Pages

Wednesday, March 13, 2013

Saat Pendidikan Berbalik Menikam


Oleh: Fauzul Hanif   

Kepribadian orang serta cara berpikirnya merupakan akumulasi dari berbagai informasi yang ia dapatkan. Artinya, jika kita memberi pasokan informasi A, maka kepribadian yang ia miliki tidak jauh dari A tersebut. Jika kita beri pasokan informasi N, maka lagi-lagi kepribadian yang terbentuk pada  penerima informasi tidak akan jauh dari N itu. Sebenarnya, informasi memang bukan faktor mutlak sebagai pembentuk kepribadian, masih ada lagi faktor-faktor lain. Hanya saja, faktor pembentuk terkuat adalah informasi.

Kita pun pastinya sudah mengetahui bahwa pendidikan adalah cara paling efisien untuk menyampaikan berbagai informasi yang ada. Kemudian, dewasa ini, sistem pendidikan semakin berkembang hingga muncul berbagai lembaga pendidikan yang kini menjadi alat utama dalam menyebarkan informasi. Bahkan bukan hanya menyebarkan informasi, lembaga pendidikan juga mempunyai peran untuk memfilter informasi yang akan diberikan pada anak didik, menata, serta mengatur porsinya. Tidak heran jika dalam menelusuri biografi seseorang, salah satu poin yang menjadi sorotan adalah background pendidikannya. Hal itu setidaknya mewakili sekelumit perkembangan pemikiran serta kepribadian orang yang dimaksud.

Ras manapun, bangsa manapun, agama apapun, semuanya mengedapankan pendidikan. Entah itu dalam jenis pendidikan yang sudah terlembagakan, ataupun masih bersifat individu. Kita bahkan melihat fakta di Indonesia bahwa anggaran pendidikan dalam APBN selalu mendapat porsi yang besar sebagai bentuk perhatian pemerintah. Untuk tahun 2012 kemarin saja, alokasi anggaran pendidikan mencapai 286,6 triliun.

Namun, informasi itu bersifat netral. Artinya ia bisa dimasuki hal positif sebagaimana tidak menutup kemungkinan untuk mengandung unsur negatif. Jika itu tadi adalah nilai sesungguhnya dari informasi, maka sudah pasti lembaga pendidikan –sebagai pemeran utama dalam penyampaian informasi– juga mempunyai nilai yang sama dengan nila informasi itu, yaitu netral. Nilai netral inilah celah yang banyak digunakan oleh berbagai golongan –sebagai penjunjung kepentingan tertentu– untuk mengantarkan pada tujuan mereka.

Kaum Barat bersama para orientalisnya melihat peluang yang besar dalam hal ini. Sejarah mencatat bahwa Indonesia pada masa perjuangan kemerdekaan telah menjadi sasaran praktek distorsi fungsi lembaga pendidikan. Cristiaan Snouck Hurgronje, tokoh orientalis berkebangsaan Belanda mengatakan:

“Hanya melalu organisasi pendidikan yang berskala luas atas dasar yang universal dan netral secara agamis, pemerintah kolonial dapat membebaskan atau melepaskan Muslimin dari agama mereka.”

Snouck Hurgronje adalah seorang tokoh orientalis ternama yang bahkan oleh sebagian orang dijuluki Mufti Hindia Belanda pada zamannya. Dia sempat menuntut ilmu di Makkah dan kemudian berpura-pura memeluk Islam. Dengan pengetahuan Islamnya yang begitu dalam, Snouck Hurgronje tahu bagaimana cara melemahkan Islam, yaitu dengan memisahkan kaum Muslim dari agama mereka melalui jalur pendidikan.

Penggalan kalimat Snouck Hurgronje di atas merupakan sebuah bentuk kekhawatirannya atas kedudukan Belanda yang semakin terdesak saat itu. Snouck Hurgronje sadar bahwa  kesadaran intelek Muslim Indonesia yang ingin menanamkan ilmu pengetahuan pada masyarakat seluruhnya akan mengancam  eksistensi kolonial di Indonesia saat itu. Maka dari itu, Snouck berusaha memisahkan umat Islam dari agamanya. Snouck sangat percaya dengan kekuatan jalur pendidikan untuk mencapai keinginannya. Adian Husaini menukil perkataan Snouck Hurgronje yang dikutip oleh Karel Steenbrink dalam bukunya Snouck Hurgronje en Islam:

“Pengasuhan dan pendidikan adalah cara untuk mencapai tujuan tersebut. Bahkan, di negeri-negeri berbudaya Islam yang jauh lebih tua dibanding kepulauan Nusantara, kita menyaksikan mereka bekerja dengan efektif untuk membebaskan umat Muhammad dari kebiasaan lama yang telah lama membelenggunya.”

Permasalahan Snouck Hurgronje adalah lembaran sejarah yang sudah lewat. Sekarang, marilah kita coba memperhatikan kondisi lembaga-lembaga pendidikan yang ada. Bersamaan dengan globalisasi, nampaknya deskriminasi agama dalam bangku sekolah sedikit demi sedikit mulai pudar. Di belahan Benua Eropa pun sudah tidak terhitung lagi lembaga-lembaga pendidikan yang mempersilahkan umat Islam untuk turut menuntut ilmu di dalamnya. Bahkan, tidak jarang didirikan universitas-universitas di Eropa yang khusus mendalami keilmuan Islam. Salah satu Negara yang menjadi rujukan adalah Jerman.

Di Jerman, lembaga pendidikan Islam tergolong mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Bahkan, saat ini, di empat universitas telah membuka program studi keislaman yang biasanya fokus pada teologi, bahasa dan sejarah. Tumbuhnya berbagai program studi serta berdirinya berbagai sekolah dengan kurikulum Islam ini telah mendapat dukungan penuh dari Presiden Jerman Joachim Gauck serta menteri pendidikannya Annette Scahavan.

Apresiasi penuh memang pantas untuk diberikan kepada warga Jerman atas perhatian mereka terhadap agama Islam. Hanya saja, penulis merasa menemukan suatu hal yang janggal pada pertumbuhan lembaga pendidikan berbasis Islam di negara ini.

Salah satu permasalahan adalah minimnya guru agama Islam di Jerman. Dari informasi yang ditangkap penulis, 80% guru yang ada di sana saat ini diambil dari Turki. Pemerintah dan sebagian warga kemudian merasa bahwa guru-guru ini terlalu konservatif sehingga harus mendapat pelatihan dulu dari lembaga yang telah dipercayakan oleh pemerintah.

Kemudian karena masih minimnya guru-guru ini, akhirnya Annette Schavan membolehkan para imam masjid untuk mengajar di lembaga-lembaga pendidikan. Hanya saja, mereka juga harus mendapat pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah dahulu sebelum dinyatakan berhak mengajar.

Permasalahannya adalah pelatihan bagaimana yang diberikan kepada para calon guru itu? Sejauh informasi yang didapatkan penulis bahwa tutor dalam pelatihan itu tidak lain para lulusan akademisi ataupun profesor dari universitas yang telah membuka progam studi Islam. Pertanyaan terakhir kemudian bermuara pada apa saja sebenarnya yang diajarkan di universitas-universitas itu? Penulis masih belum bisa memastikan karena minimnya data. Tapi, jika ternyata pendidikan universitas tersebut tidak sesuai dengan rambu-rambu Islam yang semestinya, artinya para guru-guru hasil pelatihan tidak akan jauh dari itu. Imbasnya, semua anak didik mereka mempunyai cara berpikir yang sama dengan para gurunya, yaitu tidak sesuai dengan rambu-rambu Islam.

Permasalahan ini sesuai dengan perkataan Muhammad Natsir dalam bukunya Nederland en de Islam. Beliau berkata, “Pendidikan dan pengajaran dapat melepaskan orang Muslimin dari genggaman Islam.” Maksudnya, kaum Muslimin akan terlepas dari genggaman Islam jika tidak ditempatkan pada jalur pendidikan yang benar. Bahkan, tidak jarang bahwa karena salah mendapatkan pendidikan, justru kaum Muslimin sendiri yang menghancurkan Islam.

Pembodohan umat melalui jalur pendidikan ini memang begitu berbahaya. Bahkan, beberapa orang menilai bahwa untuk menghancurkan Islam saat ini cukup dengan merusak sistem pendidikan di al-Azhar saja. Hal ini seperti apa yang Syekh Hisyam al-Kamil Hamid intisarikan dari perkataan ulama lainnya:

"Islam dihancurkan melalui 3 hal: al-Quran, Ka’bah dan al-Azhar. Untuk menghancurkan al-Quran, maka hal itu cukup sulit. Untuk menghancurkan Ka’bah, itu belum saatnya dan harus dilakukan perlahan. Maka, jalan yang terakhir adalah dengan merobohkan lembaga pendidikan al-Azhar." Wallahu'alam. []

0 comments:

Post a Comment