Pages

Wednesday, March 27, 2013

Merasionalkan Hikmah Zakat Ditinjau dari Konsep Public dan Private Goods


Oleh: Fauzul Hanif    

Pembicaraan seputar efek zakat dalam perkonomian memang begitu panjang. Hal itu karena sifat dasar dari zakat yang berbeda ketimbang jenis transaksi tabarru’ (donasi) lainnya. Baik itu wakaf, hibah, hadiah, sedekah maupun yang lain, tidak mempunyai sifat khusus yang ada pada zakat, yaitu ilzam (mengikat).

Sebenarnya, dalam konteks konvensional, kita mengenal pajak sebagai jenis kewajiban atas harta pada kepemilikan pribadi. Tapi, bentuk pajak ini sebagaimana kita ketahui hanya bersifat mengikat secara hukum undang-undang. Kalau toh kita tidak membayar, kemudian tidak ada tagihan atas nama kita secara tertulis, artinya kita tidak terkena sanksi atasnya. Lain halnya dengan zakat, ia bersifat mengikat secara agama (diyanatan). Artinya, tanggung jawab kita tidak berhenti pada dimensi yang fana ini, namun mencakup lebih luas lagi, yaitu sebuah pertanggungjawaban kepadaNya di akhirat nanti.

Dalam konteks ekonomi makro, sifat mengikat yang ada pada zakat memberi pengaruh positif pada tatanan konsep public goods serta private goods. Di sini, yang penulis maksud dengan public atau private goods adalah uang, bukan barang-barang lain

Permasalahan bermula dari sudut pandang manusia terhadap uang. Apakah uang merupakan private goods, ataukah public goods? Beberapa aliran ekonomi konvensional memandang uang adalah private goods sehingga berimbas pada penumpukan harta kekayaan pribadi. Adapun dalam Islam, uang tidak dipandang sebagai private goods, melainkan public goods.

Memang dari konsep yang ditawarkan Islam bahwa uang adalah public goods akan menimbulkan tanda tanya. Bagaimana mungkin uang dianggap sebagai public goods? Jika uang dianggap sebagai public goods, maka uang tak ubahnya dengan udara yang kita hirup sehari-hari yang dimiliki bersama tanpa usaha apapun. Hal itu sangat berbeda dengan fakta yang ada di hadapan kita bahwa setiap orang mempunyai hak penuh atas kekayaan yang ia miliki.

Pada pemahaman di atas, ada sedikit poin yang mungkin harus dijelaskan lebih mendalam lagi. Islam memang mengakui hak penuh atas setiap kepemilikan pribadi. Hak tersebut biasanya kita kenal dengan istilah al-milikyah  at-tâmmah. Namun, yang dimaksud dengan uang sebagai public goods adalah hak masyarakat umum untuk sama-sama merasakan manfaatnya tanpa harus memiliki benda tersebut. Adapun kepemilikan pribadi uang tersebut tetap diakui oleh Islam karena merekalah yang berhak atas harta benda masing-masing. Maka dari itu, untuk mengimbangi konsep money is public goods tadi, di dalam Islam dikenal juga konsep capital (modal) is private goods.

Pemahaman lebih lanjut dari capital is private goods dan money is public goods adalah seperti ini. Ketika uang (public goods) itu mengalir, maka manfaat dari uang itu bisa diserap dan dimiliki oleh orang banyak. Kemudian, ketika uang yang mengalir itu mengendap pada individu, maka uang itu menjadi miliknya (private goods). Kepemilikan ini kemudian bisa disimpan begitu saja atau diinvestasikan.

Lalu, sebagaimana prinsip Islam yang selalu mengedepankan kepentingan publik ketimbang individu, maka Islam menghimbau umatnya agar public goods –berupa manfaat dari uang– selalu tersedia dalam jumlah maksimal. Pelaksanaan himbauan tersebut tidak bisa dicapai kecuali dengan mengoptimalkan modal yang merupakan private goods agar diolah menjadi faktor-faktor produksi sehingga terasa manfaatnya. Di titik ini nampaknya terlihat salah satu hikmah dari pelarangan praktek penimbunan (ihtikar), yaitu agar keberadaan private goods selalu dioptimalkan. JIka kita sepakat bahwa air yang terlalu lama mengendap akan menjadi keruh, maka private goods ketika diibaratkan seperti air juga sama. Modal yang terlalu lama disimpan pada kantong pribadi itu membuatnya menjadi keruh.

Kembali ke permasalahan zakat. Zakat berperan penting untuk menstabilkan uang yang sudah mengendap menjadi kepemilikan pribadi. Dengan adanya zakat, maka prinsip Islam yang tidak melarang kepemilikan pribadi tercapai. Begitu pula dengan prinsip Islam yang menginginkan agar pengoptimalan sumber daya potensial –yang termasuk di dalamnya modal sebagai private goods– juga terpenuhi.

Fungsi zakat sebaga stabilisator ini terwujud karena pendistribusiannya yang ditekankan pada poin-poin paling esensial dalam unsur bermasyarakat. Islam telah mengatur pendistribusian zakat agar ditujukan kepada 8 golongan khusus yang telah dirangkum di dalam al-Quran surah at-Taubah ayat  60. Golongan tersebut adalah: fakir, miskin, amil zakat, muallaf, hamba sahaya, orang yang memiliki hutang, pejuang di jalan Allah dan para musafir (pelajar perantauan).

Dari delapan golongan tersebut, kita bisa menarik benang merah bahwa dengan adanya zakat, maka akan mampu menstabilkan private goods agar manfaatnya tetap bisa diserap oleh masyarakat luas. Hanya saja, manfaat yang diperoleh masyarakat luas dari zakat ini berbeda dengan public goods yang hanya dirasakan manfaatnya saja. Manfaat zakat dirasakan bersamaan dengan wujud benda itu sendiri. Ini sama sekali bukan berarti Islam mengambil hak pribadi –yang diakui oleh Islam– secara paksa. Islam hanya menyalurkan kelebihan uang tersebut agar terus mengalir hingga  tidak menjadi seperti air keruh yang terlalu lama mengendap.

Hal itu bisa dilihat dari asas awal pernyataan bahwa private goods adalah uang –sebagai public goods– yang telah mengendap pada kepemilikan pribadi. Artinya, jika uang itu diinvestasikan atau disalurkan sebagai bantuan, maka dia masih menjadi public goods. Untuk itu, Islam tidak mewajibkan zakat atasnya. Zakat adalah optimalisasi dari capital yang mengendap dan tidak –atau belum– digunakan. Ini adalah poin pertama bahwa zakat tidak bertentangan dengan asas Islam yang mengakui kepemilikan pribadi.

Kemudian yang ke dua adalah optimalisasi private goods yang juga termasuk dalam sumber daya potensial. Hal ini tentunya akan bersinggungan ketat dengan teori kasb milik asy-Syaibani. Teori kasb pada hakikatnya mempunyai esensi sebagai dorongan kepada seluruh manusia bahwa rizki hanya bisa didapat dengan bekerja. Bahwasanya sebagaimana seseorang tidak memikul dosa orang lain, maka ia juga tidak mendapat rizki orang lain, seseorang hanya mendapatkan rizki dengan pekerjaan riil. Selain hal tersebut, kasb juga mempunyai esensi lain, yaitu optimalisasi sumber daya alam.

Optimalisasi private goods ini nampak jelas pada beberapa golongan yang mendapatkan alokasi dana dari zakat. Di sini penulis hanya menyebutkan satu di antaranya, yaitu golongan orang yang berhutang. Sudah maklum bahwa sekian banyak pengembangan usaha selalu berbanding lurus dengan modal yang ia punya. Memang, di era modern ini modal pengembangan usaha juga bisa didapatkan dari jasa peminjaman (hutang) yang disediakan oleh berbagai lembaga keuangan. Namun, peminjaman tersebut tentu ada batasnya. Lembaga keuangan manapun pasti mempunyai regulasi khusus dalam mengatur jumlah pinjaman yang akan ia keluarkan. Artinya, jika modal sudah tidak ada, kemudian peminjaman juga sudah mecapai batasnya, maka kegiatan produksi orang itu akan stagnan dan tidak bisa berkembang. Untung-untung hanya stagnan, beberapa malah pailit dan gulung tikar.

Di sinilah zakat mengambil posisi yang urgen. Zakat mengobati kelesuan produksi dari usaha seorang wiraswasta agar terus maju. Kelesuan produksi dari satu atau dua orang tidak menjadi masalah, namun jika mencapai ratusan maka efeknya akan dirasakan secara masif juga. Tentunya bukan sekedar masalah bertambahnya jumlah rakyat miskin, namun karena satu-satunya cara pemanfaatan sumber daya alam yang luas ini adalah dengan aktivitas produksi. Jika produksi macet, maka pemanfaatan sumber daya alam akan macet juga. Muara akhirnya adalah tidak tercipta i’mâr al-ardh di muka bumi.[]

0 comments:

Post a Comment