Oleh: Rifqi Qowiyul Iman
Kata epistemologi berasal dari bahasa Yunani, epitisme (pengatahuan) dan logos (kata/pembicaraan/ilmu). Epistemologi berarti cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, karakter dan jenis pengetahuan. Jika ontologi mengkaji tentang wujud, hakikat, dan metafisika, maka epistemologi membandingkan kajian sistematik terhadap sifat, sumber, dan validitas pengetahuan. Menurut Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara, ada dua pertanyaan yang tidak bisa dilepaskan dari epistemologi, yaitu: (1) apa yang dapat diketahui dan (2) bagaimana mengetahuinya. Yang pertama mengacu pada teori dan isi ilmu, sedangkan yang kedua pada metodologi.
Dalam bukunya, Dr. Rajih Abdul Hamid al-Kurdy menggunakan istilah nadzariyatul ma’rifah yang didefinisikan sebagai sebuah kajian metodologis tentang ilmu dan masalah pengetahuan dengan membahas esensi ilmu pengetahuan, kapabilitas, tabiat, metode pencapaian, kualitas dan batasan-batasannya. Lebih lanjut, beliau menerangkan bahwa yang dimaksud dengan nazhariyyatul ma’rifah di sini adalah sebuah pembahasan mengenai permasalahan yang timbul dari hubungan antara dzat yang mengetahui (ad-dzat al-‘arifah) dan objek yang diketahui (al-maudhu’ al-ma’ruf), serta tingkat persamaan antara visualisasi pikiran (at-tashowur ad-dzihny) dan realita, serta lingkup sumbangsih perkembangannya terhadap pandangan hidup dan pengetahuan tentang akidah.
Pembahasan tentang epistemologi Islam sendiri bukanlah barang baru. Para ulama terdahulupun turut menyumbangkan pemikirannya dalam karya-karyanya, walaupun belum memiliki istilah khusus dalam pembahasannya. Misalnya al-Qadhi Abdul Jabar al-Mu’tazily (415 H) dalam kitabnya “al-Mughny fi Abwabi at-Tauhid” menyebutnya dengan istilah “an-nadzr wal ma’rifah”. Atau al-Baqilani (304 H) dalam kitabnya “at-Tauhid”, al-Baghdady (429 H) dalam kitabnya “Ushuluddin”, dll.
“Mengetahui tidaklah mustahil”, setidaklah inilah titik awal pembahasan epistemologi Islam, karena pengetahuan adalah hal yang selalu menjadi hasrat manusia pada umumnya. Baik itu pengetahuan tentang alam, dirinya sendiri bahkan zat tertinggi yaitu tuhannya Allah SWT. Namun sejarah telah mencatat munculnya badai pertentangan pendapat tentang eksistensi ilmu dan pengetahuan tersebut. Sehingga muncullah keraguan-keraguan yang menyebabkan kebenaran yang mutlak tersebut seakan abu-abu, baik di masa lalu dan masa kini.
Dalam sejarah pemikiran Yunani Kuno, lahir sebuah aliran yang disebut sebagai sofisme (as-sufistho’iyyin). Menurut kaum sofis, semua kebenaran relatif. Ukuran kebenaran itu manusia (man is the measure of all things). Di antara slogan mereka yang sering digaungkan adalah “Manusia berbeda-beda, jadi kebenaran pun tergantung manusianya. Menurut anda mungkin benar, tetapi menurut saya tidak”.
Sebut saja Giorgias, seorang sofis yang menyatakan bahwa tidak ada yang ada (tidak ada realitas), jikapun ada maka hal tersebut mustahil untuk diketahui. Dan bahkan jika realitas itu dapat diketahui, maka pengetahuan tersebut tidak dapat ditransformasikan kepada yang lain. Hal tersebut merupakan wujud pengingkaran terhadap korelasi antara manusia yang mengetahui dan objek yang diketahuinya. Dan karena keraguannya tersebut, aliran ini mengingkari wujud Tuhan. Seperti yang dikemukakan oleh Protagoras, ia berkata “Sedangkan Tuhan, aku tak bisa menetapkan apakah mereka ada ataupun tidak, dan aku pun tak bisa menentukan bentuk-bentuknya,..” Hal tersebut merupakan buah dari kaum sofis yang meyakini bahwa segala sesuatu itu tidak dapat di ketahui jika tidak berwujud seperti yang diungkapkan oleh Giorgias.
Dalam bukunya, Dr. Rajih Abdul Hamid Al-Kurdi mengemukakan pembagian kaum sofis tersebut oleh para ulama Muslim menjadi tiga golongan, yaitu ‘Inadiyyah, Laadriyyah (agnostisisme), dan ‘Indiyyah (subjektifisme). Golongan pertama yaitu ‘Inadiyyah adalah mereka yang menafikkan realitas segala sesuatu dan menganggapnya sebagai fantasi dan khayalan. Golongan kedua yaitu Laadriyyah atau agnostisisme adalah mereka yang menyatakan ketidakmampuan diri untuk memperoleh pengetahuan. Adapun kelompok ketiga yaitu ‘Indiyyah atau subjektifisme adalah mereka yang merujuk kepada sebuah relativisme subjek atas penyerapan atau pemahaman terhadap sebuah objek. Kelompok-kelompok tersebut secara tidak sadar sebenarnya telah mengajak manusia kepada “penyakit” intelektual bahkan “bunuh diri” intelektual.
Adapun di era modern ini, kelompok sofis tersebut lahir kembali dengan nama skeptisisme. Seseorang yang skeptis akan senantiasa meragukan kebenaran dan membenarkan keraguan. Baginya, semua pendapat tentang semua perkara (termasuk yang qath’i dalam agama) harus selalu terbuka untuk diperdebatkan. Pada tahap ekstrem dia akan mengklaim bahwa kebenaran hanya bisa dicari dan didekati, tetapi mustahil ditemukan. Akibatnya, pengetahuan akan diragukan, akidah keagamaan dan kaidah agama dicurigai dan munculnya krisis kebenaran yang membuat manusia kehilangan pegangan.
Islam tentu saja menolak dengan tegas segala macam bentuk sofisme dan reinkarnasinya. Secara espilit Islam menyatakan bahwasanya ilmu dan pengetahuan adalah sesuatu yang mungkin diperoleh manusia. Mengingat ayat yang pertama kali di turunkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah :
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qolam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-Alaq: 1-5)
Jelas dalam ayat tersebut bahwa Dzat yang Maha Pencipta adalah Dia yang mengajarkan ilmu. Dan Dialah Allah SWT sumber segala ilmu pengetahuan. Sebagaimana Allah SWT menurunkan wahyu yang pertama kepada utusan-Nya dengan perintah membaca. Sesungguhnya Dia pun telah bersumpah dalam firmannya:
“Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis. Berkat nikmat Tuhanmu kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila. Dan Sesungguhnya bagi kamu benar-benar pahala yang besar yang tidak putus-putusnya.” (QS. Al-Qolam: 1-3)
Korelasinya sudah jelas, antara huruf “Nun” dengan sifatnya sebagai salah satu huruf abjad dan qolam serta tulisan. Dan Allah SWT tidak akan bersumpah kecuali dengan perkara-perkara yang mulia. Maka apabila Allah SWT bersumpah dengan qolam dan apa yang digoreskannya. Sesungguhnya hal tersebut merupakan wujud akan pentingnya qolam dan tulisan dalam menyebarkan ilmu dan pengetahuan yang akan menciptakan kemanfaatan dan kemajuan bagi umat manusia.
Bahkan secara lugas al-Quran menceritakan tentang awal mula penciptaan Nabi Adam AS serta peristiwa terjadinya transformasi ilmu dari Allah SWT sebagai sumber pengetahuan kepada Nabi Adam AS sebagai manusia pertama. Di dalam firman Allah SWT
“Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!" (QS. Al-Baqarah: 31)
Maka jelaslah bahwa manusia itu mampu mendapatkan ilmu pengetahuan dan Allah SWT sebagai sumber pengetahuan yang utama. Tentunya Allah SWT pun telah menganugerahkan kepada manusia akal dan panca indera yang ikut berperan penting dalam penyerapan ilmu dan pengetahuan yang diturunkan oleh Allah SWT kepadanya.
Hal ini sekaligus mematahkan argumentasi kaum sofis yang menolak akal dan panca indera sebagai alat untuk mendapatkan pengetahuan. Maka kedudukan Islam sudah jelas dalam mengamini kemungkinan manusia untuk memperoleh ilmu pengetahuan.[]
Kata epistemologi berasal dari bahasa Yunani, epitisme (pengatahuan) dan logos (kata/pembicaraan/ilmu). Epistemologi berarti cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, karakter dan jenis pengetahuan. Jika ontologi mengkaji tentang wujud, hakikat, dan metafisika, maka epistemologi membandingkan kajian sistematik terhadap sifat, sumber, dan validitas pengetahuan. Menurut Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara, ada dua pertanyaan yang tidak bisa dilepaskan dari epistemologi, yaitu: (1) apa yang dapat diketahui dan (2) bagaimana mengetahuinya. Yang pertama mengacu pada teori dan isi ilmu, sedangkan yang kedua pada metodologi.
Dalam bukunya, Dr. Rajih Abdul Hamid al-Kurdy menggunakan istilah nadzariyatul ma’rifah yang didefinisikan sebagai sebuah kajian metodologis tentang ilmu dan masalah pengetahuan dengan membahas esensi ilmu pengetahuan, kapabilitas, tabiat, metode pencapaian, kualitas dan batasan-batasannya. Lebih lanjut, beliau menerangkan bahwa yang dimaksud dengan nazhariyyatul ma’rifah di sini adalah sebuah pembahasan mengenai permasalahan yang timbul dari hubungan antara dzat yang mengetahui (ad-dzat al-‘arifah) dan objek yang diketahui (al-maudhu’ al-ma’ruf), serta tingkat persamaan antara visualisasi pikiran (at-tashowur ad-dzihny) dan realita, serta lingkup sumbangsih perkembangannya terhadap pandangan hidup dan pengetahuan tentang akidah.
Pembahasan tentang epistemologi Islam sendiri bukanlah barang baru. Para ulama terdahulupun turut menyumbangkan pemikirannya dalam karya-karyanya, walaupun belum memiliki istilah khusus dalam pembahasannya. Misalnya al-Qadhi Abdul Jabar al-Mu’tazily (415 H) dalam kitabnya “al-Mughny fi Abwabi at-Tauhid” menyebutnya dengan istilah “an-nadzr wal ma’rifah”. Atau al-Baqilani (304 H) dalam kitabnya “at-Tauhid”, al-Baghdady (429 H) dalam kitabnya “Ushuluddin”, dll.
“Mengetahui tidaklah mustahil”, setidaklah inilah titik awal pembahasan epistemologi Islam, karena pengetahuan adalah hal yang selalu menjadi hasrat manusia pada umumnya. Baik itu pengetahuan tentang alam, dirinya sendiri bahkan zat tertinggi yaitu tuhannya Allah SWT. Namun sejarah telah mencatat munculnya badai pertentangan pendapat tentang eksistensi ilmu dan pengetahuan tersebut. Sehingga muncullah keraguan-keraguan yang menyebabkan kebenaran yang mutlak tersebut seakan abu-abu, baik di masa lalu dan masa kini.
Dalam sejarah pemikiran Yunani Kuno, lahir sebuah aliran yang disebut sebagai sofisme (as-sufistho’iyyin). Menurut kaum sofis, semua kebenaran relatif. Ukuran kebenaran itu manusia (man is the measure of all things). Di antara slogan mereka yang sering digaungkan adalah “Manusia berbeda-beda, jadi kebenaran pun tergantung manusianya. Menurut anda mungkin benar, tetapi menurut saya tidak”.
Sebut saja Giorgias, seorang sofis yang menyatakan bahwa tidak ada yang ada (tidak ada realitas), jikapun ada maka hal tersebut mustahil untuk diketahui. Dan bahkan jika realitas itu dapat diketahui, maka pengetahuan tersebut tidak dapat ditransformasikan kepada yang lain. Hal tersebut merupakan wujud pengingkaran terhadap korelasi antara manusia yang mengetahui dan objek yang diketahuinya. Dan karena keraguannya tersebut, aliran ini mengingkari wujud Tuhan. Seperti yang dikemukakan oleh Protagoras, ia berkata “Sedangkan Tuhan, aku tak bisa menetapkan apakah mereka ada ataupun tidak, dan aku pun tak bisa menentukan bentuk-bentuknya,..” Hal tersebut merupakan buah dari kaum sofis yang meyakini bahwa segala sesuatu itu tidak dapat di ketahui jika tidak berwujud seperti yang diungkapkan oleh Giorgias.
Dalam bukunya, Dr. Rajih Abdul Hamid Al-Kurdi mengemukakan pembagian kaum sofis tersebut oleh para ulama Muslim menjadi tiga golongan, yaitu ‘Inadiyyah, Laadriyyah (agnostisisme), dan ‘Indiyyah (subjektifisme). Golongan pertama yaitu ‘Inadiyyah adalah mereka yang menafikkan realitas segala sesuatu dan menganggapnya sebagai fantasi dan khayalan. Golongan kedua yaitu Laadriyyah atau agnostisisme adalah mereka yang menyatakan ketidakmampuan diri untuk memperoleh pengetahuan. Adapun kelompok ketiga yaitu ‘Indiyyah atau subjektifisme adalah mereka yang merujuk kepada sebuah relativisme subjek atas penyerapan atau pemahaman terhadap sebuah objek. Kelompok-kelompok tersebut secara tidak sadar sebenarnya telah mengajak manusia kepada “penyakit” intelektual bahkan “bunuh diri” intelektual.
Adapun di era modern ini, kelompok sofis tersebut lahir kembali dengan nama skeptisisme. Seseorang yang skeptis akan senantiasa meragukan kebenaran dan membenarkan keraguan. Baginya, semua pendapat tentang semua perkara (termasuk yang qath’i dalam agama) harus selalu terbuka untuk diperdebatkan. Pada tahap ekstrem dia akan mengklaim bahwa kebenaran hanya bisa dicari dan didekati, tetapi mustahil ditemukan. Akibatnya, pengetahuan akan diragukan, akidah keagamaan dan kaidah agama dicurigai dan munculnya krisis kebenaran yang membuat manusia kehilangan pegangan.
Islam tentu saja menolak dengan tegas segala macam bentuk sofisme dan reinkarnasinya. Secara espilit Islam menyatakan bahwasanya ilmu dan pengetahuan adalah sesuatu yang mungkin diperoleh manusia. Mengingat ayat yang pertama kali di turunkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah :
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qolam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-Alaq: 1-5)
Jelas dalam ayat tersebut bahwa Dzat yang Maha Pencipta adalah Dia yang mengajarkan ilmu. Dan Dialah Allah SWT sumber segala ilmu pengetahuan. Sebagaimana Allah SWT menurunkan wahyu yang pertama kepada utusan-Nya dengan perintah membaca. Sesungguhnya Dia pun telah bersumpah dalam firmannya:
“Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis. Berkat nikmat Tuhanmu kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila. Dan Sesungguhnya bagi kamu benar-benar pahala yang besar yang tidak putus-putusnya.” (QS. Al-Qolam: 1-3)
Korelasinya sudah jelas, antara huruf “Nun” dengan sifatnya sebagai salah satu huruf abjad dan qolam serta tulisan. Dan Allah SWT tidak akan bersumpah kecuali dengan perkara-perkara yang mulia. Maka apabila Allah SWT bersumpah dengan qolam dan apa yang digoreskannya. Sesungguhnya hal tersebut merupakan wujud akan pentingnya qolam dan tulisan dalam menyebarkan ilmu dan pengetahuan yang akan menciptakan kemanfaatan dan kemajuan bagi umat manusia.
Bahkan secara lugas al-Quran menceritakan tentang awal mula penciptaan Nabi Adam AS serta peristiwa terjadinya transformasi ilmu dari Allah SWT sebagai sumber pengetahuan kepada Nabi Adam AS sebagai manusia pertama. Di dalam firman Allah SWT
“Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!" (QS. Al-Baqarah: 31)
Maka jelaslah bahwa manusia itu mampu mendapatkan ilmu pengetahuan dan Allah SWT sebagai sumber pengetahuan yang utama. Tentunya Allah SWT pun telah menganugerahkan kepada manusia akal dan panca indera yang ikut berperan penting dalam penyerapan ilmu dan pengetahuan yang diturunkan oleh Allah SWT kepadanya.
Hal ini sekaligus mematahkan argumentasi kaum sofis yang menolak akal dan panca indera sebagai alat untuk mendapatkan pengetahuan. Maka kedudukan Islam sudah jelas dalam mengamini kemungkinan manusia untuk memperoleh ilmu pengetahuan.[]
0 comments:
Post a Comment