Oleh: Rifqi Qowiyul Iman
Beberapa waktu lalu Gert Wilders baru saja mengadakan kunjungan ke Australia. Tak pelak reaksi keras dan protes bermunculan. Kunjungan tersebut dianggap sebuah kontroversi seperti halnya Wilders merupakan sosok yang kontroversial. Ia mulai populer semenjak tanggal 27 Maret 2008, tepatnya ketika film karyanya yang berjudul “Fitna” yang diliris di berbagai macam situs dunia maya. Video berdurasi singkat itu mencoba menampilkan kekerasan umat Islam terutama pasca tragedi 11 September 2001. Ketika itu istilah Islamophobia tengah populer di kalangan masyarakat dunia. Wilders adalah seorang Politisi Belanda, anggota sayap kanan parlemen yang berhaluan Nasionalis Liberal. Ia juga dikenal sebagai tokoh yang anti-Islam. Karena dalam asumsinya Islam adalah agama yang represif, berideologi totaliterisme serta mengandung ajaran bengis. Islam didudukkan sebagai agama kaum imigran, yang selayaknya legowo terhadap nilai-nilai murni daerahnya, dan tidak sebaliknya. Faktor lainnya, Islam dianggap sebagai bencana terhadap prinsip kebebasan yang diusung olehnya.
Kembali ke “Fitna”, film pendek yang berisi tentang pencitraan buruk terhadap Islam tersebut sudah pasti menyulut kontroversi. Si pembuatnya mencoba menggambarkan bahwa Islam adalah ajaran keji, tak menghargai nyawa serta martabat manusia secara umumya. Maka tak heran dalam video yang dikecam oleh seantero dunia ini ia hanya memvisualisasikan sisi kekerasan terutama dalam hal hadd (hukuman dalam Islam). Kesan yang diharapkan adalah asumsi publik bahwa Islam adalah agama yang tak berprikemanusiaan, agama yang menjunjung tinggi terorisme. Walhasil rasa benci dan takut terhadap Islam semakin mengalir deras, termasuk stigmatisasi terhadap pengikutnya.
Gett Wilders sebenarnya hanyalah segelintir kecil dari individu-individu lain yang turut menghembuskan angin kebencian terhadap Islam. Dalam pandangannya Islam adalah sebuah ideologi yang totaliter. Hal ini ia ungkapkan beberapa hari yang lalu kala melakukan kunjungan ke Australia. Di sana, ia mencoba untuk menghasut warga Australia agar meningkatkan kewaspadaan terhadap umat Islam yang ia anggap sebagai “Penghancur Kebebasan” serta perusak nilai-nilai tradisional daerah. Selain itu, Islam menurutnya adalah sebuah ajaran kebengisan yang tak berperikemanusiaan dan tak menghargai nyawa.
Pandangan Wilders tentang Islam tentu saja tidak jauh dari ketidaktahuannya tentang Islam itu sendiri. Lalu bagaimanakah hakikat Islam memandang harkat dan martabat manusia ? Dan benarkah hukuman (Hadd) dalam Islam adalah wujud kekerasan yang tak berperikemanusiaan ?
Harkat Manusia dan Permasalahan Hadd dalam Islam
Dalam Islam manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang diciptakan dengan sebaik-baiknya penciptaan. Sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah SWT
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tin: 4)
Posisi khalifah yang bertugas memakmurkan bumi Allah SWT rasanya sudah cukup mewakili berbagaimacam kemuliaan manusia yang diberikan olehNya. Ditambah, derajat manusia bahkan lebih mulia dari malaikat sekalipun. Mengapa? Malaikat selalu bertasbih karena tidak memiliki hawa nafsu, sementara manusia harus berjuang melawan hawa nafsunya. Demikian ungkap Fakhruddin ar-Razi.
Diantara kemuliaan manusia yang lain adalah anugerah berupa akal pikiran. Hingga manusia mampu untuk membedakan hal yang baik dan buruk. Bahkan lebih dari itu ia adalah pembeda yang konkret antara manusia dan makhluk lainnya. Lebih eksplisit al-Ghazali menyatakan bahwa akal manusia adalah ibarat “cahaya Allah SWT” pada dirinya. Selanjutnya al-Jahizh menganggap akal sebagai “perwakilan Allah SWT” dalam diri manusia itu sendiri. Bahkan akal sendiri merupakan kriteria mukallaf (seorang yang dibebani hukum) sebagaimana seorang yang hilang akalnya akan keluar dari criteria ini. Maka jika Islam menghargai Akal manusia serta mendudukkannya diposisi yang mulia. Bagaimana mungkin ia akan menghancurkan prestise pemilik akal itu sendiri?
Kebebasan berpikir dalam Islam merupakan sebuah pokok dalam Islam. Bahkan mengekang akal dan pikiran termasuk sebuah kejahatan dalam Islam. Karena berpikir adalah sunnatullah bagi setiap manusia. Salah satu contoh adalah Islam mencela tindakan taklid buta karena dianggap tidak memfungsikan akal sebagaimana mestinya.
Selanjutnya Islam mendudukkan nyawa manusia pada derajat yang paling tinggi. Karenanya, diantara salah satu dari lima maqashid syariat yang diungkapkan oleh As-syathibi dalam karyanya Al-muwafaqat adalah hifzhu an-nafs yang diartikan sebagai penjagaan diri. Bahkan semenjak pertama kali manusia itu ditiupkan ruhnya ke dunia ia sudah memiliki hak untuk hidup. Islam mengecam keras siapapun yang mencoba merenggut hak setiap manusia untuk hidup yang tidak lain adalah hak Allah SWT Sang pemberi kehidupan.
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. dan Barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (QS. al-Isra: 33)
Hak ini bersifat umum, bahkan janin yang masih dalam kandungan ibunya. Hal ini tidak lain adalah wujud kemuliaan yang Allah berikan kepada setiap manusia. Maka faktor keamanan pun termasuk di dalamnya, karena bagaimana mungkin seorang mengemban amanat sebagai khalifah sedangkan keamanannya tidak terjamin dengan baik.
Lebih dari itu, permusuhan dalam Islam tidaklah dibenarkan. Karena barangsiapa yang memerangi seseorang maka ia seakan memerangi seluruh manusia. Karena dalam pandangan Islam, umat manusia dianggap sebagai kemajemukan yang saling terikat satu sama lain. Memusuhi satu maka seakan memusuhi seluruhnya, bahkan membunuh satu, maka seakan membunuh seluruhnya.
“Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS. al-Maidah: 32)
Walaupun secara kasat mata yang dipandang adalah haq manusia namun sekali lagi hal itu tidak dapat dipisahkan dari haq Allah SWT yang memberikan kehidupan pada manusia itu. Karenanya merenggut hak manusia untuk hidup atau pembunuhan dalam Islam masuk dalam kategori dosa besar (kaba’ir). Rasanya hal ini cukup untuk menjadi bukti konkret bahwa Islam senantiasa menghargai manusia sebagai makhluk yang mulia.
Walaupun pada hakikatnya Islam telah menetapkan hukuman (hadd), seperti rajam bagi pezina, ataupun potong tangan bagi pencuri, hukuman cambuk, dan lain sebagainya bagi mereka yang dianggap pelaku criminal. Bukan berarti proses tersebut dilakukan dengan tergesa-gesa ataupun tanpa prosedur apalagi semena-mena. Namun telah ditetapkan persyaratan serta criteria yang harus dipenuhi dari krimaniltas yang dilakukan. Karenanya Rasulullah SAW menolak untuk melaksanakan hukuman tersebut apabila ditemukan syubhat, sekecil apapun itu.
Sebagai tamsil, ketika ia didatangi oleh seorang yang meminta untuk dihukum dengan berdalih bahwa ia telah berzina ia malah berpaling selama berkali-kali sembari berharap si pelaku untuk menarik perkataannya. Tidak sampai disitu, setelah Nabi mendengar pengakuannya ia malah berharap si pelaku itu tidak mencapai criteria yang ditentukan. “Mungkin saja kamu melakukannya karena ini dan itu…. Sehingga tidak sampai kepada tahap criminal” ucapnya, berharap si pelaku menarik pengakuannya. Peristiwa-peristiwa semacam itu lumrah terjadi, salah satunya adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, diceritakan oleh Abu Bakar As-shidiq RA: “Suatu hari aku duduk di sisi Rasulullah SAW kemudian datanglah Ma’iz, kemudian ia mengaku kepada Rasulullah bahwa ia telah berzina, kemudian ia mengulangi pengakuannya untuk yang kedua kali, namun Rasulullah SAW berpaling, hingga yang ketiga kali, Rasulullah SAW tetap menolaknya. Maka aku berkata kepadanya: “Seandainya engkau mengakuinya lagi maka Rasul akan merajammu. Kemudian ia mengaku lagi, namun bukannya di rajam ia malah dukurung (dengan harapan menarik pengakuannya)….” (lihat Nashbu ar-Rayah)
Dalam hal zina sendiri para fukaha telah menetapkan persyaratan yang bisa dikategorikan cukup sulit untuk dipenuhi, yaitu empat orang saksi yang melihat secara gamblang peristiwa tanpa ragu sedikitpun. Pertanyaannya apakah segampang itu untuk memenuhi syarat tersebut? Dan apakah mungkin seorang yang berzina akan begitu saja memberi kan celah bagi orang lain untuk melihat kejahatannya?
Namun masih ada saja pihak yang memandang dengan sebelah mata, mengecap Islam sebagai agama yang kejam. Bahkan menghalalkan segala cara agar si tersangka criminal tersebut mengakui kejahatannya hingga tahap menyiksanya. Maka sudah jelas tuduhan ini tak berdasar.
Apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah ini selanjutnya dicontoh oleh para sahabat setelahnya seperti Umar Bin Khatab, dan Ali Bin Abi Thalib. Diriwayatkan bahwa ketika keduanya didatangi seorang yang mengaku mencuri dan meminta untuk dihukum (potong tangan) mereka berkata, “apakah engkau mencuri ? tolong katakan tidak….”. Akhir cerita, yang bersangkutan pun akhirnya mendapatkan keringanan hukuman.
Dari hikayat-hikayat tersebut sebenarnya terdapat hikmah lain yang dapat diungkapkan. Yaitu, pada kisah penolakkan Rasulullah SAW terhadap pengakuan Ma’iz. Nabi yang penuh kasih sayang ingin menyelamatkan Ma’iz dari hukuman rajam karena pengakuannya. Mengapa ? Karena tujuan hadd dari suatu tindak kejahatan adalah untuk menyadarkan pelakunya atas dosa tersebut. Demikianlah misi hakiki dari sekian banyak hukuman dalam Islam, tidak lain adalah senantiasa menjaga keberlangsungannya sebuah masyarakat idaman yang senantiasa berpegang teguh kepada norma-norma syari’at.
Kembali kepada Wilders, ia hanyalah korban dari hawa nafsunya sendiri, sehingga yang muncul adalah berbagai macam tuduhan yang kering bukti, serta jauh dari fakta. Dan bagi dirinya serta Wilders-Wilders yang lainnya, semoga segera mendapatkan hidayah dari Allah SWT.
Wallahu a’lamu bisshawab.
0 comments:
Post a Comment