Oleh: Rifqi Qowiyul Iman
Peradaban Barat membedakan pengetahuan ke dalam dua istilah teknis, yaitu science dan knowledge. Istilah yang pertama diperuntukkan bagi bidang-bidang ilmu fisik atau empiris, sedangkan istilah kedua diperuntukkan bagi bidang-bidang ilmu nonfisik seperti konsep mental dan metafisika. Istilah yang pertama diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan ilmu pengetahuan, sementara istilah kedua diterjemahkan dengan pengetahuan saja. Dengan kata lain, hanya ilmu yang sifatnya fisik dan empiris saja yang bisa dikategorikan ilmu, sementara sisanya, seperti ilmu agama, tidak bisa dikategorikan ilmu (ilmiah).
Terjadinya dikotomi ilmu di atas semakin menunjukkan bahwa paham sekuler adalah dalang di balik terjadinya pergeseran makna ilmu pengetahuan. Karena wahyu seakan tidak lagi mengambil peranan sakral dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan.
Adapun di dalam Islam, tidak pernah dibedakan antara ilmu fisika dan metafisika. Dengan kata lain, tidak akan ditemukan dalam khazanah pemikiran Islam pergeseran definisi ilmu seperti yang terjadi di dunia Barat. Dari sejak awal dan sampai sekarang, ilmu dalam Islam mencakup bidang-bidang fisik juga bidang-bidang nonfisik.
Istilah yang digunakannya pun dari sejak awal tidak berubah, yakni ‘ilm. Menurut Wan Mohd Nor Wan Daud, penggunaan istilah ‘ilm itu sendiri, sangat terpengaruh oleh pandangan dunia Islam (Islamic worldview).
Dalam al-Quran, Allah SWT mengistilahkan ilmu dengan kata ‘ilm, ma’rifah, bashirat, ra’y, dzhon, yaqin, tadkhirot, lubb, syu’ur, naba’, burhan, diroyat, haq, dan tashowur. Namun kali ini penulis hanya akan menguraikan dua kata, yaitu ‘ilm dan ma’rifah demi mengkerucut pokok pembahasan. Selain itu juga mengingat dua kata inilah yang kerap digunakan oleh para ulama dalam mendeskripsikan ilmu dan pengetahuan.
Secara bahasa, Zamakhsyari mengartikan kata al-‘ilm dengan asy-syu’ur (kesadaran). Sedangkan kata al-ma’rifah diartikan sebagai al-mujazah (upah). Akan tetapi, berkaitan dengan pertanyaan apa itu pengetahuan, menurut Wan Daud, sekarang ini umat Islam menyadari bahwa mendefinisikan ilmu (pengetahuan) secara hadd (secara pasti dengan batasan-batasannya) adalah mustahil. Dan sepertinya, memang sulit untuk bagi umat Islam untuk mendefinisikan ilmu secara hadd.
Seperti yang diungkapkan oleh Prof. Naquib Al-Attas yang dalam hal ini menjelaskan, bahwa ilmu merupakan sesuatu yang tidak terbatas (limitless) dan karenanya tidak memiliki ciri-ciri spesifik dan perbedaan khusus yang bisa didefinisikan. Lagi pula, Al-Attas menjelaskan, pemahaman mengenai istilah ‘ilm selalu diukur oleh pengetahuan seseorang mengenai ilmu dan oleh sesuatu yang jelas baginya. Ketika medan ilmu pada faktanya sangat luas, maka pengetahuan seseorang terhadapnya sangat terbatas. Oleh karena itu pasti pemahaman ilmu dari masing-masing orang akan terbatas.
Ketika menyadari bahwa mendefinisikan ilmu secara hadd adalah mustahil, maka Al-Attas hanya mengajukan definisi deskriptif (rasm). Dengan premis bahwa ilmu itu datang dari Allah SWT dan diperoleh oleh jiwa yang kreatif, ia membagi pencapaian dan pendefinisian ilmu ke dalam dua bagian. Pertama, sebagai sesuatu yang berasal dari Allah SWT, bisa dikatakan bahwa ilmu itu adalah datangnya (hushûl) makna sesuatu atau objek ilmu ke dalam jiwa pencari ilmu. Kedua, sebagai sesuatu yang diterima oleh jiwa yang aktif dan kreatif, ilmu bisa diartikan sebagai datangnya jiwa (wushûl) pada makna sesuatu atau objek ilmu.
Dr. Rajih ‘Abd al-Hamid al-Kurdi, adalah tokoh lainnya yang menyatakan hal serupa. Ia menguraikan definisi ilmu menurut para pemikir Mu’tazilah, filosof Muslim, dan para ulama Ahlu Sunah. Hasilnya, ia menyimpulkan bahwa ilmu cukup jelas untuk tidak didefinisikan. Karena semua definisi yang diajukan oleh masing-masing pakar berbeda-beda dan hanya terfokus pada beberapa aspek yang menjadi titik perhatiannya saja. Sehingga bisa dipastikan tidak ada definisi ilmu yang hadd.
Walaupun sulit untuk didefinisikan, namun pada intinya, ilmu dalam Islam mencakup dua aspek. Pertama, sampainya ilmu dari Allah ke dalam jiwa manusia. Dan kedua, sampainya jiwa manusia terhadap objek ilmu melalui penelitian dan kajian. Hal ini sesuai dengan pernyataan Allah SWT dalam surat al-‘Alaq ayat: 1-5, atau wahyu yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Klasifikasi pengetahuan
Konsekuensi prinsip Islam dalam hal sumber pengetahuan adalah, dikotomi ilmu menjadi suatu hal yang mustahil terjadi dalam kajian epistemologi Islam. Yang logis-empiris dikategorikan ilmiah, sedangkan yang berdasarkan pada wahyu tidak dikategorikan ilmiah. Semua jenis pengetahuan, apakah itu yang logis-empiris, apalagi yang sifatnya wahyu (revelational), diakui sebagai sesuatu yang ilmiah. Dalam khazanah pemikiran Islam yang dikenal hanya klasifikasi (pembedaan) atau diferensiasi (perbedaan), bukan dikotomi seperti yang berlaku di Barat.
Al-Baghdadi membagi pengetahuan manusia menjadi dua, dhoruri dan muktasab. Ilmu dhoruri adalah pengetahuan tentang sesuatu yang tidak membutuhkan kepada pemikiran dan pandangan. Sedangkan muktasab adalah pengetahuan yang diperoleh melalui proses pembahasan dan pemikiran. Dapat disimpulkan bahwa perbedaan di antara keduanya terletak dari bagaimana proses yang dilalui untuk mendapatkannya.
Ilmu dhoruri menurut Al-Baghdadi terbagi menjadi dua, ilmu badihi dan hissi. Sedangkan ilmu muktasab (nazhori) juga terbagi menjadi dua, ilmu aqli dan syar’i yang mana keduanya diperoleh melalui sebuah proses pembahasan dan pemikiran.
Sementara itu al-Ghazali di dalam kitabnya Ihya Ulumudin mengklasifikasikan ilmu dalam dua kelompok yaitu: ilmu fardu a’in dan ilmu fardu kifayah. Kemudian beliau menyatakan pengertian ilmu-ilmu tersebut sebagai berikut:
“Ilmu fardu a’in adalah Ilmu tentang cara amal perbuatan yang wajib. Maka orang yang mengetahui ilmu yang wajib dan waktu wajibnya, berartilah dia sudah mengetahui ilmu fardu a’in. Ilmu fardu kifayah adalah tiap-tiap ilmu yang tidak dapat dikesampingkan dalam menegakan urusan duniawi.”
Al-Attas mengklasifikaskan ilmu menjadi dua macam, yakni ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofis. Yang termasuk ilmu-ilmu agama misalnya: al-Quran (pembacaan dan penafsirannya); al-Sunnah (kehidupan Nabi, sejarah dan pesan para rasul sebelumnya, hadits dan riwayat-riwayat otoritasnya); al-Syari’ah (undang-undang dan hukum, prinsip-prinsip dan praktek-praktek Islam; Islam, iman dan ihsan); teologi (Tuhan, esensi-Nya, sifat-sifat dan nama-nama-Nya, serta tindakan-tindakan-Nya); tasawuf (Pikologi, kosmologi, dan antologi); dan ilmu bahasa atau linguistik (bahasa Arab, tata bahasa, leksikografi dan kesusatraan). Sedangkan yang termasuk ilmu rasional dan sejenisnya adalah ilmu-ilmu kemanusiaan, ilmu-ilmu alam, dan ilmu-ilmu terapan.
Berkaitan dengan pembagian ilmu dalam Islam seperti di atas, Oliver Leaman menjelaskan, umat Islam membagi ilmu ke dalam model seperti itu disebabkan al-Quran menjelaskan bahwa bidang pengetahuan itu ada dua; yang tampak dan yang gaib. Yang tampak dapat diketahui oleh manusia dan juga merupakan objek kajian sains, sedangkan alam gaib, meskipun dapat diketahui dengan cara yang berbeda, merupakan wilayah wahyu. Hal ini dapat dimengerti mengingat tidak adanya bukti fisik yang bisa diterima ihwal alam gaib.
Oliver Leaman menjelaskan lebih lanjut, berdasar pada acuan al-Quran inilah maka kemudian ilmu pengetahuan dalam Islam ada dua jenis: ‘ilm yang mengungkap ‘âlam syahâdah atau alam yang sudah diakrabi dan terpapar dalam sains alam; dan ma’rifah yang mendedahkan ‘âlam al-ghâ`ib atau alam yang tersembunyi dan karenanya lebih dari sekadar pengetahuan proposisional (propositional knowledge). Cara memperoleh pengetahuan jenis kedua ini adalah melalui wahyu.
Problematika dan Solusi
Di negari Muslim seperti Indonesia, walaupun tidak sampai meragukan Tuhan, umumnya ilmuwan Muslim kurang menguasai ilmu agama. Sekularisasi telah menyebabkan timbulnya kepribadian ganda (split personality) dalam diri ilmuwan tersebut. Hal itu karena visi sekular selalu memandang realitas secara dikotomis. Sains adalah sains, sedangkan agama adalah agama. Keduanya tidak berkaitan, sehingga wahyu tidak ada hubungannya dengan sains yang rasional dan empiris.
Karenanya mengkaji ulang epistemologi Islam (nazhariyatul ma’rifah) adalah salah satu solusi yang tepat guna merekonstruksi pandangan manusia, umat Islam khususnya. Terutama dalam rangka Islamisasi sains dan merekombinasikan fisika dengan metafisika. Karena ketika agama diukur oleh akal dan indera (induktif), maka yang lahir adalah sofisme modern. Sehingga adanya Ahmadiyah dan aliran-aliran sesat tidak dipahami sebagai sebuah “kesalahan”, melainkan sebuah pembenaran bahwa Islam itu warna-warni. Maka, sudah seyogyanya penyakit “kangker epistemologi” ini dibasmi, salah satunya dengan vaksinisasi paradigma manusia manusia itu sendiri dalam pandangannya terhadap ilmu, disusul dengan imunisasi pengetahuan dan melindunginya dari pengaruh westernisasi yang mengusung sekulerisme hingga tersisihnya wahyu yang merupakan asas utama sebuah epistemologi. Wallahu a’lam.[]
Peradaban Barat membedakan pengetahuan ke dalam dua istilah teknis, yaitu science dan knowledge. Istilah yang pertama diperuntukkan bagi bidang-bidang ilmu fisik atau empiris, sedangkan istilah kedua diperuntukkan bagi bidang-bidang ilmu nonfisik seperti konsep mental dan metafisika. Istilah yang pertama diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan ilmu pengetahuan, sementara istilah kedua diterjemahkan dengan pengetahuan saja. Dengan kata lain, hanya ilmu yang sifatnya fisik dan empiris saja yang bisa dikategorikan ilmu, sementara sisanya, seperti ilmu agama, tidak bisa dikategorikan ilmu (ilmiah).
Terjadinya dikotomi ilmu di atas semakin menunjukkan bahwa paham sekuler adalah dalang di balik terjadinya pergeseran makna ilmu pengetahuan. Karena wahyu seakan tidak lagi mengambil peranan sakral dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan.
Adapun di dalam Islam, tidak pernah dibedakan antara ilmu fisika dan metafisika. Dengan kata lain, tidak akan ditemukan dalam khazanah pemikiran Islam pergeseran definisi ilmu seperti yang terjadi di dunia Barat. Dari sejak awal dan sampai sekarang, ilmu dalam Islam mencakup bidang-bidang fisik juga bidang-bidang nonfisik.
Istilah yang digunakannya pun dari sejak awal tidak berubah, yakni ‘ilm. Menurut Wan Mohd Nor Wan Daud, penggunaan istilah ‘ilm itu sendiri, sangat terpengaruh oleh pandangan dunia Islam (Islamic worldview).
Dalam al-Quran, Allah SWT mengistilahkan ilmu dengan kata ‘ilm, ma’rifah, bashirat, ra’y, dzhon, yaqin, tadkhirot, lubb, syu’ur, naba’, burhan, diroyat, haq, dan tashowur. Namun kali ini penulis hanya akan menguraikan dua kata, yaitu ‘ilm dan ma’rifah demi mengkerucut pokok pembahasan. Selain itu juga mengingat dua kata inilah yang kerap digunakan oleh para ulama dalam mendeskripsikan ilmu dan pengetahuan.
Secara bahasa, Zamakhsyari mengartikan kata al-‘ilm dengan asy-syu’ur (kesadaran). Sedangkan kata al-ma’rifah diartikan sebagai al-mujazah (upah). Akan tetapi, berkaitan dengan pertanyaan apa itu pengetahuan, menurut Wan Daud, sekarang ini umat Islam menyadari bahwa mendefinisikan ilmu (pengetahuan) secara hadd (secara pasti dengan batasan-batasannya) adalah mustahil. Dan sepertinya, memang sulit untuk bagi umat Islam untuk mendefinisikan ilmu secara hadd.
Seperti yang diungkapkan oleh Prof. Naquib Al-Attas yang dalam hal ini menjelaskan, bahwa ilmu merupakan sesuatu yang tidak terbatas (limitless) dan karenanya tidak memiliki ciri-ciri spesifik dan perbedaan khusus yang bisa didefinisikan. Lagi pula, Al-Attas menjelaskan, pemahaman mengenai istilah ‘ilm selalu diukur oleh pengetahuan seseorang mengenai ilmu dan oleh sesuatu yang jelas baginya. Ketika medan ilmu pada faktanya sangat luas, maka pengetahuan seseorang terhadapnya sangat terbatas. Oleh karena itu pasti pemahaman ilmu dari masing-masing orang akan terbatas.
Ketika menyadari bahwa mendefinisikan ilmu secara hadd adalah mustahil, maka Al-Attas hanya mengajukan definisi deskriptif (rasm). Dengan premis bahwa ilmu itu datang dari Allah SWT dan diperoleh oleh jiwa yang kreatif, ia membagi pencapaian dan pendefinisian ilmu ke dalam dua bagian. Pertama, sebagai sesuatu yang berasal dari Allah SWT, bisa dikatakan bahwa ilmu itu adalah datangnya (hushûl) makna sesuatu atau objek ilmu ke dalam jiwa pencari ilmu. Kedua, sebagai sesuatu yang diterima oleh jiwa yang aktif dan kreatif, ilmu bisa diartikan sebagai datangnya jiwa (wushûl) pada makna sesuatu atau objek ilmu.
Dr. Rajih ‘Abd al-Hamid al-Kurdi, adalah tokoh lainnya yang menyatakan hal serupa. Ia menguraikan definisi ilmu menurut para pemikir Mu’tazilah, filosof Muslim, dan para ulama Ahlu Sunah. Hasilnya, ia menyimpulkan bahwa ilmu cukup jelas untuk tidak didefinisikan. Karena semua definisi yang diajukan oleh masing-masing pakar berbeda-beda dan hanya terfokus pada beberapa aspek yang menjadi titik perhatiannya saja. Sehingga bisa dipastikan tidak ada definisi ilmu yang hadd.
Walaupun sulit untuk didefinisikan, namun pada intinya, ilmu dalam Islam mencakup dua aspek. Pertama, sampainya ilmu dari Allah ke dalam jiwa manusia. Dan kedua, sampainya jiwa manusia terhadap objek ilmu melalui penelitian dan kajian. Hal ini sesuai dengan pernyataan Allah SWT dalam surat al-‘Alaq ayat: 1-5, atau wahyu yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Klasifikasi pengetahuan
Konsekuensi prinsip Islam dalam hal sumber pengetahuan adalah, dikotomi ilmu menjadi suatu hal yang mustahil terjadi dalam kajian epistemologi Islam. Yang logis-empiris dikategorikan ilmiah, sedangkan yang berdasarkan pada wahyu tidak dikategorikan ilmiah. Semua jenis pengetahuan, apakah itu yang logis-empiris, apalagi yang sifatnya wahyu (revelational), diakui sebagai sesuatu yang ilmiah. Dalam khazanah pemikiran Islam yang dikenal hanya klasifikasi (pembedaan) atau diferensiasi (perbedaan), bukan dikotomi seperti yang berlaku di Barat.
Al-Baghdadi membagi pengetahuan manusia menjadi dua, dhoruri dan muktasab. Ilmu dhoruri adalah pengetahuan tentang sesuatu yang tidak membutuhkan kepada pemikiran dan pandangan. Sedangkan muktasab adalah pengetahuan yang diperoleh melalui proses pembahasan dan pemikiran. Dapat disimpulkan bahwa perbedaan di antara keduanya terletak dari bagaimana proses yang dilalui untuk mendapatkannya.
Ilmu dhoruri menurut Al-Baghdadi terbagi menjadi dua, ilmu badihi dan hissi. Sedangkan ilmu muktasab (nazhori) juga terbagi menjadi dua, ilmu aqli dan syar’i yang mana keduanya diperoleh melalui sebuah proses pembahasan dan pemikiran.
Sementara itu al-Ghazali di dalam kitabnya Ihya Ulumudin mengklasifikasikan ilmu dalam dua kelompok yaitu: ilmu fardu a’in dan ilmu fardu kifayah. Kemudian beliau menyatakan pengertian ilmu-ilmu tersebut sebagai berikut:
“Ilmu fardu a’in adalah Ilmu tentang cara amal perbuatan yang wajib. Maka orang yang mengetahui ilmu yang wajib dan waktu wajibnya, berartilah dia sudah mengetahui ilmu fardu a’in. Ilmu fardu kifayah adalah tiap-tiap ilmu yang tidak dapat dikesampingkan dalam menegakan urusan duniawi.”
Al-Attas mengklasifikaskan ilmu menjadi dua macam, yakni ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofis. Yang termasuk ilmu-ilmu agama misalnya: al-Quran (pembacaan dan penafsirannya); al-Sunnah (kehidupan Nabi, sejarah dan pesan para rasul sebelumnya, hadits dan riwayat-riwayat otoritasnya); al-Syari’ah (undang-undang dan hukum, prinsip-prinsip dan praktek-praktek Islam; Islam, iman dan ihsan); teologi (Tuhan, esensi-Nya, sifat-sifat dan nama-nama-Nya, serta tindakan-tindakan-Nya); tasawuf (Pikologi, kosmologi, dan antologi); dan ilmu bahasa atau linguistik (bahasa Arab, tata bahasa, leksikografi dan kesusatraan). Sedangkan yang termasuk ilmu rasional dan sejenisnya adalah ilmu-ilmu kemanusiaan, ilmu-ilmu alam, dan ilmu-ilmu terapan.
Berkaitan dengan pembagian ilmu dalam Islam seperti di atas, Oliver Leaman menjelaskan, umat Islam membagi ilmu ke dalam model seperti itu disebabkan al-Quran menjelaskan bahwa bidang pengetahuan itu ada dua; yang tampak dan yang gaib. Yang tampak dapat diketahui oleh manusia dan juga merupakan objek kajian sains, sedangkan alam gaib, meskipun dapat diketahui dengan cara yang berbeda, merupakan wilayah wahyu. Hal ini dapat dimengerti mengingat tidak adanya bukti fisik yang bisa diterima ihwal alam gaib.
Oliver Leaman menjelaskan lebih lanjut, berdasar pada acuan al-Quran inilah maka kemudian ilmu pengetahuan dalam Islam ada dua jenis: ‘ilm yang mengungkap ‘âlam syahâdah atau alam yang sudah diakrabi dan terpapar dalam sains alam; dan ma’rifah yang mendedahkan ‘âlam al-ghâ`ib atau alam yang tersembunyi dan karenanya lebih dari sekadar pengetahuan proposisional (propositional knowledge). Cara memperoleh pengetahuan jenis kedua ini adalah melalui wahyu.
Problematika dan Solusi
Di negari Muslim seperti Indonesia, walaupun tidak sampai meragukan Tuhan, umumnya ilmuwan Muslim kurang menguasai ilmu agama. Sekularisasi telah menyebabkan timbulnya kepribadian ganda (split personality) dalam diri ilmuwan tersebut. Hal itu karena visi sekular selalu memandang realitas secara dikotomis. Sains adalah sains, sedangkan agama adalah agama. Keduanya tidak berkaitan, sehingga wahyu tidak ada hubungannya dengan sains yang rasional dan empiris.
Karenanya mengkaji ulang epistemologi Islam (nazhariyatul ma’rifah) adalah salah satu solusi yang tepat guna merekonstruksi pandangan manusia, umat Islam khususnya. Terutama dalam rangka Islamisasi sains dan merekombinasikan fisika dengan metafisika. Karena ketika agama diukur oleh akal dan indera (induktif), maka yang lahir adalah sofisme modern. Sehingga adanya Ahmadiyah dan aliran-aliran sesat tidak dipahami sebagai sebuah “kesalahan”, melainkan sebuah pembenaran bahwa Islam itu warna-warni. Maka, sudah seyogyanya penyakit “kangker epistemologi” ini dibasmi, salah satunya dengan vaksinisasi paradigma manusia manusia itu sendiri dalam pandangannya terhadap ilmu, disusul dengan imunisasi pengetahuan dan melindunginya dari pengaruh westernisasi yang mengusung sekulerisme hingga tersisihnya wahyu yang merupakan asas utama sebuah epistemologi. Wallahu a’lam.[]