Pages

Monday, September 17, 2012

Pengantar Awal Belajar Usul Fikih


Oleh: Ahmad Sadzali

Kebutuhan umat Islam terhadap Ilmu Usul Fikih sudah tidak diragukan lagi. Kebutuhan umat akan Ilmu Usul Fikih ini di antaranya adalah disebabkan oleh berkembangnya permasalahan umat, sementara wahyu sudah tidak turun lagi. Terhentinya wahyu ini membuat umat Islam membutuhkan suatu kaidah dan metode yang bisa dijadikan patokan untuk mengambil hukum Fikih. Metode inilah yang selanjutnya dinamakan dengan Usul Fikih.

Mayoritas ulama mencatat bahwa Ilmu Usul Fikih ini untuk pertama kalinya dibukukan oleh Imam Syafi’i. Dengan begitu, berarti ilmu ini sudah berkembang sudah cukup lama, yaitu sekitar abad ke-2 H. Seumur yang cukup tua ini, bahasa yang digunakan dalam Ilmu Usul Fikih cenderung susah. Oleh karena itulah sangat dibutuhkan sekali pembaharuan dalam cabang ilmu ini dari segi bahasanya. Tujuannya adalah agar lebih mudah dipahami dan dibaca oleh siapapun.

Upaya mempermudah bahasa atau ibarat-ibarat yang digunakan dalam Ilmu Usul Fikih telah banyak dilakukan oleh ulama-ulama dalam buku-buku kontemporer. Salah satunya adalah buku berjudul “Ilmu Usûl Fikih” karangan Abdul Wahab Khalaf. Pembahasan Usul Fikih dalam buku ini cukup mudah, karena bahasa yang digunakan tidak rumit dan mudah dipahami. Abdul Wahab Khalaf memang dikenal dengan peninggalan buku-buku karangannya yang diulas dengan bahasa dan ibarat yang mudah dan jelas.

Antara Usul Fikih dan Fikih
Ilmu Fikih adalah ilmu dengan hukum-hukum syariat atas suatu perbuatan yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Sedangkan ilmu Usul Fikih adalah ilmu dengan kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dapat menelurkan hukum-hukum syariat dari dalil-dalil yang terpernci.

Objek kajian dalam Ilmu Fikih adalah perbuatan Mukallaf yang dinilai dalam kaca mata syariat. Sementara objek kajian dalam Ilmu Usul Fikih adalah dalil-dalil syariat yang dapat dijadikan sebagai landasan atas suatu hukum perbuatan.

Pembahasan dalam Ilmu Fikih lebih terfokus pada dalil-dalil yang sifatnya khusus. Jadi, seorang Fakih tidak berkecimpung dalam dalil-dalil yang sifatnya umum tersebut. Sedangkan sebaliknya, pembahasan Ilmu Usul Fikih lebih terfokus pada dalil-dalil yang sifatnya umum, dan tidak pada dalil-dalil bersifat khusus.

Tujuan Ilmu Fikih adalah penerapan hukum-hukum syariat terhadap perbuatan Mukallaf itu sendiri. Sedangkan Ilmu Usul Fikih bertujuan untuk menerapkan kaidah-kaidah yang dikandung di dalamnya terhadap nash atau dalil-dalil syariat, agar dapat mengambil kesimpulan suatu hukum.

Hukum-hukum Fikih terlebih dahulu ada dibandingkan kaidah-kaidah dalam Ilmu Usul Fikih. Hukum-hukum Fikih telah ada sejak awal mulanya agama Islam ada. Pada masa Rasulullah SAW, hukum-hukum Fikih ini bersumber langsung dari nash al-Quran dan Sunnah. Sedangkan pada masa Sahabat (pasca wafatnya Rasulullah SAW), hukum-hukum Fikih bersumber dari nash al-Quran, Sunnah dan hasil ijtihad para Sahabat atas suatu perkara. Sumber ini terus berkembang dan berbeda lagi pada masa setelahnya, yaitu masa Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in. Pada masa ini sumber hukum-hukum Fikih berasal dari nash al-Quran, Sunnah, fatwa Sahabat dan ditambah lagi fatwa dari para mujtahid.

Pada masa setelah Sahabat inilah Ilmu Fikih baru mengalami kodifikasi dan menjadi cabang ilmu tersendiri. Kitab pertama yang dibukukan adalah “Muwatha” karya Imam Malik bin Anas. Kitab ini merupakan kitab Hadis dan Fikih yang berisi kumpulan Hadis-Hadis Rasulullah SAW, fatwa Sahabat dan Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in.

Sedangkan Ilmu Usul Fikih, belum dibukukan hingga pada abad ke-2 H. Sebab, pada abad ke-1 H, umat Islam ketika itu masih belum membutuhkan Ilmu Usul Fikih. Pada zaman Rasul, semua permasalahan dikembalikan kepada beliau. Sedangkan pada masa Sahabat, mereka berfatwa atas suatu permasalahan dengan berdasarkan pada nash al-Quran dan Sunnah yang dipahami mereka. Kedekatan para Sahabat dengan Rasulullah SAW juga menjadi faktor terpenting kenapa pada masa ini Ilmu Usul Fikih masih belum dibutuhkan.

Orang yang pertama kali merumuskan kaidah-kaidah Usul Fikih dan menjadikan pembahasannya menjadi ilmu yang independen adalah Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i (w. 204). Kitab beliau dalam Usul Fikih ini adalah “ar-Risalah”.

Dalam membentuk kaidah atau metode Usul Fikih, setidaknya ada tiga cara yang ditempuh para ulama. Pertama, mereka membuat kaidah berdasarkan kekuatan pemahaman mereka yang benar dan secara mantiq. Artinya, mereka tidak terlalu melihat hukum-hukum Fikih yang sebelumnya telah dikeluarkan oleh imam-imam mujtahid. Cara seperti ini kebanyakan digunakan oleh imam-imam di madzhab Syafi’i dan Maliki. Contohnya adalah kitab “al-Mustashfa” milik Imam Ghazali (w.505) dan kitab “al-Ahkam” milik Abu Hasan al-Amadi (w. 631).

Kedua, para ulama merumuskan kaidah Usul Fikih berdasarkan hukum-hukum Fikih yang telah dikeluarkan oleh para imam-imam mujtahid mereka. Maka tidak heran jika dengan cara ini, dalam buku-buku mereka banyak disebutkan contoh-contoh hukum permasalahan cabang, kemudian menyimpulkannya menjadi sebuah kaidah. Yang biasanya banyak menggunakan cara seperti ini adalah ulama-ulama dari madzhab Hanafi.

Dan yang ketiga adalah mereka yang merumuskan kaidah-kaidah Usul Fikih dengan cara menggabungkan kedua metode di atas.

Dalil-dalil Syariat
Dalil di sini berarti sesuatu yang dijadikan rujukan atau landasan atas hukum syariat dengan pemahaman yang benar, baik secara multak (qath’i) atau dzan. Beberapa ahli Usul berpendapat bahwa dalil inilah yang dijadikan sandaran atas suatu hukum syariat.

Secara umum, mayoritas ulama sependapat bahwa dalil-dalil utama yang digunakan dalam syariat adalah al-Quran, Sunnah, Ijma dan Kias. Dan begitu juga dengan urutan dalilnya. Untuk mencari hukum atas suatu perkara, kita terlebih dahulu mencarinya di dalam al-Quran. Jika tidak ada dijelaskan dalam al-Quran, maka kita mencarinya di Sunnah. Jika tidak ada juga, baru kita mencari apakah ulama pernah berijma atas hukum tersebut apa tidak. Jika tidak ada juga, baru kias yang digunakan. Urutan seperti ini telah disepakati oleh Rasulullah SAW dalam sebuah riwayat terkenal ketika Mu’adz bin Jabal ketika diutus oleh Rasulullah SAW ke Yaman.

Selain empat dalil di atas, masih ada dalil-dalil lainnya yang biasanya juga digunakan para ahli Fikih sebagai sandaran suatu hukum. Dalil-dalil tersebut di antaranya adalah seperti: al-Istihsan, al-Mashlahah al-Mursalah, al-‘Urf, al-Istishha, dan lainnya.[]



0 comments:

Post a Comment