Oleh: Fauzul Hanif
Pada dasarnya, tingkat kesejahteraan akan selalu berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi. Ketika ekonomi suatu daerah maju, maka kesejahteraan warga yang masuk dalam teritorial daerah tersebut niscaya akan maju juga. Sebaliknya, jika kemajuan ekonomi terhambat, nampaknya akan susah untuk membayangkan tingkat kesejahteraan daerah tersebut.
Hanya saja, rumusan di atas nampaknya sudah usang dan tidak bisa diterapkan lagi dalam konteks kehidupan saat ini. Hal tersebut sesuai dengan fakta yang ada, yaitu problem kemiskinan yang gagal diatasi di saat perkonomian mampu bertahan atau bahkan meningkat. Contoh yang ada di Indonesia adalah nasib yang menimpa daerah-daerah penghasil minyak atau sumber daya alam potensial lainnya.
Sebut saja Kaltim (Kalimantan Timur) sebagai daerah penghasil gas alam terbesar di Indonesia. Tiga puluh persen pasokan gas alam Indonesia yang berasal dari sana seharusnya mampu mengisi pundi-pundi ekonomi mereka. Kenyataannya, Kaltim tidak menjadi daerah dengan warga makmur sejahtera. Setali tiga uang, Papua dengan tambang emasnya juga tidak mendongkrak ekonomi warganya sehingga bisa keluar dari garis kemiskinan.
Permasalahan di atas adalah contoh dari ketiadaan konsep distribusi yang baik. Kekayaan hanya berputar di tangan orang-orang minoritas sebagai mana ciri dari kapitalisme. Kaum papa daerah tersebut justru tidak mencicipi kenikmatan sumber daya alam mereka yang melimpah ruah. Prinsip kai lâ yakûnâ daûlatan bainal aghniyâ`i minkum terabaikan sehingga berimbas pada terseoknya ekonomi rakyat mayoritas.
Terlepas dari hal itu, sebab kemerosotan kesejahteraan saat ini juga mempunyai faktor lain, yaitu pembengkakan ekonomi di sisi moneter tanpa dibarengi peningkatan produk dan jasa. Bank-bank yang ada sekarang menciptakan uang melalui penggandaan deposit atau setoran nasabah sehingga menyebabkan peningkatan di sisi moneter. Peningkatan ini tidak akan pernah menjadi masalah jika diimbangi dengan peningkatan produk barang dan jasa, tapi nampaknya fakta berkata lain. Pertumbuhan moneter melalui penggandaan uang dengan cara tadi terlalu cepat dan jauh meninggalkan ekonomi riil. Artinya, uang lebih banyak dari pada barang. Efek yang paling kentara adalah kenaikan harga barang atau lebih sering kita kenal dengan inflasi.
Jika merujuk pada pendapat mantan ketua umum Asbisindo (Asosiasi Bank Syariah Indonesia), salah satu penyebab pembengkakan moneter tadi adalah kartu kredit atau sistem utang. Keinginan manusia –yang tidak akan pernah ada batasnya– praktis tercapai dengan sistem seperti ini. Padahal, pada hakikatnya kartu kredit tidak lebih dari sekedar transaksi utang yang harus dibayar, sebuah tawaran menarik sedangkan hakikatnya mencekik.
Utang individual yang secara tidak langsung membantu percepatan penggelembungan moneter tersebut menghasilkan inflasi. Pada tahap selanjutnya, inflasi yang merupakan hasil ketidakseimbangan antara perkembangan moneter dan riil ini melahirkan kemiskinan.
Kasb sebagai Pemanfaatan SDA
Misi utama diturunkannya manusia ke bumi tidak lain untuk menjadi khalifah. Memang sulit untuk mendefinisikan maksud dari istilah khalifah karena maknanya yang sangat luas. Yang jelas, diantara maksud dari kalimat tersebut bahwa manusia bertugas untuk menjaga keseimbangan di muka bumi. Baik itu menjadi pempimpin yang adil, mengusahakan kemakmuran atau tidak membuat kerusakan di bumi.
Dalam konteks membangun ekonomi ideal, istilah khalifah lebih pas jika dimaknai dengan sebuah usaha untuk memakmurkan bumi. Dalam bahasa yang lebih mudah, artinya memanfaatkan sumber daya yang sudah disediakan sebaik mungkin. Ekonomi ideal adalah yang berdasarkan pembangunan pada tatanan yang nyata, bukan sekedar fatamorgana atau bahkan fiktif. Hal itu didapatkan dari optimalisasi sumber daya yang sudah disediakan, yaitu memproduksi barang atau penyediaan jasa. Artinya, tidak ada jalan selain bergerak, berbuat, berusaha dan bekerja.
Muhammad bin Hasan as-Syaibani, salah satu guru Imam Syafii menjelaskan konsep bekerja tersebut dalam sebuah buku yang ia karang dengan judul al-Kasb. Dalam kitab tersebut, Syaibani mendifinisikan Kasb sebagai sebuah usaha untuk mendapatkan harta dengan berbagai macam cara yang halal. Pengertian kasb yang dipaparkan Syaibani itu lebih dikenal sebagai istilah produksi dalam lingkup ekonomi mikro. Inilah yang menjadikan karya Syaibani menjadi rujukan para ekonom sekarang. Bahkan, Adiwarman Azwar Karim sampai mengutip pernyataan Dr. Janidal bahwa Syaibani merupakan salah seorang perintis ilmu ekonomi dalam Islam. Aktivitas produksi inilah yang kemudian merupakan media bagi manusia sebagai khalifah untuk memanfaatkan sumber daya yang ada.
Mengenai pemanfaatan sumber daya, sebagian orang merasa pesimis karena pada suatu saat potensial bumi akan habis disebabkan aktivitas produksi tersebut. Kekhawatiran seperti ini memang beralasan, tapi tidak bisa dibenarkan. Sumber daya yang ada seharusnya bukan sekedar dieksploitasi atau digunakan semena-mena dengan tujuan mengeruk keuntungan dalam tempo yang paling singkat. Ketika membincang tentang sumber daya, seharusnya kita fokus pada optimalisasi, bukan sekedar efisiensi.
Sikap eksploitasi yang tidak dibarengi optimalisasi merupakan cerminan dari sikap materialis yang diboyong dari paham hedonis. Sikap materialis biasanya condong untuk mendorong orang bersikap konsumtif. Jika sikap itu sudah mendarah daging pada seseorang, maka dia akan sulit untuk membedakan antara kebutuhan (needs) dengan keinginan (wants). Watak seperti inilah yang pada akhirnya mengeksploitasi sumber daya bumi sehingga boros dan tidak optimal.
Di dalam al-Quran surah Ibrahim ayat 32-33, Allah telah menyebutkan bahwa bumi, langit dan segala yang ada di dalamnya diciptakan dan ditundukkan untuk kemakmuran manusia. Konsep penciptaan tersebutlah yang harus kita barengi dengan optimalisasi agar tercipta kemakmuran.
“Allah-lah yang Telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, Kemudian dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan dia Telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan dia Telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dan dia Telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan Telah menundukkan bagimu malam dan siang.” (QS. Ibrahim: 32-33)
Pada akhirnya, aktor utama sebagai penyelaras antara sumber daya yang ada dengan aktivitas produksi serta distribusi tidak lain adalah individual masing-masing. Aktivitas produksi yang menjadi tonggak utama perputaran roda ekonomi harus benar-benar dijaga keseimbangannya. Distribusi yang baik juga harus dijaga agar tercipta kesejahteraan bersama. Jika saja perputaran ekonomi riil tidak bisa mengimbangi pergerakan moneter yang begitu deras, ditambah lagi dengan tidak adanya keadilan dalam distribusi, maka problem kesejahteraan manusia tidak akan pernah terselesaikan. Surplus uang yang ada justru menimbulkan inflasi sehingga berdampak –untuk kesekian kalinya– pada penambahan pengangguran yang merupakan akar masalah dari kemiskinan. Perputaran uang yang stagnan di tangan orang-orang minoritas juga tidak akan pernah mengentas rakyat miskin dari kondisinya. Wallahua'lam.[]
Pada dasarnya, tingkat kesejahteraan akan selalu berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi. Ketika ekonomi suatu daerah maju, maka kesejahteraan warga yang masuk dalam teritorial daerah tersebut niscaya akan maju juga. Sebaliknya, jika kemajuan ekonomi terhambat, nampaknya akan susah untuk membayangkan tingkat kesejahteraan daerah tersebut.
Hanya saja, rumusan di atas nampaknya sudah usang dan tidak bisa diterapkan lagi dalam konteks kehidupan saat ini. Hal tersebut sesuai dengan fakta yang ada, yaitu problem kemiskinan yang gagal diatasi di saat perkonomian mampu bertahan atau bahkan meningkat. Contoh yang ada di Indonesia adalah nasib yang menimpa daerah-daerah penghasil minyak atau sumber daya alam potensial lainnya.
Sebut saja Kaltim (Kalimantan Timur) sebagai daerah penghasil gas alam terbesar di Indonesia. Tiga puluh persen pasokan gas alam Indonesia yang berasal dari sana seharusnya mampu mengisi pundi-pundi ekonomi mereka. Kenyataannya, Kaltim tidak menjadi daerah dengan warga makmur sejahtera. Setali tiga uang, Papua dengan tambang emasnya juga tidak mendongkrak ekonomi warganya sehingga bisa keluar dari garis kemiskinan.
Permasalahan di atas adalah contoh dari ketiadaan konsep distribusi yang baik. Kekayaan hanya berputar di tangan orang-orang minoritas sebagai mana ciri dari kapitalisme. Kaum papa daerah tersebut justru tidak mencicipi kenikmatan sumber daya alam mereka yang melimpah ruah. Prinsip kai lâ yakûnâ daûlatan bainal aghniyâ`i minkum terabaikan sehingga berimbas pada terseoknya ekonomi rakyat mayoritas.
Terlepas dari hal itu, sebab kemerosotan kesejahteraan saat ini juga mempunyai faktor lain, yaitu pembengkakan ekonomi di sisi moneter tanpa dibarengi peningkatan produk dan jasa. Bank-bank yang ada sekarang menciptakan uang melalui penggandaan deposit atau setoran nasabah sehingga menyebabkan peningkatan di sisi moneter. Peningkatan ini tidak akan pernah menjadi masalah jika diimbangi dengan peningkatan produk barang dan jasa, tapi nampaknya fakta berkata lain. Pertumbuhan moneter melalui penggandaan uang dengan cara tadi terlalu cepat dan jauh meninggalkan ekonomi riil. Artinya, uang lebih banyak dari pada barang. Efek yang paling kentara adalah kenaikan harga barang atau lebih sering kita kenal dengan inflasi.
Jika merujuk pada pendapat mantan ketua umum Asbisindo (Asosiasi Bank Syariah Indonesia), salah satu penyebab pembengkakan moneter tadi adalah kartu kredit atau sistem utang. Keinginan manusia –yang tidak akan pernah ada batasnya– praktis tercapai dengan sistem seperti ini. Padahal, pada hakikatnya kartu kredit tidak lebih dari sekedar transaksi utang yang harus dibayar, sebuah tawaran menarik sedangkan hakikatnya mencekik.
Utang individual yang secara tidak langsung membantu percepatan penggelembungan moneter tersebut menghasilkan inflasi. Pada tahap selanjutnya, inflasi yang merupakan hasil ketidakseimbangan antara perkembangan moneter dan riil ini melahirkan kemiskinan.
Kasb sebagai Pemanfaatan SDA
Misi utama diturunkannya manusia ke bumi tidak lain untuk menjadi khalifah. Memang sulit untuk mendefinisikan maksud dari istilah khalifah karena maknanya yang sangat luas. Yang jelas, diantara maksud dari kalimat tersebut bahwa manusia bertugas untuk menjaga keseimbangan di muka bumi. Baik itu menjadi pempimpin yang adil, mengusahakan kemakmuran atau tidak membuat kerusakan di bumi.
Dalam konteks membangun ekonomi ideal, istilah khalifah lebih pas jika dimaknai dengan sebuah usaha untuk memakmurkan bumi. Dalam bahasa yang lebih mudah, artinya memanfaatkan sumber daya yang sudah disediakan sebaik mungkin. Ekonomi ideal adalah yang berdasarkan pembangunan pada tatanan yang nyata, bukan sekedar fatamorgana atau bahkan fiktif. Hal itu didapatkan dari optimalisasi sumber daya yang sudah disediakan, yaitu memproduksi barang atau penyediaan jasa. Artinya, tidak ada jalan selain bergerak, berbuat, berusaha dan bekerja.
Muhammad bin Hasan as-Syaibani, salah satu guru Imam Syafii menjelaskan konsep bekerja tersebut dalam sebuah buku yang ia karang dengan judul al-Kasb. Dalam kitab tersebut, Syaibani mendifinisikan Kasb sebagai sebuah usaha untuk mendapatkan harta dengan berbagai macam cara yang halal. Pengertian kasb yang dipaparkan Syaibani itu lebih dikenal sebagai istilah produksi dalam lingkup ekonomi mikro. Inilah yang menjadikan karya Syaibani menjadi rujukan para ekonom sekarang. Bahkan, Adiwarman Azwar Karim sampai mengutip pernyataan Dr. Janidal bahwa Syaibani merupakan salah seorang perintis ilmu ekonomi dalam Islam. Aktivitas produksi inilah yang kemudian merupakan media bagi manusia sebagai khalifah untuk memanfaatkan sumber daya yang ada.
Mengenai pemanfaatan sumber daya, sebagian orang merasa pesimis karena pada suatu saat potensial bumi akan habis disebabkan aktivitas produksi tersebut. Kekhawatiran seperti ini memang beralasan, tapi tidak bisa dibenarkan. Sumber daya yang ada seharusnya bukan sekedar dieksploitasi atau digunakan semena-mena dengan tujuan mengeruk keuntungan dalam tempo yang paling singkat. Ketika membincang tentang sumber daya, seharusnya kita fokus pada optimalisasi, bukan sekedar efisiensi.
Sikap eksploitasi yang tidak dibarengi optimalisasi merupakan cerminan dari sikap materialis yang diboyong dari paham hedonis. Sikap materialis biasanya condong untuk mendorong orang bersikap konsumtif. Jika sikap itu sudah mendarah daging pada seseorang, maka dia akan sulit untuk membedakan antara kebutuhan (needs) dengan keinginan (wants). Watak seperti inilah yang pada akhirnya mengeksploitasi sumber daya bumi sehingga boros dan tidak optimal.
Di dalam al-Quran surah Ibrahim ayat 32-33, Allah telah menyebutkan bahwa bumi, langit dan segala yang ada di dalamnya diciptakan dan ditundukkan untuk kemakmuran manusia. Konsep penciptaan tersebutlah yang harus kita barengi dengan optimalisasi agar tercipta kemakmuran.
“Allah-lah yang Telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, Kemudian dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan dia Telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan dia Telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dan dia Telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan Telah menundukkan bagimu malam dan siang.” (QS. Ibrahim: 32-33)
Pada akhirnya, aktor utama sebagai penyelaras antara sumber daya yang ada dengan aktivitas produksi serta distribusi tidak lain adalah individual masing-masing. Aktivitas produksi yang menjadi tonggak utama perputaran roda ekonomi harus benar-benar dijaga keseimbangannya. Distribusi yang baik juga harus dijaga agar tercipta kesejahteraan bersama. Jika saja perputaran ekonomi riil tidak bisa mengimbangi pergerakan moneter yang begitu deras, ditambah lagi dengan tidak adanya keadilan dalam distribusi, maka problem kesejahteraan manusia tidak akan pernah terselesaikan. Surplus uang yang ada justru menimbulkan inflasi sehingga berdampak –untuk kesekian kalinya– pada penambahan pengangguran yang merupakan akar masalah dari kemiskinan. Perputaran uang yang stagnan di tangan orang-orang minoritas juga tidak akan pernah mengentas rakyat miskin dari kondisinya. Wallahua'lam.[]
0 comments:
Post a Comment