Pages

Thursday, September 20, 2012

Pemilu Langsung, Dilema Politik Negara Demokratis


Oleh: Kurniawan Saputra

Dewasa ini, demokrasi dianggap sebagai sistem ideal bagi pemerintahan suatu negara. Sistem yang diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles ini dipropagandakan secara intens oleh Amerika Serikat. Melalui usaha-usaha diplomatis, AS mengusahakan berjalannya sistem ini di seluruh penjuru dunia.

Salah satu negara yang menjalankan sistem ini dalam pemerintahan adalah negara kita, Indonesia. Bahkan, demokrasi di negara kita sudah boleh dibilang sukses. Negara berpenduduk mayoritas muslim ini dianggap telah berhasil menjalankan sistem demokrasi dengan baik, bahkan menjadi teladan bagi dunia internasional.
Buktinya konkret, Indonesia pada tahun 2008 mendapatkan Democracy Award (medali demokrasi) dari Asosiasi Internasional Konsultan Politik (IAPC), sebuah organisasi profesi yang memperjuangkan demokrasi di seluruh dunia.

Penghargaan tersebut diberikan atas keberhasilan pemilu legislatif 1999, 2004 serta pilpres yang berjalan secara jujur, adil dan aman. Demikian juga pemilihan langsung kepala daerah (pilkada) serta kebebasan pers menjadikan Indonesia menjadi penilaian positif dunia internasional.

Namun perlu diperhatikan, bahwa keberhasilan demokrasi yang berjalan di negri kita sekarang ini sejatinya belum mencapai demokrasi mapan (establish democracy). Bangsa kita baru mencapai tahap demokrasi prosedural. Sedangkan tujuan meraih demokrasi substansial, yaitu kebebasan, keadilan dan kesejahteraan masih harus terus diperjuangkan.

Komparasi Pilpres
Salah satu problematika demokrasi Indonesia adalah sistem pemilihan presiden. Dalam pemilihan presiden – termasuk juga pilkada- di Indonesia, ada sebuah komparasi unik. Jika di Indonesia pemilihan dilakukan secara langsung oleh rakyat – yang mana ini menjadi salah satu nilai lebih demokrasi Indonesia-, maka di Amerika Serikat, negara empunya demokrasi, tidak demikian.

Pemilihan presiden dan wakil presiden di Amerika Serikat diadakan secara tidak langsung. Pemilihan di negri Paman Sam itu dilakukan melalui sebuah lembaga pemilihan presiden dan wakil presiden atau disebut electoral college. Lembaga presiden dipilih oleh setiap negara bagian dengan cara diatur oleh hukum masing-masing negara bagian. Walaupun kertas suara berisi nama kandidat-kandidat presiden, pemilih sebenarnya mencoblos untuk elector dari negara bagian mereka. Lembaga ini lantas memilih presiden dan wakil presiden.

Electoral College dan Ahl Ikhtiyâr
Fakta tentang electoral college diatas tentu menggelitik. Sebagai negara yang secara intens dan konstan memperjuangkan diberlakukannya demokrasi di seluruh penjuru dunia, seharusnya Amerika Serikat juga menjadi teladan ideal bagi demokrasi itu sendiri. Faktanya, sistem electoral college justru lebih mirip konsep Mawardi tentang ahl al-ikhtiyâr daripada terapan demokrasi.

Dalam buku Ahkam Sulthaniyyah, Mawardi membagi masyarakat yang bertanggungjawab atas terpilihnya pemimpin menjadi dua kelas: ahl al-ikhtiar dan ahl al-imâmah. Ahl al-ikhtiar adalah mereka yang memiliki otoritas untuk memilih pemimpin negara sementara ahl al-imâmah adalah mereka yang memiliki kapabilitas untuk dipilih menjadi pemimpin tertinggi negara.

Masing-masing dari dua kriteria golongan masyarakat di atas memiliki syarat-syarat tertentu. Untuk ahl al-ikhtiyâr syarat-syarat yang berlaku adalah al-adâlah (konsistensi religius), al-‘ilm (ilmu pengetahuan) dan al-ra’yu wa al-hikmah (ide dan kebijakan).

Pemberlakukan kriteria khusus bagi mereka yang memiliki otoritas memilih tentunya sangat berseberangan dengan konsep demokrasi yang memberikan setiap orang hak untuk memilih. Syarat-syarat itu mengeliminasi suara dari masyarakat awam yang tak mencukupi kriteria di atas, sehingga tersisa segelintir orang saja yang berhak memilih.

Pemilihan dengan sistem electoral college sekilas terlihat merepresentasikan demokrasi. Namun, pada realitanya terdapat kerancuan yang membuat sistem ini mirip model beli kucing dalam karung. Karena, bisa saja sang elector tidak memilih suara yang diwakilinya. Anehnya, sistem itulah yang diberlakukan di AS alih-alih pemilihan secara langsung.

Meskipun pada praktiknya pemerintah Amerika Serikat tidak bersandar pada standar Mawardi untuk para elector, namun sistem diatas menurut penulis paling tidak mirip sekaligus lebih bijak daripada pemilihan secara langsung.

Pemilihan secara langsung mungkin terdengar lebih adil, tapi fakta yang terjadi di lapangan tidaklah senaif itu. Jamak diketahui, bahwa masyarakat kalangan bawah ternyata tidak terlalu mengerti dan peduli dengan visi-misi, program kerja, maupun rekam jejak personal dari para calon pemimpin. Masyarakat awam lebih pragmatis berpolitik sehingga menjadi lahan yang sangat subur untuk praktik money politic.Fakta di lapangan seakan melegitimasi tuduhan itu.

Berdasarkan realita di lapangan, berjalannya demokrasi idealis di Indonesia adalah sebuah keluguan politik negara ini, selain juga sebuah dilema. Di satu sisi, usaha sistematis terus digalakkan oleh AS untuk memberlakukan sistem demokrasi. Di lain pihak, AS sebagai negara sponsor demokrasi, justru masih gamang dengan demokrasi. Belum adanya bukti valid mengenai kesuksesan demokrasi menjadi alarm tanda bahaya lain untuk kelangsungan sistem ini.[]

0 comments:

Post a Comment