Pages

Monday, September 17, 2012

Al-Madkhal al-Wasîth: Pengantar Mudah Belajar Fikih


Nama buku: al-Madkhal al-Wasîth: li Dirâsah al-Syarî’ah al-Islâmiyyah wa al-Fiqh wa al-Tasyrî’
Penulis: Dr. Nasr Farid Muhammad Washil
Penerbit: Maktabah Taufiqiyah
Tebal buku: 269 halaman

Resensator: Ahmad Sadzali

Ilmu Fikih merupakan salah satu ilmu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan umat Islam. Dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari, umat Islam membutuhkan Ilmu Fikih sebagai tuntunan hukum. Dalam bermuamalat dengan sesama misalkan, kita membutukan suatu hukum yang dapat mengatur dan menjadi penengah. Untuk itulah kita membutuhkan Ilmu Fikih. Bahkan kita juga membutuhkan hukum-hukum dalam Fikih ketika berinteraksi dengan umat beragama lain. Oleh karenanya, mempelajari Ilmu Fikih merupakan kebutuhan tersendiri bagi umat Islam. Ilmu Fikih adalah salah satu ilmu prioritas yang harus diketahui oleh umat Islam.

Perkembangan Ilmu Fikih ini bisa dikatakan sudah sejak lama sekali, sedari zaman Rasulullah SAW. Sumber utama dalam hukum-hukum di Ilmu Fikih adalah wahyu yang tertuang dalam al-Quran dan Sunnah. Akan tetapi ketika Rasulullah SAW wafat, wahyu itu terputus. Sementara hukum-hukum Fikih terhadap perbuatan manusia terus berkembang. Dengan demikian perkembangan dan ranah pembahasan Ilmu Fikih bisa dikatakan semakin lama semakin luas. Maka wajar jika selanjutnya banyak polemik juga yang mewarnainya.

Banyak upaya yang telah dilakukan ulama-ulama terdahulu untuk mempermudah mempelajari Ilmu Fikih, ataupun dalam pengambilan hukum-hukum Fikih. Salah satunya adalah upaya pembukuan madzhab-madzhab Fikih oleh para imam Fikih, perumusan Ushul Fikih, perumusan Maqasid Syariah hingga berbagai pembaharuan-pembaharuan dalam Ilmu Fikih maupun Ushul Fikih.

Mengingat begitu luasnya pembahasan Ilmu Fikih ini, belum lagi kaitannya dengan Ilmu Ushul Fikih, Ilmu Hadis dan ilmu-ilmu lainnya, maka perlunya sebuah pengantar untuk mempelajari ilmu ini. Pengantar ini sangat dibutuhkan bagi pemula yang ingin memperdalam Ilmu Fikih. Fungsinya supaya mempermudah dalam pembelajaran Ilmu Fikih, dan memberikan gambaran global tentang apa saja yang dibahas dalam ilmu ini.

Cukup banyak buku-buku pengantar Ilmu Fikih yang sudah ditulis oleh ulama-ulama kontemporer. Di antara buku-buku pengantar tersebut adalah al-Madkhal al-Wasîth li Dirâsah al-Syarî’ah al-Islâmiyyah wa al-Fiqh wa al-Tasyrî’, karangan Dr. Nasr Farid Muhammad Washil.

Kurang begitu jelas kenapa Mufti Mesir yang diangkat pada tahun 1996 ini menakaman buku pengantar Ilmu Fikih ini dengan al-Madkhal al-Wasîth. Tapi yang jelas, dalam secuil kata pengantar di buku ini, dijelaskan bahwa—seperti yang tertera dijudul buku—buku ini mencakup pengantar Fikih, Syariah Islamiah dan Tasyri’. Buku ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman dan jalan kepada Fikih Islam. Dengan begitu, diharapkan juga pemahaman Fikih ini bisa menjadi perantara dalam praktek Syariah Islamiah dalam setiap segi kehidupan umat Islam khususnya, dan pada umat manusia pada umumnya.

Mengawali pembahasan dalam pengantar ini, Dr. Nasr Farid menjelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan “Pengantar Fikih Islam”. Kata “al-Madkhal”—yang selanjutnya kita artikan dengan “Pengantar”—secara bahasa Arab artinya adalah tempat masuk ke dalam suatu ruangan. Namun kata ini mengalami pergeseran makna menjadi sebuah majas ketika disandingkan dengan kata “al-Fiqh al-Islâmi”. Jadi yang dimaksud adalah sebuah pengantar atau jalan masuk untuk mempelajari Ilmu Fikih.

Selanjutnya, Dr. Nasr Farid memberikan penjelasan tentang definisi dan perbedaan dari masing-masing antara: Syariat, Fikih dan Tasyri. Antara Syariat dengan Fikih, perbedaannya adalah seperti umum dengan khusus. Dengan kata lain, Fikih lebih khusus dibandingkan dengan Syariat, salah satunya dari segi objek pembahasannya. Sementara antara Syariat dengan Tasyri’, juga bisa dikatakan seperti perumpamaan umum dengan khusus juga. Karena Tasyri’ merupakan sebuah proses yang nantinya mencapai pada suatu Syariat. Pemahahaman antara ketiga definisi ini sangat penting sekali dalam sebuah pengantar, supaya tidak terjadi tumpang-tindih atau tukar-menukar objek pembahasan.

Setelah mengetahui hakikat sebuah Syariat—dalam hal ini yang dimaksud adalah Syariat Islam—, serta  mengetahui perbedaannya dan kelebihannya dibanding dengan syariat atau hukum-hukum buatan manusia, Dr. Nasr Farid kemudian menjelaskan tentang hukum-hukum dalam Syariat Islam. Hukum Syariat dibagi menjadi dua: hukum pembebanan (al-hukm al-taklîfi) dan hukum perumusan (al-hukm al-wadh’i).

Secara global, pembahasan dalam Fikih dapat dibagi ke dalam dua ranah: ibadah dan muamalat. Ibadah adalah urusan seorang hamba dengan Tuhannya. Sedangkan muamalat adalah urusan sesama manusia. Dalam hukum muamalat, setidaknya dibagi oleh Dr. Nasr Farid membagi ke dalam tiga bagian: hukum yang mengatur hubungan antara individu dengan negara, hukum yang mengatur antar sesama individu, dan hukum yang mengatur hubungan antara negara Islam dengan negara lainnya.

Syariat Islam memiliki karakteristik dan keistimewaan tersendiri dari syariat-syariat lainnya. Hal ini karena Syariat Islam adalah syariat yang bersumber dari Allah SWT langsung. Syariat Islam adalah syariat yang berdiri sendiri, dan terlepas dari keterpengaruhannya dengan syariat atau hukum-hukum lainnya. Dalam buku ini dijelaskan dan dijawab secara jelas tentang tuduhan yang mengatakan bahwa Syariat Islam terpengaruh dengan undang-undang Romawi atau undang-undang lainnya.

Perkembangan Fikih dari masa ke masa merupakan pembahasan yang tidak bisa dilewatkan begitu saja dari sebuah pengantar Ilmu Fikih. Hal ini sangat penting, mengingat dalam perkembangan tersebutlah kita dapat memahami sebab-sebab perbedaan ulama dan madzhab-madzhab Fikih antara satu dengan lainnya.

Cara pengambilan hukum dari tiap fase perkembangan Fikih ini juga berbeda-beda. Sebagai contoh, pada masa Rasulullah SAW, semua pengambilan hukum dari suatu masalah akan dikembalikan kepada Rasul. Ini sudah berbeda di masa Sahabat, ketika Rasulullah SAW sudah tiada. Misalkan Abu Bakar, setiap ditanya tentang suatu permasalahan, beliau terlebih dahulu mencari jawabannya di nash Al-Qur’an. Jika beliau mendapatkan jawaban atau hukum atas permasalahan tersebut di dalam Al-Qur’an, maka beliau menghukuminya dengan Al-Qur’an. Jika tidak terdapat di dalam Al-Qur’an, maka beliau mencarinya di dalam Sunnah Rasulullah SAW, sepanjang apa yang beliau ketahui dan beliau hafal. Namun apabila tidak terdapat di dalam kedua nash tersebut, beliau menanyakannya kepada orang atau Sahabat lainnya, apakah Rasulullah SAW pernah menghukumi permasalahan yang ditanyakan kepada beliau tersebut atau tidak. Jika ada, maka beliau mengambilnya untuk menghukumi permasalahan tersebut.

Jika dari nash Al-Qur’an dan Sunnah juga tidak terdapat hukum tersebut, maka Abu Bakar mengumpulkan ahli ilmu dan ra’yi dari Sahabat untuk memusyawarahkan permasalahan itu. Jika para ahli ilmu dan ra’yi tersebut sepakat atas suatu hukum, maka beliau mengambil kesepakatan tersebut untuk dijadikan hukum. Namun jika mereka berbeda pendapat satu sama lain, maka Abu Bakar akan mengambil pendapat yang menurutnya lebih kuat.

Perkembangan ini dibahas lebih lanjut hingga masa pembukuan Fikih yang ditandai dengan munculnya madzhab-madzhab Fikih. Di sini juga dijelaskan secara singkat beberapa madzhab-madzhab Fikih yang besar, riwayat pendiri madzhabnya serta perbedaan metode pengambilan hukum antar madzhab. Di antara madzhab yang dijelaskan di sini adalah madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, Zaidi, Ja’fari, dan madzhab Dzahiri.

Setelah madzhab-madzhab ini, Fikih memasuki masa kejumudan atau masa taklid. Di masa ini sudah tidak ada lagi mujtahid mutlak seperti yang ada pada masa terbentuknya madzhab-madzhab Fikih. Di masa ini, umat Islam hanya mengikuti madzhab-madzhab yang sudah ada, hingga sampai pada derajat fanatik madzhab.

Situasi jumud dan taklid ini terus berlangsung hingga pada akhir abad ke-13 dan awal abad ke-14 H. Pada masa ini, umat Islam sudah mulai terbuka soal Fikih, mengingat kebutuhan umat akan pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang semakin berkembang di era modern. Pada masa ini, fanatisme madzhab sudah mulai memudar. Pembahasan Fikih lebih digalakkan dari sisi perbandingan madzhab.

Pembahasan tentang sumber hukum atau sumber Syariat Islam juga merupakan pembahasan yang sangat penting dalam sebuah pengantar Fikih. Di sini secara singkat dibahas sumber-sumber hukum Islam, baik yang telah disetujui oleh seluruh umat Islam maupun yang belum. Sumber utama Syariat Islam adalah al-Quran dan Sunnah, yang di dalamnya mencakup pembahasan Sunnah Mutawatir, Masyhur dan Khabar Ahad.

Sumber hukum selanjutnya adalah sumber-sumber penunjang. Sumber penunjang ini secara garis besar dapat diklasifikasikan ke dalam: sumber yang berdasarkan naql atau nash dan sumber yang berdasarkan akal. Di antara sumber-sumber penunjang ini adalah: Ijmak, Kias, al-Istihsân, al-Istishlâh, al-dzarâi’, al-istishhâb, syariat pendahulu kita, madzhab Sahabat, dan al-‘urf (adat).

Sebagai pengantar untuk Ushul Fikih, Dr. Nasr Farid juga menjelaskan secara singkat beberapa kaidah-kaidah dalam Fikih yang sudah dirumuskan oleh ulama-ulama terdahulu. Kaidah Fikih adalah kaidah umum yang dipakai untuk menghukumi masalah-masalah khusus yang objek pembahasannya adalah hukum-hukum Fikih—bukan hukum Ushul—dari perbuatan manusia yang mukallaf.

Sebagai tambahan, terakhir Dr. Nasr Farid menjelaskan tentang pengantar ibadah muamalat. Sebagai pengantar muamalat, dijelaskan permasalahan yang menyangkut akad-akad dan beberapa tentang hak-hak dalam Syariat Islam.

Begitulah sekilas tentang buku pengantar Fikih yang diterbitkan oleh Maktabah Taufiqiyah. Buku yang memiliki 269 halaman ini tentu saja memiliki kelebihan maupun kekurangan. Di antara kelebihannya adalah, buku ini sudah cukup mencakup pengantar seluruh ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Fikih. Buku ini juga diulas dengan bahasa Arab yang sangat ringan sehingga mudah dipahami. Sedangkan di antara kekurangnya, buku ini tidak begitu banyak memuat referensi dari buku-buku lain. Dr. Nasr Farid sepertinya menuliskan buku ini benar-benar berdasarkan pemahaman beliau yang mendalam tentang Fikih, sehingga tidak begitu banyak mencantumkan referensi. Padahal referensi penulisan buku sangat penting bagi kita untuk menelusuri literatur yang membahas tentang Fikih lebih lanjut. Wallahu’alam.[]

0 comments:

Post a Comment