Oleh: Ahmad Sadzali
Sejak pecahnya revolusi Suriah, pemberitaan televisi tiap harinya tidak pernah absen dari kasus konflik saudara ini. Revolusi Suriah mengingatkan saya kepada seseorang yang saya temui di suatu masjid sekitar bulan Maret 2012 lalu. Orang itu adalah dosen di salah satu universitas di Suriah. Dalam dialog sembari menunggu adzan, ia menceritakan bagaimana kondisi di negaranya. Singkat kata, ia orang anti rezim Bashar al-Assad. Saking bencinya, ia bahkan menyamakan al-Assad dengan iblis.
Sudah banyak sekali upaya yang dilakukan dalam rangka menghentikan konflik di Suriah ini. Dunia internasional tentu tidak dapat tidur pulas menyaksikan tragedy berdarah ini. Namun anehnya, dalam kasus yang sama ini, ternyata perspektif beberapa negara masih dapat berlainan. Tentu kita masih ingat ketika rancangan resolusi Dewan Keamanan PBB untuk rezim Suriah gagal diketuk palu hanya karena sebuah hak veto yang digunakan Rusia.
Ternyata pepatah yang mengatakan “The many ruled by the few” ada benarnya juga. Ketika itu hampir seluruh anggota DK sepakat atas rancangan resolusi itu. Tapi satu suara saja mengatakan “tidak”, maka benar-benar tidak terjadi. Ternyata suara mayoritas belum tentu menjadi “suara Tuhan” yang tidak bisa dijegal lagi.
Kasus ini menunjukkan kita bahwa suara mayoritas tidak selamanya kuat. Kekuatan dan suara mayoritas belum tentu berbanding lurus. Alhasil, sistem demokrasi yang diterapkan pun ternyata masih meninggalkan banyak celah kosong. Apalagi ini terjadi di lembaga organisasi yang tertinggi di dunia dan seringkali menjadi corong demokrasi, yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Negara-negara yang dinilai tidak atau kurang demokrasi, dituntut olehnya untuk demokrasi.
Sekarang dunia tengah tenggelam dalam samudra demokrasi. Meski mungkin masih ada sebagian negara yang cenderung berpola komunis diktatoris, namun tsunami demokrasi tetap saja tidak terelakkan. Negara-negara Timur Tengah faktanya, terkena tsunami demokrasi akibat rezim pemerintahnya yang berpola diktatoris. Bahkan hingga Korea Utara yang merupakan totalitarianisme sejati, juga menyebut namanya dengan negara republik demokrasi.
Jika demikian, antara kekuasaan dan demokrasi, lantas mana yang sebenarnya tunduk kepada yang lainnya? Apakah demokrasi yang tunduk kepada kekuasaan? Atau sebaliknya?
Jawabannya tentu tidak dapat digeneralisir. Pada satu kondisi tertentu, kekuasaan memang harus tunduk kepada demokrasi. Alasannya sederhana, karena demokrasi lah yang dapat dijadikan sarana untuk mencapai kekuasaan. Bahkan mungkin kekuasaan tidak dapat tercapai tanpa melalui proses demokrasi.
Tidak hanya itu, demokrasi juga kerap kali dijadikan instrument untuk mengukur kekuasaan seseorang. Misalkan, rezim-rezim yang dinilai diktator, dapat dihancurkan dengan sebuah revolusi yang mengusung demokrasi. Misalnya, semua sistem totaliter bercirikan menindas segala bentuk ekspresi politik kecuali yang memuja rezim yang berkuasa, dan mereka mempolitisasi apa saja. Ini tentu tidak demokratis. Jika rakyat kuat untuk melawan rezim totaliter ini, maka suara demokrasi yang akan menang.
Ini akan berbalik, jika rakyat tidak cukup kuat melawan rezim yang totaliter tadi. Maka ini merupakan kondisi kedua, dimana demokrasi harus tunduk pada kekuatan. Tunduknya di sini karena dipaksa, tidak cukup kekuatan, dan akhirnya demokratisme hanya sekedar simbol belaka.
Kasus seperti inilah yang terjadi di Suriah sekarang. Kekuatan suara demokrasi rakyat Suriah ternyata tidak sekuat suara demokrasi rakyat Tunisia dan Mesir. Dan ini juga yang terjadi di organisasi terbesar dunia, PBB, ketika hak veto masih berlaku.
Menggalang Kekuatan
Sistem demokrasi itu hanya cara dan alat. Yang terpenting adalah kekuatan itu sendiri. Dalam demokrasi pun, jika kita tidak punya kekuatan, kita tidak ada apa-apanya. Untuk itulah dibentuk partai-partai politik, sebagai lokomotif penggalang kekuatan rakyat. Dalam demokrasi, mungkin kekuatan itu cukup dengan hak suara.
Meski hanya dengan suara, namun esensi dari suara itu sebenarnya cukup besar. Ini terlepas dari money politik yang mungkin biasa dipakai oleh politisi-politisi murahan. Sikap dan pilihan dalam bentuk suara tadi, pada dasarnya merupakan bentuk pemikiran yang tertuang dengan bentuk sederhana. Dalam sebuah referendum misalnya, saya memilih “Ya” karena saya tahu dan sejalan dengan pilihan “Ya” tersebut.
Dengan demikian, upaya penggalangan kekuatan ini sangat penting sekali. Tentu tidak bisa instant. Butuh proses yang panjang bahkan untuk menarik simpati rakyat, meyakinkan rakyat, membentuk pola pikir rakyat yang sejalan dengan kita, dst. Hasil dari penggalangan kekuatan ini akan dituai ketika pesta demokrasi.
Alhasil, jangan berani menyuarakan demokrasi tanpa adanya kekuatan terlebih dahulu. Karena untuk menyuarakan demokrasi itu pun butuh kekuatan. Jadi, yang penting sebenarnya bukan demokrasi atau bukan, tapi punya kekuatan atau tidak. Wallahu’alam.[]
0 comments:
Post a Comment