Oleh: Fauzul Hanif
Pada tahun 1997
kemarin kondisi ekonomi beberapa negara Asia sangat terpuruk, tak terkecuali
Indonesia. Meskipun diperkirakan mampu bertahan dari krisis yang bermula dari
terkoreksinya perkonomian Thailand, akhirnya Indonesia harus bertekuk lutut dan
menengadahkan tangan kepada IMF. Paket bantuan sebesar 23 miliar pun datang
dari IMF, tapi tentunya bukan semata-mata paket bantuan, melainkan juga dengan
beberapa saran yang direkomendasikan untuk memulihkan perkonomian Indonesia.
Di antara rekomendasi
yang dituangkan dalam Letter of Intent (LoI) pada tanggal 31 Oktober 1997
adalah melikuidasi bank-bank yang sudah tidak sehat lagi. Tercatat pada awal
November 1997 terdapat 16 bank yang resmi dilikuidasi. Selain itu, tercatat
juga belasan bank lainnya yang diindikasi sudah tidak sehat lagi. Namun sangat
menakjubkan, ketika bank konvensional harus jatuh bangun untuk bertahan, Bank
Muamalat Indonesia sebagai pelopor bank syariah di Indonesia justru berhasil
membukukan laba. Para pengusaha yang berinteraksi dengan bank ini pada
masa-masa kritis tersebut juga mengaku mampu untuk terus mengembangkan usaha
mereka. Hal ini dicatat detail dalam buku Mengapa Saya Memilih Bank Syariah yang
diterbitkan dalam memperingati ulang tahun bank ini yang ke-11.
Mengenai faktornya, beberapa
pakar ekonom baik itu berlatar belakang konvensional maupun Islam mengakui
bahwa prinsip bagi hasil merupakan salah satu pelampung utama dari perbankan
syariah dari musibah krisis. Selain itu, keharusan adanya underlying asset dalam
setiap transaksi menjadikan perekonomian yang digerakkan oleh bank syariah selaku
mediator selalu bersentuhan langsung dengan sektor riil. Dalam skala makro,
kegiatan perekonomian yang bersentuhan langsung dengan sektor riil akan
menyehatkan perekonomian negara. Ketika sektor riil terdongkrak yang artinya
jumlah produksi juga bertambah, maka akan menambah daya beli suatu mata uang.
Hal ini berkebalikan dengan sistem konvensional yang berpacu pada hal derivatif
yang justru nantinya menimbulkan gelembung ekonomi.
Perbankan syariah
hanya secuil dari penerapan ekonomi Islam. Hal ini mengingat bahwa
transaksi-transaksi yang dijalankan pada perbankan syariah sejatinya hanya penerapan
fikih muamalah mâliyah. Islam adalah suatu kesatuan utuh yang bersumber
dari wahyu Tuhan. Artinya, falsafah yang ada dalam Islam pada ranah hubungan
vertikal juga diterapkan pada hubungan horizontal. Termasuk dalam ranah
horizontal ini adalah perihal interaksi perekonomian. Dari sini kita dapati bahwa
untuk memahami sistem ekonomi Islam harus mengerti tentang falsafah Islam itu
sendiri.
Jadi bermula dari
falsafah, menjadi pandangan hidup, kemudian membentuk metodologi ataupun
sistem. Kelebihan ekonomi Islam dibanding yang lain adalah, sebagaimana pendapat
Umer Chapra, sinkron antara fondasi falsafah dan sistemnya.
Semua aliran ekonomi
pastinya bertujuan untuk mencapai keharmonisan, baik itu antara kebutuhan
individu, harga pasaran, laju barang dan berbagai aspek perekonomian lainnya. Ini
adalah falsafah umum berbagai aliran ekonomi. Sayangnya, sering kali ada perbedaan
antara fondasi falsafah dan sistemnya. Maka dari itu, bangunan yang diinginkan
selalu saja roboh. Contohnya saja Adam Smith yang menginginkan keharmonisan
harga di pasar malah membuatnya kacau balau dengan pemahaman mengedepankan
kepentingan pribadi yang dengannya dianggap kepentingan sosial akan berjalan
selaras. Kemudian juga paham Marxisme yang ingin mencapai kesejahteraan sosial
bersama serta penghapusan alienasi malah menghasilkan inefisiensi produksi dan
konsumsi. Hal ini terlihat jelas ketika paham Marxisme menjadikan harga kaku terhadap
perubahan sebagai konsekuensi subsidi dalam berbagai sektor.
Jadi memang seharusnya
falsafah, tujuan dan sistem disinkronkan sebagaimana yang ditawarkan ekonomi
Islam. Falsafah ekonomi Islam bisa dikatakan berpusat pada, khilafah, ibadah
dan takaful (kesejahteraan sosial) dengan tauhid sebagai porosnya sebagaiama dirangkum
oleh Aslam Haneef.
Unsur-unsur tadi terejewantahkan
dengan jelas dalam kehidupan nyata. Misalkan saja masalah kelangkaan sumber
daya dibandingkan dengan kebutuhan personal. Jika dikembalikan pada unsur yang
telah disebutkan, maka kita dapati bahwa pada hakekatnya setiap individu harus
bisa membedakan antara kebuhutan dan keinginan. Hal ini diatur secara moral.
Tuntunan moral yang bersumber dari falsafah khilafah menuntun tiap individu
agar tidak mengeksploitasi sumber daya alam yang ada. Optimalisasi sumber daya
menjadi tuntutan lazim bagi seorang yang sadar bahwa problematika sumber daya
alam saat ini kembali pada ketamakan dan sikap hedonis.
Kemudian jika
dikatakan bahwa permasalahan ekonomi saat ini adalah penyebarannya yang kurang
merata, maka sistem Islam sudah membentenginya. Lapisan utamanya adalah zakat
yang bertujuan memperbaiki konstruk sosial. Pos-pos distribusi yang telah
ditetapkan dalam zakat benar-benar menyentuh pokok permasalahan konstruk
sosial. Sejarah juga telah membuktikan bahwa jika zakat dioptimalkan,
kemiskinan benar-benar bisa dientaskan. Bahkan, dikatakan bahwa Umar bin Abdul
Aziz sampai tidak mendapati golongan yang berhak mendapati zakat semasa dia menjabat sebagai kepala negara.
Dalam mengatasi
gelembung ekonomi, sistem ekonomi Islam juga sudah memberikan batasannya, yaitu
pelarangan menjual barang yang tidak dimiliki. Penerapannya dalam transaksi
dewasa ini akan mengurangi pembengkakan uang fiktif yang hanya berbentuk byte
dalam komputer. Masih dalam masalah gelembung ekonomi, penghapusan riba yang
identik dengan bunga dalam transaksi juga menjadi sorotan utama. Bunga dalam
transaksi merupakan momok ekonomi sebagaimana juga diakui para ekonom
konvensional. Kebanyakan ekonom selalu menyudutkan sistem bunga ketika ekonomi
sedang goyah. Pelarangan menjual barang yang tidak dimiliki dan riba telah
mendapatkan perhatian yang besar bersamaan sejak tumbuhnya falsafah Islam.
Penekanan dua perkara tadi semakin kuat dengan adanya tuntutan dari dimensi
ketaatan atas perintah Sang Pencipta. Tentunya, selain kedua hal tadi masih
banyak ketentuan-ketentuan yang menopang falsafah ekonomi Islam.
Keselarasan falsafah
dan sistem yang dibangun adalah keharusan jika tidak ingin menghasilkan
bangunan yang mudah roboh ketika ditiup angin. Ketika bangunan itu kokoh, maka
kita tidak was-was dengan berbagai jenis transaksi dan segala macam perniagaan
yang bersandarkan darinya. Perekonomian dalam lingkup mikro dan makro juga
lebih siap menghadapi fluktuasi pasar serta kejutan-kejutan tak terduga
mengingat tidak ada kegiatan ekonomi bebas resiko. Bank atau lembaga keuangan
lainnya yang bersifat mediator benar-benar menjadi penggerak roda ekonomi,
bukan malah menyekik orang-orang yang membutuhkan demi meraup keuntungan untuk
segelintir orang berkecukupan.
0 comments:
Post a Comment