oleh: Jauhar Ridloni Marzuq, Lc.
Mayoritas ulama sepakat bahwa ayat al-Quran yang pertama kali turun adalah surat al-Alaq 1-5. Turunnya ayat yang diawali dengan perintah membaca ini, menurut Raghib al-Sirjani dalam “al-Ilmu wa Binâ’ al-Umam” sangat aneh. Setidaknya, ada tiga alasan yang mendasari pandangan ini: Pertama, dari sekian ribu tema yang bisa diangkat, al-Quran ternyata memilih tema tentang baca-tulis. Padahal, Nabi Muhammad sebagai orang pertama yang menerima ayat itu adalah seorang buta huruf. Kedua, al-Quran mengajak bangsa Arab -yang mayoritas masyarakatnya buta huruf- untuk memperhatikan suatu masalah yang sama sekali jarang mereka perhatikan. Seperti tertulis dalam banyak buku sejarah, bangsa Arab ketika al-Quran diturunkan adalah masyarakat primitif yang hidupnya dipenuhi oleh urusan takhayul, khurafat dan kebodohan. Karena itu, turunnya al-Quran dengan perintah membaca adalah suatu keanehan. Sedangkan ketiga, untuk menjadi media transformasi ilmu, al-Quran memilih media yang sangat berat bagi masyarakat Arab saat itu, yaitu membaca.
Dengan tiga alasan tersebut, maka Raghib al-Sirjani kemudian berkesimpulan bahwa fenomena ini tentu memiliki rahasia yang perlu diungkap dan diketahui. Sebagai kitab petunjuk, Allah tidak mungkin memilih tema sembarangan untuk menjadi permulaan penurunan kalam-Nya. Salah satu alasannya, menurut al-Sirjani, adalah sebagai bukti paling jelas bahwa Islam adalah sebuah agama yang bersandar kepada ilmu pengetahuan dan menolak kebodohan. Permulaan ayat ini juga menjelaskan bahwa membaca adalah kunci untuk memahami agama baru ini, sekaligus menjadi syarat utama yang harus dimiliki oleh manusia untuk mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat.
Sebagai seorang pemimpin, nabi adalah aktor utama pembangun peradaban dalam Islam. Jika Islam secara substansif telah ada sejak Nabi Adam, maka nabi yang harus diyakini oleh umat Islam adalah Nabi Adam hingga Nabi Muhammad SAW. Keseluruhan jumlah nabi memang tidak dijelaskan oleh al-Quran. Namun, dalam beberapa cerita yang disebutkan al-Quran, Allah selalu mengaitkan mereka dengan ilmu. Dalam surat al-Baqarah, Nabi Adam digambarkan sebagai orang diajarkan (diberi ilmu) oleh Allah nama-nama segala sesuatu (QS al-Baqarah 21); Nabi Luth diberi hikmah (kenabian) dan ilmu (QS al-Anbiya: 74); Nabi Musa, Nabi Yusuf dan Nabi Sulaiman juga diberi hikmah dan ilmu (QS Qashash: 14, QS Yusuf: 22 dan QS al-Anbiya: 79); Nabi Ya’qub diajari banyak ilmu (QS Yusuf 68); Nabi Isa diajari al-Kitab, hikmah, Taurat dan Injil (QS al-Maidah: 110); dan Nabi Muhammad diajari oleh Allah apa-apa yang tidak beliau ketahui (al-Nisa 113).
Di sini dapat disimpulkan bahwa salah satu sifat utama kenabian adalah berilmu, karena tanpa ilmu seorang nabi tidak akan pernah bisa mengajarkan sesuatu. Sebuah pepatah mengatakan, “Orang yang tidak memiliki tidak akan bisa memberi.”
Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, al-Quran kemudian memuat banyak sekali ayat yang mengajak manusia untuk mencari ilmu pengetahuan. Al-Quran juga dalam banyak kesempatan mencela kebohodohan dan kejumudan. Meski tidak bisa baca tulis, dalam banyak riwayat Hadis, Rasulullah memerintahkan beberapa Sahabat untuk belajar membaca dan menulis. Usai Perang Badar, Rasulullah bahkan menjadikan pembelajaran baca-tulis sebagai media tebusan para tawanan perang.
Di sinilah, Islam kemudian hadir sebagai kekuatan baru untuk mengubah tatanan hidup masyarakat Arab Jahiliyah menuju tatatan hidup baru yang berperadaban, dengan berlandaskan pada nilai-nilai ilmu pengetahuan yang bersumber dari al-Quran.
Tradisi ini kemudian terwariskan dari generasi ke generasi sehingga membentuk sebuah pandangan hidup. Pandangan hidup seperti inilah yang kemudian menjadikan Islam mampu mengambil alih kepemimpinan peradaban dari tangan Romawi Persia hingga lebih dari 1000 tahun lamanya.
Salah satu tujuan utama diciptakannya manusia adalah untuk menjadi khalifah di bumi. Namun, posisi dan kedudukan khalifah yang diberikan Allah kepada mereka bukanlah tanpa syarat. Dalam surat al-Baqarah Allah menjelaskan bahwa ditunjuknya Adam (bapak seluruh manusia) sebagai khalifah adalah karena kelebihan ilmu yang dimilikinya. Malaikat yang pada awalnya ‘keberatan’ dengan penunjukan Adam akhirnya menerima, karena mengakui bahwa Adam memiliki ilmu yang yang tidak mereka miliki.
Fenomena seperti ini berlaku juga pada kisah penunjukan Thalut sebagai raja (QS al-Baqarah: 247), seorang hamba shalih sebagai pemenang sayembara pengalihan singgasana Bilqis (QS al-Naml: 39), Sulaiman sebagai penguasa (QS al-Naml: 42), dan Khidhir sebagai guru Nabi Musa (QS al-Kahfi: 65).
Dengan demikian, terlihat jelas bagaimana al-Quran sangat menjunjung tinggi kedudukan ilmu.
Menurut Hamid Fahmy Zarkasyi, peradaban Islam sebenarnya dimulai dari komunitas kecil yang bergiat mempelajari al-Quran dan Sunnah. Komunitas yang dipengaruhi oleh pandangan hidup al-Quran itu kemudian bertambah besar dengan membentuk kekuatan militer yang akhirnya menjadi institusi negara. Karena universalitas ajaran Islam, maka negara bangsa yang berdasarkan ras dilebur bersama bangsa-bangsa lain di bawah naungan Islam. Kekuatan pemersatu bangsa-bangsa itu adalah pandangan hidup Islam yang teratur dan rasional, serta bahasa Arab.
Dengan demikian, maka dapat diambil benang merah bahwa untuk membangun kembali peradaban Islam harus diawali dengan membangun peradaban ilmu. Karena asas peradaban Islam adalah ilmu pengetahuan yang bersumber pada al-Quran dan Sunnah, maka peranan ilmu pengetahuan yang sangat sentral dalam keseluruhan struktur konsep peradaban Islam, seperti pendapat Hamid Fahmy, perlu dikembalikan sebagaimana aslinya. Dalam hal ini, al-Quran adalah landasan utama yang kita jadikan sebagai acuan, bukan filsafat-filsafat asing yang lebih banyak merusak daripada membangun. Wallahu a’lam.
0 comments:
Post a Comment