Oleh: Dede Permana*
Layaknya udara segar yang membuat tubuh kita sehat, pemahaman yang tepat terhadap al-Quran adalah panduan utama yang akan membawa kita kepada keyakinan yang benar. Jika kesegaran udara harus selalu dijaga agar kita tidak terserang penyakit, maka upaya untuk memahami al-Quran dengan benar juga harus kita perhatikan agar tidak terasuki pemikiran-pemikiran asing yang membuat kita menjauh dari kebenaran. Infiltrasi asing ini, dalam kajian studi al-Quran disebut sebagai “al-Dakhîl”.
Secara etimologis, kata “al-dakhîl” diartikan oleh Ibnu Manzhur sebagai sesuatu yang masuk ke dalam sistem organ manusia, sehingga menyebabkan pada timbulnya suatu kerusakan. Kerusakan itu bisa mengenai otak (akal) ataupun tubuh. Sementara secara terminologis, Ibrahim Khalifah, seorang pakar Tafsir di Universitas al-Azhar mengartikannya sebagai segala riwayat yang tidak benar dan bertentangan dengan pokok-pokok utama ajaran Islam (syariat); atau hasil pemahaman seseorang yang bersumber dari pemikiran yang rusak. Dari pengertian ini, al-dakhîl kemudian dibagi menjadi dua, yaitu al-dakhîl dalam tataran riwayat (al-dakhîl fi al-manqûl) dan al-dakhîl dalam tataran hasil pemikiran (al-dakhîl fi al-ma’qûl).
Sejarah perkembangan al-dakhîl dalam Tafsir
Dalam sejarahnya, masyarakat Arab Quraisy sebelum lahirnya Islam adalah masyarakat yang memiliki hubungan cukup erat dengan bangsa Yahudi dan Nasrani lewat kebiasaan berdagang yang dilakukan bangsa Quraisy dua kali dalam setiap tahunnya, yaitu perjalanan pada musim dingin ke Yaman dan pada musim panas ke Syam. Pada masa-masa dagang seperti ini kaum Yahudi dan Nasrani memanfaatkan kesempatan itu untuk mentransfer pengetahuan yang mereka miliki dari kitab suci mereka kepada masyarakat Quraisy yang belum banyak mengerti baca dan tulis.
Selanjutnya, tatkala Rasulullah SAW mendeklarasikan hadirnya suatu agama baru yang bersumber dari Allah SWT, masyarakat Arab menemukan ada beberapa persamaan antara apa yang dibawa oleh al-Quran dengan apa yang mereka dapatkan dari kitab suci Yahudi dan Nasrani. Tentang kisah-kisah para Nabi, misalnya, banyak kisah-kisah yang serupa atau bahkan sama dengan apa yang tertulis di Taurat dan Injil. Bedanya, metode yang digunakan oleh al-Quran dalam mencertikan kisah-kisah tersebut hanya secara global, langsung kepada poin mauizhah dan i’tibar yang diinginkan dari kisah itu. Sedangkan dua kitab suci sebelumnya banyak menjelaskan hal-hal yang kecil dan remeh secara terperinci dan detail, seperti ukuran perahu Nabi Nuh dan jenis kayunya, warna anjing yang menemani Ashabul Kahfi di gua, bagian dari sapi betina mana yang dipakai untuk menghidupkan orang yang telah terbunuh pada zaman Nabi Musa AS, dan lain sebagainya. Dengan metode pengisahan al-Quran yang bersifat global tersebut, mereka yang memiliki rasa ingin tahu lebih, bertanya kepada para Ahli Kitab tentang penjelasan detail dari apa yang diceritakan oleh al-Quran secara global.
Kemudian seiring dengan masuknya para Ahli Kitab ke dalam Islam, ajaran agama Yahudi dan Nasrani yang mereka bawa dapat dengan mudah diceritakan kepada kaum Muslimin. Puncaknya terjadi pada masa pembunuhan Ustman bin Affan tahun 41 H, kaum Ahli Kitab yang masuk Islam secara munafik mulai berani memasukkan ajaran-ajaran baru yang merusak kemurnian ajaran Islam dengan terang-terangan. Pada masa itu dan setelahnya, riwayat-riwayat israiliyyat dan hadis-hadis palsu mulai tersebar dengan mudah. Masyarakat semakin dibuat bingung untuk membedakan antara Hadis yang benar-benar bersumber dari Rasulullah dan riwayat-riwayat palsu yang diselundupkan oleh golongan munafikin dan para pembenci Islam. Inilah yang menjadi faktor utama lahirnya dakhil dalam tataran riwayat (al-dakhîl fi al-manqûl).
Sementara faktor yang menjadi penggerak utama lahirnya al-dakhîl dalam tataran pemikiran (al-dakhîl fi al-ma’qûl) dimulai ketika kaum Muslimin terpecah menjadi banyak sekte dan golongan, akibat kekacauan politik yang saat itu terjadi. Untuk menguatkan paham yang mereka usung, masing-masing dari mereka menafsirkan al-Quran sesuai dengan doktrin masing-masing golongan. Dalam praktiknya, mereka pun memaksakan doktrin yang mereka pahami untuk membaca al-Quran, sehingga lahirlah pemahaman-pemahaman menyimpang yang jauh dari makna yang dikandung oleh al-Quran yang sebenarnya.
Pada zaman Tabiin, kaum Yahudi, Nasrani, dan orang-orang non-Arab semakin banyak yang memeluk Islam. Kisah-kisah tentang israiliyyât dan ajaran-ajaran agama lama mereka pun semakin mudah membaur dengan ajaran Islam. Dengan fenomena seperti ini, disadari ataupun tidak, riwayat-riwayat bohong dan paham-paham yang menyimpang mulai merasuk dalam halakah-halakah penafsiran al-Quran. Pada masa Tabi Tabi’in, riwayat-riwayat ini dengan mudah masuk ke buku-buku tafsir, karena sebagian mereka tidak peduli (sengaja) memasukkan cerita-cerita tersebut untuk menafsirkan ayat-ayat al-Quran yang menceritakan sebuah kisah secara terperinci. Di antara para mufasir yang banyak memasukkan ad-Dakhîl dalam mereka adalah Muhammad bin as Saib al Kalbi, Abdul Malik bin Abdul ‘Aziz bin Juraih, dan juga Muqatil bin Sulaiman.
Dampak yang ditimbulkan dari infiltrasi asing inipun sangat fatal. Dengan adanya sumber-sumber penafsiran dari israiliyyât, Islam digambarkan sebagai agama yang sangat tidak rasional dan penuh dengan takhayul serta khurafat. Belum lagi cerita tentang Allah yang pernah lelah ketika menciptakan alam juga akan mengakibatkan keyakinan kita terhadap ke-Mahakuasaan Allah luntur. Ditambah pula riwayat-riwayat tentang Nabi Daud yang berzina dengan istri panglimanya, atau Nabi Luth yang tidur dengan putrinya, juga akan meruntuhkan doktrin fundmental tentang kesucian ('ishmah) para nabi dan rasul. Sementara itu, infiltrasi dalam tataran pemikiran juga tak kalah besar dampaknya, terutama ketika ayat-ayat al-Quran dijadikan sebagai tunggangan kepentingan sektarian kelompok tertentu. Muktazilah yang dalam salah satu ajaranya menolak sifat kalam, misalnya, menakwilkan ayat yang menceritakan bahwa Allah berbicara kepada Musa AS menjadi Musa yang berbicara kepada Allah.
Faktor-faktor terjadinya infiltrasi pemikiran
Seperti disinggung pada pembahasan sebelumnya, faktor utama yang mempengaruhi lairnya infiltrasi ‘asing’ dalam tataran pemikiran adalah lahirnya beragam sekte yang memaksakan paham mereka untuk dijadikan landasan memahami al-Quran. Selain dari faktor utama itu, menurut Ibrahim Khalifah, setidaknya ada tujuh faktor lain yang melatarbelakangi lahirnya infiltrasi pemikiran dalam tafsir: Pertama, pemahaman salah yang lahir dari seseorang yang belum memenuhi syarat-syarat berijtihad. Kedua, menggunakan penalaran akal bukan pada tempatnya, dengan menafikan makna zahir suatu ayat menuju makna lain yang dipaksakan. Ketiga, berpikiran tekstualis dengan menghilangkan peran akal dalam memahami suatu ayat. Keempat, terlalu ekstrim dalam menggunakan akal (tafalsuf) saat memahami al-Quran, sehingga menjauhkan maknanya dari apa yang dikandung secara zahir. Kelima, terlalu menggebu-gebu dalam memahami susunan kalimat dalam suatu ayat, sehingga melahirkan pemikiran-pemikiran ‘baru’ yang terasa dipaksakan terhadap al-Quran. Keenam, terlalu semangat dalam memahami nilai-nilai kemukjizatan al-Quran, seperti yang banyak terjadi dalam penafsiran-penafsiran saintifik yang sekarang banyak berkembang. Dan ketujuh, niat busuk untuk menghancurkan Islam dan berpaling dari ayat-ayat al-Quran.
Sumber-sumber otoritatif dalam menafsirkan al-Quran
Sebagai antonim dari kata “al-dakhîl”, dalam ranah keilmuan tafsir ada istilah “al-ashîl”, yaitu sumber-sumber otoritatif yang disepakati oleh para ulama dalam menafsirkan al-Quran. Karena al-dakhîl terdiri dari manqul (riwayat) dan ma'qul (pemikiran), maka ashil pun terbagi menjadi dua, yaitu al-ashil fi al-manqul dan al-ashil fi al-ma'qul.
Dalam ranah riwayat, setidaknya ada empat sumber yang dianggap otoritatif dalam menafsirkan al-Quran: Pertama, menafsirkan al-Quran dengan al-Quran; kedua, menafsirkan al-Quran dengan Sunnah; ketiga, penafsiran al-Quran dengan perkataan Sahabat; dan keempat, menafsirkan al-Quran dengan perkataan Tabiin. Meski sebagian ulama mempermasalahkan sumber terakhir ini, namun menurut penulis, perkataan para Tabiin dapat dijadikan sumber penafsiran al-Quran karena Tabiin hidup sezaman dengan para Sahabat, sehingga mereka banyak mewarisi keilmuan mereka (Sahabat). Selain itu, masa Tabi’in merupakan salah satu generasi unggul yang ditahbiskan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya, “Sebaik-baik masa adalah masaku, kemudian masa yang datang setelahnya (masa Sahabat), kemudian masa yang datang setelahnya lagi (masa Tabi’in).”
Tidak terbatas pada ranah riwayat, Islam juga mengakui otoritas akal dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran. Al-Qur’an membuka peluang bagi akal untuk dapat berijtihad dalam memahami kandungan ayat-ayatnya. Namun, untuk dapat menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan ijtihad, seseorang diwajibkan untuk memenuhi beberapa syarat, seperti harus berakidah benar, mengetahui kaidah-kaidah ilmu bahasa Arab, memahami teori-teori pengambilan hukum (Usul Fikih), dan menguasai ilmu-ilmu Ulumul Quran. Jika penggunaan akal dalam menafsirkan al-Quran dilakukan tanpa syarat-syarat di atas, maka hasil penafsiran tersebut akan digolongkan sebagai infiltrasi penafsiran (al-dakhîl fi al-tafsîr).
Waspadalah!
Keistimewaan al-Quran sebagai kitab yang bersumber dari Allah -baik dari sisi redaksi maupun maknanya- mengharuskan umat Islam untuk menempuh metodologi khusus yang sejalan dengan konsep wahyu dalam Islam. Menurut Henri Shalahuddin, seorang peneliti INSITS yang konsen di bidang studi al-Quran, konsep wahyu dalam Islam secara selektif menolak segala metode penafsiran liar yang bertentangan dengan sifat dasar wahyu. Dengan demikian, maka sangat diperlukan kehati-hatian dalam memahami ayat-ayat al-Quran agar seusai dengan maksud yang benar-benar diinginkan oleh Allah SWT.
Jika infiltrasi penafsiran klasik lebih banyak berupa riwayat-riwayat israiliyyat yang bersumber dari riwâyat, untuk saat ini, infiltrasi penafsiran lebih banyak membidik tataran pemikiran. Metode-metode penafsiran liar sedemikian getol dijejalkan di perguruan-perguruan tinggi Islam, sehingga menjadi kurikulum wajib setiap mahasiswanya. Lebih parah dari itu, metode-metode penafsiran klasik yang otoritatif sebagai hasil karya ulama kita, mereka singkirkan dengan alasan sudah basi dan ketinggalan zaman.
Memang, kita tidak sepatutunya menolak mentah-mentah apa yang datang dari luar Islam. Namun sebagai seorang cendekiawan Muslim sejati (real Muslim scholar), kita harus waspada dan kritis dengan pemikiran-pemikiran baru yang banyak dijadikan sebagai senjata untuk menyerang Islam dari dalam. Apalagi, selama ini telah terbukti bahwa infiltrasi asing dalam menafsirkan al-Quran lebih banyak menimbulkan keburukan daripada kebaikan. Toh, tanpa metode-metode impor tersebut, kita sebenarnya sudah sangat cukup dengan metode-metode “hasil karya sendiri” yang lebih otoritatif dan terbukti telah melahirkan kebaikan yang sangat besar. Wallahu a’lam.[]
Layaknya udara segar yang membuat tubuh kita sehat, pemahaman yang tepat terhadap al-Quran adalah panduan utama yang akan membawa kita kepada keyakinan yang benar. Jika kesegaran udara harus selalu dijaga agar kita tidak terserang penyakit, maka upaya untuk memahami al-Quran dengan benar juga harus kita perhatikan agar tidak terasuki pemikiran-pemikiran asing yang membuat kita menjauh dari kebenaran. Infiltrasi asing ini, dalam kajian studi al-Quran disebut sebagai “al-Dakhîl”.
Secara etimologis, kata “al-dakhîl” diartikan oleh Ibnu Manzhur sebagai sesuatu yang masuk ke dalam sistem organ manusia, sehingga menyebabkan pada timbulnya suatu kerusakan. Kerusakan itu bisa mengenai otak (akal) ataupun tubuh. Sementara secara terminologis, Ibrahim Khalifah, seorang pakar Tafsir di Universitas al-Azhar mengartikannya sebagai segala riwayat yang tidak benar dan bertentangan dengan pokok-pokok utama ajaran Islam (syariat); atau hasil pemahaman seseorang yang bersumber dari pemikiran yang rusak. Dari pengertian ini, al-dakhîl kemudian dibagi menjadi dua, yaitu al-dakhîl dalam tataran riwayat (al-dakhîl fi al-manqûl) dan al-dakhîl dalam tataran hasil pemikiran (al-dakhîl fi al-ma’qûl).
Sejarah perkembangan al-dakhîl dalam Tafsir
Dalam sejarahnya, masyarakat Arab Quraisy sebelum lahirnya Islam adalah masyarakat yang memiliki hubungan cukup erat dengan bangsa Yahudi dan Nasrani lewat kebiasaan berdagang yang dilakukan bangsa Quraisy dua kali dalam setiap tahunnya, yaitu perjalanan pada musim dingin ke Yaman dan pada musim panas ke Syam. Pada masa-masa dagang seperti ini kaum Yahudi dan Nasrani memanfaatkan kesempatan itu untuk mentransfer pengetahuan yang mereka miliki dari kitab suci mereka kepada masyarakat Quraisy yang belum banyak mengerti baca dan tulis.
Selanjutnya, tatkala Rasulullah SAW mendeklarasikan hadirnya suatu agama baru yang bersumber dari Allah SWT, masyarakat Arab menemukan ada beberapa persamaan antara apa yang dibawa oleh al-Quran dengan apa yang mereka dapatkan dari kitab suci Yahudi dan Nasrani. Tentang kisah-kisah para Nabi, misalnya, banyak kisah-kisah yang serupa atau bahkan sama dengan apa yang tertulis di Taurat dan Injil. Bedanya, metode yang digunakan oleh al-Quran dalam mencertikan kisah-kisah tersebut hanya secara global, langsung kepada poin mauizhah dan i’tibar yang diinginkan dari kisah itu. Sedangkan dua kitab suci sebelumnya banyak menjelaskan hal-hal yang kecil dan remeh secara terperinci dan detail, seperti ukuran perahu Nabi Nuh dan jenis kayunya, warna anjing yang menemani Ashabul Kahfi di gua, bagian dari sapi betina mana yang dipakai untuk menghidupkan orang yang telah terbunuh pada zaman Nabi Musa AS, dan lain sebagainya. Dengan metode pengisahan al-Quran yang bersifat global tersebut, mereka yang memiliki rasa ingin tahu lebih, bertanya kepada para Ahli Kitab tentang penjelasan detail dari apa yang diceritakan oleh al-Quran secara global.
Kemudian seiring dengan masuknya para Ahli Kitab ke dalam Islam, ajaran agama Yahudi dan Nasrani yang mereka bawa dapat dengan mudah diceritakan kepada kaum Muslimin. Puncaknya terjadi pada masa pembunuhan Ustman bin Affan tahun 41 H, kaum Ahli Kitab yang masuk Islam secara munafik mulai berani memasukkan ajaran-ajaran baru yang merusak kemurnian ajaran Islam dengan terang-terangan. Pada masa itu dan setelahnya, riwayat-riwayat israiliyyat dan hadis-hadis palsu mulai tersebar dengan mudah. Masyarakat semakin dibuat bingung untuk membedakan antara Hadis yang benar-benar bersumber dari Rasulullah dan riwayat-riwayat palsu yang diselundupkan oleh golongan munafikin dan para pembenci Islam. Inilah yang menjadi faktor utama lahirnya dakhil dalam tataran riwayat (al-dakhîl fi al-manqûl).
Sementara faktor yang menjadi penggerak utama lahirnya al-dakhîl dalam tataran pemikiran (al-dakhîl fi al-ma’qûl) dimulai ketika kaum Muslimin terpecah menjadi banyak sekte dan golongan, akibat kekacauan politik yang saat itu terjadi. Untuk menguatkan paham yang mereka usung, masing-masing dari mereka menafsirkan al-Quran sesuai dengan doktrin masing-masing golongan. Dalam praktiknya, mereka pun memaksakan doktrin yang mereka pahami untuk membaca al-Quran, sehingga lahirlah pemahaman-pemahaman menyimpang yang jauh dari makna yang dikandung oleh al-Quran yang sebenarnya.
Pada zaman Tabiin, kaum Yahudi, Nasrani, dan orang-orang non-Arab semakin banyak yang memeluk Islam. Kisah-kisah tentang israiliyyât dan ajaran-ajaran agama lama mereka pun semakin mudah membaur dengan ajaran Islam. Dengan fenomena seperti ini, disadari ataupun tidak, riwayat-riwayat bohong dan paham-paham yang menyimpang mulai merasuk dalam halakah-halakah penafsiran al-Quran. Pada masa Tabi Tabi’in, riwayat-riwayat ini dengan mudah masuk ke buku-buku tafsir, karena sebagian mereka tidak peduli (sengaja) memasukkan cerita-cerita tersebut untuk menafsirkan ayat-ayat al-Quran yang menceritakan sebuah kisah secara terperinci. Di antara para mufasir yang banyak memasukkan ad-Dakhîl dalam mereka adalah Muhammad bin as Saib al Kalbi, Abdul Malik bin Abdul ‘Aziz bin Juraih, dan juga Muqatil bin Sulaiman.
Dampak yang ditimbulkan dari infiltrasi asing inipun sangat fatal. Dengan adanya sumber-sumber penafsiran dari israiliyyât, Islam digambarkan sebagai agama yang sangat tidak rasional dan penuh dengan takhayul serta khurafat. Belum lagi cerita tentang Allah yang pernah lelah ketika menciptakan alam juga akan mengakibatkan keyakinan kita terhadap ke-Mahakuasaan Allah luntur. Ditambah pula riwayat-riwayat tentang Nabi Daud yang berzina dengan istri panglimanya, atau Nabi Luth yang tidur dengan putrinya, juga akan meruntuhkan doktrin fundmental tentang kesucian ('ishmah) para nabi dan rasul. Sementara itu, infiltrasi dalam tataran pemikiran juga tak kalah besar dampaknya, terutama ketika ayat-ayat al-Quran dijadikan sebagai tunggangan kepentingan sektarian kelompok tertentu. Muktazilah yang dalam salah satu ajaranya menolak sifat kalam, misalnya, menakwilkan ayat yang menceritakan bahwa Allah berbicara kepada Musa AS menjadi Musa yang berbicara kepada Allah.
Faktor-faktor terjadinya infiltrasi pemikiran
Seperti disinggung pada pembahasan sebelumnya, faktor utama yang mempengaruhi lairnya infiltrasi ‘asing’ dalam tataran pemikiran adalah lahirnya beragam sekte yang memaksakan paham mereka untuk dijadikan landasan memahami al-Quran. Selain dari faktor utama itu, menurut Ibrahim Khalifah, setidaknya ada tujuh faktor lain yang melatarbelakangi lahirnya infiltrasi pemikiran dalam tafsir: Pertama, pemahaman salah yang lahir dari seseorang yang belum memenuhi syarat-syarat berijtihad. Kedua, menggunakan penalaran akal bukan pada tempatnya, dengan menafikan makna zahir suatu ayat menuju makna lain yang dipaksakan. Ketiga, berpikiran tekstualis dengan menghilangkan peran akal dalam memahami suatu ayat. Keempat, terlalu ekstrim dalam menggunakan akal (tafalsuf) saat memahami al-Quran, sehingga menjauhkan maknanya dari apa yang dikandung secara zahir. Kelima, terlalu menggebu-gebu dalam memahami susunan kalimat dalam suatu ayat, sehingga melahirkan pemikiran-pemikiran ‘baru’ yang terasa dipaksakan terhadap al-Quran. Keenam, terlalu semangat dalam memahami nilai-nilai kemukjizatan al-Quran, seperti yang banyak terjadi dalam penafsiran-penafsiran saintifik yang sekarang banyak berkembang. Dan ketujuh, niat busuk untuk menghancurkan Islam dan berpaling dari ayat-ayat al-Quran.
Sumber-sumber otoritatif dalam menafsirkan al-Quran
Sebagai antonim dari kata “al-dakhîl”, dalam ranah keilmuan tafsir ada istilah “al-ashîl”, yaitu sumber-sumber otoritatif yang disepakati oleh para ulama dalam menafsirkan al-Quran. Karena al-dakhîl terdiri dari manqul (riwayat) dan ma'qul (pemikiran), maka ashil pun terbagi menjadi dua, yaitu al-ashil fi al-manqul dan al-ashil fi al-ma'qul.
Dalam ranah riwayat, setidaknya ada empat sumber yang dianggap otoritatif dalam menafsirkan al-Quran: Pertama, menafsirkan al-Quran dengan al-Quran; kedua, menafsirkan al-Quran dengan Sunnah; ketiga, penafsiran al-Quran dengan perkataan Sahabat; dan keempat, menafsirkan al-Quran dengan perkataan Tabiin. Meski sebagian ulama mempermasalahkan sumber terakhir ini, namun menurut penulis, perkataan para Tabiin dapat dijadikan sumber penafsiran al-Quran karena Tabiin hidup sezaman dengan para Sahabat, sehingga mereka banyak mewarisi keilmuan mereka (Sahabat). Selain itu, masa Tabi’in merupakan salah satu generasi unggul yang ditahbiskan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya, “Sebaik-baik masa adalah masaku, kemudian masa yang datang setelahnya (masa Sahabat), kemudian masa yang datang setelahnya lagi (masa Tabi’in).”
Tidak terbatas pada ranah riwayat, Islam juga mengakui otoritas akal dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran. Al-Qur’an membuka peluang bagi akal untuk dapat berijtihad dalam memahami kandungan ayat-ayatnya. Namun, untuk dapat menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan ijtihad, seseorang diwajibkan untuk memenuhi beberapa syarat, seperti harus berakidah benar, mengetahui kaidah-kaidah ilmu bahasa Arab, memahami teori-teori pengambilan hukum (Usul Fikih), dan menguasai ilmu-ilmu Ulumul Quran. Jika penggunaan akal dalam menafsirkan al-Quran dilakukan tanpa syarat-syarat di atas, maka hasil penafsiran tersebut akan digolongkan sebagai infiltrasi penafsiran (al-dakhîl fi al-tafsîr).
Waspadalah!
Keistimewaan al-Quran sebagai kitab yang bersumber dari Allah -baik dari sisi redaksi maupun maknanya- mengharuskan umat Islam untuk menempuh metodologi khusus yang sejalan dengan konsep wahyu dalam Islam. Menurut Henri Shalahuddin, seorang peneliti INSITS yang konsen di bidang studi al-Quran, konsep wahyu dalam Islam secara selektif menolak segala metode penafsiran liar yang bertentangan dengan sifat dasar wahyu. Dengan demikian, maka sangat diperlukan kehati-hatian dalam memahami ayat-ayat al-Quran agar seusai dengan maksud yang benar-benar diinginkan oleh Allah SWT.
Jika infiltrasi penafsiran klasik lebih banyak berupa riwayat-riwayat israiliyyat yang bersumber dari riwâyat, untuk saat ini, infiltrasi penafsiran lebih banyak membidik tataran pemikiran. Metode-metode penafsiran liar sedemikian getol dijejalkan di perguruan-perguruan tinggi Islam, sehingga menjadi kurikulum wajib setiap mahasiswanya. Lebih parah dari itu, metode-metode penafsiran klasik yang otoritatif sebagai hasil karya ulama kita, mereka singkirkan dengan alasan sudah basi dan ketinggalan zaman.
Memang, kita tidak sepatutunya menolak mentah-mentah apa yang datang dari luar Islam. Namun sebagai seorang cendekiawan Muslim sejati (real Muslim scholar), kita harus waspada dan kritis dengan pemikiran-pemikiran baru yang banyak dijadikan sebagai senjata untuk menyerang Islam dari dalam. Apalagi, selama ini telah terbukti bahwa infiltrasi asing dalam menafsirkan al-Quran lebih banyak menimbulkan keburukan daripada kebaikan. Toh, tanpa metode-metode impor tersebut, kita sebenarnya sudah sangat cukup dengan metode-metode “hasil karya sendiri” yang lebih otoritatif dan terbukti telah melahirkan kebaikan yang sangat besar. Wallahu a’lam.[]
*Penulis adalah pegiat kajian Studi al-Quran I'JAZ IKPM Cab. Kairo.