma’a al-Turats, hal. 81.

[12] Dinukil dari Jam’ al-Jawâmi’ oleh al-Samhudi. Ali bin Abdullah al-Samhudi, al-‘Aqd al-Farîd fî Ahkâm al-Taqlîd, (Saudi: Darul Minhaj, 2011), hal. 101.

[13] Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa nata’âmal ma’a al-Turats, hal. 81.

[14] Ibid., hal. 82.

[15] Ali bin Abdullah al-Samhudi, al-‘Aqd al-Farîd fî Ahkâm al-Taqlîd, hal. 101.

[16] Wahbah Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, jil. II, hal. 417.

[17] Abdul Malik bin Abdullah al-Juwaini, al-Ghiyatsi; Ghiyâtsu al-Umam fî al-Tiyâtsi al-Zhulam, hal. 404.

[18] Wahbah Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, jil. II, hal. 418.

[19] Ibid., hal. 418.

[20] Dinukil dari Raudhah al-Thâlibîn karya Imam Nawawi. Ali bin Abdullah al-Samhudi, al-‘Aqd al-Farîd fî Ahkâm al-Taqlîd, hal. 103.

[21] Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa nata’âmal ma’a al-Turats, hal. 83.

[22] Ibid.