Oleh: Fauzul Hanif
Al Insânu madaniyyun bit-thob’i (manusia adalah makhluk sosial) merupakan kata yang sudah tidak asing lagi didengar oleh telinga. Bahkan jauh ketika seseorang baru duduk di bangku SD, guru-guru mereka terus menekankan hal ini yang tujuannya tidak lain untuk menanamkan sifat simpati antar sesama dan membuang jauh-jauh rasa egois. Membenamkan di alam bawah sadar mereka bahwa hidup ini bersifat heterogen, yaitu kumpulan dari sekian banyak manusia dengan sifat yang berbeda.
Islam selaku agama yang rahmatan lil ‘âlamîn menaruh pokok-pokok serta asas tentang kehidupan manusia yang heterogen. Bukan hanya dari aspek sosiologi, tapi juga dari sudut pandang ekonomi. Islam masuk dalam tatanan ekonomi agar nantinya memperbaiki kondisi sosial antar manusia, sehingga tidak terjadi ketimpangan dan jurang pemisah yang terlalu lebar antara si miskin dan si kaya. Islam juga mengupayakan keselarasan tatanan sosial dari lingkup mikro hingga makro sekalipun.
Sebut saja sedikit contoh di Al-Qur’an tentang hukum mawârîts. Ketika masyarakat jahiliah menetapkan hukum ini dengan seenak mereka, Islam datang dengan membawa peraturan yang jelas. Pewarisan pada masa jahiliah menetapkan bahwa yang akan mendapat warisan adalah anak laki-laki dewasa yang mampu bekerja atau ikut berperang. Selain itu, pengadopsian anak serta sumpah setia juga menjadikan seseorang bisa mendapat warisan. Ini artinya menafikan anak-anak kecil dari keturunan darah sendiri dan para perempuan. Hukum waris yang tidak adil seperti ini tentunya membuat kondisi sosial masyarakat dan keluarga sendiri semakin timpang.
Masih menyikapi jurang antara si miskin dan si kaya serta ketimpangan sosial yang ada, Islam menetapkan zakat yang diambil dari tangan orang-orang berkecukupan untuk diberikan kepada mereka yang membutuhkan. Walau yang diambil hanya 2,5% dari harta orang yang berzakat tetapi tetap saja membawa dampak yang besar. Tentunya dengan syarat semua golongan yang terkena wajib zakat menunaikan kewajibannya, ditambah pendistribusian yang optimal terhadap harta zakat tersebut.
Zakat hanya salah satu bentuk dari keuangan publik Islam yang manfaatnya bisa dirasakan masyarakat. Masih ada lagi kharrâj, jizyah, ‘usyur, ghonîmah serta beberapa lainnya. Bentuk-bentuk yang disebutkan tadi membawa manfaat bagi masyarakat dan negara karena kesemuanya merupakan pos pendapatan baitul maal. Dari baitul maal inilah kekayaan negara didistribusikan serta digunakan untuk maslahat bersama.
Efek dari zakat dan berbagai keuangan publik Islam yang optimal bisa kita rujuk ketika masa Abbasiyah di bawah pemerintahan Harun Arrasyid dan beberapa khalifah sesudahnya. Pemasukan negara melimpah ruah, bahkan setelah Khalifah al-Makmun menurunkan persentase pajak yang wajb dikeluarkan. Ibnu Jarir at-Thabari mencatat bahwa pada tahun 210 H saja, dana kharrâj yang terkumpul mencapai 7.000.000 dirham. Pada masa kekhilafahan al-Mu’tashim, peningkatan dana kharrâj lebih signifikan lagi. Dana kharrâj yang terkumpul mencapai jumlah 30 miliar dirham. Itu bukanlah jumlah yang sedikit, padahal jumlah tersebut dihitung dari pos pemasukan kharrâj saja, belum lagi ditambah dengan pos pemasukan lainnya.
Pendapatan dari pos kharrâj memang tergolong besar, hal itu sehubungan dengan tanah sawwad Irak, hasil futuhat umat Islam yang sangat luas. Tanah sawwad yang berhasil diambil alih oleh umat Islam semasa Umar bin Khatab merupakan lahan pertanian yang sangat produktif. Tidak heran jika para Sahabat kemudian berselisih pendapat mengenai siapakah yang berhak untuk mengelola tanah tersebut, apakah para pejuang perang, atau dibiarkan saja untuk dikembalikan kepada pribumi?
Di sini, lagi-lagi Islam menunjukkan semangat sosial yang tinggi, diwakili oleh keputusan ijtihad Umar yang diamini para Sahabat. Seharusnya, sebagian dari harta rampasan perang diberikan kepada para mujahid yang ikut berperang, tapi Umar RA justru membiarkannya untuk diolah oleh penduduk pribumi dan negara. Menurut Dr. Musthafa Dasuqi, keputusan Umar sangatlah tepat. Alasannya, jumlah pasukan yang ikut berperang untuk menaklukkan daerah Irak hanyalah sedikit, sedangkan penduduk pribumi jauh lebih banyak jumlahnya. Jika tanah sawwad Irak yang begitu luas serta produktif hanya dimiliki oleh para mujahid yang notabene hanya segelintir orang, maka jurang antara si miskin dan si kaya semakin lebar. Wilayah yang sudah dimiliki oleh beberapa orang ini pastinya akan diwariskan kepada keturunan sesudahnya, kemudian kepada keturunan selanjutnya, dan selanjutnya. Harta itu tidak akan berpindah tangan atau keluar dari nasabnya kecuali hanya sedikit dari yang mereka miliki. Ini artinya konsep kai lâ yakûna dûlatan baina al-aghniyâ`i minkum tidak terwujudkan.
Selain kharrâj, Islam juga mengenal istilah jizyah. Meskipun praktek jizyah pada era kontemporer sudah tidak dikenal lagi, bukan berarti bahwa kita meninggalkan esensi utama yang terkandung di dalam jizyah. Jizyah yang merupakan wajib pajak bagi kaum non-Muslim yang berdomisili di negara Islam pada hakekatnya mempunyai nilai sosial yang tinggi. Fungsi jizyah bukan hanya sebagai uang jaminan atas keselamatan mereka selama tinggal di negara Islam, tetapi juga menyimpan tujuan lain. Tujuan tersebut adalah perataan distribusi pendapatan yang ada bagi seluruh warga, baik Muslim maupun non-Muslim.
Sebagaimana kita ketahui, Islam telah mengenal zakat sebagai sarana perataan distrbusi pendapatan. Wajib zakat –atau hal lain yang berbentuk perpajakan– dalam suatu negara sangat penting untuk menambah cadangan devisa, terlebih jika seluruh warga menunaikan kewajiban tersebut. Namun, ketika wajib zakat digugurkan bagi sebagian orang, artinya pendapatan negara kurang maksimal. Hal inilah yang kemudian menjadi pertimbangan jizyah bagi kaum non-Muslim, yaitu sebagai pengganti pajak. Dengan adanya jizyah, harta –yang bisa jadi melimpah ruah– di tangan orang-orang non-Muslim masih bisa dirasakan oleh warga negara secara umum. Dengan begitu, konsep kai lâ yakûna dûlatan baina al-aghniyâ`i minkum telah terlaksana. Hal itu tentunya sangat jauh dengan tuduhan yang dilontarkan oleh para orientalis bahwa wajib jizyah adalah bentuk lain sebagai biaya sewa yang harus dikeluarkan bagi kaum non-Muslim untuk tinggal di wilayah Islam.
Semangat sosial Islam yang begitu tinggi pada zaman klasik seharusnya terus dibawa hingga era sekarang. Bukan hanya dibawa, tapi disimpan secara rapi pada jiwa dan karakter setiap individu untuk kemudian diamalkan. Hal itu karena nilai tersebut merupakan salah satu syiar Islam yang ada semenjak munculnya agama ini.
Ini bukan berarti Islam mengekang umatnya yang telah bekerja siang dan malam untuk kemudian memberikan sebagian yang telah mereka usahakan tersebut kepada fakir miskin. Islam tidak pernah mematikan semangat bekerja dari diri seorang muslim, namun juga tidak menelantarkan para fakir miskin. Di situlah fungsi zakat dan berbagai sistem keuangan publik lainnya, mempersempit jurang antara kedua golongan. Dengan begitu, tidak salah bahwa model wirausaha Islam itu tetap profit oriented, hanya saja harus dilengkapi dengan distribusi yang proporsional serta optimal. []
Al Insânu madaniyyun bit-thob’i (manusia adalah makhluk sosial) merupakan kata yang sudah tidak asing lagi didengar oleh telinga. Bahkan jauh ketika seseorang baru duduk di bangku SD, guru-guru mereka terus menekankan hal ini yang tujuannya tidak lain untuk menanamkan sifat simpati antar sesama dan membuang jauh-jauh rasa egois. Membenamkan di alam bawah sadar mereka bahwa hidup ini bersifat heterogen, yaitu kumpulan dari sekian banyak manusia dengan sifat yang berbeda.
Islam selaku agama yang rahmatan lil ‘âlamîn menaruh pokok-pokok serta asas tentang kehidupan manusia yang heterogen. Bukan hanya dari aspek sosiologi, tapi juga dari sudut pandang ekonomi. Islam masuk dalam tatanan ekonomi agar nantinya memperbaiki kondisi sosial antar manusia, sehingga tidak terjadi ketimpangan dan jurang pemisah yang terlalu lebar antara si miskin dan si kaya. Islam juga mengupayakan keselarasan tatanan sosial dari lingkup mikro hingga makro sekalipun.
Sebut saja sedikit contoh di Al-Qur’an tentang hukum mawârîts. Ketika masyarakat jahiliah menetapkan hukum ini dengan seenak mereka, Islam datang dengan membawa peraturan yang jelas. Pewarisan pada masa jahiliah menetapkan bahwa yang akan mendapat warisan adalah anak laki-laki dewasa yang mampu bekerja atau ikut berperang. Selain itu, pengadopsian anak serta sumpah setia juga menjadikan seseorang bisa mendapat warisan. Ini artinya menafikan anak-anak kecil dari keturunan darah sendiri dan para perempuan. Hukum waris yang tidak adil seperti ini tentunya membuat kondisi sosial masyarakat dan keluarga sendiri semakin timpang.
Masih menyikapi jurang antara si miskin dan si kaya serta ketimpangan sosial yang ada, Islam menetapkan zakat yang diambil dari tangan orang-orang berkecukupan untuk diberikan kepada mereka yang membutuhkan. Walau yang diambil hanya 2,5% dari harta orang yang berzakat tetapi tetap saja membawa dampak yang besar. Tentunya dengan syarat semua golongan yang terkena wajib zakat menunaikan kewajibannya, ditambah pendistribusian yang optimal terhadap harta zakat tersebut.
Zakat hanya salah satu bentuk dari keuangan publik Islam yang manfaatnya bisa dirasakan masyarakat. Masih ada lagi kharrâj, jizyah, ‘usyur, ghonîmah serta beberapa lainnya. Bentuk-bentuk yang disebutkan tadi membawa manfaat bagi masyarakat dan negara karena kesemuanya merupakan pos pendapatan baitul maal. Dari baitul maal inilah kekayaan negara didistribusikan serta digunakan untuk maslahat bersama.
Efek dari zakat dan berbagai keuangan publik Islam yang optimal bisa kita rujuk ketika masa Abbasiyah di bawah pemerintahan Harun Arrasyid dan beberapa khalifah sesudahnya. Pemasukan negara melimpah ruah, bahkan setelah Khalifah al-Makmun menurunkan persentase pajak yang wajb dikeluarkan. Ibnu Jarir at-Thabari mencatat bahwa pada tahun 210 H saja, dana kharrâj yang terkumpul mencapai 7.000.000 dirham. Pada masa kekhilafahan al-Mu’tashim, peningkatan dana kharrâj lebih signifikan lagi. Dana kharrâj yang terkumpul mencapai jumlah 30 miliar dirham. Itu bukanlah jumlah yang sedikit, padahal jumlah tersebut dihitung dari pos pemasukan kharrâj saja, belum lagi ditambah dengan pos pemasukan lainnya.
Pendapatan dari pos kharrâj memang tergolong besar, hal itu sehubungan dengan tanah sawwad Irak, hasil futuhat umat Islam yang sangat luas. Tanah sawwad yang berhasil diambil alih oleh umat Islam semasa Umar bin Khatab merupakan lahan pertanian yang sangat produktif. Tidak heran jika para Sahabat kemudian berselisih pendapat mengenai siapakah yang berhak untuk mengelola tanah tersebut, apakah para pejuang perang, atau dibiarkan saja untuk dikembalikan kepada pribumi?
Di sini, lagi-lagi Islam menunjukkan semangat sosial yang tinggi, diwakili oleh keputusan ijtihad Umar yang diamini para Sahabat. Seharusnya, sebagian dari harta rampasan perang diberikan kepada para mujahid yang ikut berperang, tapi Umar RA justru membiarkannya untuk diolah oleh penduduk pribumi dan negara. Menurut Dr. Musthafa Dasuqi, keputusan Umar sangatlah tepat. Alasannya, jumlah pasukan yang ikut berperang untuk menaklukkan daerah Irak hanyalah sedikit, sedangkan penduduk pribumi jauh lebih banyak jumlahnya. Jika tanah sawwad Irak yang begitu luas serta produktif hanya dimiliki oleh para mujahid yang notabene hanya segelintir orang, maka jurang antara si miskin dan si kaya semakin lebar. Wilayah yang sudah dimiliki oleh beberapa orang ini pastinya akan diwariskan kepada keturunan sesudahnya, kemudian kepada keturunan selanjutnya, dan selanjutnya. Harta itu tidak akan berpindah tangan atau keluar dari nasabnya kecuali hanya sedikit dari yang mereka miliki. Ini artinya konsep kai lâ yakûna dûlatan baina al-aghniyâ`i minkum tidak terwujudkan.
Selain kharrâj, Islam juga mengenal istilah jizyah. Meskipun praktek jizyah pada era kontemporer sudah tidak dikenal lagi, bukan berarti bahwa kita meninggalkan esensi utama yang terkandung di dalam jizyah. Jizyah yang merupakan wajib pajak bagi kaum non-Muslim yang berdomisili di negara Islam pada hakekatnya mempunyai nilai sosial yang tinggi. Fungsi jizyah bukan hanya sebagai uang jaminan atas keselamatan mereka selama tinggal di negara Islam, tetapi juga menyimpan tujuan lain. Tujuan tersebut adalah perataan distribusi pendapatan yang ada bagi seluruh warga, baik Muslim maupun non-Muslim.
Sebagaimana kita ketahui, Islam telah mengenal zakat sebagai sarana perataan distrbusi pendapatan. Wajib zakat –atau hal lain yang berbentuk perpajakan– dalam suatu negara sangat penting untuk menambah cadangan devisa, terlebih jika seluruh warga menunaikan kewajiban tersebut. Namun, ketika wajib zakat digugurkan bagi sebagian orang, artinya pendapatan negara kurang maksimal. Hal inilah yang kemudian menjadi pertimbangan jizyah bagi kaum non-Muslim, yaitu sebagai pengganti pajak. Dengan adanya jizyah, harta –yang bisa jadi melimpah ruah– di tangan orang-orang non-Muslim masih bisa dirasakan oleh warga negara secara umum. Dengan begitu, konsep kai lâ yakûna dûlatan baina al-aghniyâ`i minkum telah terlaksana. Hal itu tentunya sangat jauh dengan tuduhan yang dilontarkan oleh para orientalis bahwa wajib jizyah adalah bentuk lain sebagai biaya sewa yang harus dikeluarkan bagi kaum non-Muslim untuk tinggal di wilayah Islam.
Semangat sosial Islam yang begitu tinggi pada zaman klasik seharusnya terus dibawa hingga era sekarang. Bukan hanya dibawa, tapi disimpan secara rapi pada jiwa dan karakter setiap individu untuk kemudian diamalkan. Hal itu karena nilai tersebut merupakan salah satu syiar Islam yang ada semenjak munculnya agama ini.
Ini bukan berarti Islam mengekang umatnya yang telah bekerja siang dan malam untuk kemudian memberikan sebagian yang telah mereka usahakan tersebut kepada fakir miskin. Islam tidak pernah mematikan semangat bekerja dari diri seorang muslim, namun juga tidak menelantarkan para fakir miskin. Di situlah fungsi zakat dan berbagai sistem keuangan publik lainnya, mempersempit jurang antara kedua golongan. Dengan begitu, tidak salah bahwa model wirausaha Islam itu tetap profit oriented, hanya saja harus dilengkapi dengan distribusi yang proporsional serta optimal. []