Pages

Friday, October 12, 2012

Renaisans Islam dan Tradisi Ilmu

Oleh: Ahmad Sadzali

Bagi sebagian orang, ketika membaca judul buku “Renaisans Islam” karangannya Joel L. Kraemer, mungkin akan tergelitik dan merasa aneh. Pasalnya, kita tentu akan bertanya-tanya, apakah istilah renaisans itu pantas dipadankan dengan Islam? Karena dalam sejarahnya, Islam tidak pernah mengenal masa kegelapan atau the dark ages seperti yang terjadi di Barat dimulai sejak runtuhnya Imperium Romawi Barat tahun 476.

Penulis buku itu pun sebenarnya menyadari kalau penggunaan istilah Renaisans Islam tersebut masih patut untuk diperdebatkan. Namun akhirnya Joel memperluas istilah renaisans menjadi pengertian yang mencakup pelbagai kebangkitan dan periode budaya restorasi klasik. Walaupun demikian, pembahasan ini tidak dapat dikatakan final begitu saja.

Dalam tulisan ini, kita tidak ingin memperdebatkan pengistilahan Renaisans Islam tersebut. Yang ingin kita ambil pelajaran dari sini adalah, membuka ingatan kita kembali bahwa dulunya Islam pernah jaya dan mencapai puncak kegemilangannya. Ketika itu, dunia Islam benar-benar menjadi kiblat  peradaban dunia. Dan peradaban Islam sekarang ini butuh bangkit kembali.

Tentunya banyak yang sependapat, salah satu unsur terpenting dalam membangun peradaban adalah ilmu pengetahuan. Dalam khazanah keislaman, al-Qur’an dan Sunnah telah memberikan kekuatan dan semangat untuk mempelajari ilmu pengetahuan. Dua sumber ini sangat kaya sekali dengan masalah-masalah yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan, seperti perintah menuntut ilmu, perintah berpikir, mengamati, dan lain sebagainya. 

Terbukti, tradisi ilmu pengetahuan dalam Islam memang sangat kental dan mengakar kuat. Ilmu pengetahuan tersebut benar-benar berlandaskan ajaran ketuhanan, bukan sekuler seperti yang terbangun dalam peradaban Barat. Dan cikal bakal inilah yang kelak akan membentuk peradaban Islam. Dengan demikian, terbangunlah peradaban yang berakhlak dan memiliki moralitas yang tinggi, karena dibangun di atas pondasi wahyu.

Untuk dapat menumbuhkan tradisi ilmu pengetahuan, memang tidak mudah. Ilmu pengetahuan tidak akan hidup jika tidak ada komunitas yang aktif mengembangkannya. Karena itulah, suatu peradaban pasti akan bermula dari sebuah komunitas. Dan suatu komunitas tidak dapat berkembang dengan baik, jika individu-individunya tidak baik. Oleh karena itulah, Dr. Ahmad Fuad Pasha, dalam tulisannya di Mausu’ah Hadharah Islamiyah, memasukkan kedua unsur ini ke dalam asas bangunan peradaban Islam.

Sayangnya, kejayaan Islam di zaman dulu itu tidak dapat kita rasakan sekarang. Meskipun masih bisa, itu pun hanya serpihan-serpihannya saja. Selebihnya, peradaban lain yang banyak memanfaatkannya. Proses Islamisasi ilmu pengetahuan dan penerjemahan besar-besaran yang terjadi di masa Daulah Umaiyah, seakan sirna begitu saja. Komunitas-komunitas pecinta ilmu pengetahuan, sepertinya sudah mulai tererosi oleh zaman. 

Banyak orang yang menilai kalau Islam saat ini tengah mengalami kemunduran. Apapun landasan pendapat seperti itu, memang pada realitanya umat Islam sekarang sedang dihadapkan dengan masalah yang kompleks.

Namun tentunya kita semua pasti ingin mengangkat kembali martabat Islam sebagai peradaban yang maju dan pantas untuk disegani. Rasa-rasanya ingin sekali mengulang kegemilangan zaman Harun ar-Rasyid dulu. Tapi apakah hal itu mustahil? Tentu saja jawabannya tidak.

Meski tidak mudah, akan tetapi kemajuan ilmu pengetahuan sepertinya memasng sudah menjadi syarat mutlak untuk memajukan peradaban apapun, termasuk peradaban Islam. Dan jika kita ingin mengulang kembali kenangan manis dulu yang belum sempat kita rasakan, maka sekarang lah saatnya kita memulainya, yaitu dengan mengembangkan ilmu pengetahuan.

Semoga kita sudah bangkit dulu mencapai puncak kejayaan lagi, sebelum merasakan masa kegelapan. Oleh karena itulah, tugas terpenting bagi kita sekarang adalah membangun kembali tradisi ilmu dan membentuk komunitas kita ini, sebagai komunitas yang mengembangkan ilmu pengetahuan. Wallahu’alam.[]

0 comments:

Post a Comment