Pages

Friday, September 21, 2012

Feminisme, Kebebasan yang Membelenggu

Oleh: Halimatuzzahro Marzuki

Kebebasan merupan salah satu hal yang paling berharga bagi manusia. Karena manusia yang bebas dapat terus maju dan berkarya. Namun dengan melihat realita yang ada, kebebasan seolah-olah menjadi tameng para oknum atau kelompok tertentu dalam meneriakkan keinginan-keinginan mereka yang bebas tanpa moral, nilai dan batas.

Konsep kebebasan yang kini berkembang dalam masyarakat telah menciptakan corak berfikir yang beranekaragam. Salah satunya adalah adanya pemikiran konsep pembebasan wanita atas kekangan-kekangan keadaan yang membelenggu mereka. Lahirnya ediologi ini didukung oleh berbagai macam sebab. Coba kita telisik kebelakang, salah satunya adalah pandangan masyarakat terdahulu terhadap wanita.

Socrates, salah seorang filosof terkenal berkata: ‘’wanita ibarat pohon yang beracun, dari luar tampak indah, naun ketika burung pipit memakannya, ia akan mati seketika”. Bangsa India bahkan lebih kejam lagi memandang wanita, seorang wanita akan dibakar bersama mayat suaminya ketika meninggal. Bangsa Yahudi menganggapa wanita adalah amakhluk terlaknat, karena ia telah mengeluarkan Adam dari syurga. Tidak hanya itu, bahkan masyarakat Nasrani memandang wanita sebagai setan.

Sedangkan masyarakat Arab pada masa Jahiliyah lebih bangga memiliki anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan. Penyebabnya adalah lingkungan yang ketika itu mengharuskan mereka mencari bahan makanan dan air ditempat-tempat terpisah dan jauh. Sedangkan laki-laki lebih kuat fisiknya dibandingkan dengan wanita. Hak warispun hanya diberikan kepada laki-laki saja dan wanita tidak mendapat sedikitpun.

Kedatangan Islam pada awal abad ke-6 membawa pengaruh yang sangat besar terhadap kaum wanita. Derajat dan martabat wanita diberi tempat yang sangat terhormat. Nabi Muhammah SAW dengan ajarannya yang lembut membawa risalah yang seketika itu pula membebaskan wanita dari perbudakan yang mengekang.

Pertanyaan besar muncul, ketika lahirnya pergerakan wanita yang menuntut emansipasi atau kesaman dan keadilan hak antara laki-laki dan wanita atau populer kita sebut feminisme. Kata feminisme dicetuskan pertama kalinya oleh seorang aktivis social utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Pertanyaannya adalah bagaimanakah mereka memandang keadilan tersebut yang notabene sudah diperjuangkan oleh Nabi Muhammad SAW jauh sebelum mereka meneriakkan aspirasi mereka? Mereka menganggap bahwa keadilan itu adalah menyamaratakan antara hak laki-laki dan wanita, yang pada hakikatnya penyamaan tersebut adalah hal yang tidak dapat terjadi. Karena perbedaan fungsi dan fitrah laki-laki dan wanita. Hak dan kewajiban menjadi rancu dan akhirnya membelakangi arti dari keadilan itu sendiri.

Setelah ditinjau lebih lanjut dampak yang timbul dari pergerakan tersebut, sisi negatif lebih dominan dibandingkan dari segi positifny. Tingginya angka perceraian dan banyaknya wanita yang memilih menjadi singel parent adalah salah satu dampak dari ketidakstabilan yang muncul akibat pergerakan ini.

Dewasa ini ibu-ibu rumahtangga yang bekerja dan mencari nafkah di luar rumah dianggap sangat lazim. Kira-kira 50% dari mereka membanjiri berbagaimacam lapangan pekerjaan yang lazimnya diisi oleh laki-laki. Menurut Jonh Naisbitt, setiap tahunnya wanita dapat menciptakan 200.000 lapangan pekerjaan baru. Jika ditinjau lebih lanjut, dalam hal ini telah terjadi tumapang tindih antara fungsi laki-laki dan wanita. Kaum feminis secara tidaklangsung telah kembali menyeret kaumnya sendiri kedalam pengekangan yang semu, dalam kata lain mereka telah menciptakan suatu kebebasan yang membelenggu kaumnya sendiri. Yang dalam hal ini mereka menjadikan wanita diharuskan kokoh berdiri dalam ketidaksesuaian fungsi yang justru membuatnya merasa terbebani.

Feminisme bukan hanya menciptakan belenggu bagai kaum wanita, tapi sudah mencapai rusaknya ekosistem masyarat. Keluarga sebagai kelompok pembentuk masyarakat memerlukan dua pilar yang kokoh penunjang keharmonisan, yaitu ada seorang ayah dan ibu. Ketika dua pilar ini berdiri pada fungsinya masing-masing, maka terciptalah keharmonisan keluaga yang diinginkan setiapa manusia.

Seorang ibu yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk bekerja di luar rumah memberikan dampak positif pada keharmonisan ini, meskipun dalam tanda kutip dapat membantu suami dalam meringankan beban materi. Namun satu hal yang harus digarisbawahi, bahwa keharmonisan keluarga tidak hanya dibatasi oleh materi.

Kenakalan remaja dewasa ini juga tidak luput dari dampak fenimisme yang menjadikan hubungan antara ibu dan anak semakin jauh, disebabkan karena para ibu lebih memilih berkarir tanpa batas di luar rumah daripada mengurusi anak-anaknya. Kenakalan remaja bukanlah masalah yang dapat disepelekan lagi. Remaja sebagai harapan penerus Agama dan Bangsa diharapkan mampu menggantikan generasi-generasi terdahulu dengan kinerja yang lebih unggul. Ibu sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya diharapkan mampu mendidik anak-anaknya menjadi manusia yang unggul dan bermanfaat.

Dari sini sudah jelas bahwa faham feminisme ini sebenarnya telah jauh merubah keseimbangan kehidupan umat manusia yang sudah diciptakan Allah SWT sesuai dengan fungsi masing-masing. Keseimbangan ekosistem dan keharmonisan di masyarakat dan rumahtangga belumlah cukup dengan tertatanya kembali fungsi sosial tersebut, namun satu hal harus diingat bahwa hal yang terpenting adalah kembali kepada ajaran yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW. Karena apa yang  telah ditetapkan Allah SWT dalam kitabNya tidak pernah ada cacatnya.

 “Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”. (an -Nisa 82)

0 comments:

Post a Comment