Pages

Wednesday, March 27, 2013

Merasionalkan Hikmah Zakat Ditinjau dari Konsep Public dan Private Goods


Oleh: Fauzul Hanif    

Pembicaraan seputar efek zakat dalam perkonomian memang begitu panjang. Hal itu karena sifat dasar dari zakat yang berbeda ketimbang jenis transaksi tabarru’ (donasi) lainnya. Baik itu wakaf, hibah, hadiah, sedekah maupun yang lain, tidak mempunyai sifat khusus yang ada pada zakat, yaitu ilzam (mengikat).

Sebenarnya, dalam konteks konvensional, kita mengenal pajak sebagai jenis kewajiban atas harta pada kepemilikan pribadi. Tapi, bentuk pajak ini sebagaimana kita ketahui hanya bersifat mengikat secara hukum undang-undang. Kalau toh kita tidak membayar, kemudian tidak ada tagihan atas nama kita secara tertulis, artinya kita tidak terkena sanksi atasnya. Lain halnya dengan zakat, ia bersifat mengikat secara agama (diyanatan). Artinya, tanggung jawab kita tidak berhenti pada dimensi yang fana ini, namun mencakup lebih luas lagi, yaitu sebuah pertanggungjawaban kepadaNya di akhirat nanti.

Dalam konteks ekonomi makro, sifat mengikat yang ada pada zakat memberi pengaruh positif pada tatanan konsep public goods serta private goods. Di sini, yang penulis maksud dengan public atau private goods adalah uang, bukan barang-barang lain

Permasalahan bermula dari sudut pandang manusia terhadap uang. Apakah uang merupakan private goods, ataukah public goods? Beberapa aliran ekonomi konvensional memandang uang adalah private goods sehingga berimbas pada penumpukan harta kekayaan pribadi. Adapun dalam Islam, uang tidak dipandang sebagai private goods, melainkan public goods.

Memang dari konsep yang ditawarkan Islam bahwa uang adalah public goods akan menimbulkan tanda tanya. Bagaimana mungkin uang dianggap sebagai public goods? Jika uang dianggap sebagai public goods, maka uang tak ubahnya dengan udara yang kita hirup sehari-hari yang dimiliki bersama tanpa usaha apapun. Hal itu sangat berbeda dengan fakta yang ada di hadapan kita bahwa setiap orang mempunyai hak penuh atas kekayaan yang ia miliki.

Pada pemahaman di atas, ada sedikit poin yang mungkin harus dijelaskan lebih mendalam lagi. Islam memang mengakui hak penuh atas setiap kepemilikan pribadi. Hak tersebut biasanya kita kenal dengan istilah al-milikyah  at-tâmmah. Namun, yang dimaksud dengan uang sebagai public goods adalah hak masyarakat umum untuk sama-sama merasakan manfaatnya tanpa harus memiliki benda tersebut. Adapun kepemilikan pribadi uang tersebut tetap diakui oleh Islam karena merekalah yang berhak atas harta benda masing-masing. Maka dari itu, untuk mengimbangi konsep money is public goods tadi, di dalam Islam dikenal juga konsep capital (modal) is private goods.

Pemahaman lebih lanjut dari capital is private goods dan money is public goods adalah seperti ini. Ketika uang (public goods) itu mengalir, maka manfaat dari uang itu bisa diserap dan dimiliki oleh orang banyak. Kemudian, ketika uang yang mengalir itu mengendap pada individu, maka uang itu menjadi miliknya (private goods). Kepemilikan ini kemudian bisa disimpan begitu saja atau diinvestasikan.

Lalu, sebagaimana prinsip Islam yang selalu mengedepankan kepentingan publik ketimbang individu, maka Islam menghimbau umatnya agar public goods –berupa manfaat dari uang– selalu tersedia dalam jumlah maksimal. Pelaksanaan himbauan tersebut tidak bisa dicapai kecuali dengan mengoptimalkan modal yang merupakan private goods agar diolah menjadi faktor-faktor produksi sehingga terasa manfaatnya. Di titik ini nampaknya terlihat salah satu hikmah dari pelarangan praktek penimbunan (ihtikar), yaitu agar keberadaan private goods selalu dioptimalkan. JIka kita sepakat bahwa air yang terlalu lama mengendap akan menjadi keruh, maka private goods ketika diibaratkan seperti air juga sama. Modal yang terlalu lama disimpan pada kantong pribadi itu membuatnya menjadi keruh.

Kembali ke permasalahan zakat. Zakat berperan penting untuk menstabilkan uang yang sudah mengendap menjadi kepemilikan pribadi. Dengan adanya zakat, maka prinsip Islam yang tidak melarang kepemilikan pribadi tercapai. Begitu pula dengan prinsip Islam yang menginginkan agar pengoptimalan sumber daya potensial –yang termasuk di dalamnya modal sebagai private goods– juga terpenuhi.

Fungsi zakat sebaga stabilisator ini terwujud karena pendistribusiannya yang ditekankan pada poin-poin paling esensial dalam unsur bermasyarakat. Islam telah mengatur pendistribusian zakat agar ditujukan kepada 8 golongan khusus yang telah dirangkum di dalam al-Quran surah at-Taubah ayat  60. Golongan tersebut adalah: fakir, miskin, amil zakat, muallaf, hamba sahaya, orang yang memiliki hutang, pejuang di jalan Allah dan para musafir (pelajar perantauan).

Dari delapan golongan tersebut, kita bisa menarik benang merah bahwa dengan adanya zakat, maka akan mampu menstabilkan private goods agar manfaatnya tetap bisa diserap oleh masyarakat luas. Hanya saja, manfaat yang diperoleh masyarakat luas dari zakat ini berbeda dengan public goods yang hanya dirasakan manfaatnya saja. Manfaat zakat dirasakan bersamaan dengan wujud benda itu sendiri. Ini sama sekali bukan berarti Islam mengambil hak pribadi –yang diakui oleh Islam– secara paksa. Islam hanya menyalurkan kelebihan uang tersebut agar terus mengalir hingga  tidak menjadi seperti air keruh yang terlalu lama mengendap.

Hal itu bisa dilihat dari asas awal pernyataan bahwa private goods adalah uang –sebagai public goods– yang telah mengendap pada kepemilikan pribadi. Artinya, jika uang itu diinvestasikan atau disalurkan sebagai bantuan, maka dia masih menjadi public goods. Untuk itu, Islam tidak mewajibkan zakat atasnya. Zakat adalah optimalisasi dari capital yang mengendap dan tidak –atau belum– digunakan. Ini adalah poin pertama bahwa zakat tidak bertentangan dengan asas Islam yang mengakui kepemilikan pribadi.

Kemudian yang ke dua adalah optimalisasi private goods yang juga termasuk dalam sumber daya potensial. Hal ini tentunya akan bersinggungan ketat dengan teori kasb milik asy-Syaibani. Teori kasb pada hakikatnya mempunyai esensi sebagai dorongan kepada seluruh manusia bahwa rizki hanya bisa didapat dengan bekerja. Bahwasanya sebagaimana seseorang tidak memikul dosa orang lain, maka ia juga tidak mendapat rizki orang lain, seseorang hanya mendapatkan rizki dengan pekerjaan riil. Selain hal tersebut, kasb juga mempunyai esensi lain, yaitu optimalisasi sumber daya alam.

Optimalisasi private goods ini nampak jelas pada beberapa golongan yang mendapatkan alokasi dana dari zakat. Di sini penulis hanya menyebutkan satu di antaranya, yaitu golongan orang yang berhutang. Sudah maklum bahwa sekian banyak pengembangan usaha selalu berbanding lurus dengan modal yang ia punya. Memang, di era modern ini modal pengembangan usaha juga bisa didapatkan dari jasa peminjaman (hutang) yang disediakan oleh berbagai lembaga keuangan. Namun, peminjaman tersebut tentu ada batasnya. Lembaga keuangan manapun pasti mempunyai regulasi khusus dalam mengatur jumlah pinjaman yang akan ia keluarkan. Artinya, jika modal sudah tidak ada, kemudian peminjaman juga sudah mecapai batasnya, maka kegiatan produksi orang itu akan stagnan dan tidak bisa berkembang. Untung-untung hanya stagnan, beberapa malah pailit dan gulung tikar.

Di sinilah zakat mengambil posisi yang urgen. Zakat mengobati kelesuan produksi dari usaha seorang wiraswasta agar terus maju. Kelesuan produksi dari satu atau dua orang tidak menjadi masalah, namun jika mencapai ratusan maka efeknya akan dirasakan secara masif juga. Tentunya bukan sekedar masalah bertambahnya jumlah rakyat miskin, namun karena satu-satunya cara pemanfaatan sumber daya alam yang luas ini adalah dengan aktivitas produksi. Jika produksi macet, maka pemanfaatan sumber daya alam akan macet juga. Muara akhirnya adalah tidak tercipta i’mâr al-ardh di muka bumi.[]

Saturday, March 16, 2013

Ajari Aku Mengajar!


Oleh: Umar Abdulloh  

Meskipun saya bukanlah seorang pengajar, tatkala seorang kawan berceloteh bahwa gaya mengajar dosen-dosen di univeritas Indonesia itu cukup sembrono, telinga saya sedikit menjengit. Dia bilang, para dosen cukup menghadiri perkuliahan, terlepas datang awal waktu maupun telat, memberitahu halaman mana saja yang perlu dibaca oleh para mahasiswanya, kemudian ia tinggal menyibukkan diri dengan aktifitas pribadi. Atau bahkan melangkah keluar pintu dan meninggalkan para mahasiswanya sibuk berkutat dengan diktat. Mulanya saya bertanya kepada kawan saya ini, “Apakah ini yang terjadi di kampus yang pernah anda singgahi?”

“Oh, tidak. Ini berlaku ke semua kampus.”

Dengan tegas saya menolak terus-terang bahwa pernyataannya tersebut sangat tidak bisa digeneralisir. Dia melanjutkan, informasi tersebut dia terima dari salah seorang dosen Indonesia yang sedang berdomisili di Mesir. Seketika saya bantah, “Tidak mungkin borok di wajah, sengaja mereka biarkan terlihat.”

Meskipun pernyataan kawan saya di atas ada benarnya, tentunya tidak sedikit pula yang berlaku sebaliknya. Mari kita akui, moralitas remaja ataupun pemuda yang semakin merosot belakangan ini bermula dari ulah pendidik yang setengah-setengah dalam mengajar. Tetapi jangan sampai kita melupakan faktor lain.

Begini, perlu kita ketahui bahwa problematika moral yang muncul di kalangan remaja seakan tidak pernah surut, malah bertambah. Padahal remaja adalah kunci masa depan, generasi yang diprediksi menjadi golongan unggul untuk generasi mendatang. Tapi entah pikiran para pemuda yang terpengaruh media atau kondisi sosial yang memang memaksa untuk selalu mengikut arus. Budaya mengekor, pemuja hedon, mengejar kepuasan jasmani, ingin menang sendiri dan mindset kapitalis sudah menjadi variabel pasti yang tidak bisa dipungkiri dari moralitas generasi muda sekarang. Banyaknya kasus perkosaan di angkot-angkot, rating akses ke situs pornografi yang sangat tinggi, serta kegemaran akan kekerasan yang tertuang dalam permainan digital, merupakan beberapa dari sekian banyak katalisator bertambahnya penyakit hati.

Tapi apakah kita harus menyalahkan mereka saja? Tentu tidak bisa senaif itu. Di sini, pengaruh dari masyarakat sekitar, lembaga pendidikan, juga orang tua sangatlah vital. Dari lembaga pendidikan, Alfons Dani, salah seorang peneliti di Yayasan Dinamika Edukasi Dasar Yogyakarta, mengatakan bahwa penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran. Lebih lanjut, dengan apik ia telah memetakan beberapa permasalahan khusus, yaitu: rendahnya sarana fisik, rendahnya kualitas guru, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, dan mahalnya biaya pendidikan.  

Dari beberapa alasan di atas, RM Mangunwijaya di bukunya Pendidikan Pemerdekaan menyatakan, bahwa visi pendidikan adalah ‘Belajar Sejati’. Artiny, seorang pengajar haruslah mengantarkan dan menolong anak didik mereka untuk mengenal dan mengembangkan potensi diri agar menjadi manusia yang mandiri, dewasa, dan utuh; bukan cuma menjadi kepingan serba pasrah belaka kepada mesin besar yang tak dia ketahui susunannya dan arahnya. Bagi para pembelajar, mereka akan mulai menata cita untuk menjadi manusia merdeka, sekaligus peduli dan solider dengan sesamanya dalam ikhtiar meraih kemanusiaan yang terjadi, dengan jati diri serta citra diri yang semakin utuh harmonis dan integer.

Romo Mangun juga mengulas bahwa menurutnya seorang pendidik haruslah bersikpa demokratis, dialogis, intelektual dan harus menghayati tugas guru sebagai panggilan hidup. Dia juga menambahkan, kualitas guru yang sangat rendan dan kesejahteraan yang kurang layak, sepatutnya perlu diberikan perhatian lebih oleh pemerintah. Dengan begini, pendidik pun tidak setengah-setengah dalam menjalankan tugasnya. Atau dalam kata lain, menggantikan peran ‘orang tua’ dalam sekolah ataupun universitas.

Sayangnya, harapan di atas hanyalah utopia jika tidak ada pengaruh arus balik dari orang tua para pembelajar. Acapkali dengan acuh mereka menyerahkan anak mereka kepada pihak sekolah, kemudian berlepas tangan dan berharap kelulusan anaknya nanti adalah tanda kematangan pribadi. Karenanya, jika anak berulah, tidak sedikit orang tua yang protes kepada pihak sekolah. Hal inilah kerap yang menjadi pemicu kasus anak-anak broken home dan pelarian mereka ke hal-hal maksiat seprti miras dan narkoba. Padahal telah disebutkan oleh banyak pakar Psikologi Pendidikan, seperti tertulis dalam buku ‘Ilmu al-Nafs al-Tarbawi, milik Abdul Aziz al-Qushi, bahwa peran pendidik baik dalam rumah maupun sekolah, masing-masing sama vitalnya. Peran ta’dib alias pendidikan karakter,meminjam konsep dari Naguib al-Attas, tidak lain diampu oleh para tokoh pendidik: guru dan orang tua. Mau tidak mau, ortu pun memiliki tanggung jawab lebih besar, karena mereka-lah yang sehari-harinya berinteraksi dan mampu bersosialisasi langsung dengan intimasi lebih karena telah mengenal mereka sejak lahir. Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya pernah mewanti-wanti, anak yang tidak terdidik oleh orang tua, mereka akan terdidik zaman. Jangan sampai ortu lalai dengan kewajiban int, malah melakukan hal-hal parsial seperti memberi sangu kepada anak saja, tanpa ada rasa.

Kembali ke proses ajar-mengajar, jika peran pendidik telah terlaksanakan dengan baik, maka alangkah ironis jika sang anak malah bermain apatis. Pada dasarnya ego manusia adalah tamak, tidak mengenal puas, Islam mengajarkan untuk bersifat qana’ah. Sifat ini tidak mungkin bisa langung dipraktikkan oleh sang anak, karena sifat genetik tidaklah terwariskan seratus persen. Sifat ini dibutuhkan ketika anak selalu menuntut hal-hal materialis yang belum tentu bermanfaat. Maka tugas orang tua dan guru, jika menasehati tidak berhasil, siasat pertama yang harus dilakukan adalah memberi contoh.

Dalam kasus di atas, memberi contoh tersebut bisa diibaratkan dengan ‘memberi punggung’. Sang anak membutuhkan punggung untuk ditatap. Punggung seseorang yang secara wujud bisa ia tangkap untuk kemudian bisa ia tiru dan ia kembangkan dalam menyikapi hidup.

Permasalahannya, tanpa pengawasan dan pembinaan yang cukup dan kebutuhan untuk saling memahami antara pendidik dan anak didik, ‘punggung’ tersebut bisa menjadi punggung siapa saja. Saat remaja, manusia cenderung membutuhkan sebuah sosok nyata yang mampu ia idolakan. Sosok tersebut jelas harus sangat impresif dan mempunya idealisme yang tercitrakan langsung, baik dari lisan maupun gerak-gerik. Jadi, sosok ini bisa berasal dari siapa saja, dari keluarga, aktor film, pengemis jalanan hingga seorang kriminal sekalipun. Tugas pendidik lah sebagai pengatur agar sang anak mampu menatap ke punggung yang benar, dan anak, dalam keegoisan masa muda mereka, harus belajar bahwa hari ini bukan hanya untuk dinikmati. Hari ini dan esok, ada untuk masa depan yang lebih berarti.

Walhasil, ketika peran masing-masing telah terintegritaskan dalam sikap dan aksi, maka pembelajar akan belajar untuk saling mempengaruhi dan bersaing dalam hal kebaikan. Akan tercipta budaya saling mengajar antar sesama pembelajar, sehingga yang lain bisa meniru kebaikan karakter kawan. Tentunya, jika hal ini terwujud, akan tercipta pembenahan moralitas generasi muda menjadi lebih sublim dan mulia. Wallahu'alam.[]

Thursday, March 14, 2013

Hukum Menganut Satu Mazhab



Oleh: Arief Assofi

Hukum menganut satu mazhab merupakan salah satu dilema masyarakat yang sampai saat ini masih banyak masyarakat yang belum mengetahui akan hakekat hukumnya. Maka dari itu, dalam tulisan singkat ini penulis mencoba untuk memaparkan pendapat para ulama tentang hukum menganut satu mazhab sehingga dapat mengeluarkan pembacanya dari dilema yang selama ini menghantuinya.

Wahbah Zuhaili menyebutkan dalam Ushûl al-Fiqh al-Islâmiy, bahwa para fukaha berbeda pendapat dalam menghukumi masalah ini. Sebab perbedaan mereka kembali kepada pertanyaan: apakah seorang mukalid sudah bertaklid kepada salah satu mazhab atau belum? Jika sudah, maka seluruh ulama sepakat bahwa mukalid dibolehkan untuk menganut mazhab apa saja. Nah, ketika seorang mukallid sudah bertaklid kepada salah satu mazhab, apakah dia boleh berpindah ke mazhab lain atau tidak?[1]

al-Amidi dan Ibnu Hajib mengklaim bahwa para ulama sepakat untuk mengharamkan berpindah mazhab bagi orang awam. Namun realitanya tidak, hal ini masih diperselisihkan di kalangan ulama.[2]

Mayoritas ulama berpendapat bahwa mukalid tidak wajib menganut satu mazhab tertentu. Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Burhan, Nawawi,[3] dan mayoritas ulama mazhab Syafi’iyah.[4] Pendapat ini juga dinisbatkan kepada Imam Ahmad, dan diamini oleh Yusuf Qaradhawi.[5] Bahkan, Ibnul Qoyyim dalam I’âmu al-Muwaqi’in menegaskan bahwa kebenaran pendapat ini mutlak.[6]

Para pengusung pendapat ini berdalih, bahwa para Sahabat RA tidak melarang orang awam pada zamannya untuk meminta fatwa kepada Sahabat lain.[7] Selain itu, mereka juga berdalih bahwa tidak ada kewajiban kecuali apa yang diwajibkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.[8] Dan juga, pendapat yang mengatakan bahwa orang awam wajib menganut satu mazhab tertentu, akan menyulitkan.[9] Karena mau tidak mau, mereka harus mencari mufti yang semazhab.

Di sisi lain, sebagian ulama berpendapat bahwa orang awam wajib bermazhab satu. Pendapat inilah yang digulirkan oleh Imam al-Juwaini,[10] Ilkia al-Harrasi[11] dan Taj al-Subki[12] dari Syafi’iyah. bahkan kajian Ibnu Munir menunjukkan bahwa dalil yang ia temukan  menunjukkan kewajiban menganut satu mazhab setelah zaman imam madzhab yang empat.[13]

Di sini Ibnu Munir tampak membedakan antara zaman sebelum imam mazhab dan setelahnya. Pandangan yang ia sampaikan ini bukan tanpa alasan. Ibnu Munir berpendapat demikian karena sebelum zaman imam madzhab yang empat, para mujtahid tidak menuliskan mazhab mereka. Sementara permasalahan yang ada pun masih sedikit, sehingga orang awam tidak mengetahui pendapat lain selain pendapat muftinya. Sedangkan setelah zaman imam mazhab yang empat, mazhab telah ditulis, dipelajari, dan disebarkan. Orang-orang awam pun mengetahui pendapat yang ringan untuk dijalankan dan pendapat yang berat, sehingga berpindah-pindah dari mazhab ke mazhab tidak lain hanyalah mencari kemudahan  (tatabbu’ al-rukhash) atas dasar hawa nafsu.[14] Demikian pula alasan yang dipaparkan Taj al-Subki.[15]
Selain itu pengusung pendapat ini juga beralasan, bahwa seorang mukalid yang sudah bertaklid kepada suatu mazhab tidak diperkenankan untuk bertaklid pada mazhab lain karena seorang mukalid tersebut telah meyakini kebenaran mazhab pertamanya, maka wajib baginya mengamalkan apa yang telah ia yakini.[16] Al-Juwaini menambahkan, “Bagaimana mungkin seseorang dapat memilih antara pendapat yang menghalalkan dan mengharamkan jika ia tidak memiliki alat ijtihad?”[17]

Di kubu ketiga, tampil al-Amidi dan Kamal bin Himam sebagai penengah. Mereka berpendapat bahwa orang awam yang telah bertaklid kepada satu mazhab dalam sebagian perkara, tidak dibolehkan untuk pindah mazhab dalam perkara yang sama. Sedangkan jika ia belum bertaklid pada suatu mazhab dalam perkara lain, maka tidak ada salahnya untuk memilih mazhab lain.[18] Karena dalam sebagian perkara ia meyakini kebenarannya pada mazhab pertama, dan dalam perkara lain ia meyakini bahwa kebenaran kali ini berpihak pada mazhab lain. Namun, penulis belum menemukan dalil yang lebih terperinci berkaitan dengan mazhab terakhir ini. Hanya saja, Wahbah Zuhaili menyebutkan alasan yang sama dengan pendapat pertama.[19]

Penulis menangkap bahwa landasan mereka adalah menggabungkan dalil kedua pendapat sebelumnya. Seorang awam yang telah bertaklid kepada satu mazhab tertentu dalam sebagian perkara, tidak diperbolehkan untuk pindah ke mazhab lain dalam perkara yang sama, karena mereka telah meyakini kebenaran mazhab tersebut dalam perkara itu sebelumnya, maka mereka wajib mengamalkan apa yang mereka yakini. Sedangkan dalam perkara yang belum dilakukannya dengan bertaklid pada mazhab apapun, taklid kepada mazhab apa saja yang mereka yakini kebenarannya dibolehkan. Karena berpindah-pindah mazhab  tanpa meyakini kebenarannya, nampak seperti mempermainkan agama dan bertindak atas kehendak hawa nafsu.

Imam Nawawi memandang, sebenarnya ulama-ulama yang mewajibkan bermazhab satu hanya tidak yakin bahwa orang awam akan selamat hawa nafsu dalam mencari kemudahan.[20]

Dalam hal ini, lebih tenang untuk mengatakan: “mazhab orang awam adalah mazhab muftinya”. Hal ini senada dengan pernyataan Ibnul Qayyim: “tidak layak bagi orang awam untuk bermazhab. Sesungguhnya mazhab hanyalah diperuntukkan bagi para akademisi.”[21] Tetapi juga tidak ada salahnya bagi orang awam jika ingin menganut satu mazhab tertentu, sebagaimana yang ditegaskan al-Qaradhawi.[22] Wallâhu A’lam.

--------------------------------------------------------------

[1] Wahbah Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, jilid II, (Damaskus: Darul Fikr, 2009), hal. 417.

[2] Ibid., hal. 417.

[3] Dinukil dari kitab al-Bahru al-Muhîth karya al-Zarkasyi oleh Yusuf al-Qaradhawi. Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa nata’âmal ma’a al-Turats, (Kairo: Wahbah, 2004), hal. 81.

[4] Diriwayatkan oleh al-Rafi’i dari Abul Fath al-Harawi. Lihat, Ibid., hal. 82.

[5] Ibid., hal. 81.

[6] Ibid., hal. 81.

[7] Ibid., hal. 81.

[8] Wahbah Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, jil. II, hal. 417.

[9] Ibid., hal. 418.

[10] Abdul Malik bin Abdullah al-Juwaini, al-Ghiyatsi; Ghiyâtsu al-Umam fî al-Tiyâtsi al-Zhulam, (Jeddah: Dar al-Minhaj, 2011), cetakan III, hal. 404.

[11] Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa nata’âmal ma’a al-Turats, hal. 81.

[12] Dinukil dari Jam’ al-Jawâmi’ oleh al-Samhudi. Ali bin Abdullah al-Samhudi, al-‘Aqd al-Farîd fî Ahkâm al-Taqlîd, (Saudi: Darul Minhaj, 2011), hal. 101.

[13] Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa nata’âmal ma’a al-Turats, hal. 81.

[14] Ibid., hal. 82.

[15] Ali bin Abdullah al-Samhudi, al-‘Aqd al-Farîd fî Ahkâm al-Taqlîd, hal. 101.

[16] Wahbah Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, jil. II, hal. 417.

[17] Abdul Malik bin Abdullah al-Juwaini, al-Ghiyatsi; Ghiyâtsu al-Umam fî al-Tiyâtsi al-Zhulam, hal. 404.

[18] Wahbah Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, jil. II, hal. 418.

[19] Ibid., hal. 418.

[20] Dinukil dari Raudhah al-Thâlibîn karya Imam Nawawi. Ali bin Abdullah al-Samhudi, al-‘Aqd al-Farîd fî Ahkâm al-Taqlîd, hal. 103.

[21] Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa nata’âmal ma’a al-Turats, hal. 83.

[22] Ibid.

Wednesday, March 13, 2013

Saat Pendidikan Berbalik Menikam


Oleh: Fauzul Hanif   

Kepribadian orang serta cara berpikirnya merupakan akumulasi dari berbagai informasi yang ia dapatkan. Artinya, jika kita memberi pasokan informasi A, maka kepribadian yang ia miliki tidak jauh dari A tersebut. Jika kita beri pasokan informasi N, maka lagi-lagi kepribadian yang terbentuk pada  penerima informasi tidak akan jauh dari N itu. Sebenarnya, informasi memang bukan faktor mutlak sebagai pembentuk kepribadian, masih ada lagi faktor-faktor lain. Hanya saja, faktor pembentuk terkuat adalah informasi.

Kita pun pastinya sudah mengetahui bahwa pendidikan adalah cara paling efisien untuk menyampaikan berbagai informasi yang ada. Kemudian, dewasa ini, sistem pendidikan semakin berkembang hingga muncul berbagai lembaga pendidikan yang kini menjadi alat utama dalam menyebarkan informasi. Bahkan bukan hanya menyebarkan informasi, lembaga pendidikan juga mempunyai peran untuk memfilter informasi yang akan diberikan pada anak didik, menata, serta mengatur porsinya. Tidak heran jika dalam menelusuri biografi seseorang, salah satu poin yang menjadi sorotan adalah background pendidikannya. Hal itu setidaknya mewakili sekelumit perkembangan pemikiran serta kepribadian orang yang dimaksud.

Ras manapun, bangsa manapun, agama apapun, semuanya mengedapankan pendidikan. Entah itu dalam jenis pendidikan yang sudah terlembagakan, ataupun masih bersifat individu. Kita bahkan melihat fakta di Indonesia bahwa anggaran pendidikan dalam APBN selalu mendapat porsi yang besar sebagai bentuk perhatian pemerintah. Untuk tahun 2012 kemarin saja, alokasi anggaran pendidikan mencapai 286,6 triliun.

Namun, informasi itu bersifat netral. Artinya ia bisa dimasuki hal positif sebagaimana tidak menutup kemungkinan untuk mengandung unsur negatif. Jika itu tadi adalah nilai sesungguhnya dari informasi, maka sudah pasti lembaga pendidikan –sebagai pemeran utama dalam penyampaian informasi– juga mempunyai nilai yang sama dengan nila informasi itu, yaitu netral. Nilai netral inilah celah yang banyak digunakan oleh berbagai golongan –sebagai penjunjung kepentingan tertentu– untuk mengantarkan pada tujuan mereka.

Kaum Barat bersama para orientalisnya melihat peluang yang besar dalam hal ini. Sejarah mencatat bahwa Indonesia pada masa perjuangan kemerdekaan telah menjadi sasaran praktek distorsi fungsi lembaga pendidikan. Cristiaan Snouck Hurgronje, tokoh orientalis berkebangsaan Belanda mengatakan:

“Hanya melalu organisasi pendidikan yang berskala luas atas dasar yang universal dan netral secara agamis, pemerintah kolonial dapat membebaskan atau melepaskan Muslimin dari agama mereka.”

Snouck Hurgronje adalah seorang tokoh orientalis ternama yang bahkan oleh sebagian orang dijuluki Mufti Hindia Belanda pada zamannya. Dia sempat menuntut ilmu di Makkah dan kemudian berpura-pura memeluk Islam. Dengan pengetahuan Islamnya yang begitu dalam, Snouck Hurgronje tahu bagaimana cara melemahkan Islam, yaitu dengan memisahkan kaum Muslim dari agama mereka melalui jalur pendidikan.

Penggalan kalimat Snouck Hurgronje di atas merupakan sebuah bentuk kekhawatirannya atas kedudukan Belanda yang semakin terdesak saat itu. Snouck Hurgronje sadar bahwa  kesadaran intelek Muslim Indonesia yang ingin menanamkan ilmu pengetahuan pada masyarakat seluruhnya akan mengancam  eksistensi kolonial di Indonesia saat itu. Maka dari itu, Snouck berusaha memisahkan umat Islam dari agamanya. Snouck sangat percaya dengan kekuatan jalur pendidikan untuk mencapai keinginannya. Adian Husaini menukil perkataan Snouck Hurgronje yang dikutip oleh Karel Steenbrink dalam bukunya Snouck Hurgronje en Islam:

“Pengasuhan dan pendidikan adalah cara untuk mencapai tujuan tersebut. Bahkan, di negeri-negeri berbudaya Islam yang jauh lebih tua dibanding kepulauan Nusantara, kita menyaksikan mereka bekerja dengan efektif untuk membebaskan umat Muhammad dari kebiasaan lama yang telah lama membelenggunya.”

Permasalahan Snouck Hurgronje adalah lembaran sejarah yang sudah lewat. Sekarang, marilah kita coba memperhatikan kondisi lembaga-lembaga pendidikan yang ada. Bersamaan dengan globalisasi, nampaknya deskriminasi agama dalam bangku sekolah sedikit demi sedikit mulai pudar. Di belahan Benua Eropa pun sudah tidak terhitung lagi lembaga-lembaga pendidikan yang mempersilahkan umat Islam untuk turut menuntut ilmu di dalamnya. Bahkan, tidak jarang didirikan universitas-universitas di Eropa yang khusus mendalami keilmuan Islam. Salah satu Negara yang menjadi rujukan adalah Jerman.

Di Jerman, lembaga pendidikan Islam tergolong mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Bahkan, saat ini, di empat universitas telah membuka program studi keislaman yang biasanya fokus pada teologi, bahasa dan sejarah. Tumbuhnya berbagai program studi serta berdirinya berbagai sekolah dengan kurikulum Islam ini telah mendapat dukungan penuh dari Presiden Jerman Joachim Gauck serta menteri pendidikannya Annette Scahavan.

Apresiasi penuh memang pantas untuk diberikan kepada warga Jerman atas perhatian mereka terhadap agama Islam. Hanya saja, penulis merasa menemukan suatu hal yang janggal pada pertumbuhan lembaga pendidikan berbasis Islam di negara ini.

Salah satu permasalahan adalah minimnya guru agama Islam di Jerman. Dari informasi yang ditangkap penulis, 80% guru yang ada di sana saat ini diambil dari Turki. Pemerintah dan sebagian warga kemudian merasa bahwa guru-guru ini terlalu konservatif sehingga harus mendapat pelatihan dulu dari lembaga yang telah dipercayakan oleh pemerintah.

Kemudian karena masih minimnya guru-guru ini, akhirnya Annette Schavan membolehkan para imam masjid untuk mengajar di lembaga-lembaga pendidikan. Hanya saja, mereka juga harus mendapat pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah dahulu sebelum dinyatakan berhak mengajar.

Permasalahannya adalah pelatihan bagaimana yang diberikan kepada para calon guru itu? Sejauh informasi yang didapatkan penulis bahwa tutor dalam pelatihan itu tidak lain para lulusan akademisi ataupun profesor dari universitas yang telah membuka progam studi Islam. Pertanyaan terakhir kemudian bermuara pada apa saja sebenarnya yang diajarkan di universitas-universitas itu? Penulis masih belum bisa memastikan karena minimnya data. Tapi, jika ternyata pendidikan universitas tersebut tidak sesuai dengan rambu-rambu Islam yang semestinya, artinya para guru-guru hasil pelatihan tidak akan jauh dari itu. Imbasnya, semua anak didik mereka mempunyai cara berpikir yang sama dengan para gurunya, yaitu tidak sesuai dengan rambu-rambu Islam.

Permasalahan ini sesuai dengan perkataan Muhammad Natsir dalam bukunya Nederland en de Islam. Beliau berkata, “Pendidikan dan pengajaran dapat melepaskan orang Muslimin dari genggaman Islam.” Maksudnya, kaum Muslimin akan terlepas dari genggaman Islam jika tidak ditempatkan pada jalur pendidikan yang benar. Bahkan, tidak jarang bahwa karena salah mendapatkan pendidikan, justru kaum Muslimin sendiri yang menghancurkan Islam.

Pembodohan umat melalui jalur pendidikan ini memang begitu berbahaya. Bahkan, beberapa orang menilai bahwa untuk menghancurkan Islam saat ini cukup dengan merusak sistem pendidikan di al-Azhar saja. Hal ini seperti apa yang Syekh Hisyam al-Kamil Hamid intisarikan dari perkataan ulama lainnya:

"Islam dihancurkan melalui 3 hal: al-Quran, Ka’bah dan al-Azhar. Untuk menghancurkan al-Quran, maka hal itu cukup sulit. Untuk menghancurkan Ka’bah, itu belum saatnya dan harus dilakukan perlahan. Maka, jalan yang terakhir adalah dengan merobohkan lembaga pendidikan al-Azhar." Wallahu'alam. []

Tuesday, March 12, 2013

Pendidikan Karakter dan Peranan Seorang Guru


Oleh: Lukman al-Hakim    

Mungkin ingatan kita belum terlalu sulit untuk kembali mengingat sesosok guru di sebuah madrasah kecil di tepian Pulau Sumatra, Provinsi Bangka Belitung. Sederhana, cukup mengingat judul novel atau filmnya kita akan ingat salah satu sosok guru yang mengajar di madrasah itu, Laskar Pelangi. Ya, Bu Muslimah panggilan akrabnya bagi Laskar Pelangi.

Dikisahkan dalam catatan sejarah hidup salah satu anak didik Bu Muslimah tentang gurunya saat itu. Bagaimana tekad kuatnya untuk mempertahankan SD Muhammadiyah yang merupakan satu-satunya sekolah madrasah Islam di Gantong. Beliau juga mengajarkan perjuangan dengan membela nama baik sekolah.

Bu Muslimah mendapatkan penghargaan langsung dari Presiden SBY di peringatan Hari Guru Nasional dan HUT Ke-63 PGRI pada tahun 2008 bersama ratusan guru lainnya, penghargaan berupa Satyalencana Pendidikan diberikan kepada guru-guru berprestasi dan berjasa.

Sorotan masyarakat terhadap dunia pendidikan kita akhir-akhir ini sedikit tajam dan sinis, karena realita sosialnya dekadensi moral anak didik bisa dikatakan telah memasuki stadium 4; Walaupun masih berseragam sekolah, mereka tidak segan-segan untuk turun ke jalanan dengan bersenjatakan golok, rantai, besi, kayu untuk adu kehebatan. “Prestasi” ini sudah cukup menjadi bukti bahwa kepedulian generasi bangsa untuk membangun bangsanya di tengah arus globalisasi kian terkikis. Prestasi yang jarang ditemukan di negara tetangga.

Masa depan bangsa tergantung pada generasi muda sekarang, jika generasi ini terlambat diobati, maka beberapa tahun ke depan bangsa ini akan lumpuh dan cacat dikarenakan luka generasi muda yang kian memborok. Butuh perhatian lebih dari seluruh elemen masyarakat dalam memperbaiki moral anak bangsa, terutama peran guru di berbagai jenjang lembaga pendidikan.

Guru merupakan stoke holder yang mempengaruhi hasil didikan dari sebuah sekolah. Baik buruknya anak didik banyak dipengaruhi oleh guru. Kurikulum yang buruk jika diaplikasikan oleh guru yang baik akan menghasilkan hasil yang baik dan begitu pula sebaliknya. Setidaknya, peran guru berada di nomor dua setelah orang tua, karena jam interaksinya dengan anak didik terbanyak setelah orang tua.

Contoh kecil seperti Bu Muslimah yang telah disebutkan sebelumnya. Diketahui dari novel dan filmnya, dapat dikatakan sekolah Muhammadiyah Gantong kala itu tidak tersentuh maksimal oleh kurikulum nasional. Terlihat dari apa yang digambarkan, infrastruktur sekolah juga jauh dari kata layak untuk sebuah lembaga pendidikan. Tapi apa yang membuat salah satu anak didiknya –Andrea Hirata- berhasil dalam meraih cita-citanya? Hidden curriculum, kurikulum  tersembunyi yang diterapkan oleh Bu Guru Muslimah yang memiliki pengaruh besar. Mungkin tidak semua Laskar Pelangi dapat dikatakan sukses, karena kita juga tidak tahu bagaimana kehidupan mereka sekarang. Tapi, setidaknya satu dari sepuluh murid sekolah itu telah sukses meraih cita-citanya dan mengabadikan sejarah kesuksesan dengan novel dan film. Kasat mata, kesuksesan itu hanya milik seorang Andrea Hirata, akan tetapi dampak dari ceritanya telah banyak menyuntikkan semangat Laskar Pelangi ke jiwa anak didik di Indonesia dan saat ini dunia pendidikan kita mengenal sebuah sekolah sederhana yang mampu mencetak seorang Andrea Hirata.

Memang hasil dari usaha pembentukan karakter tidak instan, penanaman moral terhadap anak didik memakan waktu yang cukup lama dan untuk melihat hasilnya juga membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Seperti yang diungkapkan Helen Keller, penulis terkenal abad 19, “Character cannot be developed in ease and quiet. Only through experience of trial and suffering can the soul be strengthened, vision cleared, ambition inspired, and success achieved.” Bisa dikatakan, karakter moral bangsa beberapa tahun kedepan ditentukan oleh pendidikan yang dienyamnya sekarang. Dan moral yang ditunjukkan anak didik sekarang, merupakan hasil dari pendidikan yang diterimanya masa lalu.

Memperhatikan moral generasi masa depan memang perlu, tapi yang lebih realistis sekarang adalah memperhatikan pendidik yang membentuk moral tersebut, guru. Mempersiapkan guru yang cerdas dan cakap dalam mendidik berarti telah mempersiapkan generasi masa depan yang baik. Untuk itu pemerintah memberikan perhatiannya demi terwujud cita-cita dunia pendidikan yang tertera dalam undang-undang no. 22 th 2003; pengembangan potensi anak didik di sisi spiritual dan intelektual. Pemerintah pada tahun 2007 mencanangkan program sertifikasi guru untuk meningkatkan kualitas dan profesionalitas guru dalam proses dan hasil pembelajaran walaupun masih terdapat kekurangan di sana-sini.

Tapi sekali lagi perlu diingat, proses pendidikan kakarter terhadap anak didik tidaklah sebentar. Ia membutuhkan waktu seperti halnya membutuhkan waktu untuk mendidiknya menjadi nakal. Perlu dukungan dan cinta dari alam lingkungan anak didik tinggal. Adapun hasil dari pendidikan karakter ini tidak hanya berdampak positif pada anak didik, bahkan juga berdampak positif kepada keluarga dan lingkungan.[]

Monday, March 11, 2013

Menuju Khilafah Islamiyah


Oleh: Ahmad Sadzali  

Sekarang mungkin ada kelompok yang dengan gencar memperjuangkan berdirinya kembali khilafah Islamiyah. Mereka dengan tegas dan keras ingin menerapkan sistem khilafah yang telah lama runtuh. Namun pada dasarnya, kebanyakan ulama juga sependapat bahwa khilafah Islamiyah itu harus didirikan. Meski nantinya terdapat perbedaan pandangan dalam memandang bentuk khilafah yang akan datang; ada perbedaan dalam cara menempuh khilafah; perbedaan dalam cara mendakwahkan berdirinya sebuah khilafah; dan lain sebagainya. Bahkan orang seperti Hassan Hanafi pun, seorang pemikir kiri yang kontroversial asal Mesir, masih meyakini bahwa khilafah itu akan dan harus berdiri. Namun menurutnya, khilafah yang akan datang nanti tampil dalam bentuk lain. Entah bentuk seperti apa yang dimaksud oleh Hassan Hanafi.

Jadi soal pendirian khilafah, tentu bukan hak atau klaim dari kelompok tertentu saja. Sehingga kita tidak dapat mencap setiap orang yang mendukung atau memperjuangkan khilafah adalah bagian dari kelompok itu. Atau sebaliknya, kelompok itu tidak dapat mengklaim orang yang mendukung dan turut memperjuangkan khilafah merupakan bagian dari mereka.

Dalam tulisan ini, saya mencoba menuangkan sedikit pandangan saya tentang kemungkinan berdirinya khilafah Islamiyah.

Menurut Dr. Sa’duddin Mu’ad Hilali, dosen perbandingan mazhab fikih di Universitas al-Azhar, dalam bukunya al-Jadid fi al-Fiqh al-Siyasi al-Mu’ashir [Kairo: Maktabah Wahbah, 2011, hal. 389], urusan berdirinya khilafah kita serahkan kepada umat Islam, bukan pada individu perseorangan ataupun kelompok tertentu saja. Urusan khilafah ini, merupakan bentuk keyakinan kita terhadap berita baik (busyro) yang datang dari Rasulullah SAW dalam sebuah hadis beliau. Rasulullah SAW mengatakan bahwa khilafah dengan manhaj nabawi akan kembali kepada umat Islam.

Hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Ya’la dan al-Bazzar dengan sanad hasan, menyebutkan: “Ada (berdiri pemerintahan) nabawi di antara kalian sesuai dengan kehendak Allah, lalu Allah mencabutnya (pemerintahan nabawi itu) jika Allah menghendakinya. Dan kemudian setelahnya ada (berdiri pemerintahan) khilafah dengan manhaj nabawi jika Allah menghendakinya, lalu Allah mencabutnya (pemerintahan itu) lagi jika Allah menghendakinya. Dan kemudian setelah itu ada (berdiri pemerintahan) kerajaan yang berdampingan jika Allah menghendakinya, lalu Allah mencabutnya lagi jika Allah menghendaki. Dan kemudian ada (berdiri pemerintahan) paksaan (diktator) jika Allah menghendakinya, lalu Allah mencabutnya lagi jika Allah menghendaki. Dan kemudian ada (berdiri pemerintahan) khilafah dengan manhaj nabawi.”

Berdasarkan hadis itu, seakan Rasulullah SAW memberikan gambaran akan bentuk-bentuk pemerintahan yang nantinya dijalankan umat Islam. Ada empat jenis pemerintahan yang digambarkan Rasulullah SAW di sini, yaitu: pemerintahan nabawi yang merupakan pemerintahan di bawah naungan Rasulullah SAW sendiri; pemerintahan khilafah dengan manhaj nabawi yang merupakan khilafah rasyidah; pemerintahan kerajaan yaitu dinasti-dinasti seperti Umayyah, Abbasiyah, dan sebagainya; dan pemerintahan diktator. Kemudian setelah pemerintahan diktator ini, akan kembali lagi pemerintahan khilafah dengan manhaj nabawi.

Jika kita menelusuri fakta sejarah, apa yang digambarkan Rasulullah SAW itu memang sudah terjadi. Periode-periode sejarah politik Islam memang sesuai gambaran Rasulullah SAW itu, yaitu dari pemerintahan Rasulullah SAW, khilafah rasyidah, dinasti-dinasti hingga dinasti Utsmaniyah, dan pemerintahan rezim diktator yang dialami oleh bangsa dunia Arab. Berdasarkan hadis ini juga, maka tidak berlebihan lantas jika ada orang yang mengatakan bahwa revolusi Arab yang tengah bergulir ini merupakan titik tolak kebangkitan umat Islam atau khilafah Islamiyah.

Memang sebagian orang ada yang menilai utopis akan kembalinya khilafah Islamiyah dalam waktu singkat dan dalam kondisi umat Islam yang terpecah belah menjadi banyak negara ini. Akan tetapi menurut hemat penulis, peluang itu tetap ada. Ada beberapa hal yang dapat mendukung adanya peluang kembalinya khilafah Islamiyah. Di antaranya adalah gencarnya arus globalisasi yang dihadapi seluruh dunia sekarang ini.

Arus globalisasi sekarang ini faktanya telah mengesampingkan batas teritorial sebuah negara. Setiap orang dapat berkomunikasi dengan siapapun di tempat atau negara yang berbeda. Selain itu, berdirinya organisasi-organisasi yang membawahi beberapa negara, seperti Uni Eropa, OKI, Liga Arab, dll, telah menunjukkan bahwa peran negara sudah mulai berkurang. Dalam Uni Eropa misalnya, sudah diberlakukan bebas visa antar negara, penyamaan mata uang, kebijakan luar negeri yang cenderung sama, dan sebagainya. Maka tidak mustahil jika nantinya negara-negara yang ada sekarang ini, lebih berfungsi seperti halnya provinsi dalam negara republik, atau negara bagian dalam sebuah negara federal.

Namun faktanya sekarang, upaya para tokoh dan umat Islam memang tidak lantas secara frontal dan radikal langsung ingin mendirikan khilafah Islamiyah. Meskipun ada saja beberapa kelompok yang demikian dalam menyuarakan pendirian khilafah Islamiyah. Sepertinya ada step atau tahapan yang ingin dilakukan untuk mencapai berdirinya khilafah Islamiyah. Salah satu tahapan yang tengah diperjuangkan sekarang adalah penerapan syariat Islam dalam konstitusi dan undang-undang negara. Misalkan Mesir pasca revolusi, sudah berhasil merumuskan konstitusi yang berdasarkan syariat Islam dan mensahkannya melalui proses referendum. Di beberapa negara lainnya, termasuk Indonesia, undang-undang ataupun peraturan pemerintah yang beraroma syariat Islam sudah mulai menjamur.

Undang-undang syariat Islam pada dasarnya merupakan bentuk cerminan kesadaran dari umat atas keislaman dan hukum Islam itu sendiri. Masyarakat yang menerima undang-undang syariat Islam dengan legowo, paling tidak telah memiliki kesadaran pentingnya menerapkan syariat Islam. Jika tidak, tentu syariat Islam sudah ditolak.

Jika nantinya kesadaran umat Islam akan keislamannya sudah tertanam dengan baik, maka insya Allah untuk menuju khilafah Islamiyah pun tidak menjadi masalah. Jadi, yang menjadi titik tolak untuk menuju khilafah Islamiyah ini sebenarnya adalah kesadaran umat Islam itu sendiri. Kesadaran itu dapat terbangun dan terbina melalui proses dakwah yang mungkin tidak dapat ditempuh dalam waktu singkat. Walau bagaimanapun, upaya dari segala segi tetap harus selalu diperjuangkan, baik itu bottom up maupun up bottom. Wallahu’alam. []



Friday, March 8, 2013

Kekuatan dan Demokrasi


Oleh: Ahmad Sadzali

Sejak pecahnya revolusi Suriah, pemberitaan televisi tiap harinya tidak pernah absen dari kasus konflik saudara ini. Revolusi Suriah mengingatkan saya kepada seseorang yang saya temui di suatu masjid sekitar bulan Maret 2012 lalu. Orang itu adalah dosen di salah satu universitas di Suriah. Dalam dialog sembari menunggu adzan, ia menceritakan bagaimana kondisi di negaranya. Singkat kata, ia orang anti rezim Bashar al-Assad. Saking bencinya, ia bahkan menyamakan al-Assad dengan iblis.

Sudah banyak sekali upaya yang dilakukan dalam rangka menghentikan konflik di Suriah ini. Dunia internasional tentu tidak dapat tidur pulas menyaksikan tragedy berdarah ini. Namun anehnya, dalam kasus yang sama ini, ternyata perspektif beberapa negara masih dapat berlainan. Tentu kita masih ingat ketika rancangan resolusi Dewan Keamanan PBB untuk rezim Suriah gagal diketuk palu hanya karena sebuah hak veto yang digunakan Rusia.

Ternyata pepatah yang mengatakan “The many ruled by the few” ada benarnya juga. Ketika itu hampir seluruh anggota DK sepakat atas rancangan resolusi itu. Tapi satu suara saja mengatakan “tidak”, maka benar-benar tidak terjadi. Ternyata suara mayoritas belum tentu menjadi “suara Tuhan” yang tidak bisa dijegal lagi.

Kasus ini menunjukkan kita bahwa suara mayoritas tidak selamanya kuat. Kekuatan dan suara mayoritas belum tentu berbanding lurus. Alhasil, sistem demokrasi yang diterapkan pun ternyata masih meninggalkan banyak celah kosong. Apalagi ini terjadi di lembaga organisasi yang tertinggi di dunia dan seringkali menjadi corong demokrasi, yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Negara-negara yang dinilai tidak atau kurang demokrasi, dituntut olehnya untuk demokrasi.

Sekarang dunia tengah tenggelam dalam samudra demokrasi. Meski mungkin masih ada sebagian negara yang cenderung berpola komunis diktatoris, namun tsunami demokrasi tetap saja tidak terelakkan. Negara-negara Timur Tengah faktanya, terkena tsunami demokrasi akibat rezim pemerintahnya yang berpola diktatoris. Bahkan hingga Korea Utara yang merupakan totalitarianisme sejati, juga menyebut namanya dengan negara republik demokrasi.

Jika demikian, antara kekuasaan dan demokrasi, lantas mana yang sebenarnya tunduk kepada yang lainnya? Apakah demokrasi yang tunduk kepada kekuasaan? Atau sebaliknya?

Jawabannya tentu tidak dapat digeneralisir. Pada satu kondisi tertentu, kekuasaan memang harus tunduk kepada demokrasi. Alasannya sederhana, karena demokrasi lah yang dapat dijadikan sarana untuk mencapai kekuasaan. Bahkan mungkin kekuasaan tidak dapat tercapai tanpa melalui proses demokrasi.

Tidak hanya itu, demokrasi juga kerap kali dijadikan instrument untuk mengukur kekuasaan seseorang. Misalkan, rezim-rezim yang dinilai diktator, dapat dihancurkan dengan sebuah revolusi yang mengusung demokrasi. Misalnya, semua sistem totaliter bercirikan menindas segala bentuk ekspresi politik kecuali yang memuja rezim yang berkuasa, dan mereka mempolitisasi apa saja. Ini tentu tidak demokratis. Jika rakyat kuat untuk melawan rezim totaliter ini, maka suara demokrasi yang akan menang.

Ini akan berbalik, jika rakyat tidak cukup kuat melawan rezim yang totaliter tadi. Maka ini merupakan kondisi kedua, dimana demokrasi harus tunduk pada kekuatan. Tunduknya di sini karena dipaksa, tidak cukup kekuatan, dan akhirnya demokratisme hanya sekedar simbol belaka.

Kasus seperti inilah yang terjadi di Suriah sekarang. Kekuatan suara demokrasi rakyat Suriah ternyata tidak sekuat suara demokrasi rakyat Tunisia dan Mesir. Dan ini juga yang terjadi di organisasi terbesar dunia, PBB, ketika hak veto masih berlaku.

Menggalang Kekuatan

Sistem demokrasi itu hanya cara dan alat. Yang terpenting adalah kekuatan itu sendiri. Dalam demokrasi pun, jika kita tidak punya kekuatan, kita tidak ada apa-apanya. Untuk itulah dibentuk partai-partai politik, sebagai lokomotif penggalang kekuatan rakyat. Dalam demokrasi, mungkin kekuatan itu cukup dengan hak suara.

Meski hanya dengan suara, namun esensi dari suara itu sebenarnya cukup besar. Ini terlepas dari money politik yang mungkin biasa dipakai oleh politisi-politisi murahan. Sikap dan pilihan dalam bentuk suara tadi, pada dasarnya merupakan bentuk pemikiran yang tertuang dengan bentuk sederhana. Dalam sebuah referendum misalnya, saya memilih “Ya” karena saya tahu dan sejalan dengan pilihan “Ya” tersebut.

Dengan demikian, upaya penggalangan kekuatan ini sangat penting sekali. Tentu tidak bisa instant. Butuh proses yang panjang bahkan untuk menarik simpati rakyat, meyakinkan rakyat, membentuk pola pikir rakyat yang sejalan dengan kita, dst. Hasil dari penggalangan kekuatan ini akan dituai ketika pesta demokrasi.

Alhasil, jangan berani menyuarakan demokrasi tanpa adanya kekuatan terlebih dahulu. Karena untuk menyuarakan demokrasi itu pun butuh kekuatan. Jadi, yang penting sebenarnya bukan demokrasi atau bukan, tapi punya kekuatan atau tidak. Wallahu’alam.[]


Thursday, March 7, 2013

Islam, Harkat dan Martabat Manusia


Oleh: Rifqi Qowiyul Iman

Beberapa waktu lalu Gert Wilders baru saja mengadakan kunjungan ke Australia. Tak pelak reaksi keras dan protes bermunculan. Kunjungan tersebut dianggap sebuah kontroversi seperti halnya Wilders merupakan sosok yang kontroversial. Ia mulai populer semenjak tanggal 27 Maret 2008, tepatnya ketika film karyanya yang berjudul “Fitna” yang diliris di berbagai macam situs dunia maya. Video berdurasi singkat itu mencoba menampilkan kekerasan umat Islam terutama pasca tragedi 11 September 2001. Ketika itu istilah Islamophobia tengah populer di kalangan masyarakat dunia. Wilders adalah seorang Politisi Belanda, anggota sayap kanan parlemen yang berhaluan Nasionalis Liberal. Ia juga dikenal sebagai tokoh yang anti-Islam. Karena dalam asumsinya Islam adalah agama yang represif, berideologi totaliterisme serta mengandung ajaran bengis. Islam didudukkan sebagai agama kaum imigran, yang selayaknya legowo terhadap nilai-nilai murni daerahnya, dan tidak sebaliknya. Faktor lainnya, Islam dianggap sebagai bencana terhadap prinsip kebebasan yang diusung olehnya.

Kembali ke “Fitna”, film pendek yang berisi tentang pencitraan buruk terhadap Islam tersebut sudah pasti menyulut kontroversi. Si pembuatnya mencoba menggambarkan bahwa Islam adalah ajaran keji, tak menghargai nyawa serta martabat manusia secara umumya. Maka tak heran dalam video yang dikecam oleh seantero dunia ini ia hanya memvisualisasikan sisi kekerasan terutama dalam hal hadd (hukuman dalam Islam). Kesan yang diharapkan adalah asumsi publik bahwa Islam adalah agama yang tak berprikemanusiaan, agama yang menjunjung tinggi terorisme. Walhasil rasa benci dan takut terhadap Islam semakin mengalir deras, termasuk stigmatisasi terhadap pengikutnya.

Gett Wilders sebenarnya hanyalah segelintir kecil dari individu-individu lain yang turut menghembuskan angin kebencian terhadap Islam. Dalam pandangannya Islam adalah sebuah ideologi yang totaliter. Hal ini ia ungkapkan beberapa hari yang lalu kala melakukan kunjungan ke Australia. Di sana, ia mencoba untuk menghasut warga Australia agar meningkatkan kewaspadaan terhadap umat Islam yang ia anggap sebagai “Penghancur Kebebasan” serta perusak nilai-nilai tradisional daerah. Selain itu, Islam menurutnya adalah sebuah ajaran kebengisan yang tak berperikemanusiaan dan tak menghargai nyawa.

Pandangan Wilders tentang Islam tentu saja tidak jauh dari ketidaktahuannya tentang Islam itu sendiri. Lalu bagaimanakah hakikat Islam memandang harkat dan martabat manusia ? Dan benarkah hukuman (Hadd) dalam Islam adalah wujud kekerasan yang tak berperikemanusiaan ?

Harkat Manusia dan Permasalahan Hadd dalam Islam

Dalam Islam manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang diciptakan dengan sebaik-baiknya penciptaan. Sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah SWT

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tin: 4)

Posisi khalifah yang bertugas memakmurkan bumi Allah SWT rasanya sudah cukup mewakili berbagaimacam kemuliaan manusia yang diberikan olehNya. Ditambah, derajat manusia bahkan lebih mulia dari malaikat sekalipun. Mengapa? Malaikat selalu bertasbih karena tidak memiliki hawa nafsu, sementara manusia harus berjuang melawan hawa nafsunya. Demikian ungkap Fakhruddin ar-Razi.
Diantara kemuliaan manusia yang lain adalah anugerah berupa akal pikiran. Hingga manusia mampu untuk membedakan hal yang baik dan buruk. Bahkan lebih dari itu ia adalah pembeda yang konkret antara manusia dan makhluk lainnya. Lebih eksplisit al-Ghazali menyatakan bahwa akal manusia adalah ibarat “cahaya Allah SWT” pada dirinya. Selanjutnya al-Jahizh menganggap akal sebagai “perwakilan Allah SWT” dalam diri manusia itu sendiri. Bahkan akal sendiri merupakan kriteria mukallaf (seorang yang dibebani hukum) sebagaimana seorang yang hilang akalnya akan keluar dari criteria ini. Maka jika Islam menghargai Akal manusia serta mendudukkannya diposisi yang mulia. Bagaimana mungkin ia akan menghancurkan prestise pemilik akal itu sendiri?

Kebebasan berpikir dalam Islam merupakan sebuah pokok dalam Islam. Bahkan mengekang akal dan pikiran termasuk sebuah kejahatan dalam Islam. Karena berpikir adalah sunnatullah bagi setiap manusia. Salah satu contoh adalah Islam mencela tindakan taklid buta karena dianggap tidak memfungsikan akal sebagaimana mestinya.

Selanjutnya Islam mendudukkan nyawa manusia pada derajat yang paling tinggi. Karenanya, diantara salah satu dari lima maqashid syariat yang diungkapkan oleh As-syathibi dalam karyanya Al-muwafaqat adalah hifzhu an-nafs yang diartikan sebagai penjagaan diri. Bahkan semenjak pertama kali manusia itu ditiupkan ruhnya ke dunia ia sudah memiliki hak untuk hidup. Islam mengecam keras siapapun yang mencoba merenggut hak setiap manusia untuk hidup yang tidak lain adalah hak Allah SWT Sang pemberi kehidupan.

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. dan Barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (QS. al-Isra: 33)

Hak ini bersifat umum, bahkan janin yang masih dalam kandungan ibunya. Hal ini tidak lain adalah wujud kemuliaan yang Allah berikan kepada setiap manusia. Maka faktor keamanan pun termasuk di dalamnya, karena bagaimana mungkin seorang mengemban amanat sebagai khalifah sedangkan keamanannya tidak terjamin dengan baik.

Lebih dari itu, permusuhan dalam Islam tidaklah dibenarkan. Karena barangsiapa yang memerangi seseorang maka ia seakan memerangi seluruh manusia. Karena dalam pandangan Islam, umat manusia dianggap sebagai kemajemukan yang saling terikat satu sama lain. Memusuhi satu maka seakan memusuhi seluruhnya, bahkan membunuh satu, maka seakan membunuh seluruhnya.

“Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS. al-Maidah: 32)

Walaupun secara kasat mata yang dipandang adalah haq manusia namun sekali lagi hal itu tidak dapat dipisahkan dari haq Allah SWT yang memberikan kehidupan pada manusia itu. Karenanya merenggut hak manusia untuk hidup atau pembunuhan dalam Islam masuk dalam kategori dosa besar (kaba’ir). Rasanya hal ini cukup untuk menjadi bukti konkret bahwa Islam senantiasa menghargai manusia sebagai makhluk yang mulia.

Walaupun pada hakikatnya Islam telah menetapkan hukuman (hadd), seperti rajam bagi pezina, ataupun potong tangan bagi pencuri, hukuman cambuk, dan lain sebagainya bagi mereka yang dianggap pelaku criminal. Bukan berarti proses tersebut dilakukan dengan tergesa-gesa ataupun tanpa prosedur apalagi semena-mena. Namun telah ditetapkan persyaratan serta criteria yang harus dipenuhi dari krimaniltas yang dilakukan. Karenanya Rasulullah SAW menolak untuk melaksanakan hukuman tersebut apabila ditemukan syubhat, sekecil apapun itu.

Sebagai tamsil, ketika ia didatangi oleh seorang yang meminta untuk dihukum dengan berdalih bahwa ia telah berzina ia malah berpaling selama berkali-kali sembari berharap si pelaku untuk menarik perkataannya. Tidak sampai disitu, setelah Nabi mendengar pengakuannya ia malah berharap si pelaku itu tidak mencapai criteria yang ditentukan. “Mungkin saja kamu melakukannya karena ini dan itu…. Sehingga tidak sampai kepada tahap criminal” ucapnya, berharap si pelaku menarik pengakuannya. Peristiwa-peristiwa semacam itu lumrah terjadi, salah satunya adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, diceritakan oleh Abu Bakar As-shidiq RA: “Suatu hari aku duduk di sisi Rasulullah SAW kemudian datanglah Ma’iz, kemudian ia mengaku kepada Rasulullah bahwa ia telah berzina, kemudian ia mengulangi pengakuannya untuk yang kedua kali, namun Rasulullah SAW berpaling, hingga yang ketiga kali, Rasulullah SAW tetap menolaknya. Maka aku berkata kepadanya: “Seandainya engkau mengakuinya lagi maka Rasul akan merajammu. Kemudian ia mengaku lagi, namun bukannya di rajam ia malah dukurung (dengan harapan menarik pengakuannya)….” (lihat Nashbu ar-Rayah)

Dalam hal zina sendiri para fukaha telah menetapkan persyaratan yang bisa dikategorikan cukup sulit untuk dipenuhi, yaitu empat orang saksi yang melihat secara gamblang peristiwa tanpa ragu sedikitpun. Pertanyaannya apakah segampang itu untuk memenuhi syarat tersebut? Dan apakah mungkin seorang yang berzina akan begitu saja memberi kan celah bagi orang lain untuk melihat kejahatannya?

Namun masih ada saja pihak yang memandang dengan sebelah mata, mengecap Islam sebagai agama yang kejam. Bahkan menghalalkan segala cara agar si tersangka criminal tersebut mengakui kejahatannya hingga tahap menyiksanya. Maka sudah jelas tuduhan ini tak berdasar.

Apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah ini selanjutnya dicontoh oleh para sahabat setelahnya seperti Umar Bin Khatab, dan Ali Bin Abi Thalib. Diriwayatkan bahwa ketika keduanya didatangi seorang yang mengaku mencuri dan meminta untuk dihukum (potong tangan) mereka berkata, “apakah engkau mencuri ? tolong katakan tidak….”. Akhir cerita, yang bersangkutan pun akhirnya mendapatkan keringanan hukuman.

Dari hikayat-hikayat tersebut sebenarnya terdapat hikmah lain yang dapat diungkapkan. Yaitu, pada kisah penolakkan Rasulullah SAW terhadap pengakuan Ma’iz. Nabi yang penuh kasih sayang ingin menyelamatkan Ma’iz dari hukuman rajam karena pengakuannya. Mengapa ? Karena tujuan hadd dari suatu tindak kejahatan adalah untuk menyadarkan pelakunya atas dosa tersebut. Demikianlah misi hakiki dari sekian banyak hukuman dalam Islam, tidak lain adalah senantiasa menjaga keberlangsungannya sebuah masyarakat idaman yang senantiasa berpegang teguh kepada norma-norma syari’at.

Kembali kepada Wilders, ia hanyalah korban dari hawa nafsunya sendiri, sehingga yang muncul adalah berbagai macam tuduhan yang kering bukti, serta jauh dari fakta. Dan bagi dirinya serta Wilders-Wilders yang lainnya, semoga segera mendapatkan hidayah dari Allah SWT.

Wallahu a’lamu bisshawab.