Pages

Monday, October 8, 2012

Meneropong Islamofobia dengan Bijak I

Oleh: Arief Assofi

Visualisasi Gerakan Islamofobia
لتبلون في أموالكم و أنفسكم و لتسمعن من الذين أوتوا الكتاب من قبلكم و من الذين أشركوا أذى كثيرا و إن تصبروا و تتقوا فإن ذالك من عزم الأمور (آل عمران 
186)
“Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati.Jika kamu bersabar dan bertakwa, makasesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.” (QS. Ali Imran: 186.)
Wajar, jika umat Islam di muka bumi ini sering menghadapi serangan kebencian dari Ahli Kitab dan orang-orang Musyrik. Film keji “Innocence of Muslims” yang baru saja muncul bukanlah yang pertama kali. Sebelumnya telah muncul berbagai macam penghinaan terhadap simbol-simbol sakralitas dari orang-orang non Muslim. Rasulullah SAW sendiri semasa hidupnya mengalami berbagai celaan dan hinaan dari orang-orang Musyrik dan Ahli Kitab. Mulai dari dicemooh, dituduh sebagai tukang sihir, diludahi, dilempari batu dan kotoran, bahkan berkali-kali terjadi usaha pembunuhan.
Tidak lama sebelum ini, pada tahun 2005, muncul kartun yang menghina Nabi SAW di Denmark. Sebelumnya lagi Buku Ayat-ayat Setan karya Salman Rusdi yang terbit tahun 1989, yang di dalamnya dengan sangat keji menghina Rasulullah SAW dan istri-istri beliau RA. Demikian pula, serangan susulan yang diluncurkan oleh majalah Charlie Hebdo di Perancis dalam bentuk kartun, beberapa hari setelah film Innocence of Moslems muncul.
Mufti Mesir, Prof. Dr. Ali Jum’ah, dalam acara “Mumkin” di stasiun televisi CBC Mesir menyampaikan, sejak tahun 1970 sampai sekarang, ada 1700 serangan kebencian terhadap Islam di London. Ini menunjukkan bahwa serangan ini terus-terusan terjadi dan tidak akan pernah berhenti.
Bukanlah suatu hal yang aneh jika penghinaan-penghinaan ini memicu kemarahan umat Islam. Bagaimana tidak? Ketika orang tua kita dihina pun kita akan marah. Apalagi jika yang dilecehkan adalah orang yang lebih kita cintai dari orang tua dan diri kita sendiri. Habib Ali al-Jufri, seorang dai Muslim yang cukup tenar di Timur Tengah, mengatakan bahwa kemarahan inilah bentuk rasa cinta kita.
Namun terjadi kesalahpahaman yang dianut oleh sebagian umat Islam dalam mempraktikkan kemarahan ini. Marah merupakan kondisi seseorang hampir kehilangan akalnya. Karena itulah, dalam hukum Islam, seorang hakim tidak diperbolehkan mengeluarkan keputusan dalam keadaan marah. Tetapi yang perlu diingat di sini, marah tidak melulu berhubungan dengan bentrok fisik atau perbuatan yang merusak. Lantas, bagaimana cara marah yang benar? Sebelum membicarakan sikap yang harus dikedepankan oleh seorang Muslim dalam menghadapi fenomena ini, perlu kiranya untuk melihat kembali permasalahan ini dengan kacamata obyektif, sehingga tindakan kita dalam merespon fenomena ini sesuai dengan ruh Islam.
Menurut Habib Ali, dai yang masih merupakan keturunan Rasulullah SAW ini, terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi kejadian ini. Habib Ali menyoroti faktor-faktor tersebut dari beberapa segi: filosofis, kultural, dan sosiologis. Dari segi filosofis, terdapat perbedaan perspektif dalam memandang kebebasan mengutarakan pendapat. Di mata Barat, kebebasan mengutarakan pendapat lepas tanpa batas, sehingga mereka dengan entengnya dapat mengutarakan pendapat yang menyentuh ranah-ranah sakral, tanpa memperdulikan norma-norma yang ada. Sedangkan Islam, membatasi kebebasan ini, meskipun pembatasan ini tidak menghalangi untuk kritis, selama tidak ada unsur penghinaan atau pelecehan.
Di sisi lain, juga terdapat perbedaan kultur. Ketika terjadi perbedaan kultur dalam ekosistem manusia, hanya ada 3 kemungkinan yang akan terjadi: Pertama, usaha penyatuan kultur; Kedua, saling menghormati perbedaan yang ada dan menjadikan persamaan dibeberapa sisi sebagai pemersatu; Ketiga, saling menyalahkan atau menyerang.
Ironisnya, selama ini implementasinya hanya pada dua, yaitu penyatuan kultur dan saling menyalahkan atau menyerang. Sejak lama, Barat selalu berusaha menyatukan kultur seluruh umat se-Dunia yang saat ini dikenal dengan hegemoninya. Ini merupakan hal yang mustahil, karena masing-masing golongan mempunyai ideologi yang berbeda. Mau tidak mau, untuk menyatukan kultur harus menyatukan ideologi terlebih dahulu. Ketika ideologi mereka tidak sejalan dengan Islam, maka yang terjadi adalah perang ideologi. Maka dari itu, tidak heran jika Barat seringkali menyalahkan tindakan-tindakan umat Islam dengan dalih hak asasi, manusiawi, demokrasi dan lain-lain.
Dari segi sosiologis, terdapat banyak permasalahan yang menumpuk, khususnya di tubuh umat Islam. Di tubuh Barat, terdapat perseteruan antara kaum atheis dan religius. Perseteruan ini sangat erat hubungannya dengan seruan para aktifis ateis untuk tidak mudah disetir oleh gereja. Menurut Habib Ali, inilah akar dari munculnya jargon kebebasan berpendapat di kemudian hari.
Habib Ali memberikan contoh kejadian penerbitan kartun yang menggambarkan sosok Rasulullah SAW di Denmark. Pada hari pertama, kartun tersebut hanya diterbitkan oleh satu surat kabar. Surat kabar lainnya menolak untuk hal itu. Namun setelah mereka mendengar adanya sekelompok orang yang berusaha untuk membunuh para pelukis kartun tersebut, dengan serentak 17 surat kabar keesokan harinya ikut andil dalam menerbitkan kartun itu. Sebab, hal ini bagi mereka bertentangan dengan jargon kebebasan berpendapat.
Di lain sisi, umat Islam sendiri sudah dibuat lelah dan penat dengan permasalahan ekonomi dan politik yang ada di negara mereka. Sehingga ketika emosi mereka disulut, maka semua orang yang sudah lama memendam emosinya, menemukan keadaan yang tepat untuk meluapkannya.
Konsistensi wujud serangan kebencian ini, menurut Dr. Ali Jum’ah mengisyaratkan adanya balon-balon percobaan yang diluncurkan oleh Barat. Dr. Ali Jum’ah menilai, nampaknya Barat ingin melihat kekuatan umat Islam. Ketika umat Islam merespon dengan melanggar norma-norma yang ada, ini jadi kesempatan mereka untuk menyalahkan dan menjatuhkan Islam. Tetapi untungnya, peristiwa tersebut tidak mengurangi jumlah populasi umat Islam, melainkan menambahnya. Sebab, kontroversi tersebut meletakkan Islam dalam sorotan dunia, sehingga mengundang rasa ingin tahu siapa saja, terutama mereka yang selama ini apatis, untuk mengenal Islam lebih dalam.

Baca setelahnya, Meneropong Islamofobia dengan Bijak II dan III

0 comments:

Post a Comment