Pages

Sunday, September 30, 2012

Menyikapi “Innocence Of Moslems”


Oleh: Kurniawan Saputra

Kasus “Innocence Of Moslems”

Umat Islam kembali heboh, untuk ke sekian kalinya muncul sebuah film yang mendiskreditkan Islam. Pada tahun 2008, Geert Wilders, politisi Belanda, pernah menyulut emosi umat Muslim dengan membuat film pendek berjudul “Fitna”. Film itu berisi tentang perspektif kontroversial Wilders mengenai Islam dan al-Qur’an. Belum lama ini film anti Islam kembali muncul, kali ini berjudul “Innocence of Muslims”. Film  yang disutradarai oleh Nacoula Basseley itu menjelek-jelekkan Islam pada umumnya dan Nabi Muhammad SAW khususnya.

Film tersebut memancing reaksi beragam. Dari sekedar ungkapan unjuk rasa, protes, hingga tindakan ekstrem. Di Kairo dan beberapa negara Timur Tengah lainnya, kantor kedutaan AS disambangi pengunjuk rasa. Bahkan di negara yang baru saja terjadi perang saudara, Libya, duta besar AS beserta tiga warga AS lainnya tewas karena serangan bom. Protes juga terjadi kemudian menjalar ke negara-negara Islam lain. Bahkan di negara mayoritas non Muslim pun terjadi aksi demonstrasi berkenaan dengan film ini.

Lumrah jika emosi umat muslim tersulut menyaksikan penghinaan terang-terangan kepada Nabi Muhammad SAW ini. Nabi Muhammad SAW adalah teladan bagi Muslimin, terjaga dari segala macam kesalahan dan dosa. Bukan itu saja, Nabi Muhammad SAW menurut banyak versi – bahkan menurut versi Barat-, juga menjadi orang paling sukses/berpengaruh/besar yang pernah hidup di muka bumi ini. Allahumma shalli alaihi wa sallim!

Kebesaran pribadi Nabi Muhammad SAW telah diakui oleh dunia luas melalui fakta sejarah. Kalangan yang sudi melihat secara obyektif pasti menemukan kekaguman kepada khâtim al-rusuli itu. Nabi Muhammad SAW bukan saja sukses besar menyampaikan dakwah Islam, namun lebih dari itu, Nabi Muhammad menjadi contoh bagi sebuah kepribadian agung.

Keagungan Pribadi Rasulullah SAW

Dari tradisi Islam sendiri, banyak riwayat-riwayat yang menceritakan keagungan pribadi beliau SAW. Diantaranya adalah kisah Nabi Muhammad SAW dengan seorang pengemis Yahudi.

Alkisah, di jalan menuju Masjid di kota Madinah, hiduplah seorang pengemis Yahudi yang sangat membenci Nabi Muhammad SAW. Saking bencinya, si pengemis mencaci maki beliau SAW setiap hari, juga memperingati setiap orang agar tidak mendekati Muhammad SAW.

Pengemis itu buta sehingga kesulitan untuk menjalani hidup. Kehidupan pengemis yang sulit itu amat terbantu dengan kehadiran seseorang. Dia mengunjungi tempat pengemis itu berada setiap hari dan membantunya makan. Dan tentu orang misterius itu juga sudah sangat kenyang mendengar caci maki yang keluar dari mulut pengemis kepada Nabi Muhammad SAW. Dan orang itu adalah Nabi Muhammad SAW sendiri.

Suatu ketika, setelah Nabi Muhammad SAW meninggal, Abu Bakar RA menggantikan posisinya. Abu Bakar RA mendatangi pengemis itu dan memberikan makanan itu kepada nya. Ketika Abu Bakar RA mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil berteriak, "Siapakah kamu ?" Abu Bakar RA menjawab, "Aku orang yang biasa". "Bukan ! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku," jawab si pengemis buta itu. Apabila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut dengan mulutnya setelah itu ia berikan pada ku," pengemis itu melanjutkan perkataannya.

Ada lagi riwayat mengenai hijrah Nabi Muhammad SAW ke Thaif. Rasulullah SAW datang menghadap para pemuka Thaif dan mengajak mereka masuk Islam. Namun, ajakan damai itu ditolak mentah-mentah. Para pemuka Thaif malah mengerahkan para penjahat dan budak untuk mecaci-maki Rasulullah dan melempari dengan batu. Sehingga kaki Rasulullah mengalami cidera.

Kemudian kisah tanggalnya gigi Rasulullah SAW dalam perang Uhud. Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW mendapatkan luka pada perang Uhud, para sahabat lantas berkata: Sesungguhnya Nuh telah berdoa kepada Allah untuk menghukum kaumnya, mengapa Engkau tidak berdoa kepada Allah untuk hal itu. Rasulullah SAW menjawab, “Sesungguhnya aku tidak diutus untuk mencela, tetapi aku diutus untuk mengajak kepada kebaikan dan menyebarkan kasih sayang. Ya Allah, ampunilah kaumku, sesungguhnya mereka tidak mengerti.”

Dalam sebuah hadis Muttafaq ‘alaih, juga terdapat riwayat mengenai kebesaran jiwa Rasulullah SAW dalam menghadapi caci maki dan permusuhan para musuh. Hadis itu –kurang lebih- bermakna berikut:

Aisyah, ia berkata: “Wahai Rasulullah, pernahkah engkau mengalami peristiwa yang lebih berat dari peristiwa Uhud?“ Jawab Rasulullah, “Aku telah mengalami berbagai penganiayaan dari kaumku. Tetapi penganiayaan terberat yang pernah aku rasakan ialah pada hari ‘Aqabah di mana aku datang dan berdakwah kepada Ibnu Abdi Yalil bin Abdi Kilal, tetapi tersentak dan tersadar ketika sampai di Qarnu’ts-Tsa’alib. Lalu aku angkat kepalaku, dan aku pandang dan tiba-tiba muncul Jibril memanggilku seraya berkata, “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan dan jawaban kaummu terhadapmu, dan Allah telah mengutus Malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan sesukamu,“ Rasulullah melanjutkan, kemudian Malaikat penjaga gunung memanggilku dan mengucapkan salam kepadaku lalu berkata, “Wahai Muhammad! Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan kaummu terhadapmu. Aku adalah Malaikat penjaga gunung, dan Rabb-mu telah mengutusku kepadamu untuk engkau perintahkan sesukamu, jika engkau suka, aku bisa membalikkan gunung Akhsyabin ini ke atas mereka.“ Jawab Rasulullah, “Bahkan aku menginginkan semoga Allah berkenan mengeluarkan dari anak keturunan mereka generasi yang menyambah Allah semata, tidak menyekutukan-Nya, dengan sesuatu pun.“ (HR. Bukhari Muslim).

Dari riwayat-riwayat di atas kita menyaksikan bersama bagaimana Rasulullah SAW menghadapi caci maki, celaan, bahkan gangguan fisik dengan sabar. Bahkan para Sahabat yang notabenenya orang-orang terdekat dengan beliau pun tak kuasa lagi menahan diri dari cobaan tersebut. Beberapa dari mereka (Sahabat) bahkan sampai meminta Rasulullah SAW untuk berdoa kepada Allah SWT agar membalas kesemena-menaan kaum musyrikin. Seperti yang pernah dilakukan para nabi sebelumnya. Namun, Rasulullah SAW menolaknya dan menunjukkan teladan bagaimana seharusnya bersikap.

Sikap Kita Seharusnya

Rasulullah SAW telah memberikan teladan. Beliau yang menjadi obyek langsung dari caci maki menyikapinya dengan sabar dan maaf. Sudah seharusnya kita sebagai umatnya meneladaninya. Menyikapi celaan dengan lapang dada dan sikap positif, bukan malah bertindak onar dan berbuat kerusakan. Karena sikap anarkis dalam menyikapi film ini malah membuat pihak-pihak yang tak suka dengan Islam merasa memiliki legitimasi untuk mendiskreditkan Islam.

Apalagi film ini – Innocence of Muslims- hanyalah upaya amatir dari pihak yang punya rekam jejak sosial buruk. Pemrakarsa film sekaligus sutradaranya, Nakoula Basseley, tercatat beberapa kali melakukan tindak pidana. Bahkan skenario film ini ditulis dari balik jeruji besi. Dalam upayanya, Basseley mengidentifikasi dirinya kepada wartawan dan sebagai seorang warga Yahudi Israel bernama Sam Bacile, dan mengakui bahwa ia mengumpulkan dana sebesar $5 juta dari teman-teman Yahudi. Namun kemudian diketahui ketidakbenaran klaim tersebut. Basseley adalah seorang Kristen koptik dan mendapatkan dana pembuatan film dari keluarga istrinya di Mesir.

Dengan terbukanya kebohongan Basseley, tersingkap pula bahwa film tersebut juga merupakan upaya adu domba antara Islam dengan umat lainnya –terutama Yahudi dan Amerika Serikat-. Maka, tindakan merusak kedutaan AS atau menyerang warga negara AS denga dalih film tersebut tidak bisa dibenarkan.

Lagipula, kita semua dan dunia masih punya ingatan kuat tentang keagungan Rasulullah SAW. Semua itu tak akan terkikis dengan munculnya film yang melecehkan tersebut. Keagungan Rasulullah SAW tak akan lekang hingga akhir zaman karena keagungan Rasulullah adalah anugrah dari Allah SWT (isthafâ’). Wallahu a’lam.

0 comments:

Post a Comment