Pages

Monday, September 17, 2012

Menyikapi Perbedaan Dalam Perspektif Historis


Oleh: Ahmad Sadzali

Dewasa ini umat Islam menghadapi berbagai macam tantangan yang cukup berat. Selain tantangan eksternal seperti perang pemikiran dan peradaban, tantangan internal juga ikut menggerayangi tubuh umat Islam. Bahkan tantangan dari dalam inilah yang sebenarnya sangat berbahaya. Salah satunya adalah isu perbedaan yang sekarang ini -bagi sebagian besar kita- masih belum dapat menyikapinya dengan baik.

Tidak dapat dipungkiri lagi, banyaknya berbagai golongan dan bahkan aliran yang ada dalam tubuh Islam sekarang ini memicu kontroversi tersendiri di kalangan kita, khususnya umat Islam di Indonesia. Tengok saja perdebatan yang sering terjadi antara sesama Muslim. Satu golongan menyalahkan golongan yang lainnya. Satu kelompok merasa hanya kelomoknya sajalah yang paling benar.

Maka serasa sangat penting sekali jika kita mencoba membuka mata dan pikiran kita lagi dalam menyikapi perbedaan-perbedaan tersebut. Umat Islam sekarang  harus pandai dalam menanggapi kondisi umat seperti ini. Di tengah panasnya temperatur perang pemikiran dan musuh-musuh Islam yang berada dalam selimut. Untuk itulah tulisan ini mencobanya memberikan pencerahan berpikir dalam menanggapi itu semua dari perspektif sejarah.

Perbedaan sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Perbedaan itu merupakan hal yang lumrah adanya. Karena pada dasarnya setiap manusia itu diciptakan oleh Allah dengan berbagai macam kelebihan dan kekurangan antara satu dengan yang lainnya. Ada yang diberikan Allah kepandaian dan kecerdasan yang baik dalam memahami ajaran agama Islam, namun ada juga yang tidak. Dari kalangan sahabat Rasulullah dulu, ada yang diberikan Allah hafalan yang kuat sehingga dapat menghafal wahyu Al-Qur’an dan hadist Rasulullah, ada juga yang hafalannya kurang.

Pada masa Rasulullah SAW, perbedaan pun juga sudah terjadi. Namun setiap perbedaan pendapat dan permasalahan umat yang muncul dapat langsung diselesaikan melalui beliau. Pada masa Rasulullah ini sumber utama ajaran Islam hanyalah Al-Qur’an dan Sunnah Nabawiah. Oleh karena itulah tidak ada masalah internal berarti yang dapat mewarnai kehidupan umat Islam ketika itu. Tentu saja ini salah satu kelebihan bagi umat yang hidup di zaman tersebut. Sehingga tidak salah lagi apabila generasi Sahabat tersebut diberi julukan generasi terbaik.

Selanjutnya ketika Rasulullah telah tiada, maka beberapa perbedaan di kalangan umat Islam ketika itu telah bermunculan. Mulai dari masalah pemerintahan, sampai akhirnya berujung kepada aliran keagamaan sendiri dalam Islam. Pada masa Sahabat ini, rujukan umat Islam adalah Al-Qur’an, Sunnah Nabawiah, ijma’, dan ra’yu. Dua rujukan terakhir ini adalah salah satu bentuk untuk menyikapi berbagai perbedaan pendapat yang ada di kalangan Sahabat, selain adanya permasalahan yang baru muncul yang tidak dibahas dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabawiah. Namun meskipun demikian, tentu saja yang menjadi rujukan utama dan landasan dari dua rujukan terakhir tetap Al-Qur’an dan Sunnah Nabawiah.

Dakwah Islamiyah di masa Sahabat ini telah menunjukkan perkembangan yang signifikan. Perluasan wilayah Islamiyah ini adalah salah satu faktor adanya beberapa perbedaan di kalangan Sahabat. Perbedaan adat dan kultur masyarakat dari tempat yang berbeda-beda itulah sebab utamanya. Kultur Arab yang sangat kental pada masyarakat Madinah berbeda dengan kultur masyarakat Iraq yang ketika itu masih terpengaruh dengan budaya Persia, dan berbeda juga dengan kulturnya masyarakat Mesir dan Syam yang masih menyimpan nilai-nilai budaya Romawi.

Namun perbedaan yang terjadi di antara Sahabat akibat dari faktor tersebut masih dalam ruang lingkup untuk kemaslahatan umat Islam. Dan perbedaan yang terjadi ketika itu pun sangat sedikit sekali. Salah satu sebabnya  karena para Sahabat masih banyak yang berada di Madinah, khususnya di zaman Khalifah Abu Bakar ra dan Khalifah Umar ibn Khathab ra, sehingga setiap permasalahan dapat diselesaikan dengan musyawarah.

Pada masa Tabi’in, wilayah Islam semakin luas lagi. Tentu saja semakin beragam pula kultur umat Islam yang melatarbelakanginya. Maka wajar  ketika masa ini berkembang madrasah yang saling berbeda metode pengambilan hukumnya, khususnya dalam penggunaan ra’yu, yaitu Madrasah Ahlul Hadist di Madinah dan Madrasah Ahlul Ra’yi di Iraq. Salah satu faktor penyebab berkembangnya Madrasah Ahlul Hadist adalah pengaruh yang diterima Tabi’in dari para Sahabat seperti Zaid ibn Tsabit dan Abdullah ibn Umar. Sedangkan Madrasah Ahlul Ra’yi mendapat pengaruh dari Abdullah ibn Mas’ud yang telah lama bermukim di Kufah sejak zaman Khalifah Umar ibn Khathab ra.

Beranjak ke masa Tabi’ tabi’in, kajian ilmu Fikih dan berbagai cabang ilmu lainnya mencapai puncak kegemilangannya. Di mana pada masa inilah banyak ulama-ulama Mujtahid bermunculan. Sebagai contoh, munculnya berbagai macam mazhab Fikih. Tentu saja perbedaan dalam ijtihat lebih beraneka ragam lagi.

Perbedaan pendapat yang muncul dikalangan ulama terdahulu sebenarnya hanya berkisar pada masalah furu’iyah atau cabang-cabang fikih saja. Itu pun disebabkan metode yang mereka gunakan untuk mengambil hukum fikih tersebut berbeda-beda. Misalnya dalam menentukan suatu hukum yang belum ada dibahas dalam Al-Qur’an dan Hadist, Imam Malik mengedepankan perbuatan penduduk Madinah, karena menurut beliau segala sesuatu yang berkenaan dengan cara beribadah penduduk Madinah tidak mungkin kalau bukan hasil dari melihat perbuatan Rasulullah yang diturun-temurunkan generasi ke generasi. Berbeda dengan Imam Syafi’i yang lebih mengedepankan Ijma’ (kesepakatan para ulama) setelah Al-Qur’an dan Hadist.

Begitulah sekilas gambaran perjalanan perbedaan-perbedaan pendapat dalam Islam. Intinya agama Islam itu satu, dan tidak ada berbagai macam jenis Islam yang lainnya. Sedangkan perbedaan pendapat dan golongan itu adalah bentuk dari pengembangan pemikiran Islam. Namun perlu digaris bawahi, bahwa perbedaan-perbedaan tersebut hanya dalam ranah furu’iyah saja. Jika kemudia perbedaan yang berkembang justru menjurus kepada perbedaan akidah dan tauhid, maka tentu saja dalam hal ini kebenaran atau yang haq itu harus kita kedepandakan. Karena batasan dan rambu-rambu yang digambarkan Islam dalam wilayah tauhid dan akidah itu sudah sangat jelas.

Jika ada yang mencoba untuk merubah rukun Iman dan rukun Islam, maka ini harus kita perangi. Jika ada yang mengatakan Al-Qur’an hanyalah produk budaya, ini pun juga harus kita perangi. Jika ada yang memperbolehkan perkawinan homoseksual, pemikiran seperti ini jelas telah menyimpang dari koridor yang telah ditentukan Islam. Namun cara memeranginya pun juga harus baik. Jika kita diserang dengan pemikiran seperti itu, maka untuk membalasnya tentu saja juga dengan pemikiran juga, bukan malah dengan kekerasan.

Jika hal seperti ini yang terwujud di antara umat Islam di Indonesia sekarang ini, maka serasa indah Islam itu  dijalankan. Penilaian-penilaian negatif tentang Islam dan perpecahan, Islam dan kekerasan, hingga Islam dan terorisme, harus segera kita hentikan. Caranya yaitu dengan membangun kembali image Islam yang cinta damai, yang profesional dalam menanggapi segala perbedaan. Image itu akan tumbuh tergantung bagaimana kita menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan kita. Wallahu’alam.[]

0 comments:

Post a Comment